• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal Dalam Perjanjian Yang

BAB III PENDEKATAN RULE OF REASON TERHADAP PEMBATASAN

C. Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal Dalam Perjanjian Yang

Seperti dikatakan pada sub-bab sebelumnya, Perjanjian yang dilarang diatur dalam Bab III Pasal 4 - 16 UU No.5 Tahun 1999. Selain pengertian “perjanjian” menurut UU No.5 Tahun 1999 Pasal 1 angka 7 (seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya), pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

98

Ibid, hlm.210.

99

Susanti Adi Nugroho, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Litbang MA, 2001), hlm.52-53.

bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan perjanjian atau kontrak itu adalah,“an agreement between two or more persons which creates an obligations to do or not to do a particular thing.” 100

Berdasarkan pengertian dari Pasal 1 angka 7 UU No.5 Tahun 1999 yang sudah dijelaskan sebelumnya, tersebut, dapat dirumuskan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi UU No.5 Tahun 1999 meliputi :101

Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;

1. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian

2. Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis. 3. Tidak menyebutkan tujuan perjanjian.

Menurut UU No.5 Tahun 1999, subjek hukum didalam perjanjian tersebut adalah “pelaku usaha”. Pasal 1 angka 5 UU No.5 Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan dengan ”pelaku usaha” adalah

“setiap orang perseorangan atau badan usaha , baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”102

Berdasarkan dengan hal demikian, perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum didalam perjanjian bisa berupa orang perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, Badan usaha dimaksud adalah badan

100

Hermansyah, Op.Cit., hlm.24.

101

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.37.

102

usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan UU No.5 Tahun 1999.103

Hal yang terpenting dari perjanjian dalam hukum antimonopoli adalah ikatan. Pihak yang terikat tidak harus melibatkan semua pihak, jika hanya satu pihak yang terikat juga sudah cukup. Pertanyaanya, kapan suatu ikatan mengikat secara hukum. Dalam hal ini dibagi dalam dua hal, yakni:104

1. Ikatan hukum

Suatu pihak terikat dengan hukum jika perjanjian yang dilakukan mengakibatkan kewajiban hukum. Ikatan hukum juga diakibatkan oleh kewajiban pembayaran ganti rugi satu pihak kepada pihak lain apabila melanggar ketentuan perjanjian. Mengingat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berwenang membatalkan perjanjian, maka perjanjian yang menghambat persaingan usaha tidak mengikat menurut hukum karena dapat dibatalkan. Namun, hal ini bukan berarti suatu perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 7 tidak mengikat (bagi pelaku usaha). Ikatan hukum berarti bahwa suatu kewajiban tertentu dilindungi hukum jika tidak melanggar UU No.5 Tahun 1999.

2. Ikatan Ekonomi

Selain ikatan hukum, Pasal 1 ayat 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 juga mencakup ikatan ekonomi. Ikatan Ekonomi dihasilkan oleh suatu perjanjian jika ada standar perilaku tertentu yng harus ditaati bukan karena persyaratan hukum,

103 Ibid.

104

tetapi dalam rangka mencegah kerugian ekonomi. Salah satu contoh adalah menentukan harga dibawah harga pasar. Pihak yang diikutsertakan dalam perjanjian tersebut biasanya menuntut harga yang lebih rendah agar tidak mengalami kerugian dalam persaingan usaha. Jadi, ikatan ekonomi dalam hal ini adalah, pihak yang ikut dalam ikatan perjanjian tersebut akan beruntung jika mengikuti strategi yang disepakati maka akan mengalami kerugian. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pelaku usaha harus “ikut arus” dengan “permainan” yang telah disepakati, jika tidak maka ia akan mengalami kerugian atau “tergilas”.

Mencermati pengertian diatas dapat diketahui, perjanjian yang dilarang pada dasarnya adalah suatu bentuk perbuatan mengikatkan diri atau kolusi, baik formal (tertulis) maupun informal (tidak tertulis), diantara pelaku usaha yang seharusnya bersaing sehingga terbentuk semacam koordinasi yang mengatur harga, kuota, dan/atau alokasi pasar. Kolusi integrasi horizontal yang terbentuk ini merugikan masyarakat karena persaingan di antara pelaku usaha menjadi hilang atau melemah, sehingga dapat menyebabkan harga yang harus dibayar pelanggan menjadi tinggi.105

Perjanjian yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam UU No.5 Tahun 1999 yang terjadi atau mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, antara lain meliputi :106

105

Suhasril, Op.Cit, hlm.116.

106

1. Perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan bersama-sama melakukan penguasaan suatu produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa (oligopoli).

2. Perjanjian bersifat menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa dengan pelaku usaha pesaingnya (penetapan harga).

3. Perjanjian untuk melakukan pembagian wilayah pemasaran alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa dengan pelaku usaha pesaingnya (pembagian wilayah).

4. Perjanjian melakukan pemboikotan, baik untuk tujuan pasar dalam maupun luar negeri dengan pelaku usaha pesaingnya (pemboikotan);

5. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur proses produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa dengan pelaku usaha pesaingnya (kartel).

6. Perjanjian dengan maksud membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, yang bertujuan mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa (trust).

7. Perjanjian dengan maksud secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga barang dan/atau jasa (oligopsoni).

8. Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu, yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suatu ragkaian langsung maupun tidak langsung (integrasi vertikal).

9. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan amemasok atau tidak memasok kembali, harus bersedia membeli, mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu (perjanjian tertutup).

10.Perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat klausul akan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat.

Pada hakekatnya terdapat dua jenis pembatasan dalam perdagangan, yaitu pembatasan horizontal dan pembatasan vertikal. Pembatasan perdagangan seara horisontal diartikan secara luas diartikan sebagai suatu perjanjian yang bersifat membatasi dan praktek kerjasama, termasuk perjanjian yang secara langsung atau tidak langsung menetapkan harga atau persyaratan lainnya, seperti perjanjian yang menetapkan pengawasan atas produksi dan distribusi, alokasi (pembagian) kuota atau wilayah atau pertukaran informasi/data mengenai pasar, dan perjanjian menetapkan kerjasama dalam penjualan maupun pembelian secara terorganisasi, atau menciptakan hambatan masuk pasar (entry barriers).107

Hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku usaha dari tingkat (level) yang berbeda dalam rangkaian produksi dan distribusi.108Hambatan vertikal pada umumnya dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak distributor atau pengecer barang yang dihasilkan produsen tersebut.

107

https://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/kajian-yuridis-terhadap-perjanjian- penetapan-harga-berdasarkan-uu-no-5-tahun-1999-tentang-larangan-praktek-monopoli-dan- persaingan-usaha-tidak-sehat ( diakses tanggal 23 Juni 2015).

108 Ibid.

Disamping menggunakan harga, perdagangan secara vertikal juga bisa dibatasi oleh perjanjian-perjanjian vertikal yang menggunakan instrumen selain harga (non-price instruments). Setidaknya ada dua instrumen non-harga yang bisa dipakai untuk membatasi perdagangan serta sekaligus menghindari persaingan.109 1. Hambatan berdasarkan wilayah (teritorial restraints)

Hambatan berdasarkan wilayah bisa terjadi apabila produsen dari suatu produk membuat perjanjian dengan distributor atau pengecer tentang wilayah usaha mereka masing-masing.

Produsen minuman ringan (soft drink) merupakan salah satu perusahaan yang sering melakukan teritorial restraints terhadap wilayah usaha distributor atau pengecernya. Perusahaan raksasa Coca-Cola dan Pepsi Cola misalnya, lazim membuat batasan tegas mengenai wilayah usaha setiap perusahaan distributor yang membotolkan (bottling) minumannya. Perusahaan-perusahaan pembotolan itu biasanya sudah ditentukan wilayah distribusinya, terutama untuk menghindari persaingan antar distributor.

2. Hambatan berdasarkan pengguna produk (customer restrictions)

Didalam hubungan dengan distributor atau pengecer produknya produsen bisa membuat batasan tentang segmen konsumen mana saja yang bisa dijadikan target penjualan oleh distributor atau pengecernya itu. Langkah ini umumnya dilakukan untuk mencegah supaya distributor atau pengecer tidak menyaingi produsen yang sudah mempunyai segmen konsumen besar tersendiri.

109

Analisis atas pembatasan perdagangan secara vertikal terdiri atas dua kategori. pertama, adalah meliputi usaha-usaha penjual untuk membatasi pembelian yang dilakukan oleh pembeli atas penjualan produk pesaingnya. Contoh jenis hambatan ini terlihat dari tindakan tying arrangement, di mana seorang penjual hanya akan menjual suatu jenis produk jika pembeli bersedia membeli jenis produk lainnya dari penjual yang sama. Kemungkinan yang lain adalah penjual hanya menjual produknya dengan suatu persyaratan, bahwa pembeli harus membeli seluruh komponen yang dibutuhkan kepada penjual tersebut. Pembatasan seperti ini mengakibatkan persaingan antar brands atau

interbrand competition. Kedua, adalah perjanjian yang dilakukan oleh penjual

untuk mengontrol faktor-faktor yang berkaitan dengan produk yang akan dijual kembali. Sebagai contoh, misalnya pabrikan hanya mau menjual kepada pengecer yang menyetujui untuk menjual kembali produknya dengan harga tertentu. Dalam hal ini, pabrikan kadangkala juga menentukan kepada jenis pelanggan mana barang tersebut dapat dijual, bahkan menetapkan lokasi penjualan produknya. Akibat langsung dari kategori (jenis) hambatan ini adalah persaingan antara para penjual dalam produk sejenis atau disebut juga intrabrand competition.110

Dari kategori diatas dapat dilihat bahwa perjanjian dilarang dalam hal penetapan harga jual kembali (resale price maintenance) mengakibatkan terjadinya pembatasan perdagangan secara vertikal. Dan dari perjanjian penetapan harga jual kembali ini akan menjadi awal hubungannya dengan terjadinya persaingan intrabrand yang akan dibahas lebih lanjut pada bab berikutnya.

110

D. Pendekatan Rule of Reason Terhadap Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

Hukum Persaingan mengenal beberapa konsep dalam mengenali hambatan

(restraint) yang terjadi dalam suatu proses persaingan. Hambatan yang terjadi ada

yang mutlak bersifat menghambat persaingan dan ada yang mempunyai pertimbangan dan alasan ekonomi. Sehingga dengan petimbangan ekonomi, sosial dan keadilan maka dapat diputuskan bahwa tindakan tersebut dapat dianggap atau tidak menciptakan hambatan dalam proses persaingan. 111

Perbedaan antara hambatan yang sifatnya mutlak atau tidak menjadi faktor penentu yang penting karena prinsip ini menentukan konsep pendekatan “rule of

reason” dan “perse rule” pada saat menentukan tindakan yang sifatnya anti

persaingan atau tidak. Dengan kata lain, paradigma hukum persaingan terfokus pada hal ini. Bila hambatan itu mutlak maka pertimbangannya adalah rule of

reason. Bila bersifat tambahan maka hanya akan dapat diputuskan berdasarkan

pertimbangan adalah perse illegal, tetapi bila bersifat tambahan maka hanya akan dapat diputuskan berdasarkan pertimbangan pembenaran atau “reasonableness” alasannya. Dengan demikian penting untuk diketahui mengenai perbedaan antara hambatan yang sebenarnya maupun yang sifatnya artifisial karena hambatan mutlakpun belum tentu bersifat perse illegal.112

Pendekatan per se disbut juga per se illegal, per se rules, per se doctrine

dan per se violation. Larangan ini bersifat tegas dan mutlak disebabkan perilaku

111

Ningrum Natasya Sirait, Op.Cit., hlm.72.

112 Ibid.

yang sangat mungkin merusak persaingan sehingga tidak perlu lagi melakukan pembuktian akibat perbuatan tersebut. Tegasnya, pendekatan per se melihat perilaku atau tindakan yang dilakukan adalah bertentangan dengan hukum.113.

Melihat dari UU No.5 Tahun 1999, pendekatan per se biasanya digunakan pada pasal yang menyatakan dengan kalimat “dilarang” tanpa kalimat tambahan “ … yang dapat mengakibatkan …” atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana yang diisyaratkan dalam pendekatan rule of reason.114

Pendekatan rule of reason adalah kebalikan per se illegal. Dalam pendekatan ini hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus. Karenanya, perbuatan yang dituduhkan tersebut harus diteliti lebih dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan secara tidak patut. Untuk itu, diisyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukkan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan yang telah menghambat persaingan atau menyebabkan kerugian.115

Teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan.116 Dalam melakukan pembuktian harus melihat seberapa jauh tindakan yang merupakan antipersaingan tersebut berakibat kepada pengekangan persaingan di

113

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit, hlm.72.

114 Ibid, hlm.74. 115 Ibid, hlm.78. 116 Ibid.

pasar. Dalam teori rule of reason sebuah tindakan tidak secara otomatis dilarang, meskipun perbuatan yang dituduhkan tersebut kenyataanya terbukti telah dilakukan. Dengan demikian, pendekatan ini memungkinan pengadilan untuk melakukan interprestasi terhadap undang-undang dan juga interprestasi pasar.117

Alasan (reason) yang sah untuk melarang suatu perjanjian atau kegiatan berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tergantung dari tujuan hukum persaingan yang berlaku. Apabila tujuannya adalah tercapainya efisiensi (ekonomi) seperti di Amerika Serikat, maka praktik bisnisnya misalnya integrasi vertikal tidak akan dilarang apabila integrasi tersebut terbukti menghasilkan produk yang lebih efisien ketimbang tidak terintegrasi. Demikian juga apabila hukum persaingan yang berlaku di suatu negara mempunyai tujuan non-ekonomi, maka alasan (reason) non-ekonomi dapat digunakan dalam melarang suatu kegiatan usaha. Alasan nonekonomi tentu saja berbeda-beda antara satu negara dengan negara lain tergantung pada tujuan pembangunan ekonominya.118

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999, rule of reason ini dapat dilihat dari kalimat “mengakibatkan atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan tidak sehat atau juga dengan patut diduga”. Kalimat ini menyiratkan bahwa perlu penelitian yang mendalam tentang suatu perjanjian atau kegiatan apakah berdampak terjadinya praktik monopoli. Hal ini dapat dilihat dalam sebaran pasal-pasal UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai berikut.119

1. … sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum (Pasal 1 ayat 2)

117

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.78.

118Syamsul Ma’arif,

Op.Cit., hlm.162.

119

2. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4)

3. … sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 7, 21, 22, 23)

4. … sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 8)

5. … sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 9)

6. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal11, 12, 13, 16, 17, 19)

7. … yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/ atau merugikan masyarakat(Pasal 14)

8. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 18, 20, 26)

9. … yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 28 ayat 1)

Sebelumnya telah dikatakan bahwa pembatasan perdagangan secara vertikal dapat dilakukan dengan perjanjian penetapan harga jual kembali (resale

price maintenance). Penetapan harga jual kembali tersebut diatur dalam Pasal 8

UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu

“pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Pada hal penetapan harga jual kembali (resale price maintenance), perjanjian ini sungguh menarik, sehingga terjadi perbedaan di kalangan praktisi maupun akademisi untk menerapkan teori “ per se illegal” atau teori ”rule of

reason”. Karena menyangkut teori “Supply and demand”. Namun dalam Katalog

yang dimuat KPPU menyatakan bahwa Substansi pengaturan terhadap praktik “penetapan harga jual kembali” secara “rule of reason”. Artinya legal atau

ilegalnya praktik penetapan harga jual kembali harus ditentukan oleh suatu

pembuktian apakah praktik tersebut mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau tidak.120

Maka dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa pembatasan perdagangan secara vertikal (dalam hal ini menyangkut penetapan harga jual kembali) tidak bisa dikatakan secara mutlak merupakan suatu pelanggaran ataupun suatu tindakan persaingan tidak sehat. Karena pembatasan ini termasuk ke dalam pendekatan rule of reason.

Bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal disebut sebagai suatu tindakan yang menggunakan pendekatan rule of reason dilihat pada tujuan dari pembatasan itu sendiri. Apakah melanggar unsur-unsur persaingan tidak sehat atau tidak. (unsur-unsur persaingan tidak sehat dapat dilihat dari Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu dengan cara tidak jujur, melawan hukum, atau menghambat persaingan usaha). Sebagai contoh, apabila perdagangan itu dilakukan guna melindungi produktivitas produsen atau melindungi sesama

retailer yang ada dibawahnya dari terjadinya persaingan antar retailer sesama

120

merek atau sering disebut dengan persaingan intrabrand ,maka pembatasan boleh dilakukan karena tidak melanggar unsur-unsur persaingan tidak sehat. Sebaliknya jika pembatasan perdagangan secara vertikal dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri seperti penetapan harga yang dilakukan produsen dengan tujuan untuk mendapat keuntungan maksimal pada saat barang sampai kepada konsumen tetapi mengakibatkan keuntungan yang didapat oleh retailer menjadi sangat sedikit melanggar unsur dari persaingan tidak sehat (menghambat persaingan usaha). Hal ini yang menunjukkan bahwa dalam mengkaji kasus pembatasan perdagangan secara vertikal harus dilihat dulu alasan dari pembatasan tersebut (rule of reason).

BAB IV

PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND) DIKAITKAN

DENGAN PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

A. Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dalam Praktek Dunia Usaha Berdasarkan terminologi pasar persaingan sempurna, ketika terjadi transaksi antara penjual dan pembeli , seluruh hak atas suatu barang dan/atau jasa yang dijual akan berpindah ke tangan pembeli. Pembeli kemudian akan memiliki kekuasaan penuh untuk menjual kembali barang tersebut dengan harga berapapun dan kepada siapapun.121

Namun jika diihat dari pengertian konsumen, maka pernyataan diatas tidak bisa dinyatakan sepenuhnya benar. Hal ini dikatakan karena pembeli sering disamakan dengan konsumen. Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka pengertian konsumen terbatas pada pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa untuk keperluannya, baik untuk keperluan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak

121

Pedoman Pelaksanaan Pasal 8 (Penetapan Harga Jual Kembali) UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hlm 8

untuk diperdagangkan.122 Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemukakan unsur -unsur defenisi konsumen:123

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah ”orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

2. Pemakai

Kata ”pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir

(ultimate consume).

3. Barang dan/atau jasa

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap

122

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.45.

123

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (Jakarta: Diadit Media, 2001), hlm..13 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hlm.27.

layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang/jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di era perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya perusahaan pengembang

(developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu

seperti futures trading dimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan

.

6. Barang dan jasa itu tidak dapat diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggana (keperluan non- komersial).

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si konsumen adalah pembeli dari barang dan/atau jasa tersebut. 124Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar masalah

124

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan

konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari

Dokumen terkait