• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pembangunan wilayah pesisir

2.2.3. Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

yang kompleks karena keterbatasan sumberdaya alam dan manusia (tenaga kerja). Kedua keterbatasan tersebut, ditambah kondisi keterbatasan biofisik pulau-pulau kecil, menyebabkan pengelolaan multiple use harus dilakukan secara efisien dan ekonomis (Fauzi dan Anna 2005).

Pada prinsipnya pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi yang optimal dari sumberdaya yang ada dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya tersebut. Oleh

karena itu pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga mempunyai dua tujuan, yaitu 1) memanfaatkan potensi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam rangka meningkatkan kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, dan 2) menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di kawasan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mencakup seluruh aspek pembangunan, yaitu aspek-ekologis, aspek sosial-ekonomi-budaya, aspek politik, serta aspek hukum dan kelembagaan (Ditjen Bangda-PKSPL IPB 1998).

Berdasarkan sudut pandang pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada kondisi yang bersifat mendua, atau berada di persimpangan jalan. Di satu pihak, ada beberapa kawasan pesisir yang tela dimanfaatkan (dikembangkan) dengan insentif. Hal ini kemudian muncul indikasi telah terlampauinya daya dukung atau potensi lestari dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama kawasan pesisir dengan penduduk yang padat dan tingkat pembangunan yang tinggi, seperti Selat Malaka, Pantai Utara jawa, Bali dan Sulawesi selatan.

Ketimpangan pembangunan seperti ini selain karena kondisi agroekologis Pulau Jawa dan Bali yang lebih subur dan nyaman untuk kegiatan usaha pertanian dan pemukiman, juga terutama karena kebijakan dan pelaksanaan pembangunan yang sangat terkonsentrasi di kedua pulau tersebut selama kurun waktu 25 tahun pertama.(PJP I). Pembangunan saran dan prasarana ekonomi serta investasi usaha jauh lebih pesat di kedua pulau ini dibandingkan dengan daerah di luar Jawa dan Bali khususnya KTI. Orientasi pembangunan semacam ini telah mengakibatkan KTI menjadi tidak menarik bagi kalangan investor, baik nasional maupun asing dan kegiatan pembangunanpun menjadi sangat rendah. Sementara itu, pengaruh pemusatan polarization effect di sepanjang pantai utara Pulau Jawa dan Bali, terutama di sekitar Jakarta dan Surabaya serta kota-kota besar lainnya, menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan mengancam kelestarian ekosistem pesisir. Hal yang lebih

ironis lagi adalah suatu kenyataan bahwa selain telah menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran, pembangunan sumberdaya kelautan masih belum dapat mengangkat sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan pesisir dari kemiskinan, baik di KTI maupun di Kawasan Barat Indonesia (KBI). Padahal kenyataan membuktikan bahwa kemiskinan seringkali memaksa manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan dengan cara-cara yang dapat merusak kelestariannya, sekedar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar, yaitu pemenuhan pangan. Penambangan batu karang, penggunaan bahan peledak atau racun untuk menangkap ikan karang, pembabatan mangrove selain dilakukan oleh kelompok manusia serakah, juga seringkali oleh penduduk yang karena kemiskinan absolute atau tidak mengerti tentang bahaya kerusakan lingkungan, terpaksa melakukannya. Dengan demikian kerusakan lingkungan bukan saja disebabkan oleh industrialisasi dan laju pembangunan yang pesat, tetapi juga oleh kemiskinan.

Jika ditinjau dari sumber kejadiannya, jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut ada yang berasal dari luar sistem wilayah pesisir dan ada yang berlangsung dalam wilayah pesisir itu sendiri. Pencemaran dapat berasal dari limbah yang terbuang dari berbagai kegiatan pembangunan seperti tambak, perhotelan dan permukiman serta industri yang terdapat di dalam wilayah pesisir; dan juga berupa kiriman dari berbagai kegiatan pembangunan di daerah lahan atas. Sedimentasi atau pelumpuran yang terjadi di perairan pesisir sebagian besar berasal dari bahan sediment di lahan atas (akibat penebangan hutan dan praktek pertanian yang tidak mengindahkan konservasi lahan dan lingkungan), yang terangkut aliran air sungai atau limpasan air dan diendapkan di perairan pesisir. Sementara itu, kerusakan lingkungan berupa degradasi fisik habitat pesisir (mangrove, padang lamun dan terumbu karang); lebih pungut (over exploitation) sumberdaya alam; abrasi pantai; konversi kawasan lindung; dan bencana alam, hampir semuanya terjadi di wilayah pesisir.

Pencegahan dan rehabilitasi kerusakan lingkungan serta konservasi keanekaragaman hayati merupakan beberapa cara pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun demikian sebagaimana di kemukakan oleh Bengen dan Rizal (2003),

upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan ini harus mempunyai manfaat ekonomi dan daya tarik tersendiri agar dapat berlangsung secara berkelanjutan.

Masyarakat pesisir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan di wilayah pesisir. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki daerah pesisir yang sangat luas dan diperkirakan 60 % dari penduduknya hidup dan tinggal di daerah pesisir. Sekitar 9.621 desa dari 64.439 desa yang ada di Indonesia dapat di ketegorikan sebagai desa pesisir. Mereka ini kebanyakan merupakan masyarakat tradisional dengan kondisi sosial-ekonomi dan latar belakang pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (Supriharyono 2000). Kondisi sosial masyarakat pesisir seperti ini menyebabkan kesulitan tersendiri di dalam pembangunan wilayah pesisir.

Pola pengembangan pesisir sebagai bagian dari pola pembangunan berkelanjutan di atas dalam perspektif ekonomi (kerangka pikir ekonomi), tujuan ekonomi dapat disederhanakan menjadi pertumbuhan dan efisisensi ekonomi, tujuan ekologis menjadi pengelolaan sumberdaya alam guna pembangunan industri dan tujuan sosial menjadi pengentasan kemiskinan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan tanpa menghilangkan fungsi lingkungan alam serta komunitas masyarakat. Kebijakan pembangunan pesisir untuk mendukung pemerataan pertumbuhan pada prinsipnya menurut Dahuri (2000), meliputi 4 aspek utama yaitu : (1.) Aspek teknis dan Ekologis. Aspek teknis dan ekologis dari setiap kegiatan

pembangunan dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan harus memperhatikan tiga persyaratan, yaitu : (a) keharmonisan spasial, (b) kapasitas asimilasi (daya dukung lingkungan), (c) pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan.

(2.) Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya. Aspek ini mensyaratkan bahwa masyarakat pesisir sebagai pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan wilayah pesisir dan lautan harus mendapatkan manfaat besar dari kegiatan pembangunan tersebut. (3.) Aspek Sosial dan Politik. Suatu kegiatan pembangunan berkesinambungan

khususnya di wilayah pesisir dan lautan hanya dapat dicapai apabila di dukung oleh suasana yang demokratis dan transparan.

(4.) Aspek Hukum dan Kelembagaan. Pengaturan hukum dan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan pada dasarnya merupakan sarana penunjang bagi kebijakan nasional.

Satu aspek lagi yang perlu ditekankan bahwa penyelenggaraan pembangunan pesisir harus dilaksanakan dalam konteks desentralisasi kewenangan, dengan semangat menciptakan lebih banyak keleluasaan pada pemerintah daerah dan masyarakat lokal untuk menentukan prioritas-prioritas pembangunannya guna mendorong dan menumbuhkembangkan pembangunan daerah.

Dokumen terkait