• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaidah Hukum dan Pembedaan Hukum

B. PEMBEDAAN HUKUM

2. Pembedaan lain

a. Ius Constitutum dan ius constituendum

Pada ensiklopedi umum dijelaskan bahwa ius constitutum merupakan hukum yang berlaku dalam suatu negara pada suatu saat. Ius consitutum juga merupakan hukum positif dari suatu negara. Sedangkan ius constituendum,

adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum menjadi kaidah dalam bentuk undang-undang atau peristiwa lain.

Sudiman Kartohadiprodjo berpendapat bahwa hukum positif disebut dengan nama asing ius constitutum, sedangkan ius constituendum merupakan lawannya, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang kita cita-citakan supaya memberi akibat peristiwa-peristiwa dalam suatu pergaulan hidup yang tertentu.

Perbedaan antara ius constitutum dan ius constituendum terletak pada faktor ruang waktu, yaitu masa kini dan masa yang akan datang. Dalam hal ini, hukum diartikan sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif, karena setelah diundangkan maka ius constituendum menjadi ius constitutum.

Dengan demikian, ius constitutum kini, pada masa lampaunya merupakan suatu ius cosntituendum. Apabila pada saat ini suatu ius constitutum memiliki kekuatan hukum, maka sebagai ius constituendum mempunyai nilai sejarah. Proses perubahan tersebut dapat terjadi dengan pelbagai cara, yaitu:

a. Digantinya suatu undang-undang dengan undang-undang baru (undang-undang baru pada mulanya sebagai rancangan merupakan ius constituendum).

b. Perubahan undang-undang dengan memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru tersebut pada mulanya merupakan ius constituendum).

c. Penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang terjadi pada masa kini mungkin tidak sama dengan penafsiran pada masa lampau.

Penafsiran yang ada pada masa kini, dulunya merupakan suatu penafsiran yang ius constituendum.

d. Perkembangan doktrin atau pendapat-pendapat kalangan hukum yang terkemuka di bidang teori hukum.

Perbedaan antara ius constitutum dan ius constutuendum merupakan suatu abstraksi dari fakta, bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan suatu proses perkembangan artinya suatu gejala yang ada sekarang akan hilang pada masa mendatang karena digantikan (atau dilanjutkan) oleh gejala yang semula dicita-citakan.

b. Hukum alam dan hukum positif

Hukum Alam

Sejarah perkembangan ajaran hukum alam berintikan pada usaha atau kegiatan manusia untuk mencari keadilan yang mutlak. Selama lebih kurang 2500 tahun, ajaran hukum alam timbul dan tenggelam sebagai suatu usaha ideal yang lebih tinggi tingkatannya dari hukum positif.

Berbagai kepentingan telah menggunakan hukum alam untuk tujuan masing-masing. Beberapa di antaranya adalah:

1) Ajaran hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah sistem hukum Romawi kuno, menjadi sistem hukum kosmopolitan.

2) Ajaran hukum alam telah dipergunakan sebagai sarana, dalam pertentangan antara pihak Gereja dengan kaisar-kaisar Jerman pada abad menengah.

3) Validitas hukum internasional telah ditanamkan, atas dasar ajaran hukum alam.

4) Ajaran hukum alam telah dipergunakan dalam memperjuangkan kebebasan individu dalam perlawanannya terhadap absolutisme.

5) Ajaran hukum alam telah dipergunakan oleh hakim-hakim Amerika Serikat, menahan usaha-usaha lembaga legislatif untuk mengubah dan memperketat kebebasan individu, dengan cara menafsirkan konstitusi.

Dalam perkembangannya, hukum alam menjadi bagian yang esensial dari hierarki nilai-nilai hukum. Perwujudannya nampak:

1) Sebagai dasar tertib internasional, ajaran-ajaran hukum alam telah mempunyai ilmu hukum dan filsafat Romawi, tertib hukum masyarakat Barat pada abad menengah, dan juga sistem hukum internasional dari Grotius.

2) Melalui teori-teori yang dikembangkan oleh Locke dan Paine, ajaran hukum alam menjadi dasar falsafah individu dari Konstitusi Amerika Serikat dan negara-negara lainnya.

Usaha-usaha mempengaruhi praktik peradilan dengan ajaran-ajaran hukum alam tidaklah terlalu berhasil. Tetapi pengaruh hukum alam menjadi lebih berpengaruh secara tidak langsung terhadap para hakim dan pembentuk hukum, yang ternyata cukup besar.

Ajaran hukum alam ternyata membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan hukum internasional. Selain itu, hukum alam juga

berpengaruh pada perubahan hukum publik ke arah yang lebih demokratis dan terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum.

Hukum Positif

Black’s Law Dictionary (Henry Campbell Black’s: 1968) menyebutkan arti dari hukum positif (positive law) adalah law actually and specifically enacted or adopted by proper authority for the government of an organized jurally society.

Suatu kaidah hukum yang berlaku, sebenarnya merumuskan suatu hubungan (yang pantas) secara fakta hukum dengan akibat hukum yang merupakan abstraksi dari keputusan-keputusan (JHA Logemann: 1954).

Keputusan-keputusan yang konkret sebagai fakta sosial yang mengatur hubungan-hubungan, senantiasa terjadi dalam suatu pergaulan hidup.

Kejadian-kejadian tersebut selalu terjadi pada masyarakat-masyarakat tertentu, misalnya apa yang merupakan hubungan hukum di Indonesia mungkin bukan merupakan hubungan hukum di Malaysia atau negara-negara lain. Sejalan dengan tertib pergaulan hidup yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai, maka hukum positif yang merupakan abstraksi dari pergaulan hidup, juga merupakan keseluruhan terangkai yang dinamakan tertib hukum.

Hukum positif selalu dikaitkan dengan tempat tertentu dan waktu tertentu (hier en nu = di sini dan kini) atau daar en toen (di sana dan dahulu).

Waktu tertentu artinya proses kejadian di dalam kenyataan diambil sebagian pada jangka waktu tertentu, untuk kemudian diabstraksikan sebagai tertib hukum yang berlaku pada saat itu. Abstraksi kondisi tertentu pada waktu tertentu tersebut tidak berarti hukum itu statis, karena bisa merupakan suatu proyeksi ke masa depan.

Kaitan hukum positif dengan tempat tertentu menunjukkan bahwa hukum positif berlaku dalam suatu pergaulan hidup tertentu. Berlakunya pada suatu pergaulan tertentu tidak merupakan suatu batasan bahwa hukum menjadi statis, karena dalam pergaulan tersebut terdiri dari bermacam-macam kelompok sosial yang juga berarti terdiri dari bermacam-macam tertib hukum, sehingga kelompok sosial tersebut dinamakan sebagai masyarakat hukum.

Perbedaan antara hukum alam dan hukum positif terletak pada ruang lingkup dari hukum. Pada ajaran hukum alam, terdapat prinsip-prinsip yang

(ingin) diberlakukan secara universal artinya (ingin) diberlakukan di manapun dan pada waktu apapun juga. Pada hukum positif, pemberlakuannya pada tempat dan waktu tertentu karena masyarakat selalu berubah baik menurut waktu maupun tempat. Dari kedua hukum tersebut, hukum alam dan hukum positif, maka terdapat tiga wawasan, yaitu:

1) Hukum alam sebagai sarana koreksi bagi hukum positif (hukum alam berhadapan dengan hukum positif).

2) Hukum alam menjadi inti hukum positif seperti hukum internasional (hukum alam terjalin atau menjiwai hukum positif)

3) Hukum alam sebagai pembenaran hak asasi (kebebasan dan kesamaan) manusia.

c. Hukum imperatif dan hukum fakultatif

Pada struktur kaidah hukum dikenal isi dan sifat kaidah hukum. Isi kaidah mencakup suruhan, larangan dan kebolehan sedangkan dari sudut sifat dikenal pembedaan antara hukum imperatif (hukum memaksa = idwingend recht) dan fakultatif (hukum mengatur atau hukum pelengkap = regelend recht atau aanvullend recht). Utrecht (Utrecht: 1966) menyebutkan, bahwa pembedaan hukum imperatif dan hukum fakultatif terletak pada perbedaan kekuatan sanksinya. Pembedaan yang lain menyebutkan bahwa hukum imperatif harus ditaati secara mutlak sedangkan hukum fakultatif dapat dikesampingkan.

Scholten berpendapat bahwa ciri hukum pelengkap adalah pembentuk undang-undang hanya melengkapi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada, terutama pada pengaturan hubungan-hubungan hukum. Pembentuk undang-undang tidak selalu mengatur secara lengkap pelaksanaan suatu undang-undang dan menyerahkan penggunaan dan penerapannya pada pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum. Hal tersebut oleh Scholten disebut sebagai hukum dispositif.

Pada hukum fakultatif, pembentuk undang-undang juga memberikan perintah seperti halnya hukum imperatif, tetapi sifat perintah tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada perintah yang ditetapkan hanya terbatas pada petunjuk-petunjuk. Perintah petunjuk tersebut ditujukan langsung kepada penegak hukum, sedangkan pada hukum imperatif, perintah ditujukan langsung pada penegak hukum dan kepada pribadi pencari keadilan.

Pada umumnya, hukum imperatif dihubungkan dengan hukum publik, sedangkan hukum fakultatif dihubungkan dengan hukum perdata. Biasanya hukum publik mengatur hubungan antara pribadi dengan penguasa dan mengatur kepentingan umum, sedangkan hukum perdata mengatur hubungan antarmasyarakat.

Pada beberapa hukum positif, tetap terdapat pengaturan hukum perdata yang imperatif. Hal tersebut disebabkan oleh:

1) Pembentuk undang-undang merasa perlu melindungi pribadi-pribadi yang oleh karena kurang mampu atau tidak dapat dipertanggung-jawabkan tindakannya, yang dapat berdampak merugikan dirinya sendiri.

2) Pembentuk undang-undang menganggap perlu melindungi pihak-pihak yang secara ekonomis lemah.

3) Dalam hal border case, terdapat aspek publik dan perdata secara bersamaan.

4) Kumulatif terhadap pribadi yang kurang mampu, melindungi pihak yang secara ekonomi lemah dan border case.

5) Terdapat syarat-syarat yang menyangkut kemampuan-kemampuan di bidang hukum sebagai kriteria perikelakuan yang sah dan mempunyai akibat hukum.

d. Hukum substantif dan hukum ajektif

Hukum substantif atau hukum materiil dan hukum ajektif atau hukum formal dirumuskan sebagai berikut.

”Substantive law is that part of law which creates, delines, and regulated right ... Adjective law is that part of the law witch provides a method for enforcing or maintaining rights, or obtaining redress for their invasion. (Henry Campbell Black: 1968).

Dari rumusan tersebut intinya adalah pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum. Di dalam hukum substantif hal tersebut dirumuskan, sedangkan hukum ajektif memberikan pedoman bagaimana menegakkannya atau mempertahankannya di dalam praktik (termasuk bagaimana mengatasi pelanggarannya terhadap hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut).

Lemaire berpendapat bahwa hukum materiil mengatur hubungan antar manusia (misalnya perjanjian-perjanjian yang harus dilaksanakan). Apabila

aturan-aturan semacam itu dilanggar, harus terjadi sesuatu yaitu hukum materiil harus ditegakkan dan hal itu terjadi di dalam suatu acara. Cara tersebut diatur dan aturan-aturannya disebut hukum formal. Hukum formal adalah hukum acara: hukum perdata, hukum acara pidana, hukum acara peradilan tata usaha negara, hukum acara perdata peradilan agama dan hukum acara peradilan militer.

Pembedaan hukum materiil dengan hukum formal didasarkan pada isi struktur tata hukum, yang memungkinkan dikelompok-kelompokkan, seperti hukum publik dan hukum perdata.

e. Hukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis hukum tidak tertulis

Hukum tidak tertulis (ongeschereven recht) merupakan sinonim dari hukum kebiasaan (gewonnte recht), yang di Indonesia juga disebut dengan nama hukum adat. (adat berarti kebiasaan, yakni perbuatan yang diulang-ulang dengan cara atau bentuk yang sama). Hukum tertulis merupakan bentuk hukum tertua.

Dari segi bahasa, terdapat kesan bahwa ada persamaan antara kebiasaan dengan hukum tidak tertulis (= hukum kebiasaan), tetapi ada suatu hal esensial yang membedakannya. Pada hukum tidak tertulis didukung oleh teori-teori tentang kesadaran hukum (rechtsbewustzijn). Teori-teori tersebut bersumber pada mazhab sejarah terutama dari F.C. von Savigny (Soerjono Soekanto: 1979), yaitu hukum tidak tertulis merupakan bentuk hukum tertua sehingga kebiasaan bukanlah merupakan sumber hukum, akan tetapi merupakan suatu bentuk pengenal dari hukum positif.

Ehrlich juga berpendapat bahwa harus dibedakan antara kaidah-kaidah pergaulan hidup yang bersifat umum dan dikenal, dengan kaidah-kaidah hukum yang didasarkan pada kesadaran hukum. Ehrlich termasuk sarjana yang bertitik tolak dari kesadaran hukum yang ada di masyarakat.

Lemaire menyebutkan bahwa hubungan antara kesadaran hukum umum dengan hukum tidak tertulis terletak pada kriteria ada atau terjadinya hukum tidak tertulis, yang terdiri dari elemen faktual atau materiil dan elemen intelektual atau psikologis. (E.L.G Lemaire: 1952). Yang pertama terdiri dari kebiasaan yang terus menerus. Tidak hanya yang berhubungan dengan

”tindakan” akan tetapi juga dengan ”tidak berbuat,” kebiasaan terwujud dengan adanya sikap tindak yang diulang-ulang, yang dalam masyarakat

diartikan sebagai perikelakuan sederajat dalam keadaan-keadaan yang sama.

Elemen kedua mencakup kesadaran hukum sebagai suatu kesadaran bahwa suatu kebiasaan merupakan hukum (suatu opinion iuris atau opinion necessitates).

Beberapa pertanyaan terhadap kesadaran hukum dengan hukum tidak tertulis adalah:

1) Apakah syarat-syaratnya, bahwa suatu perikelakuan atau sikap tindak yang dilakukan berulang-ulang merupakan kebiasaan sehingga elemen materiil benar-benar terpenuhi?

2) bagaimanakah menentukan sudah terdapat suatu opinio iuris necessitatis, sehingga elemen psikologis terpenuhi?

3) Manakah yang terlebih dahulu terjadi, kebiasaan ataukah kesadaran hukum?

4) Apakah di dalam proses selanjutnya, opinio iuris necessitatis harus selalu menjadi dasar kebiasaan, agar dapat dikualifikasikan sebagai hukum tidak tertulis.

Hukum Tercatat

Berkaitan dengan hukum tidak tertulis, ada kemungkinan bahwa hukum tidak tertulis tersebut benar-benar tidak tertulis (artinya, hukum tersebut hidup dalam masyarakat tidak atas dasar sesuatu yang tertulis), dan ada pula hukum tidak tertulis yang tercatat (artinya mungkin dicatat oleh pemimpin-pemimpin formal dan informal, atau oleh para sarjana atas dasar penelitian).

Paul Scholten menyatakan bahwa ada hukum tidak tertulis yang tidak tercatat dan ada yang tercatat, terformulasikan. Pencatatan tersebut dapat terjadi dalam keputusan peradilan, dan dapat terjadi dengan cara yang lain.

Pencatatan tersebut mempunyai arti yang mandiri, akan tetapi hukum tidak tertulis yang tidak tercatat juga merupakan hukum. (Paul Scholten: 1954).

Apabila hukum tidak tertulis harus dicari dalam masyarakat, maka hukum yang tercatat dapat diketemukan dalam naskah-naskah tertentu yang mungkin berupa laporan-laporan resmi pejabat, keputusan hakim, ataupun laporan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan.

Terdapat beberapa kondisi untuk menjelaskan keduanya, yaitu:

1) Apabila dipermasalahkan mengenai hukum tercatat, maka kaitannya senantiasa pada hukum tidak tertulis.

2) Hukum tercatat mencakup:

a) Hukum tercatat yang fungsional atau hukum yang didokumentasikan yang merupakan hasil pencatatan para pejabat, seperti pamong praja, hakim, kepala adat.

b) Hukum tercatat yang ilmiah (sebagai hasil karya sarjana) adalah hasil-hasil penelitian para sarjana, terhadap hukum tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat-masyarakat, atau bagian-bagian masyarakat tertentu.

Hukum Tertulis

Hukum tertulis atau geschreven recht mencakup perundang-undangan dan traktat. Pembedaan yang nyata adalah cara pembuatannya, nasional (undang-undang) dan internasional (traktat), walaupun, undang-undang dapat berisikan hukum internasional seperti UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention Bioligical Diversity yang merupakan ratifikasi dari United Nation Convention on Biological Diversity 1992.

Kedudukan mana yang lebih tinggi antara undang-undang dan traktat?

Jawabannya tergantung pada aliran mana kita melihat, yaitu

1) Aliran primat hukum internasional mengakui traktat lebih tinggi derajatnya daripada undang-undang yang harus mengalah pada traktat apabila isinya bertentangan.

2) Aliran primat hukum nasional menganggap bahwa hukum nasional (undang-undang) memiliki derajat yang lebih tinggi dari hukum internasional (traktat).

3) Aliran kesamaan derajat yang menganggap tidak adanya perbedaan kedudukan antara undang-undang dan traktat karena hanya menunjuk pada perbedaan saat berlakunya masing-masing, lebih baru yang mana?

Apabila terdapat pertentangan, maka ketentuan yang terakhir membatalkan ketentuan yang terdahulu.

Apabila dibandingkan antara hukum tertulis dengan hukum tidak tertulis, maka persamaannya terletak pada sumber isinya serta kekuatan mengikatnya.

Dilihat dari sumber isinya, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis (harus) bersumber pada cita-cita hukum masyarakat. Agar isi undang-undang sesuai dengan cita-cita hukum masyarakat, pembuatannya harus memenuhi beberapa syarat.

Apabila dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis didasarkan pada kesadaran hukum masyarakat.

Secara asumtif dapat dikatakan bahwa dengan bentuknya yang tertulis, maka lebih terjamin adanya kesatuan (uniformitas atau keseragaman), kepastian dan kesederhanaan dalam hukum, tetapi tidak boleh dikontradiksikan bahwa ketiga hal tersebut tidak terdapat pada hukum tidak tertulis.

1) Jelaskan tujuan dari kaidah kesopanan, agama, sosial, dan hukum!

2) Sebutkan isi dan sifat dari kaidah hukum!

3) Apakah yang menjadi cakupan dari hukum tertulis? Sebutkan pula perbedaan cakupan tersebut!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Matriks perbedaan kaidah bisa membantu jawaban atas latihan nomor 1 ini.

2) Terdapat tiga isi dan dua sifat dari kaidah hukum. Uraiannya baca lagi mengenai hukum positif.

3) Ada dua cakupan hukum tertulis dan terdapat perbedaan dari penggunaan kedua cakupan tersebut. Baca lagi bagian cakupan.

Kaidah hukum yang kini berlaku di masyarakat ada yang dalam bentuk tertulis dan ada pula dalam bentuk yang tidak tertulis yang berasal dari adat dan kebiasaan. Selain kaidah hukum, terdapat juga kaidah-kaidah lain yang berupa kaidah sosial, yaitu kaidah agama atau kepercayaan, kaidah kesusilaan, dan kaidah kesopanan. Selain itu, juga dijelaskan perbedaan kaidah hukum dengan kaidah sosial lainnya yang dapat dilihat dari unsur asal-usul, sasaran, isi, tujuan dan sanksinya.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!

RA NG KU M AN

Uraian tentang pembidangan hukum dapat menghasilkan usaha dikotomi. Apabila uraian aneka dikotomi yang telah dibahas tersebut disimpulkan maka perbedaan antara ius constitutum dan ius constituendum mengulas perbedaan eksistensi yakni sekarang/sudah ada atau nanti/belum ada; perbedaan antara hukum alam dan hukum positif menujukan perbedaan wilayah berlakunya, yakni universal/global atau nasional/regional; perbedaan antara hukum imperatif dan hukum fakultatif menegaskan perbedaan sifat rigid atau fleksibel; perbedaan antara hukum substantif dan hukum ajektif menguraikan perbedaan isinya, yakni mengenai pengukuhan peranan (hak dan kewajiban) atau cara penindakan pengingkaran peran; perbedaan antarhukum tidak tertulis, hukum tercatat dan hukum tertulis dengan melihat keadaan bentuknya.

1) Di dalam tata kaidah aspek hidup pribadi, tercakup dua macam kaidah, yaitu kaidah ....

A. kepercayaan dan kaidah kesusilaan B. hukum dan kaidah kesusilaan C. kepercayaan dan kaidah sopan santun D. hukum dan kaidah kepercayaan

2) Sifat dari kaidah hukum dapat dikelompokkan dalam kaidah hukum yang bersifat ....

A. empiris dan analitis B. imperatif dan fakultatif C. individual dan totaliter D. empiris, analitis dan individual

3) Perbedaan antara Ius Constitutum dan Ius Constituendum adalah ....

A. uraian tentang pembidangan hukum yang menghasilkan usaha dikotomi

TES F ORM AT IF 3

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

B. hukum yang berlaku saat ini dan hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara

C. perbedaan antara hukum imperatif dan hukum fakultatif

D. perbedaan antara hukum materiil dengan hukum positif tentang suatu wilayah tertentu

4) Yang dimaksud norma adalah ....

A. peraturan yang terdapat dalam suatu undang-undang B. ketentuan yang terdapat dalam suatu peraturan

C. pedoman berperilaku agar manusia dapat hidup pantas dan teratur di dalam masyarakat

D. perintah-perintah dari penguasa yang ditujukan pada rakyat

5) Yang dimaksud dengan kaidah hukum substantif adalah ....

A. kaidah hukum yang berisi perumusan hak dan kewajiban dari subyek hukum

B. uraian aneka dikotomi yang dibicarakan dan disimpulkan

C. hukum yang didokumentasikan dan dicatat oleh pejabat pemerintah D. hukum yang mencakup perundang-undangan

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.

Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali 80 - 89% = baik 70 - 79% = cukup < 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.

Tingkat penguasaan = Jumlah Jawaban yang Benar 100%

Jumlah Soal

×

Dokumen terkait