• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai upaya dilakukan untuk mengembangkan pembuatan elektroda sebagai biosensor ataupun biofuel cell dengan respon yang cepat dan akurat dengan memperhatikan sifat kedua material komposit. Bahan dan luas permukaan elektroda mampu mempengaruhi jumlah tegangan yang

12

dihasilkan karena setiap bahan elektroda memiliki tingkat potensial elektroda (E°) yang berbeda-beda, kombinasi bahan anoda dan katoda akan menghasilkan beda potensial. Elektroda alternatif yang biasa digunakan adalah elektroda padat yang dimodifikasi dengan senyawa pengompleks. Elektroda padat memiliki rentang potensial anoda yang lebih luas. Elektroda berbasis karbon sekarang ini sangat berkembang dalam bidang elektroanalisis karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu rentang potensial yang luas, arus latar rendah, murah, inert, dan cocok digunakan untuk bermacam-macam sensor (Wang, 1994).

Pasta karbon merupakan elektroda murah, permukaannya dapat diperbaharui, permukaannya berpori dan dapat dibuat dalam bentuk yang kecil, sehingga modifikasi elektroda pasta karbon banyak dipilih sebagai elektroda pengganti raksa (Wang, 1994; Raoof, et al., 2004). Elektroda pasta karbon dapat dimodifikasi dengan mencampurkan modifier sebagai salah satu bahan elektroda (bulk modified). Salah satu elektroda pasta karbon yang telah dimodifikasi secara kimia di antaranya adalah elektroda pasta karbon termodifikasi polianilin sebagai penyimpan energi secara elektrokimia (Zhu J 2012).

Kombinasi polianilin (PANI) dengan bahan organik atau anorganik lain dapat menghasilkan material baru yang tidak hanya meningkatkan sifat mekanik tetapi juga sifat lain tergantung material yang ditambahkan (Phang 2008). Penambahan PANI pada karbon dilakukan agar tidak ada ruang kosong antara partikel grafit yang satu dengan yang lainnya, sehingga PANI yang ditambahkan masuk dalam rongga kosong antara partikel grafit, hal ini meningkatkan konduktivitas listrik pada elektroda yang dibuat karena jalannya elektron tidak terputus. Grafit pada komposit berfungsi sebagai penguat dan memperkecil gesekan serta meningkatkan ketahanan aus (Gradiniar 2013). Komposit elektroda pasta karbon telah banyak digunakan untuk aplikasi elektroanalitik sejak diperkenalkan oleh Adams pada tahun 1958, karena sifat konduktif, terbarukan dan untuk fabrikasi secara elektrokimia sangat sederhana dan murah (Colak 2012).

Teknologi amobilisasi enzim dalam matriks polimer (polianilin) dengan polimerisasi pada elektrokimia merupakan suatu langkah yang menjanjikan dalam ilmu pengetahuan, karena sederhana, cepat, handal dan murah. Ammobilisasi hanya melibatkan penerapan potensial yang sesuai pada elektroda dalam pelarut yang cocok terhadap monomer dan enzim. Polimer konduktif memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron yang dihasilkan oleh reaksi reduksi oksidasi dari analat sehingga dapat terbaca di potensiostat (Vebrian, 2011).

Glukosa oksidase merupakan salah satu enzim yang dapat digunakan sebagai katalis dalam enzymatic fuel cell. Glukosaoksidase juga memiliki spesifitas tinggi terhadap glukosa (Ahmad et al. 2007). Ada beberapa keuntungan dari elektroda enzim, seperti penentuan analit secara mudah dalam campuran yang kompleks, penggunaan volume sample yang kecil dan pemulihan enzim untuk penggunaan berulang kali (Ozdemir, 2010).

13 Bahan dan Metode

Bahan

Alat dan instrumen yang akan digunakan adalah eDAQ Potensiostat –

Galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim glucose oxidase, bovine serum albumin (BSA), larutan buffer fosfat pH 5 dan glutaraldehide (2% b/v), KCL, grafit, nujol, tabung kaca (diameter 1 cm dan panjang 3 cm) dan kawat tembaga.

Metode

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap percobaan yaitu: pembuatan elektroda pasta karbon (EPK), pembuatan elektroda pasta karbon termodifikasi (EPKT) polianilin, pengukuran elektrokimia (EPK dan EPKT) secara voltametrik siklik dan amobilisasi enzim.

Pembuatan Elektroda Pasta Karbon (EPK)

Pembuatan elektoda ini mengacu pada Ozlem Colak et al (2012). EPK dibuat dengan mencampurkan 0.6 g grafit dan 400 L nujol lalu dicampur

dengan mortar dan diaduk selama 30 menit hingga membentuk pasta yang homogen. Sebuah tabung gelas yang terbuat dari kaca dengan diameter 1 cm dan panjang 3 cm digunakan sebagai badan elektroda, selanjutnya di sambungkan dengan kawat tembaga sebagai penghubung elektroda ke sumber listrik dimasukkan ke dalam tabung hingga tersisa ruang kosong sekitar 0,7 cm pada ujung tabung.

Pasta dimasukkan ke ujung tabung hingga penuh dan padat. Permukaan elektroda dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas minyak hingga licin dan berkilau. (Gambar 7).

14

Pembuatan Elektroda Pasta Karbon Termodifikasi (EPKT) Polianilin Polianilin, serbuk grafit dan nujol dicampur hingga membentuk pasta homogeny. Sebuah tabung gelas dengan diameter 1 cm dan panjang 3 cm digunakan sebagai badan elektroda. Kawat tembaga sebagai penghubung electroda ke sumber listrik dimasukkan ke dalam tabung hingga tersisa ruang kosong sekitar 0,7 cm pada ujung tabung hingga padat. Permukaan elektroda dihaluskan menggunakan ampelas halus dan kertas minyak hingga licin dan berkilau.

Pengukuran Elektrokimia

Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan alat potensiostat /galvanostat eDAQ potensiostat dan computer beserta perangkat lunak pengolah data E.chem.untuk melihat voltametri siklik bentuk kurva voltamogram dari EPK dan EPKT. Voltametri merupakan salah satu metode elektroanalitik yang didasarkan oksidasi-reduksi pada permukaan elektroda. Percobaan voltametri siklik dilakukan dalam larutan elektrolit KCL 3 M. Respon arus diamati pada selang potensial -5-10 V dengan scan rate 100 mV/s menggunakan platina sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektodra refensi dan elektroda kerja dari elektroda EPK dan EPKT yang dibuat.

Amobilisasi Enzim

Amobilisasi dilakukan berdasarkan metode Ozlem Colak et al (2012) dengan cara crosslinking dengan menggunakan pereaksi glutaraldehid.

Amobilisasi enzim dilakukan dengan mencampurkan 37 L enzim glucose oxidase, I mg bovine serum albumin (BSA), 63 L larutan buffer fosfat pH 5 dan 30 L glutaraldehide (2%b/v). Semua larutan dicampur dalam tabung

Eppendorf sampai homogen dengan total volume larutan sebanyak 130 L.

Kemudian larutan tersebut diteteskan ke elektoda pasta karbon termodifikasi (EPKT), dibiarkan hingga larutan enzim yang teramobil dipastikan terjerap (teramobil) pada pasta karbon-polianilin. Elektroda ini yang disebut bioanoda, kemudian elektroda ini dikeringkan dan disimpan di suhu ruang dan dicuci dengan larutan buffer fosfat (0,1 M) pH 5 sebanyak 3 kali untuk menghilangkan kelebihan enzim yang tidak teramobil.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Elektrokimia

Cyclic voltammetry adalah suatu teknik analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat memberikan informasi dengan cepat dalam mengkarakterisasi reaksi yang terjadi di dalam sel elektrokimia. Pada cyclic voltammetry respon arus diukur sebagai fungsi potensial (voltase), dimana pemberian potensial dilakukan secara bolak-balik, sehingga informasi

15 reduksi dan oksidasi dapat teramati dengan baik. Karakteristik cyclic voltammetry tergantung beberapa faktor yaitu laju reaksi transfer elektron, kereaktifan spesi elektroaktif, dan scan rate voltase (Wijaya, 2008). Spesi yang semula dioksidasi pada sapuan potensial awal (forward scan) akan direduksi setelah sapuan potensial balik (reverse scan).

Besarnya potensial puncak yang dihasilkan dipengaruhi oleh kinetika transfer elektron. Jika kinetika transfer elektron berlangsung lambat maka besarnya pemisahan potensial puncak akan lebih besar dan akan meningkat sesuai dengan peningkatan scan rate. Apabila potensial puncak yang dihasilkan tidak berubah dengan bertambahnya scan rate, reaksi reduksi oksidasi tersebut bersifat reversible. Sebaliknya jika potensialnya berubah dengan perubahan scan rate maka reaksi redoks tersebut bersifat irreversible.

Gambar 8 memperlihatkan kurva voltamogram dari EPK dan EPKT dengan scan rate 100 mV/s dalam larutan KCL 3 M dengan rentang potensial yang digunakan -5–10 V menggunakan Pt sebagai elektroda bantu dan Ag/AgCl sebagai elektroda refensi dan elektroda kerja dari elektroda EPK dan EPKT. Terlihat bahwa terdapat dua puncak oksidasi pada EPK yaitu puncak oksidasi pertama pada potensial -0,2 V, puncak oksidasi ke dua tidak jelas terlihat karena puncak arus yang ditunjukkan terlalu kecil yaitu pada potensial 0,38 V sedangkan pada puncak reduksi terlihat pada potensial -0,5 V dan 0,3 V. Untuk EPKT terlihat pada potensial 0,5 V puncak oksidasi dan puncak reduksi terlihat pada -0,1 V walaupun tidak terlihat begitu tajam. Terlihat bahwa kurva yang di tampilkan lebih luas dan lebih miring.

Gambar 8. Voltamogram EPK dan EPKT

Hasil pengukuran secara cyclic voltammetry berupa voltamogram. Bentuk yang spesifik dan dipengaruhi oleh variabel analit pada potensiostat yang digunakan sebagai dasar analisis. Puncak arus yang terbentuk pada

-0,6 -0,4 -0,2 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2 -120 -100 -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 120 Aru s ( A) Tegangan (V) EPK EPKT

16

voltamogram adalah representatif pergerakan elektron yang berkala dari reaksi yang terjadi di permukaan elektroda (Zhang , 2014).

Menurut Jiahua Zhu (2012) pada elektroda grafit menunjukkan nilai densitas arus sangat rendah karena sifat non konduktif dan luas permukaan yang rendah (16,30 m2/g). Setelah ditambahkan dengan polianilin luas permukaan secara signifikan meningkat menjadi 29,26 m2/g dengan puncak pada kedua kurva oksidasi dan reduksi tidak teramati dan malah menjadi lebih luas dan lebih miring. Ini dimungkin karena aglomerasi polianilin yang secara signifikan meningkatkan ketahanan difusi ion elektrolit ke dalam bahan elektroda

PANI sebagai material konduktif bisa menfasilitasi transfer elektron dalam bahan elektroda dan dapat mengurangi hambatan internal untuk mendapatkan kinerja lebih tinggi. Dengan struktur lebih luas dan lebih miring elektroda komposit PANI dan karbon bisa meningkatkan difusi ion dari elektrolit ke elektroda sehingga bisa meningkatkan efisiensi transfer ion dalam elektroda komposit.

Elektroda Bioanoda

Enzim secara biokimia merupakan suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologis. Berperan sebagai biokatalisator di dalam sel dan bersifat khas (spesifik). Bagian enzim terpenting adalah sisi aktif dari enzim yang akan mengikat substrat spesifik membentuk kompleks enzim-substrat. Selama reaksi katalisis berlangsung, struktur enzim tidak berubah baik sebelum dan sesudah reaksi (Gambar 9), (Shelley, 2012)

Gambar 9 mekanisme pengikatan enzim-substrat (Shelley, 2012) Glukosa oksidase merupakan salah satu enzim yang dapat digunakan sebagai katalis dalam enzymatic fuel cell. Lee et al. (2011) menyatakan bahwa daya yang dapat dihasilkan oleh glukosa oksidase dalam sistem fuel cell mencapai 1λ0 W/cm2. Angka ini cukup tinggi dibandingkan daya yang dihasilkan oleh enzim lain, misalnya glukosa dehidrogenase yang hanya menghasilkan 9.3 W/cm2. Glukosa oksidase juga memiliki spesifitas tinggi terhadap glukosa (Restu, 2007). Hal ini sangat menguntungkan karena glukosa merupakan substrat yang jumlahnya melimpah serta aman untuk digunakan. Glukosa oksidase diproduksi oleh

17 banyak mikroorganisme salah satunya Aspergillus niger. Glucose oxidase (β-D-glukosa: oxygen 1-oxidoreductase, EC 1.1.3.4) adalah enzim yang mengkatalisis oksidasi ß-D-glukosa menjadi D-glukonolakton oleh Flavin Adenine Dinucleotide (FAD) sebagai gugus prostetiknya. FAD selanjutnya memindahkan elektron yang berasal dari glukosa menuju molekul oksigen, dan mereduksi hidrogen peroksida. D-glukonolakton yang dihasilkan kemudian dihidrolisis secara non enzimatik menjadi asam glukonat. (gambar 10) (Yamaguchi et al, 2007).

Gambar 10 struktur 3D Glukosa Oksidase (sumber: pdb.org)

Kelemahan dari enzim adalah sifat enzim yang tidak stabil (rentan terhadap pH dan suhu ekstrem), biaya isolasi maupun pemurnian yang tinggi dan penggunaan enzim kembali terutama enzim (soluble/enzim dalam bentuk larutan). Untuk mengatasi kekurangan dalam hal penggunaan enzim maka dilakukan teknik amobilisasi enzim yaitu enzim yang secara fisik dibuat menjadi tidak bebas bergerak (amobil), sehingga enzim dapat digunakan secara berulang dan dapat dikendalikan kapan enzim harus kontak dengan substrat (Harlander, 2000).

Metode amobilisasi diketahui sangat beragam. Pemilihan metode amobilisasi bergantung pada sifat-sifat enzim yang digunakan. Salah satu metode yang telah banyak digunakan adalah pengikatan silang yang didasarkan pada pembentukan ikatan intermolekuler/kovalen antar molekul enzim dengan menggunakan pereaksi multi atau bifungsional (glutaraldehid), sehingga menghasilkan jaringan protein tiga dimensi yang stabil dan tidak larut dalam air. Amobilisasi enzim ini dapat dipakai berulang dan stabilitasnya lebih terjaga, mudah dipisahkan dari produk karena enzimnya tidak larut/teramobil.

Pembuatan elektroda bioanoda komposit karbon-nanopartikel polianilin yang teramobilisasi glucose oxidase dilakukan pada EPKT yang telah siap digunakan. Selanjutnya enzim glucose oxidase yang di amobil dalam matriks pengikat silang glutaraldehid diteteskan pada permukaan EPKT (Gambar 11). Pencucian dilakukan setelah semua enzim teramobil terserap dalam EPKT. Agar penyerapan sempurna maka tetesan enzim teramobil dibiarkan 12-16 jam dalam lemari es (suhu 4oC). Setelah semua enzim teramobil teserap dan bioanoda dalam keadaan kering, selanjutnya dilakukan pencucian pada permukaan bioanoda, dengan tujuan untuk

18

menghilangkan sisa enzim teramobil yang tidak terserap pada EPKT. Bioanoda tersebut dapat disimpan dalam buffer fosfat pH 5 dalam lemari pendingin suhu 40C dan siap untuk digunakan dalam percobaan selanjutnya.

Gambar 11 Elektroda bioanoda Simpulan

Telah dibuat elektroda bioanoda komposit karbon-nanopartikel Polianilin yang teramobilisasi Glucose oxidase (GOD) yang akan digunakan pada sistem EFC. Studi elektrokimia menunjukkan bahwa elektroda nanokomposit polianilin pasta karbon bisa meningkatkan efisiensi transfer ion dalam elektroda komposit. Voltamogram yang didapat elektroda nanokomposit PANI-pasta karbon terlihat pada potensial 0,5 V puncak oksidasi dari anilin, dan pada puncak reduksi terlihat pada -0,1 V. Puncak pada kedua kurva oksidasi dan reduksi hampir tidak teramati dengan jelas. 4 KINERJA ENZYMATIC FUEL CELL

Pendahuluan

Fuel cell merupakan teknologi elektrokimia yang secara kontinu mengkonversi energi kimia menjadi energi listrik dan menggunakan suatu substrat sebagai bahan bakarnya. Prinsip keja fuel cell adalah suatu sel dengan dua elektroda yang dipisahkan oleh elektrolit dan dihubungkan melalui sirkuit eksternal. Untuk menghasilkan energi listrik maka perlu perancangan alat pendukung yang terditi atas: dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh Proton Exchange Membran (PEM) sebuah polimer yang permeable yang hanya meloloskan ion proton. Anoda berperan sebagai tempat terjadinya pemecahan hidrogen (H2) menjadi

19 proton dan elektron (listrik). Katoda berperan sebagai tempat terjadinya reaksi penggabungan proton, elektron dan oksigen untuk membentuk air. Elektrolit adalah media untuk mengalirkan ion (Gambar 12).

Gambar 12 Prinsip kerja fuel cell (Sundmacher, 2007)

Biofuel cell atau fuel cell berbasis biologi memiliki konsep yang sangat berbeda dengan fuel cell pada umumnya. Fuel cell berbasis biologi menggunakan biokatalis untuk mengkonversi bahan kimia menjadi energi listrik. Prinsip kerjanya mengubah sumber bahan bakar dengan mengkonversi energi biokimia menjadi energi listrik melalui proses metabolisme mikroba yang melibatkan sistem enzim. Energi penggerak biofuel cell adalah reaksi redoks dari substrat glukosa. Energi kimia dapat diubah menjadi energi listrik dengan adanya pasangan reaksi oksidasi substrat dengan reaksi reduksi suatu oksidator pada permukaan antara anoda dan katoda. Adanya perbedaan potensial oksidasi pada kedua elektroda menyebabkan elektron dapat mengalir dari anoda ke katoda (gambar 13) (Logan, 2006).

Secara ekonomis biofuel cell merupakan sistem yang relatif lebih murah dan ramah lingkungan. Keunggulan sistem ini dibandingkan dengan fuel cell kimia lain meliputi temperature operasional yang sedang, tidak memerlukan katalis yang mahal. Pada perkembangan selanjutnya, biofuel cell dibagi menjadi dua macam yaitu Microbial Fuel Cell (MFC) dan Enzymatic Fuel Cell (EFC). MFC memanfaatkan sel mikroorganisme sedangkan EFC memanfaatkan biomolekul enzim pada proses konversi bahan bakar menjadi energi listrik. MFC menggunakan sel utuh mikroorganisme tanpa harus mengisolasi enzim terlebih dahulu (Shukla et al, 2004).

Enzymatic Fuel Cell (EFC) prinsip kerjanya mirip dengan fuel cell. Representasi dari EFC seperti telihat pada gambar 13. Pada anoda terjadi reaksi oksidasi (melepaskan elektron) yang dihasilkan dari glukosa sebagai substratnya. sedangkan katoda terjadi reaksi reduksi (menerima elektron).

20

Gambar 13 Prinsip kerja Enzymatic fuel cell (Zebda, Institut Européen des Membranes)

Anoda : C6H12O6 C6H10O6 + 2e- + 2H+ Katoda : ½ O2 + 2e- + 2H+ C6H10O6 + H2O Overall : C6H12O6 + ½ O2 C6H10O6 + H2O

Dari reaksi diatas atom hidrogen terpecah menjadi 2 H+ dan 2 e- proton mengalir melalui membran sedangkan elektron tidak dapat menembus membran karena membran yang digunakan adalah membran permeable yang hanya bisa meloloskan proton (muatan positif) dan elektron (muatan negatif) tidak bisa melewati membran tersebut, sehingga elektron hanya menumpuk pada anoda. Sedangkan pada katoda terjadi penumpukkan ion bermuatan positif (proton). Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda sehingga terdapat arus listrik yang akan diukur besar arusnya sebagai output dari sistem EFC. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen pada katoda membentuk air.

Kompartemen anoda berisikan material organic yaitu glukosa. Penggunaan glukosa sebagai sumber karbon dapat meningkatkan elektrisitas hingga 89% (Rabaey, 2003). Pada kompartemen katoda,terdapat larutan elektrolit yang bersifat konduktif kalium ferrisianida (K3Fe(CN)6) dikenal sangat baik sebagai akseptor elektron dalam sistem EFC. K3Fe(CN)6 merupakan spesies elektroaktif yang mampu menangkap elektron dengan baik dengan harga potensial reduksi standar +3,6 V. Keuntungan terbesar dalam penggunaan kalium ferrisianida adalah dihasilkannya overpotensial yang rendah bila menggunakan elektroda karbon. Akan tetapi kerugian terbesar adalah terjadinya proses reoksidasi yang tidak sempurna oleh oksigen sehingga larutannya harus diganti secara teratur. Kinerja jangka panjang ferrisianida dalam sistem EFC dipengaruhi oleh efisiensi difusinya melewati PEM menuju ruang katoda (Logan, 2006).

Kinerja EFC dapat dipengaruhi oleh beberapa hal menurut Lim et al. (2005), faktor-faktor yang berpengaruh antara lain kecepatan degradasi substrat, kecepatan transfer elektron ke anoda dan transfer proton dalam larutan. Faktor lainnyanya adalah komponen penyusun EFC, seperti elektroda (anoda dan katoda) dan membrane penukar proton, serta kelengkapan membran.

21 Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan dalam EFC ini adaah reaktor dual chamber, membran, kawat tembaga, buffer phosfat, glukosa, aquades, kalium ferisianida (K3Fe(CN)6), pH meter, kabel dan jepit buaya, mikroamperemeter, voltmeter.

Metode

EFC pada penelitian ini menggunakan reaktor dual chamber, yaitu terdapat dua buah kompartemen (anoda-katoda),diantara kedua kompartemen terdapat lubang dengan diameter 3 cm untuk dipasangkan membran pemisah yang dapat mengalirkan proton, kemudian elektroda bioanoda dipasang di ruang anoda dan elektroda kawat tembaga ada katoda, dihubugkan dengan rangkaian kabel pada alat digital multimeter. Kemudian diukur arus listrik dan tegangan. Instrumen pengukur kuat arus dan tegangan yang digunakan yaitu mikroampere dan voltmeter (Gambar 14).

Gambar 14 Rangkaian alat EFC

Prosedur kerja yang dilakukan adalah: disiapkan reaktor dual chamber EFC dengan volume masing-masing 50 ml. Pada kompartemen anoda diisi dengan larutan yang terdiri dari 5 ml glukosa yang divariasikan konsentrasi molar (0,25; 0,50; 0,75; 1) 25 mL buffer phosfat 0,1M pH 7,0 dan 10 mL aquades. Sedangkan pada kompartemen katoda diisi dengan 25 mL larutan kalium ferrisianida 0,1 M dan 25 mL buffer fosfat 0,I M pH 7,0 seperti pada Gambar 15. Diamati nilai arus listrik dan tegangan yang tertera pada layar digital multimeter hingga stabil dan dicatat Dari data kuat arus

dan tegangan, dapat diperoleh nilai rapat daya ( W/cm2

), yaitu daya per satuan luas permukaan elektroda. Rapat daya (Power density) dapat dihitung menggunakan persamaan 2 berikut (Momoh et al. 2010).

22

Hasil dan Pembahasan

Pada eksperimen ini dilakukan pengukuran kuat arus dan tegangan pada konsentrasi glukosa yang berbeda-beda, dengan menggunakan rangkaian EFC (Gambar 15). Berdasarkan data yang diperoleh nilai kuat arus maksimum dicapai pada konsentrasi glukosa 0,25 M setelah menit ke 100 yaitu 5,05 A, sedangkan kuat arus maksimum untuk konsentrasi 0,50 M adalah 2,45 A, untuk konsentrasi 0,75 adalah 1,6λ A dan 1,35 A

untuk konsentrasi 1 M. Selain kuat arus pada percobaan ini juga dilihat pengaruh konsentrasi glukosa terhadap tegangan atau beda potensial antara elektroda anoda dan katoda. Nilai tegangan menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi glukosa, dimana nilai tegangan maksimum sebesar 60,8 mV dicapai, setelah menit ke 90 saat konsentrasi glukosa 0,25 M, sedangkan tegangan maksimum untuk konsentrasi 0,50 M adalah 20,3 mV, untuk konsentrasi 0,75 M adalah 20,8 mV dan 15,4 mV untuk konsentrasi 1 M.

(A) (B)

(C)

Gambar 15 Kinerja EFC pada variasi konsentrasi glukosa. A Pengukuran arus listrik, B Pengukuran Tegangan, C Pengukuran power density -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 1 2 3 4 5 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M Arus ( A) Waktu (menit) -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 10 20 30 40 50 60 70 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M T e g a n g a n (mV) Waktu (menit) -20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,25 M 0,50 M 0,75 M 1 M Pow e r d e n si ty ( W /cm 2) Waktu (menit)

23 Setelah diperoleh nilai kuat arus dan tegangan, dapat dihitung rapat daya (power density) yang dihasilkan per luas permukaan elektroda. Dengan menggunakan persamaan (1) (Momoh et al, 2010), diperoleh hasil bahwa nilai power density maksimum sebesar 0,3λ W/cm2

dicapai pada saat konsentrasi 0,25 M, sedangkan power density untuk konsentrasi 0,50 adalah

0,071 W/cm2

, untuk konsentrasi 0,75 M adalah 0,044 W/cm2

dan untuk konsentrasi 1 M adalah 0,026 W/cm2

.

Menurut Trinh et al, (2009) penurunan kuat arus disebabkan oleh kehadiran hidrogen hasil reaksi substrat di sel anoda. Semakin lama konsentrasi hidrogen ini akan meningkat dan akhirnya menutupi seluruh permukaan elektroda di anoda sehingga proses transfer elektron dari substrat ke elektroda menjadi terhalang. Untuk mempertahankan kuat arus pada level yang tinggi, keberadaan hidrogen di anoda harus dihilangkan.

Guerrero-Larrosa (2010) menjelaskan bahwa pada awal pengukuran konsentrasi substrat masih cukup untuk menghasilkan nilai tegangan yang stabil. Kenaikan tegangan disebabkan oleh meningkatnya kecepatan proses reaksi elektrokimia pada EFC. Lapisan yang menempel pada membrane dari substrat sehingga mengakibatkan terjadinya kekurangan proton di katoda sehingga perbedaan potensial yang dihasilkan pun kecil. Penurunan tegangan juga diakibatkan oleh menurunnya aktivitas kalium ferisianida sebagai akseptor elektron di katoda. Semakin lama digunakan, konsentrasi Fe(CN)63- akan menurun akibat peristiwa reoksidasi yang tidak sempurna oleh oksigen. Selain itu konsentrasi buffer fosfat pada kedua kompartemen juga mengalami penurunan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kekuatan ion dan konduktivitas larutan sehingga menyebabkan menurunnya energi listrik (Rengaraj et al, 2011)

Nilai potensial anoda umumnya ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain konversi substrat dan laju transfer eletron dan proses amobilisasi enzim pada elektroda anoda. Sedangkan nilai potensial di katoda hanya ditentukan oleh jenis akseptor elektron yang digunakan. Dengan meningkatnya kecepatan nilai arus dan tegangan yang dihasilkan pada awal pengukuran berhubungan dengan laju aktivitas enzim dengan bertambahnya waktu akan menyebabkan berkurangnya produksi energi listrik.

Selain itu meningkatnya kecepatan nilai arus dan tegangan yang dihasilkan pada awal pengukuran berhubungan dengan laju kecepatan reaksi yang terjadi pada EFC, dengan bertambahnya waktu akan menyebabkan berkurangnya produksi energi listrik.

Pada Gambar 16 memperlihatkan pengaruh konsentrasi substrat terhadap arus maksimum yang dihasilkan menunjukkan bahwa konsentari terendah 0,25 M menghasilkan arus maksimum 5,05 µA, kemudian diikuti konsentrasi substrat 0,50 M menghasilkan 2,45 µA, konsentrasi 0,75 M menghasilkan nilai arus maksimum 1,69 µA dan konsentrasi 1 M menghasilkan nilai arus maksimum 1,35 µA. Dapat dikatakan semakin rendah konsentrasi glukosa, nilai arus maksimum yang dihasilkan semakin

Dokumen terkait