• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pembentukan CH4

Penggenangan/keadaan anerobik adalah kondisi ideal dalam pembentukan CH4. Penurunan oksigen di dalam tanah sawah menyebabkan proses biokimia berlangsung dalam kondisi anaerobik dan salah satu produk akhir dari proses tersebut adalah gas metan (CH4). Dekomposisi bahan organik berlangsung dalam dua tahap, yaitu pembentukan asam-asam organik. Selanjutnya adalah konversi asam-asam organik menjadi berbagai gas seperti CO2 dan CH4 (Neue dan Scharpenseel, 1984).

Dekomposisi bahan organik terjadi pada kondisi anaerob, dengan hasil akhir berupa CO2, bahan humid, dan CH4 (Setyanto et al., 2004). Ketersediaan bahan organik dalam tanah berhubungan dengan peranan mikroorganisme. Mikroorganisme yang membentuk CH4 (metanogen) membutuhkan kondisi anaerob, sedangkan mikroorganisme yang mengoksidasi CH4 (metanotrof) membutuhkan oksigen untuk metabolismenya. Akumulasi bahan organik ke dalam tanah sawah yang berasal dari jerami padi, gulma, dan residu dari

pertanaman sebelumnya akan meningkatkan karbon yang dapat termineralisasi secara mudah. Pemberian jerami padi 6 ton per hektar menghasilkan CH4

sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan pemberian pupuk mineral (Yagi dan Minami, 1990). Dalam kondisi anaerob akan terjadi rangkaian proses fisik dan kimia tanah yang berpengaruh terhadap pembentukan CH4.

Proses utama yang terjadi pada tanah tergenang dapat dipandang sebagai suatu rangkaian reaksi oksidasi dan reduksi yang dilakukan mikroorganisme. Bakteri metanogen merupakan kelompok bakteri anaerob yang menghasilkan CH4. Terdapat lima puluh spesies bakteri metanogen yang bertanggung jawab dalam pembentukan CH4, seperti Methanobacterium formicium, M.

alcaliphilum, ataupun Methanococcus voltae (Jones, 1991).

Faktor tanah yang berpengaruh terhadap pembentukan CH4 : a. Redoks potensial

Kemampuan tanah melakukan pertukaran elektron dikenal dengan potensial redoks tanah (Eh). Reduksi adalah perolehan elektron, sedangkan oksidasi adalah kehilangan elektron. Proses reduksi berkaitan dengan sistem drainase yang buruk sehingga mengakibatkan genangan air. CH4

terbentuk pada Eh yang lebih rendah, yaitu -150 mV hingga -300 mV (Minami, 1990). Penurunan Eh berkaitan dengan lama penggenangan. Oleh karena itu, pembentukan CH4 secara tidak langsung ditentukan oleh lama penggenangan. Sedangkan pada awal penggenangan, CH4 belum terbentuk karena Eh masih cukup tinggi. Pada sawah yang tergenang, kandungan oksigen dalam tanah akan semakin berkurang. Reduksi NO3, Mn4+, Fe3+, SO4, dan CO2, akan membentuk gas metan (CH4). Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah diakibatkan oleh aktifitas mikroorganisme yang berbeda. Oksigen direduksi oleh mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn4+ dan Fe3+ oleh bakteri fakultatif anaerobik. b. pH tanah

Pembentukan CH4 terjadi pada nilai pH yang mendekati netral. Hal ini berkaitan dengan bakteri metanogen yang umumnya neotrofilik dengan kisaran pH 6-8 (Garcia, 1990 diacu dalam Mudiyarso dan Baharsjah, 1992). Pada tanah alkali dan berkapur, pembentukan CH4 meningkat cepat

selama beberapa jam atau beberapa hari setelah penggenangan. Pada tanah netral, pembentukan CH4 mencapai puncak pada 2-3 minggu, sedangkan pada tanah masam dicapai pada 5-6 minggu atau lebih setelah penggenangan. Jika penggenangan dilakukan terus menerus, maka dapat menyebabkan pH tanah meningkat sampai netral pada kondisi tanah masam, dan penurunan pH pada tanah alkali.

Penggunaan pupuk kimia seperti urea dan ammonium sulfat dengan cara dibenam memberi emisi CH4 lebih rendah daripada cara sebar. Penurunan emisi CH4 tersebut dapat disebabkan oleh penurunan pH tanah akibat penggunaan ion ammonium oleh tanaman, saat ammonium diserap tanaman, secara bersamaan H+ dilepas dalam tanah, sehingga menurunkan pH tanah.

c. Suhu

Bakteri metanogen umumnya menghendaki suhu optimal 30oC sampai 40oC (Vogels et al., 1988). Genangan air disebabkan oleh efek rumah kaca yang dihasilkan dari lahan. Genangan air akan meneruskan radiasi gelombang pendek (ultra ungu) ke tanah, dan mengurangi pancaran gelombang panjang (infra merah) ke atas. Di daerah tropik, bakteri tersebut berfungsi baik pada suhu 30oC (Minami, 1990). Kenaikan setiap tingkat suhu tanah menyebabkan emisi CH4 meningkat 1,5 – 2 kali dan mencapai maksimum pada 35oC – 40oC (Parashar et al., 1993).

2. Emisi CH4

Kontribusi tanaman padi sawah dalam mengemisi CH4 sekitar 25% dari emisi global ke atmosfer. Hal ini lebih disebabkan oleh kondisi anaerob oleh bakteri metanogen (Rennenberg et al., 1992).

Proses emisi CH4 dari budidaya tanaman padi sawah ke atmosfer dijelaskan pada Gambar 4.

Gambar 4. Emisi CH4 dari budidaya tanaman padi sawah ke atmosfer (Neue, 1993)

Emisi CH4 dipengaruhi oleh adanya perbedaan variabel internal dan eksternal (Khalil dan Shearer, 2000). Variabel internal meliputi karakteristik tanah, varietas padi, mikrobiologi tanah, dan variabel eksternal meliputi suhu tanah yang disebabkan radiasi surya, iklim, pengelolaan air (irigasi/tadah hujan), dan pemupukan. Tanaman padi sebagai media transportasi CH4 dapat meningkatkan aktivitas biologi dalam tanah melalui pembentukan eksudat akar yang merupakan sumber karbon bagi bakteri pembentuk CH4. Eksudat akar adalah senyawa organik dalam media tanah yang mengandung gula, asam amino dan asam organik lain sebagai penyusun bahan yang segera tersedia bagi bakteri metanogen (Kimura et al., 1991). Menurunnya eksudat akar akan berakibat berkurangnya proses metanogenesis, sehingga fluks CH4 akan berkurang. Eksudat dan pembusukan akar merupakan sumber karbon bagi bakteri metanogen. Biomass akar yang banyak maka banyak pula CH4 yang terbentuk. Lama tumbuh tanaman juga menentukan besarnya emisi CH4 dari lahan sawah. Makin lama periode tumbuh tanaman, makin banyak eksudat dan biomas akar yang terbentuk sehingga emisi CH4 menjadi tinggi.

Pola pengaturan air yang tepat dapat menurunkan emisi CH4. Penggenangan pertanaman padi sawah dengan interval dua sampai tiga minggu dapat mengurangi emisi CH4 dengan sangat nyata tanpa mengurangi hasil (Sass dan Fisher, 1992).

Pelepasan CH4 dari tanah sawah ke atmosfer melalui tiga mekanisme, yaitu melalui difusi, gelembung udara, dan melalui aerenkima yang terdapat dalam jaringan tanaman padi. Pelepasan CH4 melalui aerenkima tanaman merupakan media pengangkut yang paling utama, yang mencapai lebih dari 90% (Kiene, 1991). Suplai O2 untuk respirasi pada akar dilakukan melalui pembuluh aerenkima dan sebaliknya, gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah seperti CH4 akan dilepaskan ke atmosfer melalui pembuluh aerenkima (Wagatsuma et al., 1992). Mekanisme transportasi pada tanaman terjadi akibat perbedaan gradien konsentrasi antara air disekitar akar dan ruang antar sel lysigenous pada akar dan menyebabkan CH4 terlarut disekitar akar terdifusi ke permukaan cairan akar, menuju ke dinding sel korteks akar. Pada dinding korteks akar, CH4 akan berubah menjadi gas dan disalurkan ke batang melalui pembuluh aerenkima dan ruang antar sel lysigenous. Selanjutnya CH4 akan dilepas melalui pori-pori mikro pada pelepah daun bagian bawah (Nouchi, 1992). Mekanisme emisi CH4 melalui aerenkima pada jaringan tanaman padi dapat dilihat pada Gambar 5.

Kemampuan setiap varietas padi dalam penyaluran CH4 juga berbeda, tergantung pada karakteristik agronomi tanaman, seperti jumlah anakan dan sistem perakaran (Nouchi, 1992). Dari faktor cahaya, perubahan keadaan dari terang ke gelap yang menurunkan termal cahaya, akan menurunkan suhu daun dan jaringan tanaman lainnya, akibatnya udara di dalam tanaman memadat dan udara disekitarnya terserap sehingga emisi CH4 menurun (Nouchi, 1992).

Gambar 5. Mekanisme emisi CH4 melalui aerenkima pada jaringan tanaman padi (Nouchi, 1992)

E. Model DNDC (Denitrification Decomposition)

DNDC merupakan salah satu model yang digunakan dalam penelitian emisi Gas Rumah Kaca (GRK), untuk mengetahui perubahan lingkungan terutama emisi GRK (CH4, NO, N2O, dan NH3) dalam hubungannya dengan perubahan iklim global. Model DNDC digunakan untuk memprediksi emisi GRK dari ekosistem pertanian. Perbedaan emisi CH4 dari hasil pengukuran di lapangan dengan hasil prediksi menggunakan model akan dilakukan untuk melihat sejauh mana model dapat digunakan beserta keakuratannya. Hasil prediksi model yang valid tentu akan mempermudah suatu pekerjaan hanya dengan melakukan input parameter-parameter yang diperlukan. Model dikendalikan oleh empat pengendali lingkungan utama sebagai input parameter yang digunakan yaitu iklim, kandungan fisik tanah, vegetasi dan aktifitas anthropogenik. Masukan data yang tepat dari empat pengendali tersebut akan menentukan keberhasilan simulasi (Li, 2000).

Komponen model DNDC dibagi menjadi dua yaitu, input dari keadaan iklim tanah, pertumbuhan tanaman, submodel dekomposisi berupa suhu, kelembaban, pH, Eh tanah, dan konsentrasi gas berdasar pengendali lingkungan (iklim, tanah,

jenis tanaman, dan anthropogenik). Komponen kedua berupa proses nitrifikasi, denitrifikasi dan submodel fermentasi yang memprediksi fluks CH4, NO, N2O, dan NH3 berdasarkan variabel lingkungan tanah (Li, 1998). Skema model DNDC dapat dilihat pada Gambar 6.

Dalam menciptakan suatu pemodelan gas-gas dalam tanah, diperlukan keterkaitan antara faktor pengendali lingkungan, faktor lingkungan tanah, dan reaksi biogeokimia. Akibat yang ditimbulkan dalam sistem dibagi menjadi dua kategori yaitu akibat keberadaan pengendali lingkungan dalam faktor lingkungan tanah, dan akibat faktor lingkungan tanah terhadap gas hasil reaksi biokimia dan geokimia.

a. Hubungan pengendali lingkungan dengan faktor lingkungan tanah

Tugas model dalam hal ini adalah menetapkan penghubung antara pengendali lingkungan dengan faktor lingkungan tanah. Perbedaan pengendali lingkungan tiap ekosistem tergantung dari input data seperti iklim, tanah, vegetasi, aktivitas manusia di lahan pertanian. DNDC memadukan pengendali lingkungan kedalam tiga submodel yaitu (Li, 2000):

1. submodel iklim tanah

submodel ini memadukan karakteristik tanaman, iklim, sifat tanah, dan aktivitas persawahan, dan melakukan perhitungan suhu, kelembaban (RH), Eh tanah, serta suhu udara, presipitasi dan status oksigen.

2. submodel pertumbuhan tanaman

submodel ini mengikuti pertumbuhan tanaman yang mempengaruhi suhu, RH, pH, Eh, DOC (Dissolved Organic Carbon) tanah dan konsentrasi nitrogen.

3. submodel dekomposisi

submodel ini mengikuti konsentrasi substrat (DOC, NH4+, NO3-) dengan perpaduan karakteristik tanaman, iklim, properti tanah, dan aktivitas persawahan.

Ketiga submodel berinteraksi menentukan suhu, RH, pH, Eh tanah dan konsentrasi substrat pada profil tanah dalam interval harian.

Annual average temperature Daily potensial ET Evaporation Soil moisture profile LAI-regulated albedo Soil temperature profile

Transpiration Water flow Between layers Oxygen consumptuion Soil Eh profile Oxygen diffusion Soil climate N demand Daily N uptake By roots Root respiration Water stress Water uptake By roots Daily water demands Grain Daily biomass Accumulation (LAI) Roots Stalk

Very labile litter Labile litter Resistant litter

Labile microbes Resistant microbe

Passive humus

Labile humads Resistant humads NH4

DOC CO2

Ecological

drivers Climate Soil Vegetation Anthropogenic activity

Soil environmental

variables Temperature Moisture pH Eh Substrate (NH4+, NO3-, and DOC)

Nitrate denitrifier NO2 -NO3 -Nitrite denitrifier N2O denitrifier DOC NO N2O N2 Decomposition Denitrification DOC Nitrifiers NH4+ NO3- NH3 Clay NH4+ N2O NO NH3 CH4production Soil Eh Aerenchyma DOC CH4oxidation CH4 transport CH4 Nitrification Fermentation

Effect of temperature and moisture on decomposition

The DNDC Model

b. Hubungan faktor lingkungan tanah dengan emisi gas

Dalam hal ini, model menghubungkan faktor lingkungan tanah dengan laju produksi dan konsumsi gas, yang didasarkan pada proses biologi, kimia, dan fisika, atau berdasarkan variabel kontrol, sehingga pengaruh tiap variabel tanah dapat dibedakan. Berdasarkan proses fisik, biologi dan kimia, CH4 terbentuk akibat dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob. Organisme yang berperan khususnya bakteri metanogen, tidak dapat berfungsi baik bila terdapat oksidan (elektron akseptor). Beberapa oksidan tanah yang tereduksi sehingga dapat terbentuk CH4 yaitu oksigen (tereduksi pada Eh +350 mV), MN4+ dan NO3

-(Eh +250 mV), Fe3+ (Eh +150mV), SO42- (Eh -150mV) dan CO2 (Eh kurang dari -200mV) (Kludze dan DeLaune, 1994 diacu dalam Li, 2000). Bakteri denitrifikasi menggunakan elektron akseptor selain oksigen karena kurangnya oksigen dalam tanah (Setyanto et al., 2004).

CH4 adalah produk akhir dari reduksi biologis CO2 atau C-organik dalam kondisi anaerob (Wassmann et al., 1993). Fluks CH4 dipengaruhi oleh kandungan karbon (DOC) dalam tanah (Wassmann et al., 1993), Eh tanah dan suhu tanah (Vogels et al., 1988 diacu dalam Li, 2000). Reduksi karbon dalam pembentukan CH4 disebabkan oleh mikroba anaerob (metanogen) yang aktif saat Eh tanah rendah (Wassmann et al., 1993). Produksi CH4 meningkat secara eksponensial dengan pengurangan Eh pada range -150 sampai -200 mV, dan keadaan suhu optimum yaitu 30-40oC (Kludze dan DeLaune, 1994 diacu dalam Li, 2000). Dalam hal ini, DNDC menghitung laju produksi CH4 sebagai fungsi dari kandungan DOC dan suhu, dan memprediksi Eh tanah yang mencapai -150 mV atau dibawahnya.

Reaksi produksi CH4 :

CO2 + 8H+ CH4 + 2H2O, atau Corganik + 4H+ CH4

Jika CH4 diproduksi pada Eh tanah rendah, dapat mendifusi kedalam Eh tanah tinggi (lapisan tanah atas atau tanah sekitar akar) dan akan dioksidasi dengan cepat dalam kondisi redoks yang lebih tinggi (DeBont et al., 1978 diacu dalam Li, 2000). Dalam hal ini, DNDC menghitung laju oksidasi CH4 sebagai fungsi dari konsentrasi CH4 dan Eh tanah. DNDC juga melakukan pemodelan

difusi CH4 antara lapisan-lapisan tanah, tergantung pada gradien konsentrasi CH4, suhu, dan porositas tanah.

Tanaman menjadi perantara transportasi emisi CH4 dari tanah ke atmosfer. DNDC memprediksi tanaman pembawa fluks CH4 sebagai fungsi dari konsentrasi CH4 dan aerenkima tanaman. Jika tanah tidak ditumbuhi, atau aerenkima tanaman tidak dapat dikembangkan dengan baik, pada saat inilah ebulisi berperan dalam emisi CH4 (Nouchi et al., 1994 diacu dalam Li, 2000). Di dalam DNDC, diasumsikan bahwa ebulisi terjadi hanya di lapisan permukaan tanah. Laju ebulisi diatur oleh konsentrasi CH4, suhu, porositas tanah, dan aerenkima tanaman.

Persamaan yang menjelaskan pengaruh faktor lingkungan tanah dalam pembentukan NO, N2O, CH4, dan NH3, diatur dalam tiga submodel (Li et al., 1996). Submodel fermentasi berisi semua persamaan yang berhubungan dengan CH4 untuk menghitung produksi, oksidasi dan transpor CH4 dalam kondisi tergenang. Submodel denitrifikasi memuat semua persamaan denitrifikasi untuk menghitung produksi, konsumsi, difusi N2O dan NO selama hujan, irigasi atau selama penggenangan. Submodel nitrifikasi yang berisi persamaan nitrifikasi, fungsi produksi dan penguapan NH3. Ketiga submodel ini menyusun komponen kedua dari model DNDC.

Input parameter-parameter didalam model DNDC berupa suhu tanah dan presipitasi harian, berat jenis tanah, tekstur dan pH tanah, kandungan C-organik, manajemen pengolahan sawah (jenis tanaman dan rotasi, cara pembajakan lahan, penyuburan lahan, pemupukan, tipe irigasi, penggenangan dan pemberantasan hama) akan menghasilkan output atau keluaran dari model berupa profil tanah harian seperti suhu, RH, Eh, pH dan konsentrasi dari total C-organik, nitrat, nitrit, amonium, urea, amonia, dan fluks harian CO2, NO, N2O, CH4, dan NH3 (Li et al., 1996 diacu dalam Li, 2000).

Beberapa gambaran hasil pemodelan dengan menggunakan DNDC:

a. Peningkatan produktifitas padi secara signifikan akan meningkatkan fluks CH4

meskipun mengurangi fluks CO2 dan N2O

b. Peningkatan pemakaian jumlah pupuk, akan meningkatkan fluks CH4 dan N2O dan mengurangi fluks CO2

c. Peningkatan frekuensi drainase intermittent akan mengurangi fluks CH4

namun meningkatkan fluks N2O dan CO2

d. Penggantian penggunaan lahan dari padi sawah ke tanaman tipe dataran tinggi seperti gandum akan menurunkan fluks CH4 dan juga fluks N2O dan CO2

Pengukuran di lapangan sebelumnya menunjukkan bahwa pengaturan budidaya padi sawah tidak hanya berpengaruh pada fluks metan, tetapi juga fluks N2O dari tanah ke atmosfer.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait