• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBINAAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN

Dalam dokumen Markaz ar-Risalah – Peran akidah (Halaman 34-49)

Akidah Islam telah berhasil mewujudkan perubahan besar di bidang sosial dan pendidikan. Hal ini dapat kita lihat pada poin-poin berikut ini:

a. Membangkitkan Rasa Toleransi Sosial

Manusia periode pra-Islam dalam perilaku sosialnya dengan orang-orang sekitarnya menggunakan tolok ukur diri dan kepentingan pribadinya. Karena yang terpikir adalah diri dan kepentingan pribadinya, ia tega mengubur anak-anaknya sendiri hidup-hidup karena takut tertimpa kemiskinan dan kelaparan. Akhirnya Allah ikut campur tangan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa suci itu dari kebudayaan buruk tersebut.

Ia berfirman:

ﻕﹶﻼﻤِﺇ

ﹶﺔﻴـﹾﺸﹶﺨ

ﻡﹸﻜﺩﹶﻻﻭَﺃ

ﺍﻭﹸﻠﹸﺘـﹾﻘﹶﺘ

ﹶﻻﻭ

(Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan).[1]

Dan yang menakjubkan, manusia Jahiliah yang perhatiannya terpusat pada diri dan kepentingan pribadinya itu, ketika menyicipi ramuan-ramuan Islam (berkenaan dengan kehidupan dan tata cara hidup), ia rela mengorbankan jiwa dan harta bendanya untuk kepentingan agama dan masyarakatnya.

Setiap orang mengetahui pengorbanan orang-orang Anshar untuk Muhajirin. Mereka mengorbankan setiap apa yang dimiliki kepada Muhajirin yang tidak bersanak-saudara tersebut, baik rumah atau kekayaan-kekayaan mereka yang lain. Tingkat pengorbanan dan rasa peduli sosial itu tidak terbatas pada individu saja, akan tetapi rasa peduli sosial itu telah menjadi budaya masyarakat kala itu, satu hal yang belum pernah disaksikan oleh sejarah manusia.

Allah SWT telah mengabadikan budaya masyarakat yang mulia itu di dalam Alquran sebagai budaya ideal sepanjang sejarah. Ia berfirman:

ﻀﹺﺭﻭ

ِﷲﺍ

ﻥﻤ

ﹰﻼﻀﹶﻓ

ﻥﻭﹸﻐﹶﺘﺒﻴ

ﻡﹺﻬِﻟﺍﻭﻤَﺃﻭ

ﻡﻫﹺﺭﺎﻴﺩ

ﻥﻤ

ﺍﻭﺠﹺﺭﹾﺨُﺃ

ﻥﻴﺫﱠﻟﺍ

ﻥﻴﹺﺭﹺﺠﺎﻬﻤﹾﻟﺍ

ﺀﺍﺭﹶﻘﹸﻔﹾﻠِﻟ

َﷲﺍ

ﻥﻭﺭﺼﹾﻨﻴﻭ

ﺎﹰﻨﺍﻭ

ﻥﻭﹸﻗﺩﺎﺼﻟﺍ

ﻡﻫ

ﻙِﺌﹶﻟﻭُﺃ

ﻪﹶﻟﻭﺴﺭﻭ

|

ﺒﹶﻗ

ﻥﻤ

ﻥﺎﻤﻴِﻹﹾﺍﻭ

ﺭﺍﺩﻟﺍ

ﺍﻭﺀﻭﺒﹶﺘ

ﻥﻴﺫﱠﻟﺍﻭ

ﻡﹺﻬﻴﹶﻟﺍ

ﺭﺠﺎﻫ

ﻥﻤ

ﻥﻭﺒﺤﻴ

ﻡﹺﻬﻠ

ﻤﻭ

ﹲﺔﺼﺎﺼﹶﺨ

ﻡﹺﻬﹺﺒ

ﻥﺎﹶﻜ

ﻭﹶﻟﻭ

ﻡﹺﻬﺴﹸﻔﹾﻨَﺃ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻥﻭﺭﺜْﺅﻴﻭ

ﺍﻭﹸﺘﻭُﺃ

ﺎﻤﻤ

ﹰﺔﺠﺎﺤ

ﻡﻫﹺﺭﻭﺩﺼ

ﻲﻓ

ﻥﻭﺩﹺﺠﻴﹶﻻﻭ

ﺢﹸﺸ

ﹶﻕﻭﻴ

ﻥ

ﻥﻭﺤﻠﹾﻔﻤﹾﻟﺍﻡﻫ

ﻙِﺌﹶﻟﻭُﺄﹶﻓ

ﻪﺴﹾﻔﹶﻨ

(Juga bagi orang-orang fakir yang berhijrah dari kampung halaman dan harta benda mereka (karena) mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, serta menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap segala sesuatu yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang diberikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung).[2]

Islam telah membinaskan seluruh pilar dan pondasi masyarakat jahiliyah yang dibangun di atas pemilahan kasta dan kabilah dalam dua kasta: kasta kaum ningrat (al-asyraf) dan kasta kaum hamba sahaya. Kaum ningrat berhak untuk memiliki segala corak kehormatan dan kekayaan, sedangkan kaum hamba sahaya, hanya berhak untuk mengabdi kepada kaum ningrat.

Akhirnya Islam datang menghancurkan budaya pembudakan manusia itu dan menggantikannya dengan budaya baru yang menyamaratakan semua manusia dalam memiliki hak hidup dan kemuliaan. Allah berfirman:

َﺃ

ﻥِﺇ

ﺍﻭﹸﻓﺭﺎﻌﹶﺘِﻟ

َلِﺌﺎﺒﹶﻗﻭ

ﺎﺒﻭﻌﹸﺸ

ﻡﹸﻜﺎﹶﻨﹾﻠﻌﺠﻭ

ﻰﹶﺜـﹾﻨُﺃﻭ

ﹴﺭﹶﻜﹶﺫ

ﻥﻤ

ﻡﹸﻜﺎﹶﻨﹾﻘﹶﻠﹶﺨ

ﺎﱠﻨِﺇ

ﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

ﺎﻬﻴَﺃﺎﻴ

ﻡﹸﻜﺎﹶﻘﹾﺘَﺃ

ِﷲﺍ

ﺩﹾﻨﻋ

ﻡﹸﻜﻤﺭﹾﻜ

(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa).[3]

Maka dengan konsep persamaam kasta di atas, kasta hamba sahaya memiliki kemerdekaan penuh dan mendapatkan hak hidup yang layak. Dengan konsep Islam itu juga Ammar, Salman dan Bilal telah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para pemilik kasta terhormat Quraisy yang kala itu masih bergelimangan dalam kesesatan Jahiliah, seperti Walid bin Mughirah, Hisyam bin Hakam, Abu Sufyan dan lain-lainnya.

Bahkan dengan konsep tersebut pula, harta kekayaan tidak hanya menimbun di gudang- gudang orang-orang kaya.

Allah SWT berfirman: “Setiap harta rampasan (fai`) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka harta itu adalah hak Allah, Rasul-Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. (Hal ini dimaskudkan) supaya harta itu jangan hanya beredar di

antara kamu yang kaya. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras siksaan-Nya”.[4]

Metode Menumbuhkan Rasa Peduli Sosial

Akidah Islam telah menumbuhkan rasa peduli sosial dalam sanubari setiap individu dengan berbagai metode dan cara, antara lain:

1. Membangkitkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap nasib orang lain (dalam sanubari setiap individu).

Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan dan penekanan Alquran dan hadis-hadis ma’shumin a.s. di bawah ini akan pentingnya hal itu.

Allah SWT: “Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian), karena mereka akan ditanya”.[5] Dan dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluargamu dari (sengatan) api neraka”.[6]

Rasulullah saww bersabda: “Sesungguhnya aku memiliki tanggung jawab, kamu juga memiliki tanggung jawab”.[7]

Dalam hadis yang lain beliau juga pernah bersabda: “Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin, dan setiap orang dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib orang-orang yang dipimpinnya. Setiap orang yang memegang urusan sekelompok manusia adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas nasib rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin atas keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib keluarganya. Seorang istri hendaknya mengurus rumah suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas nasib mereka”. [8]

Amirul mukminin a.s. berkata: “Takutlah kepada Allah berkenaan dengan hamba-hamba dan negeri-Nya ini, karena kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas tanah dan binatang (yang kamu miliki, apalagi atas hamba-hamba dan negeri-Nya itu)”.[9]

Sebagai perbandingan, kita melihat bahwa aliran-aliran pemikiran sosial hasil rekayasa otak manusia biasa hanya mementingkan rasa tanggung jawab setiap individu (terhadap masyarakatnya di dunia ini saja). Dan bertolak dari cara berpikir semacam ini, para pencetus aliran-aliran pemikiran tersebut (demi merealisasikan teori tersebut di atas bumi ini), terpaksa menulis serentetan undang-undang resmi yang diharapkan akan mampu merealisasikan tujuan mereka itu, seperti pengekangan kebebasan, penyiksaan, pendendaan dengan uang, pemecatan dari tugas, penaikan pangkat dan lain sebagainya. Dan ada kalanya respon masyarakat yang beraneka ragam juga mampu untuk mengontrol setiap individu supaya melaksanakan tanggung jawabnya sebaik-baiknya, seperti kepercayaan dan penghargaan masyarakat kepadanya atau penghinaan mereka terhadapnya.

Adapun agama Islam, ia tidak hanya mementingkan tanggung jawab individu terhadap masyarakatnya di dunia saja, akan tetapi ia juga berusaha untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab di dalam sanubarinya terhadap Penciptanya di dunia lain kelak. Dengan ini, ia akan berusaha untuk menguasai hawa nafsunya dan peduli terhadap orang lain tanpa harus ada undang-undang resmi dan respon masyarakat atau rasa iba yang memaksanya.

2. Menumbuhkan jiwa berkorban dan lebih mementingkan orang lain.

Alquran yang mulia menganjurkan para pengikutnya untuk lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri dan memuji jiwa berkorban yang dimiliki oleh muslimin. Ketika Imam Ali a.s. rela mengorbankan jiwanya demi Rasulullah saww hidup dengan tidur di atas ranjang beliau (pada peristiwa Lailatul Mabit), Allah SWT memuji jiwa berkorban yang ia miliki tersebut dalam firman-Nya:

ﺩﺎﺒﻌﹾﻟﺎﹺﺒ

ﹲﻑﻭُﺅﺭ

ُﷲﺍﻭ

ِﷲﺍ

ﺓﺎﻀﺭﻤ

ﺀﺎﹶﻐﺘﺒﺍ

ﻪﺴﹾﻔﹶﻨ

ﻱﹺﺭﹾﺸﻴ

ﻥﻤ

ﹺﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

ﻥﻤﻭ

(Dan ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya demi mencari keridlaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).[10]

Al-Fakhrur Razi menulis: “Ayat ini turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib a.s. ketika ia tidur di atas ranjang Rasulullah saww di malam keluarnya beliau menuju goa Tsaur. Diriwayatkan, ketika ia tidur di atas ranjang beliau, Jibril berdiri di arah kepalanya dan Mika`il di arah kakinya. Jibril bersabda: `Alangkah bahagianya engkau, hai Ali bin Abi Thalib. Allah telah membanggakanmu di hadapan malaikat`. Lalu turunlah ayat itu”.[11]

Sejarah telah membuktikan kepada kita bahwa Rasulullah saww adalah suri teladan utama dalam mementingkan orang lain dan jiwa berkorban. Diriwayatkan, beliau tidak pernah makan hingga kenyang selama tiga hari berturut-turut sampai beliau wafat. Jika beliau menghendaki, semua kekayaan berada di bawah tangan beliau.[12]

Perilaku dan perangai beliau ini dapat kita lihat dengan jelas pula dalam tingkah laku dan perangai Ahlul Bayt a.s. Mereka berjalan di atas jejak beliau dan merealisasikan sabda- sabda beliau dalam bentuk praktek nyata.

Muhammad bin Ka’b Al-Quradli berkata: “Aku pernah mendengar Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Engkau pernah melihatku mengikat batu di atas perutku karena lapar, dan sedekah (yang telah aku berikan kepada orang-orang yang berhak, jika dibandingkan dengan nilai mata uang) sekarang, sama dengan empat ribu dinar”.[13]

Semua itu, karena beliau tidak ingin mementingkan diri sendiri. Akan tetapi sebaliknya, beliau ingin mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi beliau. Abu Nawwar, seorang penjual pakaian berkata: “Ali bin Abi Thalib a.s. pernah datang ke kedaiku bersama seorang pembantunya. Ia membeli dua baju dariku, lalu ia berkata

kepada pembantunya: `Pilihlah mana yang kamu sukai`. Pembantu itu mengambil salah satunya dan ia sendiri mengambil sisanya lalu memakainya”.[14]

Dan di antara bukti-bukti sejarah yang menunjukkan adanya perombakan sosial besar yang telah diciptakan oleh akidah Islam dalam tempo yang sangat singkat adalah realita berikut ini. Di suatu hari seseorang memberi hadiah seekor kambing kepada salah seorang sahabat Rasulullah saww. Ketika menerima hadiah itu ia berkata:

“Sesungguhnya saudaraku si Fulan lebih memerlukan hadian ini daripada saya”. Lantas ia pergi memberikan hadiah itu kepada saudaranya yang lebih memerlukan itu. Si Fulan itu mengatakan hal yang sama. Kejadian ini terus berulang sampai tujuh kali hingga akhirnya hadiah tersebut kembali kepada orang pertama.[15]

Demikianlah akidah Islam mendidik insan muslim untuk memiliki rasa peduli sosial setiap individu terhadap orang lain. Satu rasa peduli yang pada langkah awalnya harus dimulai dari kepedulian seseorang terhadap anggota keluarganya, tetangga, anggota negara, umat seagamanya dan kemudian umat manusia secara keseluruhan.

3. Menumbuhkan rasa kebersamaan.

Sehubungan dengan hal di atas, kita memiliki beberapa hadis yang menganjurkan setiap individu untuk hidup bersama dan tidak memisahkan diri dari masyarakat (jama’ah). Hal ini karena telah terbukti secara nyata bahwa hidup bersama akan menyebabkan kokohnya pondasi masyarakat, dan Allah SWT akan menganugerahkan kebaikan dan berkah kepada sebuah masyarakat yang hidup bersama.

Rasulullah saww bersabda:

ﺽﹸﻜﺭﻴ

ﹶﺔﻋﺎﻤﺠﹾﻟﺍ

ﹶﻑﹶﻟﺎﹶﺨ

ﻥﻤ

ﻊﻤ

ﻥﺎﹶﻁﻴﱠﺸﻟﺍﻭ

،ﺔﻋﺎﻤﺠﹾﻟﺍ

ﻊﻤ

ِﷲﺍ

ﺩﻴ

(Allah bersama kelompok, sedangkan syaitan bersama orang-orang yang menentang hidup berkelompok).[16]

Dalam hadis lain beliau bersabda: “Barang siapa yang keluar dari (hidup ber)-kelompok satu jengkal, maka ia telah melepaskan dirinya dari tali Islam”.[17]

Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa Islam adalah agama sosial yang selalu berusaha semaksimal mungkin merangsang setiap individu hidup secara berkelompok. Sangat disayangkan, pemerintahan-pemerintahan yang zalim dalam rangka mengokohkan kekuasaan dan singgasana mereka, mereka telah menyalahgunakan maksud kosa kata

“kelompok” (jama’ah) tersebut. Mereka mencurahkan seluruh amarah mereka kepada setiap orang yang menyuarakan kebenaran, bersikap menentang kekuasaan dan menjelek- jelekkan cara-cara mereka yang tidak Islami (dengan tuduhan ia telah keluar dari jama’ah).

Sebagai contoh, Bani Umayyah telah membunuh setiap orang yang menentang mereka dengan tuduan ia telah keluar dari jama’ah. Begitu juga Bani Abbas telah menggunakan metode yang pernah digunakan oleh Bani Umayyah dalam usaha memberantas orang- orang yang menentang mereka. Bahkan mereka memiliki tehnik-tehnik pembunuhan dan penyiksaan lebih kejam dari Bani Umayyah.

Setiap orang yang mau menelaah buku-buku sejarah, ia akan menemukan tehnik-tehnik penyiksaan dan pembunuhan keji yang pernah dipraktekkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbas terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib a.s. Hal ini karena mereka menganggap bahwa keturunan Ali bin Abi Thalib a.s. tersebut telah keluar dari jama’ah. Rasulullah saww telah menjelaskan maksud dari kosa kata jama’ah secara gamblang. Jama’ah - sebagaimana yang diartikan oleh orang-orang yang berpikiran dangkal dan diselewengkan oleh para penguasa - tidak memiliki arti mayoritas. Akan tetapi, yang dimaksud dengan jama’ah (dalam hadis-hadis di atas) adalah kelompok ahli kebenaran meskipun secara kuantitas mereka sedikit.

Sehubungan dengan hal itu Rasulullah saww bersabda: “Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah muslimin, maka ia telah melepaskan diri dari tali Islam”. “Wahai Rasulullah, siapakah jama’ah muslimin itu?”, tanya salah seorang sahabat. Beliau menjawab: “(Jama’ah muslimin adalah) kelompok ahli kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit”.[18]

Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa akidah Islam menyeru setiap individu muslim untuk bergabung dengan jama’ah. Akan tetapi, ada beberapa hadis dalam buku-buku referensi keislaman kita yang menyeru muslimin untuk ber-’uzlah (mengasingkan diri) dan menjauhkan diri dari masyarakat.

Pengarang buku “Jami’us Sa’adaat”, Syaikh An-Naraqi telah menjawab kontradiksi kedua kelompok hadis tersebut. Ia menulis: “Ulama generasi pertama memandang ke- mutlaq-kan[19] hadis-hadis yang memuji ‘uzlah dan menerangkan faedah-faedahnya, (kemudian mereka menganjurkan setiap individu untuk ber-’uzlah dalam keadaan dan kondisi bagaimanapun). Seperti sabda Nabi saww: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai seorang hamba yang bertakwa dan mengucilkan diri”. Atau sabda Nabi saww yang lain:

“Manusia yang paling utama adalah seorang mukmin yang berjihad dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah SWT dan orang yang mengasingkan diri di kaki-kaki gunung”. Dan perkataan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s.: “Zaman telah rusak dan persaudaraan telah berubah. Menyendiri adalah jalan untuk menentramkan hati”. Atau ucapan beliau yang lain: “Sedikitkanlah pengetahuanmu dan jauhilah orang yang kamu kenal”.

Yang benar, keutamaan hidup bersama atau ber-’uzlah tergantung kepada masing-masing pribadi, situasi, zaman, dan tempat. Oleh karena itu, (demi menghukumi bahwa hidup bersama adalah lebih utama dari ber-’uzlah atau sebaliknya), hendaknya kita melihat masing-masing individu dan situasinya. Dimungkinkan untuk sebagian orang ber-’uzlah lebih utama dan untuk sebagian yang lain meleburkan diri dalam masyarakat lebih utama. Dan dimungkinkan juga, sebagian orang harus menjaga kestabilan antara keduanya;yaitu

di samping ia harus meleburkan diri dalam masyarakat, ia juga harus memiliki kesempatan untuk ber-’uzlah”.[20]

Kita bisa menyesuaikan antara dua kelompok hadis yang secara lahiriah kontradiktif itu dengan jawaban lain di samping jawaban yang telah diajukan oleh Syaikh An-Naraqi. Hadis-hadis yang menganjurkan kita untuk ber-’uzlah tersebut, dapat kita artikan dengan beberapa arti, antara lain: pertama, hadis-hadis tersebut menganjurkan kita untuk beribadah dengan penuh khusyu, dan ibadah semacam ini menuntut kita untuk menjauhi masyarakat beberapa waktu demi memusatkan pikiran kita kepada Allah semata.

Tentu saja, arti ini tidak dapat diterapkan atas semua jenis ibadah. Sebagai contoh, ibadah Haji adalah sebuah ibadah yang memiliki corak sosial. Dalam ibadah Haji manusia berkumpul dari segala penjuru di satu tempat dan waktu yang terbatas untuk menunaikan manasik yang satu.

Kedua, hadis-hadis tersebut memerintahkan kita untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang berperangai jelek dan jahat. Sebagai qarinah (alasan semantis) untuk arti ini adalah wasiat Rasulullah saww kepada Abu Dzar r.a.:

ﺀﻭﺴﻟﺍ

ﹺﺱﻴﻠﺠ

ﻥﻤ

ﺭﻴﹶﺨ

ﹸﺓﺩﺤﻭﹾﻟﺍﻭ

،ﺓﺩﺤﻭﹾﻟﺍ

ﻥﻤ

ﺭﻴﹶﺨ

ﺢِﻟﺎﺼﻟﺍ

ﺱﻴﻠﺠﹾﻟﹶﺍ

،ﺭﹶﺫ

ﺎﺒَﺃ

ﺎﻴ

(Wahai Abu Dzar, berteman dengan orang yang shalih lebih dari pada menyendiri, dan menyendiri lebih baik dari pada berteman dengan orang yang jahat).[21]

Adapun bergaul dan berkumpul dengan orang-orang yang baik - sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya - adalah satu hal yang dianjurkan oleh Islam. Secara universal dapat kita katakan, Islam menganjurkan kita untuk bergaul dengan masyarakat dan sabar atas segala gangguan mereka. Meskipun terdapat kondisi-kondisi tertentu yang mengharuskan kita untuk menyendiri.

Dalam kaitannya dengan hal itu Rasulullah saww bersabda:

ﻭ

ﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

ﹸﻁِﻟﺎﹶﺨﻴ

ﹶﻻ

ﻱﺫﱠﻟﺍ

ﹺﻥﻤْﺅﻤﹾﻟﺍ

ﻥﻤ

ُلﻀﹾﻓَﺃ

ﻡﻫﺍﹶﺫَﺃ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺭﹺﺒﺼﻴﻭ

ﺱﺎﱠﻨﻟﺍ

ﹸﻁِﻟﺎﹶﺨﻴ

ﻱﺫﱠﻟﺍ

ﻥﻤْﺅﻤﹾﻟﹶﺍ

ﻰﹶﻠﻋ

ﺭﹺﺒﺼﻴ

ﹶﻻ

ﻡﻫﺍﹶﺫَﺃ

(Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakatnya dan sabar atas segala gangguan mereka lebih utama dari seorang mukmin yang mengucilkan diri dari masyarakatnya dan tidak sabar atas segala gangguan mereka).[22]

Atas dasar ini, Islam mengecam ‘uzlah total dari masyarakat, dengan alasan apapun, baik untuk beribadah atau lainnya. Karena dalam Islam kita tidak diperkenankan untuk mempraktekkan kerahiban.

Pada suatu hari Rasulullah saww tidak melihat salah seorang sahabat (yang biasanya sering hadir menghadap beliau). Beliau meminta salah seorang sahabat yang lain untuk memanggilnya. Ketika sampai di hadapan beliau, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya

ingin pergi ke gunung itu demi berkhalwat dan beribadah di dalamnya”. Maka Rasulullah saww menimpali: “Kesabaran salah seorang dari kamu sesaat terhadap musibah yang menimpanya di sebagian negeri Islam ini adalah lebih utama dari beribadah menyendiri selama empat puluh tahun”.[23]

Ringkasnya, terdapat beberapa situasi dan kondisi yang menuntut setiap individu untuk bergabung dengan jama’ah dan meleburkan diri di dalamnya, seperti jihad, shalat berjama’ah di masjid dan belajar di pusat-pusat pendidikan.

b. Merubah Sistem Hubungan Sosial

Masyarakat Jahiliah memandang hubungan darah dan rahim sebagai dasar hubungan sosial. Oleh karena itu, ketika terjadi kontradiksi antara kebenaran dan kepentingan suku, mereka lebih mengutamakan kepentingan suku atas kebenaran itu. Alquran yang mulia secara tegas mencela fanatisme model Jahiliyah ini.

Allah SWT berfirman:

ﻴﻜﺴ

ُﷲﺍ

َلﺯﹾﻨَﺄﹶﻓ

ﺔﻴﻠﻫﺎﺠﹾﻟﺍ

ﹶﺔﻴﻤﺤ

ﹶﺔﻴﻤﺤﹾﻟﺍ

ﻡﹺﻬﹺﺒﻭﹸﻠﹸﻗ

ﻲﻓ

ﺍﻭﺭﹶﻔﹶﻜ

ﻥﻴﺫﱠﻟﺍ

َلﻌﺠ

ﹾﺫِﺇ

ﻥﻴﻨﻤْﺅﻤﹾﻟﺍ

ﻰﹶﻠﻋﻭ

ﻪِﻟﻭﺴﺭ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻪﹶﺘﹶﻨ

...

(Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan Jahiliyah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan mukminin).[24]

Akidah Islam telah berusaha untuk menghilangkan segala jenis fanatisme dari sanubari manusia dan tidak mengakui keturunan, ras kulit, harta dan jenis kelamin sebagai tolok ukur keutamaannya dari manusia lain. Sebagai gantinya, akidah Islam menganjurkan agar hubungan sosial masyarakat dilandasi oleh asas-asas spiritual, yaitu takwa dan fadlilah. Atas dasar ini, akidah Islam ingin membasmi segala bentuk dan corak fanatisme. Karena iman dan fanatisme tidak akan pernah bertemu.

Abu Abdillah a.s. berkata: Rasulullah saww bersabda: “Barang siapa yang memiliki sifat fanatik atau rela orang lain bersikap fanatik terhadapnya, niscaya ia telah melepaskan diri dari tali iman”.[25]

Beliau juga berkata:

ﻰﹶﻠﻋ

ﹶﺕﺎﻤ

ﻥﻤ

ﺎﱠﻨﻤ

ﺱﻴﹶﻟﻭ

،ﺔﻴﹺﺒﺼﻋ

ﻰﹶﻠﻋ

َلﹶﺘﺎﹶﻗ

ﻥﻤ

ﺎﱠﻨﻤ

ﺱﻴﹶﻟﻭ

،ﺔﻴﹺﺒﺼﻋ

ﻰﹶﻟﺍ

ﺎﻋﺩ

ﻥﻤ

ﺎﱠﻨﻤ

ﺱﻴﹶﻟ

ﺔﻴﹺﺒﺼﻋ

(Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak orang lain untuk bersikap fanatik, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang dengan didorong oleh semangat fanatisme dan bukan termasuk golongan kami orang yang mati dalam keadaan fanatik”.[26]

Amirul Mukminin a.s. dalam sebuah khotbah beliau yang dikenal dengan nama “Al- Qashi’ah” menawarkan sebuah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit fanatisme itu. Beliau berkata: “Sungguh aku telah meneliti, dan aku tidak menemukan seseorang di dunia ini yang bersikap fanatik terhadap sesuatu kecuali karena satu alasan yang mungkin disalah pahami oleh orang-orang bodoh atau hujah yang biasa digunakan oleh orang-orang yang tolol. Kamu jika bersikap fanatik terhadap sesuatu, (ketahuilah) setiap fanatik itu tidak memiliki sebab dan landasan (yang tepat);Iblis membanggakan diri kepada Adam as karena asalnya dan mencelanya karena penciptaannya. Ia berkata (dengan congkaknya):`Saya terbuat dari api, sedangkan engkau dari tanah`. Orang- orang kaya yang berlagak hidup mewah di muka bumi ini merasa bangga karena kenikmatan yang dimilikinya. Mereka berkata (dengan congkaknya): `Kami lebih banyak mempunyai harta dan keturunan daripada kamu, dan kami tidak akan pernah disiksa`. Maka, jika kamu harus bersikap fanatik dan bangga diri, berbangga dirilah karena perangai yang mulia dan perbuatan yang terpuji. Berbangga dirilah karena kalian mampu menunaikan (hak-hak) tetangga, setia terhadap janji, patuh dalam kebaikan, menentang kesombongan, memiliki keutamaan, mencegah kezaliman, berhenti mengucurkan darah orang lain, berbuat bijak terhadap setiap makhluk, menahan amarah dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi ini”.[27]

Ali bin Husein a.s. ketika beliau ditanya mengenai fanatisme, menjelaskan arti fanatisme (‘ashabiyah), fanatisme yang terkutuk dan yang terpuji. Beliau berkata: “Fanatisme yang menyebabkan dosa, jika seseorang menganggap kaumnya yang jahat lebih utama dari kaum yang shalih. Dan tidak termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa jika seseorang yang mencintai bangsanya. Akan tetapi, termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa ketika seseorang membantu kaumnya berbuat kezaliman”.[28]

Demikianlah, akidah Islam telah menyirnakan awan fanatisme yang hitam dari sanubari mukminin, dan membentuk identitas baru bagi manusia yang berlandaskan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, akidah Islam telah menebarkan cinta dan rahmat (di dunia ini) sebagai ganti dari fanatisme dan kebencian. Karena fanatisme adalah salah satu faktor berbahaya yang dapat menyebabkan perpecahan dan kelemahan muslimin, baik secara spiritual atau material. Dan Islam telah memerangi fanatisme berbahaya itu dan selalu mengingatkan muslimin akan efek-efek negatifnya.[29]

Di antara contoh-contoh perombakan sosial paling menonjol yang pernah dilakukan oleh Islam adalah naiknya pribadi-pribadi kelas bawah pada periode pra-Islam ke puncak piramida sosial setelah bersinarnya matahari Islam. Bilal Al-Habasyi menjadi muazzin Rasulullah saww dan Salman Al-Farisi r.a. menjadi salah seorang sahabat yang agung pada era Islam dan penguasa negeri-negeri yang luas. Dan lebih dari itu, ia menjadi anggota Ahlul Bayt a.s.

Seseorang bertanya kepada Imam Ali a.s.: “Wahai Amirul Mukminin, beritahukanlah kepadaku tentang Salman Al-Farisi”. Beliau menjawab: “Berbahagialah ia. Salman adalah salah satu dari kami, Ahlul Bayt dan bagaikan Lukman Al-Hakim bagi kalian

Dalam dokumen Markaz ar-Risalah – Peran akidah (Halaman 34-49)

Dokumen terkait