• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. FUNGSI KOMUNIKASI ORANG TUA DALAM RANGKA

B. Fungsi Komunikasi Orang Tua Dalam Pembentukan Karakter dan

1. Pembentukan Karakter dan Iman Anak yang Didambakan

Keluarga Katolik

a. Pembentukan Karakter atau Kepribadian Anak yang Didambakan

Pada bagian ini penulis terlebih dahulu akan menguraikan tentang pengertian karakter dan kepribadian. Menurut Samuel Lusi dalam buku ”Seip Intelligence” (2014: 45-46) dikatakan bahwa: akar kata “karakter” berasal dari “karasso” (Yunani) yang berarti cetak biru atau format dasar. Sedangkan dalam tradisi Yahudi, karakter dikaitkan dengan alam, misalnya laut, angin, badai yang tidak dikuasai manusia. Ini memberi gambaran bahwa karakter adalah sesuatu yang hakiki, dan tidak dapat diintervensi dari luar. Karakter yang dimiliki oleh seseorang selalu dikaitkan dengan kualitas moral yang mencakup nilai-nilai hakiki seperti: kejujuran, kesantunan, integritas keberanian, kebaikan, keadilan dan kesabaran. Sebuah kualitas yang muncul sebagai nilai khas seseorang menjadi acuan moral dalam bertindak dan berperilaku. Nilai diri seseorang tidak dipengaruhi oleh “objek di luar diri”, melainkan sepenuhnya pancaran dari

kualitas interior diri. Sedangkan kepribadian menurut Widyapranawa dalam buku “Pendididikan Kepribadian Diri Sendiri” (2008: 2) dijelaskan bahwa: kepribadian merupakan ciri yang khas (unik) yang tidak dapat terpisahkan dari kemanusiaan seseorang. Kepribadian seorang anak tidak boleh dibiarkan begitu saja atau berkembang sendiri, tetapi perlu dibina dan dididik sepanjang hidupnya serta diarahkan ke arah yang lebih baik dan posistif sejak masih kecil sampai dewasa. Untuk itu pembentukan karakter anak menjadi tujuan utama yang ingin dicapai oleh keluarga. Pertama-tama perlu diketahui bahwa kepribadian keluarga merupakan identitas yang khas dari sebuah keluarga. Identitas khas ini lahir dan berkembang dari interaksi dan komunikasi yang dibiasakan dalam keluarga. Keluarga yang terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka, dialogis, luwes, akan membentuk kepribadian keluarga yang baik (Alfonsus Sutarno, 2013: 26).

Menurut David Field, sebagaimana dikutip oleh Alfonsus Sutarno (2013: 27-30) terdapat 5 tipe kepribadian keluarga yang sering muncul dalam lingkungan keluarga. Lima (5) Tipe keluarga tersebut adalah:

1) Kepribadian keluarga kacau. Tipe kepribadian keluarga ini dicirikan oleh rendahnya kualitas dan kuantitas interaksi dari anggota keluarga. Masing-masing anggota kelurga sibuk dengan dirinya sendiri (individualis, egois, kekanak-kanakan. Dalam rangka pendidikan anak, sebaiknya tipe kepribadian ini dihindari.

2) Kepribadian keluarga otoriter. Dalam keluarga berkepribadian otoriter, biasanya ada pemegang kekuasaan mutlak. Keputusan yang dibuat tidak bisa

didiskusikan, akibatnya anak-anak menjadi korban sehingga mereka akhirnya menjadi sangat kesal, benci dan takut kepada orang tua. Kepribadian keluarga seperti ini sebaiknya dihindari.

3) Kepribadian keluarga overprotective. Jika orang tua terlalu melindungi (overprotective), maka anak-anak akan merasa ketakutan, terkekang, dan tertekan. Dampaknya kedewasaan dan kemandirian anak tidak berkembang secara wajar.

4) Kepribadian keluarga simbiotik. Adanya relasi yang sangat lekat di antara anggota keluarga. Saking lekatnya, anggota keluarga merasa saling membutuhkan, saling mendukung, dan tergatung satu sama lain, namun resikonya bahwa anak-anak akan menjadi tidak mandiri dan tidak berani menjadi dirinya sendiri. Untuk itu orang tua wajib mengarahkan agar kedekatan relasi dan interaksi antaranggota keluarga tidak menjadikan anak tidak mandiri

5) Kepribadian keluarga seimbang. Kondisi khas dari kepribadian keluarga seimbang adalah adanya interaksi dan komunikasi dalam keluarga secara luwes. Wewenang dan tanggung jawab keluarga diperankan secara seimbang oleh bapak dan ibu. Anakpun bisa mendengarkan dan menuruti kehendak orang tuanya. Demikianpun sebaliknya orang tua rela mendengar dan bahkan mau belajar dari anak-anaknya. Semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik dengan menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing. Kepribadian keluarga seimbang inilah yang perlu dikembangkan.

Dalam buku “Catholic Parenting”, Alfonsus Sutarno (2013: 95-98) mengemukakan beberapa tips membangun keluarga yang berkepribadian positif yakni:

a) Orang tua sebaiknya bisa berinteraksi dan berkomunikasi kepada anak dengan terbuka, dialogis, luwes, dan akrab. Dengan demikian keberadaan keluarga akan lebih dinamis, demokratis, harmonis, dan terhindar dari salah paham. b) Semua anggota keluarga perlu saling peduli dan memberi perhatian. Hindarilah

kesibukan dan keasyikan dengan diri sendiri. Hal ini akan membuat keluarga menjadi solid, solider, altruis; jauh dari sikap individualis.

c) Hendaknya komunikasi (verbal dan non-verbal) menjadi saran pengenalan dan ekspresi diri antaranggota keluarga. Jika terjadi kesalahpahaman maka hendaknya disiasati dengan bijak dan sabar, bukan dengan sikap emosi dan marah.

d) Sebagai penentu keputusan/kebijakan keluarga, sebaiknya orang tua tidak menjadikan anak-anaknya menjadi ‘korban’ (dikuasai, diperdaya, atau hanya dijadikan seorang penurut). Hindarilah kesan orang tua sebagai ‘penguasa’ tunggal dalam rumah.

e) Sebaiknya orang tua bisa menjadi sahabat bagi anak dan bukan penguasa. Orang tua bisa bermain, berdiskusi, bercerita, belajar, atau nonton bersama anak-anak. Dengan demikian, relasi orang tua dengan anak akan semakin akrab dan anak-anak akan merasa dihargai.

f) Orang tua sebaiknya bisa melindungi anaknya secara proporsional, tidak berlebihan (overprotective). Lindungilah anak-anak dengan wajar agar mereka

tetap merasa ‘bebas’ berekspresi, berpendapat, bertindak, dan berperasaan, serta bertumbuh-kembang dalam kedewasaan dan kemandirian secara memadai.

g) Sebaiknya orang tua menciptakan relasi yang sehat antara anak dengan anggota keluarga. Tumbuhkanlah dalam diri anak rasa saling membutuhkan dan saling mendukung, tanpa harus bergantung.

h) Orang tua perlu menciptakan kepribadian keluarga seimbang. Hal ini dicirikan oleh interaksi dan komunikasi keluarga yang luwes, ada pembagian peran secara seimbang, dan bisa saling menggantikan atau partnership. Dalam kepribadian keluarga yang seimbang, orang tua akan menghargai keunikan sikap dan pola pikir masing-masing anak dan semua anggota keluarga dapat bekerja sama dengan baik.

Menurut Ryan dan Lickona, sebagaimana dikutip oleh Sri Lestari (2012: 96) dikatakan bahwa: Keluarga dipandang sebagai pendidik karakter yang utama pada anak. Hal ini disebabkan karena pengaruh sosialisasi orang tua pada anak yang terjadi sejak usia dini sampai dewasa. Melalui interaksi dengan orang tua, anak dapat merasakan dirinya berharga yang selanjutnya dijadikan dasar untuk menghargai orang lain. Nilai dasar yang menjadi landasan dalam membangun karakter tersebut adalah hormat (respect). Hormat tersebut mencakup respek pada diri sendiri, orang lain, semua bentuk kehidupan, maupun lingkungan. Dengan memiliki sikap hormat maka seseorang akan memandang dirinya dan orang lain sebagai sesuatu yang berharga dan memiliki hak yang sederajat.

Dalam buku “Psikologi Remaja”, Sri Lestari mengutip pandangan Ryan dan Lickon (2012: 96) mengenai lima cara yang dilakukan orang tua terhadap pembentukan karakter anak yakni:

a) Pertama, dengan menyayangi anak, orang tua membantu anak untuk merasakan dirinya berharga

b) Kedua, orang tua menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain

c) Ketiga, hubungan yang hangat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan dalam menghadapi pengaruh moral

d) Keempat, kasih sayang berperan dalam perkembangan penalaran moral.

e) Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya komunikasi orang tua-anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang dan perkembangan penalaran moral.

b. Pembentukan Iman Anak yang Didambakan

Dalam dokumen “Konsili Vatikan II”, tentang Gravissimum Educationis no.3 dikatakan bahwa: karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anaknya, maka orang tua harus diakui sebagai pendidik pertama dan utama. Tugas untuk memberikan pendidikan berakar pada panggilan orang-orang yang sudah menikah untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah (FC, no. 36)

Dokumen terkait