• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PEMBATALAN PENDAFTARAN MEREK DI INDONESIA

C. Pembatalan Pendaftaran Merek di Indonesia

selanjutnya. Selain itu dapat digunakan sebagai syarat mengajukan gugatan dalam sengketa merek apabila sebelumnya belum terdaftar , dan mengajukan permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas di negara lain.75

Sertifikat merek merek sebagaimana dimaksud merupakan alatbukti resmi bahwa pemilik merek teleh memakai merek yangbersangkutan pada tanggal pendaftaran. Kegunaan sertifikat mereksebagai bukti resmi adalah untuk membuktikan dalam suatu perkaratentang merek bahwa merek tersebut telah dipakai, maka pemilikmerek dapat memberikan bukti resmi yang berupa surat pendaftarantersebut.

Pemohon akan diberikan sertifikat merek sebagai buktikepemilikan hak atas merek tersebut apabila permohonan pendaftaran merek tersebut telahmemenuhi syarat atau tidak adanya keberatan dari pihak lain. Sertifikat merek diberikan kepada orang atau badan hukumyang mengajukan permohonan pendaftaran selambat-lambatnya 30(tiga puluh) hari sejak merek didaftar di dalam Daftar Umum Merek(DUM), sertifikat merek juga memuat jangka waktu berlakunyamerek, menurut ketentuan Pasal 28 adalah 10 (sepuluh) tahun sejaktanggal penerimaan dan dapat diperpanjang. Perpanjangan tersebutdilakukan 12 (duabelas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktumerek tersebut, diperpanjang untuk jangka waktu yang sama yaitu 10(sepuluh) tahun (Pasal 35).

76

C. Pembatalan Pendaftaran Merek di Indonesia

75Ibid., hlm.30.

76

Djoko Prakoso, Hukum Merek dan Paten Indonesia(Semarang,: Dahara Prize, 1991), hlm. 72.

Tindakan pembatalan merek yang terdaftar hanya dapat dilakukan di dalam sengketa merek yang berhubungan dengan kepemilikan hak atas merek bukan terhadap sengketa merek mengenai penggunaan hak atas merek. Artinya tindakan pembatalan ini hanya diterapkan di dalam sengketa merek yang salah satu pihaknya telah memperoleh hak atas merek dengan itikad buruk.

Pengaturan mengenai pembatalan merek terdaftar terdapat di dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 72 UU Merek 2001. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau pemilik merek, baik dalam bentuk permohonan kepada Direktorat Jenderal HKI atau gugatan kepada Pengadilan Niaga di Jakarta bila penggugat bertempat tinggal di luar wilayah negara Indonesia, dengan dasar alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, atau Pasal 6 UU Merek 2001 yang mengatur mengenai merek yang tidak dapat didaftar dan yang ditolak.77

1. merek terdaftar yang pendaftarannya dilakukan oleh pihak yang tidak beritikad baik;

Permohonan pembatalan diajukan melalui gugatan kepada Pengadilan Niaga, di antaranya dengan alasan :

2. merek terdaftar tersebut mengandung salah satu unsur berupa unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda, telah menjadi milik umum atau merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftarannya;

77 Rachmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (Perlindungan Dan Dimensi

3. adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek miliknya yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang atau jasa sejenis yang termasuk dalam satu kelas;

4. mempunyai nama orang terkenal, foto, dan nama badan hukum yang dimiliki oleh orang lain;

5. peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau lembaga nasional maupun internasional dengan secara tidak sah (tanpa izin tertulis);

6. peniruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah dengan secara tidak sah (tanpa izin tertulis); dan

7. menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi Hak Cipta dengan tanpa persetujuan tertulis.78

Mengenai batas tenggang waktu gugatan pembatalan merek terdaftar, disebutkan dalam Pasal 69 UU Merek 2001, bahwa gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Khusus untuk gugatan pembatalan yang didasarkan pada alasan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum dapat diajukan kapan saja tanpa adanya batasan waktu.

Penjelasan Pasal 69 ayat (2) menyebutkan bahwa pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum adalahsama dengan pengertian sebagaimana terdapat dalam penjelasan Pasal 5 huruf a. Termasuk pula

dalam pengertian yang bertentangan dengan ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik. Sama halnya dengan putusan Pengadilan Niaga tentang penghapusan merek, terhadap putusan Pengadilan Niaga yang memutuskan gugatan pembatalan merek, juga hanya dapat diajukan kasasi. Dimana isi putusan badan peradilan tersebut, segera disampaikan oleh Panitera yang bersangkutan kepada Direktorat Jenderal setelah tanggal putusan diucapkan. 79

79Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 86.

Direktorat Jenderal HKI melaksanakan pembatalan pendaftaran merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek setelah putusan badan peradilan sebagaimana dimaksud diatas telah diterima dan mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu putusan Pengadilan Niaga yang tidak diajukan kasasi atau putusan kasasi dari Mahkamah Agung.

Sama halnya dengan Penghapusan Merek, pembatalan pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal pembatalan tersebut. Pencoretan Pendaftaran suatu merek dari Daftar Umum Merek tersebut juga diumumkan dalam berita resmi merek.

Pembatalan pendaftaran itu diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasan pembatalan dan penegasan bahwa sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek, Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, pembatalan dan pencoretan pendaftaran merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.

Selain alasan pembatalan karena pendaftaran merek tersebut seharusnya ditolak atau tidak dapat didaftarkan, terhadap merek kolektif terdaftar dapat pula dimohonkan pembatalannya ke Pengadilan Niaga. Apabila penggunaan merek kolektif tersebut bertentangan dengan ketentuan bahwa permohonan pendaftaran merek dagang atau merek jasa sebagai merek kolektif hanya dapat diterima apabila dalam permohonan dengan jelas dinyatakan bahwa merek tersebut akan digunakan sebagai merek kolektif. Dengan demikian, apabila merek tersebut tidak lagi digunakan sebagai merek kolektif, pendaftaran merek kolektif tersebut dapat dibatalkan.

Berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 61 ayat (1) UU Merek 2001, Penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek diprakarsai oleh Direktorat Jenderal maupun berdasarkan permohonan pemilik merek yang bersangkutan, adapun ketentuannya adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan penghapusan yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Merek ditemukan pengaturannya dalam Pasal 61 ayat (2) UU Merek 2001, hal tersebut dapat dilakukan jika :

a. merek tidak digunakan berturut-turut selama 3 (tiga) tahun atau lebih dalam perdagangan barang dan atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal; dan

b. merek digunakan untuk jenis barang dan atau jasa dimohonkan pendaftaran, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek terdaftar.

2. Permohonan penghapusan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak ketiga, yaitu dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga. Konsekuensi dari adanya penghapusan pendaftran merek tersebut mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan.

3. Pengaturan merek mengenal tentang mekanisme pembatalan merek terdaftar. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, yaitu pemilik merek terdaftar. Tetapi ada pengecualiannya, yaitu bagi pihak pemilik merek terkenal yang belum terdaftar dapat pula mengajukan gugatan pendaftaran merek. Pengecualian untuk merek terkenal tersebut dianggap untuk tujuan :

a. memberikan perlindungan secara terbatas kepada pemilik terkenal yang tidak terdaftar; dan

b. mendorong pemilik merek terkenal untuk mendaftarkan mereknya.80

BAB IV

GUGATAN PEMBATALAN MEREK DAGANG TERKENAL YANG TELAH KADALUARSA JANGKA WAKTUNYA DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2001

A. Kadaluarsa menurut Sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Pengajuan gugatan pembatalan merek berdasarkan UU Merek 2001 memberikan batas waktu yang tegas, agar pembatalan pendaftaran merek tersebut

dapat diterima di Pengadilan Niaga. Pasal 69 ayat 1 UU Merek 2001 mengatakan bahwa Gugatan pembatalan pendaftaran Merek hanya dapat diajukan dalam jangkawaktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek. Hal inilah yang bisa dikatakan sebagai gugatan pembatalan pendaftaran merek yang telah kadaluarsa jangka waktunya. Namun sebelum membahas mengenai gugatan pembatalan merek yang telah kadaluarsa jangka waktunya, ada baiknya terlebih dahulu kita bahas pengertian daluwarsa menurut bebarapa peraturan perundang-undangan di Indonesia.

1. Daluwarsa menurut hukum pidana

Berdasarkan hukum pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak

hukum memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu. Pengertian ini sesuai dengan isi pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), yaitu:

a. Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut. b. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap

orang itu dan karena perbuatan pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;putusan berupa pemidanaan dan pidananya telah

dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

Pasal daluwarsa muncul karena banyaknya kasus hukum yang tak terselesaikan oleh pengadilan, sehingga negara memutuskan untuk menerbitkan pasal daluwarsa agar kasus-kasus hukum tidak menumpuk, karena semakin lama kasus-kasus hukum semakin berkembang dan semakin kompleks. Kompleksitas dalam hal ini sangatlah banyak penyebabnya, diantaranya, aparat susah menangkap pelaku kejahatan, kasus hukumnya sama-sama kuat atau sama-sama lemah, karena lewat waktu batas hukumnya dan masih banyak contoh lainnya yang menyebabkan suatu kasus hukum menjadi daluwarsa.

Menurut Hazewinkel, daluwarsa mulai pada hari akibat tindak pidana itu terjadi. Lain dari Pompe yang menganggap tenggang waktu itu sudah mulai pada waktu perbuatannya dilakukan.Pasal 79 KUHP menentukan bahwa secara umum tenggang daluwarsa tersebut dihitung pada hari sesudah dilakukannya perbuatan, kecuali dalam tiga hal :

a. Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan.

b. Mengenai kejahatan dalam Pasal-pasal 328, 329, 330, dan 333 KUHP, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia (Menculik orang, membawa orang ke tempat kerja lain, mencabut orang di bawah umur dari kekuasaan yang sah, memaksa orang).

c. Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a KUHP, adalah dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu telah disampaikan atau diserahkan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan (tindak-tindak pidana yang dalam jabatannya dilakukan oleh pegawai catatan sipil, mengenai daftar-daftar atau register-register)

Dengan adanya lewat waktu, ingatan masyarakat terhadap tindak pidana tertentu telah hilang, dengan adanya lewat waktu ada kemungkinan menghilangnya alat bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu, dan juga untuk memberikan kepastian hukum bagi Tersangka (vide Pasal 80 KUHP). Jangka daluwarsa bisa dihentikan, oleh karena si pelaku mengetahui bahwa perbuatannya sedang dituntut, atau oleh pejabat yang berwenang memberi tahu si pelaku bahwa perbuatannya hendak dituntut. Dengan begitu jangka daluwarsa dimulai dengan jangka waktu baru. Jangka waktu daluarsa juga dapat ditunda, oleh karena adanya suatu masalah hukum yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Dengan adanya penundaan jangka waktu daluwarsa, maka jangka waktu daluarsa yang telah berjalan masih tetap diperhitungkan.

2. Daluwarsa menurut hukum perdata

Menurut ketentuan Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata), lampau waktu atau daluwarsa adalah alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Atas dasar ketentuan pasal tersebut dapat diketahui ada dua macam lampau waktu, yaitu:81

a. Lampau waktu untuk memperoleh hak milik atas suatu benda disebut acqulsitieve verjaring.

b. Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan disebut extinctieve verjaring.

Menurut ketentuan Pasal 1963 KUHPerdata, untuk memperoleh hak milik atas suatu benda berdasar pada daluwarsa (lampau waktu) harus dipenuhi unsur-unsur adanya itikad baik; ada alas hak yang sah; menguasai benda itu terus menerus selama 20 tahun tanpa ada yang menggugat, atau jika tanpa alas hak, menguasai benda itu terus-menerus selama 30 tahun tanpa ada yang menggugat.

Pasal 1967 KUHPerdata menentukan bahwa segala tuntutan, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa, dengan lewat waktu 30 tahun. Sedangkan orang yang menunjukan adanya daluwarsa itu tidak usah menunjukan alas hak dan tidak dapat diajukan terhadapnya tangkisan yang berdasar pada itikad buruk.

Terhadap benda bergerak yang bukan bunga atau piutang yang bukan atas tunjuk (niet aan toonder), siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. Walaupun demikian, jika ada orang kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam jangka waktu tiga tahun terhitung sejak hari hilangnya atau dicurigainya benda itu, dia dapat menuntut kembali bendanya yang hilang atau dicuri itu sebagai miliknya dari tangan siapapun yang menguasainya. Pemegang benda terakhir

81 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia(Bandung: Citra Aditya Bakti,2011), hlm. 287.

dapat menuntut pada orang terakhir yang menyerahkan atau menjual kepadanya suatu ganti kerugian (Pasal 1977 KUHPerdata).

Daluwarsa tidak berjalan atau tertangguh dalam hal-hal seperti tersebut berikut ini:

a. terhadap anak yang belum dewasa, orang dibawah pengampuan; b. terhadap istri selama perkawinan (ketentuan ini tidak berlaku lagi);

c. terhadap piutang yang digantungkan pada suatu syarat selama syarat itu tidak terpenuhi; dan

d. terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan mengenai piutang-piutangnya (baca Pasal 1987-1991 KUHPerdata).

Selain apa yang diterangkan di atas, yaitu lewat waktu sebagai cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda (acquisitieve verjaring) ada juga suatu akibat dari lewatnya waktu, yaitu seorang dapat dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (extinctieve verjaring). Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, setiap orang dibebaskan dari semua penagihan atau tuntutan hukum. Ini berarti, bila seseorang digugat untuk membayar suatu hutang yang sudah lebih dari tiga puluh tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan itu dengan hanya mengajukan bahwa ia selama tiga puluh tahun belum pernah menerima tuntutan atau gugatan itu. Dengan begitu, seorang bezitter yang tidak jujur juga dapat membela dirinya terhadap suatu tuntutan hukum dengan mengajukan lewatnya waktu selama tiga puluh tahun itu, meskipun sudah terang ia tidak akan menjadi pemilik benda yang menjadi perselisihan itu karena ia tidak jujur. Dan karena ia sendiri tidak dapat menjadi

pemilik dari benda tersebut, teranglah ia tidak akan berhak untuk memindahkan benda itu secara sah pada orang lain.82

1) mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

B. Analisis Kasus yang Berkaitan Dengan Gugatan Pembatalan Merek Dagang Terkenal yang Telah Kadaluarsa Jangka Waktunya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

1. Kasus Sengketa Merek Gudang Garam a. Kasus Posisi

Kasus bermula saat PT Gudang Garam Tbk tidak terima Ali Khosin memproduksi rokok Gudang Baru lewat perusahaan PR Jaya Makmur. Ali Khosin memproduksi rokok dengan nama yang mirip karena telah mengantongi Nomor Registrasi IDM000032226 tertanggal 21 Maret 2005 dan Nomor IDM000042757 tertanggal 14 Juli 2005 untuk jenis barang di kelas 34.

PT. Gudang Garam kemudian mengajukan gugatan ke PN Surabaya pada Mei 2013. Setelah bersidang selama 4 bulan lamanya, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang diketuai Syarifuddin Ainor Rafiek dengan anggota Unggul Ahmadi dan Suhartoyo mengabulkan permohonan Gudang Garam. Adapun isi putusan Nomor 04/HKI-MEREK/2013/PNNIAGA. SBY., tanggal 12 September 2013 adalah:

2) menyatakan bahwa merek Gudang Garam milik Penggugat adalah merek terkenal;

3) menyatakan merek Gudang Baru + Lukisan atas nama milik Tergugat yang terdaftar dalam Nomor register IDM000032226 dengan tanggal pendaftaran

21 Maret 2005 dan Nomor register IDM000042757 tanggal pendaftaran tanggal 14 Juli 2005 untuk jenis barang di kelas 34 mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Gudang Garam milik Penggugat Nomor register IDM000384516, IDM00034489, IDM000344493 dan IDM000014007;

4) menyatakan Tergugat terbukti telah mendaftarkan merek Gudang Baru +Lukisan dengan itikad tidak baik karena ingin membonceng ketenaran merek Gudang Garam milik Penggugat yang sudah terkenal;

5) membatalkan pendaftaran merek Gudang Baru + Lukisan milik Tergugat Nomor register DM000032226 tanggal pendaftaran 21 Maret 2005 dan Nomor register IDM000042757 tanggal pendaftaran 14 Juli 2005 untuk jenis barang kelas 34 dari daftar Umum Merek di Diretorat Jenderal HKI dengan segala akibat hukumnya.

6) memerintahkan Turut tergugat untuk segera mencoret pendaftaran Merek Gudang Baru + Lukisan atas nama Tergugat yang terdaftar dengan Nomor register DM000032226 tanggal pendaftaran 21 Maret 2005dan Nomor register IDM000042757 tanggal pendaftaran 14 Juli 2005 untuk jenis barang kelas 34 dari daftar Umum Merek di Diretorat Jenderal HKI;

Berdasarkan putusan tersebut H. Ali Khosin SE, selaku PR Jaya Makmur kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, sehingga keluar Putusan MA Nomor 162 K/Pdt.Sus-HKI/2014. Alasan-alasan yang dijadikan Pemohon kasasi untuk mengajukan kasasinya adalah sebagai berikut :

1) Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum mengenai ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001

a) pemohon Kasasi/Tergugat dalam Jawaban terhadap gugatan Termohon Kasasi/Penggugat telah mengajukan eksepsi mengenai gugatan pembatalan Merek yang diajukan Termohon Kasasi/Penggugat telah kadaluarsa (kahar), karena gugatan pembatalan Merek menurut hukum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001;

b) terhadap eksepsi berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001 yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat ini, Judex Facti dalam pertimbangan hukum Putusan a quo pada halaman 82-83 menyatakan yang tertulis dan berbunyi: “Bahwa setelah majelis hakim mempelajari dan mencermati eksepsi ke-3 (tiga) tersebut, telah nyata bahwa mengenai kadaluarsa atau tidak mengenai gugatan pembuatan merek tersebut sudah memasuki dalam pokok perkara, oleh karena eksepsi tersebut mengaitkan dengan fundamental petendi angka 2 dan angka 7 yang memerlukan pembuktian, oleh sebab itu eksepsi ini akan dipertimbangkan bersama-sama pokok perkara, sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa eksepsi ke 3 tersebut juga harus ditolak;” (huruf tebal dan garis bawah dariPemohon); c) Judex Facti dalam pertimbangan hukum atas Pokok Perkara dalam

memuat pertimbangan hukum terhadap Eksepsi berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU Merek Tahun 2001 yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat, padahal senyatanya Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya Putusan a quo pada halaman 82-83 menyatakan “eksepsi ini akan dipertimbangkan bersama-samapokok perkara”;

d) dengan tidak dipertimbangkannya ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001, dengan demikian senyatanya Putusan Perkara Nomor 04/HKI–Merek/ 2013/ PN.Niaga Sby, tanggal 12 September 2013, belum memutus pokok perkara karena dalam pertimbangan dalam tentang eksepsi dipertimbangakan bahwa ketentuan Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001 mengenai Kadaluarsa menurut Pengadilan dalam Putusantersebut sudah masuk dalam perkara pokok;

e) Judex Facti telah nyata-nyata tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) eksepsi berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001 yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Tergugat dalam pemeriksaan pokok perkara, karenanya Judex Facti telah kurang teliti memeriksa perkara baik mengenai soal penerapan dan penafsiran hukum maupun fakta-fakta kejadian di muka persidangan. Dengan demikian, berarti Judex Facti menurut hukum belum pernah memutus yang menyangkut pokok perkara mengenai Pasal 69 ayat (1) UU Merek 2001 dalam pertimbangan hukumnya Putusan a quo,

sehingga terhadap perkara a quo terkualifikasi hukum sebagai dianggap tidak pernah ada putusan;

f) segala putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, namun kenyataannya lain, yang mana Judex Facti tidak cukup pertimbangan atau kurang cukup mempertimbangkan alasan dan bukti yang termuat dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Judex Facti;

2) Judex Facti melakukan khekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan hukum dalam membuat putusan a quo karenanya jelas-jelas melanggar dan bertentangan dengan:

a) Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, yang sekarang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan: segala putusan Pengadilan harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan;

b) Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI, yaitu :

(3) Putusan MA RI Nomor 638 K/Sip/1969 tanggal 21-7-1970, menegaskan: putusan yang tidak lengkap/kurang cukup dipertimbangkan, merupakan alasan untuk kasasi dan harusdibatalkan;

(2) Putusan MA RI Nomor 1860 K/Pdt/1984 tanggal 14 -10-1985, menegaskan: putusan yang dijatuhkan dianggap tidak cukup

pertimbangannya, karena tidak mempertimbangkan secaraseksama dalam persidangan;

(3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tertanggal 31 Mei 1963, Nomor 01 Tahun 1963 Bagian B, maka tentunya Majelis Hakim Agung dalam Putusan Kasasi a quo harus pula mempertimbangkan apa yang menjadi dasar alasan Judex Facti Pengadilan Tinggi tersebutberpendapat demikian itu.

Dengan demikian, Judex Facti yang tidak cukup pertimbanganatau kurang cukup mempertimbangkan apa yang menjadi dasar alasanPutusan a quo mengakibatkan adanya kesalahan dalam penerapanhukumnya dan telah jelas-jelas merupakan kekhilafan Judex Facti atausuatu kekeliruan yang nyata. Karena itu, cukup alasan dan dasarhukumnya bagi Pemohon Kasasi untuk mengajukan permohonanKasasi agar dapatnya Putusan Nomor 04/HKI–Merek/ 2013/PN NiagaSby, tanggal 12 September 2013, tersebut dapat dibatalkan;

3) Gugatan Termohon Kasasi/Penggugat harusnya diajukan berdasarkan Pasal 69 ayat (1) dan bukannya Pasal 69 ayat (2) UU Merek 2001

a) jika Judex Facti dalam Putusan a quo telah cukup mempertimbangkan dalam pemeriksaan pokok perkara mengenai

Dokumen terkait