C. Landasan Hukum Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik
1. Pembuatan akta notaris secara elektronik berdasarkan Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata mengatur bahwa suatu akta notaris dapat menjadi akta autentik apabila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berdasarkan pengertian akta autentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata maka ada 3 (tiga) syarat suatu akta dapat dinyatakan menjadi autentik, yaitu:
a. Pertama, akta dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, maksudnya adalah pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang. b. Kedua, keharusan pembuatannya dihadapan atau oleh pejabat umum, maksud
permintaan seseorang, sedangkan pembuatan oleh Pejabat Umum karena adanya suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan dan lain-lainnya sebagai contoh adalah risalah rapat.
c. Ketiga, pejabat harus memiliki kewenangan ditempat akta tersebut di buat, maksud dari berwenang di sini menyangkut 3 hal, yaitu: jabatanya dan jenis akta yang dibuat.
Pembuatan akta secara elektronik oleh notaris sangat sulit untuk diwujudkan, apabila mengacu pada tiga syarat pembuatan akta autentik yang ditetapkan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, karena ketiga syarat tersebut tidak dapat atau tidak akan dapat dipenuhi bila akta notaris dibuat secara elektronik. Pasal 1868 BW, mengandung makna adanya 2 macam bentuk akta yang dibuat oleh pejabat notaris, yaitu:
a. Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian dari notaris suatu tindakan yang dilakukan atas suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contohrelaasakta misalnya berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian berhadiah dan sebagainya.
b. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta
partij(partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya
dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta autentik, sebagai contohpartij akta misalnya perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.91
Menurut R. Subekti, berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, maka ada dua macam akta autentik, yaitu:
Suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat dihadapan pegawai umum yang ditunjuk oleh undang-undang. Apabila seorang notaris membuat suatuperslag
atau laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas, maka proses verbal itu merupakan suatu akta autentik yang telah dibuat oleh notaris tersebut. Begitu pula proses perbal yang dibuat oleh juru sita Pengadilan tentang pemanggilan seorang tergugat atau seorang saksi merupakan suatu akta otentuk yang dibuat oleh juru sita tadi. Akta-akta tersebut merupakan suatu laporan (relas) tentang suatu perbuatan resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum.92
Penandatanganan dalam akta partij oleh para pihak merupakan suatu keharusan, penandatanganan dalam akta partij berarti bahwa memang benar yang bersangkutan memberi keterangan dihadapan Notaris. Hal mana ditentukan dalam Pasal 1874 KUH Perdata ayat (2) dan (3) yang selengkapnya berbunyi:
Penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.
R. Subekti menjelaskan, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akta dan
91G. H. S Lumban Tobing,Op. Cit., Hlm. 50-51
surat-surat lain. Surat akta ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani.93 Dengan demikian, penandatanganan suatu akta merupakan suatu keharusan yang dilakukan oleh para pihak dan juga notaris sebagai pejabat publik yang mengetahui dan atau membuat akta tersebut. Sedangkan dalam aktarelaastidak menjadi masalah apakah orang-orang yang hadir tersebut menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada pembuatan Akta Berita Acara Rapat Para Pemegang Saham dalam Perseroan Terbatas, orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditanda tangani, maka Notaris cukup menerangkan di dalam akta bahwa para pemegang saham/peserta rapat yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta tersebut dan akta tersebut tetap sah merupakan akta autentik.
Perbedaan antara kedua jenis akta tersebut adalah pada pemberian pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Kebenaran isi akta pejabat (ambtelijk akta) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada aktapartijdapat digugat isinya, tanpa menuduh bahwa akta tersebut akta palsu akan tetapi dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenalkan pembuktian sebaliknya.
Berdasarkan dua bentuk akta notaris tersebut, dapat terlihat bahwa salah satu
perbuatan hukum yang tidak dapat lepas dalam pembuatan akta autentik adalah pembubuhan tanda tangan. Dalam pembuatan akta yang diwajibkan membubuhkan tanda tangan tidak hanya Notaris, melainkan para pihak serta para saksi diwajibkan untuk membubuhkan tanda tangannya. Sedangkan pembuatan akta para pihak menerangkan kehendaknya dihadapan Notaris dan kehendak tersebut dituangkan ke dalam sebuah akta autentik yang dibacakan oleh Notaris dihadapan para pihak, apabila para pihak sudah mengerti dan menyetujui isi akta tersebut maka para pihak berkewajiban membubuhkan tanda tangan, diikuti oleh para saksi-saksi dan Notaris. Tanda tangan sendiri penting keberadaannya, karena dengan adanya tanda tangan berarti orang yang menandatangani mengetahui dan menyetujui isi dari akta tersebut, sehingga dengan demikian orang tersebut terikat dengan isi dari akta tersebut.
Menurut Tan Thong Kie, tanda tangan adalah “suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penanda tangan), bahwa ia dengan membubuhkan tanda tangannya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri”.94 Pembubuhan tanda tangan ini sering dilihat dalam penutup akta, dimana terdapat satu klausul yang menyebutkan sebagai berikut: “Setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada para penghadap dan para saksi, maka segera para penghadap, para saksi dan saya, Notaris menandatangani akta ini”.
Demikian pula halnya dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, mengatur tentang penandatanganan akta yang dibuat dihadapan atau
94Tan Thong Kie,Studi Notariat Dan Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
dibuat oleh pejabat notaris. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai implementasi Peraturan Jabatan Notaris mengatur juga tentang ketentuan penandatanganan yaitu sebagai berikut:
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
Pasal 44 ayat (1) ini memberikan suatu kewajiban bagi para penghadap untuk menandatangani akta setelah dibacakan oleh Notaris, dengan pengecualian apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka penghadap tersebut harus menyebutkan alasan yang nantinya akan dinyatakan secara tegas pada akhir akta tersebut. Hal ini menimbulkan penafsiran apabila seorang penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangannya diakibatkan sakit, cacat atau buta aksara maka orang tersebut dapat tidak menandatangani akta tersebut dengan hanya menyebutkan alasannya secara tegas dalam akhir akta dan penghadap diperbolehkan tidak membubuhkan tanda-tanda lainnya dalam akta sebagai bentuk pengindividualisiran akta.
Praktek kenotariatan apabila seseorang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya maka akan dibubuhkan cap jempol ibu jari tangan kirinya pada akta autentik tersebut sebagai pengindividualisiran suatu akta. Hal ini menyebabkan adanya pembedaan antara tanda tangan dengan cap jempol, serta jelas dalam Pasal 44 ayat (1) UU Perubahan Atas UUJN tersebut dapat ditafsirkan bahwa penggunaan cap
jempol sebagai sebuah tanda tangan dalam akta autentik dalam UUJN, eksistensi cap jempol sebagai tanda tangan tidak diakui.
Keharusan adanya tanda tangan dalam sebuah akta tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain, jadi fungsi tanda tangan adalah untuk mengindividualisir suatu akta. Penandatanganan dalam suatu akta adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf berupa singkatan tanda tangan saja dianggap tidak cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.95
Pengaturan tentang autentik dalam Pasal 1868 KUH Perdata, dapat dipahami bahwa secara yuridis bahwa pembuatan akta oleh pejabat notaris secara elektronik sesuai dengan perkembangan teknologi informasi belum dapat dilakukan, terlebih pembuatan akta dalam bentuk akta relaas. Hal ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Notaris Syamsurizul. A. Bispo, sebagai berikut: “Peluang untuk membuat akta secara media elektronik selain akta relas, masih belum bisa dilakukan. Karena belum di atur didalam UU. Dan notaris juga memiliki Klausul Hadir dihadapan saya, oleh karena ini aktapartijharus dibuat secara langsung dengan para penghadap harus hadir dihadapan notaris”.96
Dengan demikian, pembuatan akta secara elektronik berdasarkan ketentuan Hukum Perdata belum dimungkinkan untuk dilaksanakan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Notaris Rosniaty, yang menjelaskan bahwa:
95 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yokyakarta: Liberty, 2009)
Hlm. 152.
Aturan umum dalam pembuatan akta oleh pejabat notaris adalah KUH Perdata, sehingga selain mengacu pada ketentuan UUJN, maka notaris juga mengacu kepada ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata. Mengenai pembuatan akta autentik oleh notaris, redaksi Pasal 1868 KUH Perdata tidak sedikitpun memberikan celah bagi notaris untuk membuat akta secara elektronik, terlebih pembuatan akta dalam bentuk aktarelaas.97
Demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Notaris Tony, dalam keterangannya ketika di wawancarai beliau menjelaskan bahwa:
Dalam hal pembuatan akta oleh pejabat notaris, dikenal ada 2 (dua) bentuk akta, yaitu akta relaas dan akta partij. Untuk jenis akta relaas, jelas akta ini tidak dapat dibuat secara elektronik, oleh sebab dalam pembuatan akta ini harus disaksikan sendiri oleh pejabat notaris. Namun, untuk jenis akta partij masih dimungkinan dibuat secara elektronik, akan tetapi belum ada pengaturan secara khusus tentang hal itu.98
Berdasar pada pendapat narasumber di atas, dapat dipahami pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris, belum terkonsep dalam KUH Perdata. Sebaliknya ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, tidak memungkinkan pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris, oleh karena adanya keharusan para pihak dan saksi untuk membubuhkan tanda tangannya, terlebih dalam pembuatan aktapartij, di mana adanya keinginan para pihak yang harus dikonstartir oleh notaris.
2. Pembuatan akta notaris secara elektronik berdasarkan Undang-undang No.