• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan dan pengujian edible film dengan variasi agar - agar

7. Uji Organoleptik

4.3 Pembuatan dan pengujian edible film dengan variasi agar - agar

Karakteristik edible film sangat dipengaruhi oleh komposisi pati sebagai bahan dasar, namun adanya bahan tambahan lain seperti pektin juga akan berpegaruh secara sigifikan terhadap sifat edible film. Berdasarkan studi variasi massa pati edible film yang diperoleh kuat tarik dan ketebalan optimum, selanjutnya dilakukan pembuatan edible film dengan berbagai variasi agar-agar. Analisis yang dilakukan pada edible film dengan variasi kompisisi agar-agar ini meliputi Ketebalan, kuat tarik, elongasi, kadar air dan ketahanan air. Hasil analisis menunjukkan bahwa adible film yang mempunyai karakteristik terbaik diperoleh pada komposisi agar-agar sebanyak satu gram, sebagaimana yang terlihat pada Table 4.

Tabel 4. Hasil uji edible film yang dibuat dengan variasi agar-agar Agar-agar (gram) Tepung biji nangka (gram) Pati tapioka (gram) Gliserol 1 ml Ketebalan (Mm) Kuat tarik (mpa) % Elong asi % kadar air % Ketah anan air 0 2 1,5 1 0,173 1,160 1,428 4,78 12,06 0,5 2 1,5 1 0,153 1,813 1,428 5,98 7,31 1,0 2 1,5 1 0,126 3,502 1,904 6,97 5,73 1,5 2 1,5 1 0,163 3,041 2,380 9,34 4,91 2,0 2 1,5 1 0,176 3,572 2,856 12,55 3,64

Secara fisik Edible film hasil terbaik pada Tabel 4, memiliki bentuk dan tekstur edibel film sangat baik dengan kuat tarik 3,502 Mpa, elongasi 1,904 %, kadar air 6,97% dan ketahanan terhadap air sebesar 5,73%.

1). Karakterisasi edible film dengan variasi agar-agar

Ketebalan salah satu yang merupakan parameter penting dalam pengemasan makanan. Pada pembuatan edible film dengan variasi agar-agar dapat sdiperoleh ketebalan berkisar antara 0,126 mm - 0,176 mm. Sebagaimana yang diperlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Ketebalan edible film ditinjau dari variasi massa agar-agar

Pada edible film ketebalan dari pati biji dengan variasi nangka pada penambahan 2,0 gram agar-agar dan tanpa agar-agar, diperoleh ketebalan yang paling naik, pada variasi agar-agar 1 gram dengan ketebalan terendah sebesar 0,126 mm, hal ini berbanding terbalik dengan teori ketebalan edible film yang dipengaruh oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total padatan dalam larutan. Pada penelitian edible film dengan variasi agar-agar memiliki ketebalan 0,126 mm – 0,176 mm yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ketebalan pada variasi pati biji nangka 0,106-0,156 mm, begitu pula jika dibandingkan dengan edible film yang dibuat oleh komposit protein biji kecipir dan tapioka oleh Poeloengasih (2003), yang memiliki ketebalan berkisar antara 0,0577 – 0,1242

0.173 0.153 0.126 0,163 0.176 0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0.18 0.2 0 0.5 1 1.5 2 H asi l u ji ke te b al an ( M p a)

mm. Pada kondisi yang baik, ketebalan merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap penggunaan film dalam pembentukan produk yang akan digunakan sebagai pengemas (Suryaningrum, 2005).

Selain ketebalan, kuat tarik dan % elongasi juga merupakan karakterisasi edibel film yang harus perhatikan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9 dengan berbagai variasi agar-agar.

Gambar 8. Kuat tarik edible film ditinjau dari variasi massa agar-agar

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, peningkatan massa variasi agar-agar, meningkatkan kuat tarik edible film yang dihasilkan, berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil kuat tarik berkisar antara 1,160, Mpa – 3,572 Mpa, terdapat perbedaan yang sangat signifikan antar kelima jenis, terutama pada variasi agar-agar 1,0 gram dan 1,5, hal ini dikarenakan bentuk dan tekstur pada edible film 1,5 gram yang tidak merata, sedangkan edible film pada variasi agar-agar 2,5 gram memiliki nilai kuat tarik tertinggi. Manuhara (2003) menyebutkan, bahwa sifat mekanik film tergantung pada kekuatan bahan yang digunakan dalam

1.16 1.813 3.502 3,041 3.572 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 0 0.5 1 1.5 2 H a sil u ji k u a t ta rik (M p a )

pembuatan film, untuk membentuk ikatan molekuler dalam jumlah yang banyak dan kuat. Pada edible film variasi agar-agar apabila dibandingkan dengan edible film pektin cincau hijau hasil penelitian Rachmawati (2009), yang memiliki nilai kuat tarik antara 0,70 Mpa - 2,53 Mpa maka, edible film variasi dengan agar-agar memiliki kuat tarik yang sangat tinggi. Apabila dibandingkan dengan edible film ekstrak daun janggelan dari hasil penelitian Murdianto (2005), yang memilki nilai kuat tarik 3,10 Mpa – 5,70 Mpa maka, edible film variasi agar – agar memiliki nilai kuat tarik yang lebih kecil, Hal ini disebabkan karena perbedaan bahan baku pada pembuatan edible film maka hal tersebut akan mempengaruhi kuat tarik yang dihasilkan oleh edible film. Gontard (1994), dalam Rachmawati (2009), penelitiannya juga menyebutkan bahwa tensile strenght akan menurun disebabkan oleh reduksi interaksi intermolekuler rantai protein sehingga matriks film yang terbentuk akan semakin sedikit. Reduksi interaksi intermolekuler rantai protein terjadi disebabkan oleh penambahan gliserol, molekul plasticizer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekul dan meningkatkan mobilitas polimer.

Menurut Wu & Bates(1973) dalam Suryaningrum dkk. (2005), edible film dengan kekuatan tarik tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik, sedangkan kekuatan tarik film dipengaruhi oleh formulasi bahan yang digunakan.

Dari hasil penelitian selain kuat tekan, % elongasi juga memiliki nilai karakteristik yang harus diperhatikan. Dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. % elongasi edible film ditinjau dari variasi massa agar-agar

Nilai elongasi pada edible film variasi agar-agar berkisar 1,428 % - 2,856 %. bila dibandingkan dengan edible film dari ekstrak daun janggelan pada penelitian yang dilakukan oleh Murdianto dkk,(2005), yang memiliki elongasi 0,14%-0,27% edibel fim variasi agar – agar memiliki nilai elongasi yang jauh lebih besar, Sedangkan apabila dibandingkan dengan edible film komposit protein kecipir dan tapioka pada penelitian yang dilakukan oleh Poelongasih (2003), yang memiliki nilai elongasi berkisar 1,68% - 3,48%, edible film variasi pati biji nangka sedikit lebih rendah. Akan tetapi pada edible film variasi agar – agar mempunyai persen elongasi 1,428% - 2,856% dan edible film variasi pati biji nangka 1,428% - 2,380% terdapat perbedaan yang sangat signifikan meskipun terbuat dari bahan yang sama, hal ini di sebabkan karena perbedaan komposisi dan massa yang dapat mempengaruhi bentuk dan tekstur, sehingga dapat berpengaruhi terhadap perbedaan persen elongasi. Anugrahati (2001), menyebutkan bahwa film yang terbentuk dari pektin saja menghasilkan matriks yang lebih elastis.

1.428 1.428 1.904 2.38 2.856 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 0 0.5 1 1.5 2 ha sil uji % e lo ngasi

2). Uji kadar air terhadap edible film dengan variasi massa agar-agar Air berfungsi sebagai media untuk pertumbuhan bakteri selain itu juga berfungsi sebagai pelarut. Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari produk pangan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pangan yang tidak diolah (Winarno, 1997). Hasil pengujian kadar air edible film ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Kadar air edible film ditinjau dari variasi massa agar-agar

Pada hasil ini menunjukkan adanya perbandingan yang signifikan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai kadar air berkisar 4,78% - 12,55%, berdasarkan hasil uji statistik, terdapat perbedaan hasil yang signifikan bahwa kadar air tertinggi terdapat pada penambahan agar – agar 2 gram, sedangkan kadar air yang sedikit terdapat pada edible film tanpa penambahan agar – agar. Apabila di bandingkan kadar air pada penelitian edible film kitosan yang

4,78 % 5,98 % 6,97 % 9,34 % 12,55 % 0 2 4 6 8 10 12 14 0 0.5 1 1.5 2 H asi l u ji % kad ar ai r

mempunyai kadar air berkisar 26,37% - 29,69% pada penelitian Astuti (2008), maka edible film pati biji nangka variasi agar – agar jauh lebih rendah dan aman untuk digunakan. Bahan pangan yang kadar airnya cukup tinggi tidak begitu tahan lama dalam penyimpanannya, karena air adalah merupakan medium tumbuhnya bakteri.

Munurut Winarno (1992), untuk dapat mengawetkan bahan makanan yang kadar airnya cukup tinggi dapat dilakukan dengan manambahkan bahan pengawet misalnya gula.

3). Uji ketahanan air edible film variasi massa agar-agar

Ketahanan film merupakan faktor yang penting dalam menentukan biodegradibilitas film ketika digunakan sebagai pengemasan. Ada fllm yang dikehendaki tingkat ketahannya tinggi atau sebaliknya tergantung jenis produk yang dikemas. Hasil pengujian ketahanan edible film pati biji nangka variasi agar-agar ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Ketahanan air edible film ditinjau dari variasi massa agar-agar 12.06 7.31 5.73 4.91 3.64 0 2 4 6 8 10 12 14 0 0.5 1 1.5 2 H a si l % u ji k e ta h a n a n a ir

Pada Gambar 11. Menunjukkan bahwa semakin tinggi massa pektin agar-agar yang ditambahkan, maka akan semakin kecil ketahanan air, hal ini karena penambahan agar-agar memiliki sifat hidrofob.

Dari karakteristik edible film yang terbaik ini selanjutnya dianalisis gugus fungsinya dengan FTIR untuk mengetahui adanya gugus fungsi baru hasil ikatan antara pati, gliserol dan pectin, dan diaplikasikan sebagai pembungkus jenang, untuk mengetahui kemampuan perlindungan edible terhadap masa simpan jenang yang meliputi warna, rasa, bau dan tumbuhnya jamur pada jenang melalui uji organoleptik pada 20 panelis.

4). Analisis gugus fungsi edible film variasi massa agar-agar terhadap FTIR ( Forier Transform Infa-red spectroscopy).

Gambar 12. Spektrum FTIR edibel fim ditinjau dari variasi massa agar-agar

Pengujian gugus fungsional dilakukan dengan spektrofotometer Infra Merah (FTIR). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gugus fungsi dari

4000 3000 2000 1000 0 0 5 10 15 20 25 30 T ra ns m ia ns i a. u. Bilangan gelombang C- H O-H C=O C-O Gambar atas : Sampel Agar-agar

suatu bahan atau matriks yang dihasilkan. Identifikasi gugus fungsi dalam sampel berdasarkan posisi pita serapan yang diberi garis lurus dalam spektrum yang di tunjukkan pada Gambar 12. dan mengacu pada tabel IR yang disajikan dalam tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis gugus fungsi FTIR

Agar – agar Edible film Gugus Fungsi Rentang bilangan gelombang Bilangan gelombang (cm-1) 1072,42 1033,85 C-O 1000 -1300 1651,07 1643,36 C=O 1540 – 1820 2931,80 2931,80 C-H alifatik 2840 – 3000 3417,86 3471,57 O-H karboksil 3330 – 3500

Berdasarkan Gambar 12. pada bilangan gelombang 3471,57 cm-1. menunjukan edible film memiliki banyak gugus OH. Penambahan selulosa dan gliserol bertujuan untuk memodifikasi pati. Namun di padan bilang gelombang yang terbaca belum ada gugus fungsi baru yang terbentuk, hal tesebut menunjukkan bahwa film yang dihasilkan merupakan proses blending secara, fisika karena tidak ditemukannya gugus fungsi baru sehingga film memiliki sifat seperti komponen-kompenen penyusunnya. Selain gugus fungsi hidroksida (OH), gugus fungsi lain yang terdapat dalam edible film ini adalah gugus fungsi karbonil (CO) dan ester (COOH), namun terdapat pergeseran bilangan gelombang uluran O-H yaitu dari 3417,86 cm-1 menjadi 3471,57 cm-1 dengan intensitas yang lebih rendah yang dimiliki oleh agar-agar bila dibandingkan edible film, hal ini disebabkan karena gabungan gugus dari penambahan selulosa dan gliserol yang mengakibatkan banyaknya gugus OH yang dimilki, sehinngga sangat memungkinkan film tersebutberikatan dengan air dan mengakibatkan perubahan

letak gugus fungsi. Dalam Spektrum FTIR menunjukkan bahwa edible film mengandung gugus O-H; C-H alifatik; C=O dan C-O, tidak adanya gugus fungsi baru yang dihasilkan. Apabila dibandingkan dengan penelitian sintesis edible film kitosan termodifikasi pva dan sorbitol dari hasil penelitian Maghfiroh (2012), maka hasil edible film pati biji nangka dan agar-agar memiliki gugus fungsi yang sama tetapi memiliki sedikit perbedaan pada bilangan gelombang.

5). Hasil uji mikroba

Edible film mempunyai aktivitas antimikroba karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Hasil pengujian mikroba pada pembungkus dilakukan setelah melakukan massa simpan jenang ditunjukkan pada Gambar13.

Gambar 13. Uji mikroba pada bahan makanan jenang

Pengujian dilakukan dengan melihat koloni yang ada pada pembungkus jenang menggunakan 3 metode yaitu tanpa pembungkus, pembungkus kertas, pembungkus menggunakan edible film yang sebelumnya dilakukan massa simpan.

Gambar B : Uji mikroba jenang

Pembungkus edible

film

Gambar A : uji mikroba jenang tanpa pembungkus

Gambar C : Uji mikroba jenang Pembungkus kertas minyak

Pada Gambar 13. Jenang yang disimpan tanpa pembungkus memiliki koloni / mikroba hampir seluruh permukaan dikelilingi jamur, selanjutnya pada pembungkus kertas minyak juga dipermukaan jenang dikelilingi jamur, sedangkan pada jenang yang dibungkus dengan edible film mempunyai hasil mikroba / koloni yang sangat sedikit. Hasil uji mikroba memiliki hasil yang sama dengan hasil massa simpan yang memilki keterangan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Uji Masa Simpan

No Penentuan Masa Simpan Jenang Masa Simpan (Hari)

5 6 7 8 9

1 Tanpa pembungkus - - + + +

2 Pembungkus kertas minyak - - - + +

3 Pembungkus edible film - - - - +

Keterangan :

Tanda (+) adalah menunjukkan adanya mikroba

Tanda (–) adalah menunjukkan tidak adanya mikroba

Uji masa simpan dilakukan setelah diperoleh hasil optimum edible film dari agar-agar, yang akan digunakan sebagai pembungkus makanan jenang, yang dibandingkan dengan tanpa pembungkus, dan pembungkus kertas minyak. Pada penelitian ini pembungkusan dilakukan selama sembilan hari dengan waktu yang bersamaan dan perlakuan tempat yang sama, yang nantinya dilihat penurunan kualitas jenang, degan menganalisis kondisi dari produk. Hasil yang diperoleh pada Tabel 6, menunjukkan perlakuan tanpa kemasan, pada hari ke 7 setelah penyimpanan jenang sudah ditumbuhi jamur di sekelilingnya, sedangkan pada kemasan kertas minyak jamur mulai tumbuh setelah 7 hari masa simpan. Jamur mulai tumbuh pada jenang pada hari ke 8 masa simpan, selain itu kertas minyak lengket dengan bahan yang dikemas sehingga sulit untuk dilepas, sedangkan

jenang yang dibungkus menggunakan edible film pada penyimpanan hari 7 dan ke 8 tidak tumbuhi jamur, jamur tumbuh pada hari ke 9 masa simpan, hal ini menunjukkan edible film memiliki masa simpan yang lebih lama. Di samping dapat memperpanjang massa simpan, kemasan edible film dapat dilepas dengan mudah, karena tidak lengket dengan bahan yang dikemas, edible film, juga dapat langsung dimakan bersama produk yang dikemas tanpa dibuang. Karena tidak berbahaya. Uji oraganoleptik pada edible film dilakukan untuk mengatahui penurunan kualitas jenang yang dibungkus edible film. Hasil uji organoleptik dengan 5 parameter diperoleh hasil sebagaimana yng ditunjukkan oleh Tabel 7.

Tabel 7. Skor hasil pengujian organoleptik 5 parameter uji yakni bau, rasa, warna, tekstur, kekenyalan, keseluruhan berdasarkan uji kesukaan.

No Bau Rasa Warna Tekstur Kekenyalan Jumlah Rata-rata

1 78 80 80 83 81 402 80,4 2 79 83 80 81 81 404 80,8 3 75 79 80 78 81 393 78,6 4 80 78 79 78 79 394 78,8 5 83 78 78 82 80 401 80,2 6 83 78 78 83 87 409 81,8 7 83 85 80 87 81 416 83,2 8 81 86 81 88 82 418 83,6 9 82 86 80 81 81 410 82,0 10 80 82 79 80 86 407 81,4 11 84 89 79 81 86 418 83,6 12 88 88 79 84 83 422 84,4

13 87 83 80 85 87 422 84,4 14 82 88 85 87 80 422 84,4 15 88 88 85 88 79 428 85,6 16 80 80 80 88 87 415 83,0 17 83 89 86 88 87 433 86,6 18 75 89 88 81 80 423 84,6 19 86 81 86 88 83 424 84,8 20 88 89 80 88 83 428 85,6

Uji organoleptik dilakukan dengan mengambil nilai dari 20 orang yang telah mengamati, dan mencoba edible film yang layak digunakan sebagai pembungkus makanan. Uji organoleptik dilakukan dengan melibatkan indera pembau, perasa, penglihatan, dan peraba pada sampel dengan 5 parameter berdasarkan kesukaan panelis. Pada Tabel 7 dibawah ini bahwa hasil uji organoleptik pada edible film sebagai pembungkus jenang mempunyai nilai terbaik untuk bau 88, rasa adalah 89, warna 88, nilai 88, dan kekenyalan 87. Secara keseluruhan jenang yang dibungkus dengan edible film layak untuk dimakan karena memiliki hasil yang sangat baik.

Dengan berdasarkan karakterisasi yang di peroleh meliputi kuat tarik, % elongasi, Ketebalan. Kadar air, Ketahanan air, dan Ujia masa simpan edible film. Hasil sintesis dapat digunakan sebagai alternatif pembungkus jenang.

44 5.1. Simpulan

Dalam penelitian didapatkan beberapa kesimpulan antara lain :

1. Massa pati biji nangka berpengaruh terhadap karakterisasi edible film yang meliputi ketebalan, kuat tarik, dan elongasi dengan memperoleh data pada pati biji nangka 2 gram dengan ketebalan 0,10 mm, kuat tarik 2,101 Mpa, elongasi 1,904 %.

2. Massa agar-agar berpengaruh terhadap karakterisasi edible film yang meliputi ketebalan, kuat tarik, elongasi , kadar air, dan ketahanan air, dengan data terbaik pada penambahan 1 gram agar-agar, diperoleh ketebalan 0,126 mm, kuat tarik 3,502 Mpa, elongasi 1,904 %, kadar air 6,97 %, dan ketahanan air 5,73 %. 3. Edible film berpengaruh terhadap masa simpan jenang dengan tidak menurunkan kualitas jenang yang meliputi bau, rasa, warna, tekstur, kekenyalan, 5.2. Saran

Dalam penelitian ini terdapat beberapa saran , antara lain:

1. Perlu adanya penelitian lanjutan yang meliputi variasi lain. 2. Perlu dilakukan sintesis edible film dan bahan dasar berbeda

45

Anonim. 2012. Pektin (Polygalactronic Acid). http://images.google.co.id.Diakses tanggal 10 maret 2012.

Anonim. 2012. Pektin. http://www.pusri.org/olah pangan/pektin. Diakses pada tanggal 21 maret 2012.

Anugrahati, A. N. 2001. Karakterisasi Edible Film Komposit Pektin Albedo Semangka (Citrulus vulgaris Scard) dan Tapioka. Thesis. Progam Pasca Sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta Ariani, D. 2007. Pengaruh Lama Pemeraman dan Konsentrasi Ragi Terhadap

Kadar Glukosa dan Alkohol Tape Biji Nangka.Skripsi. Surakarta : FIKP Universitas Muhammadiyah Surakarta

Astuti, B.C. 2008. Pengembangan edible film kitosan dengan penambahan asam

lemak dan esensial oil: upaya perbaikan sifat barrier dan aktifitas mikroba. Skripsi. Teknologi dan pangan. Institut Pertaniaan Bogor

Bertuzzi, M.A., E.F.C. Vidaurre, M. Armada dan J.0 Gottifredi. 2007. Water Vapor Permeability Of Edible Starch Based Films. J. Food Engineering.80 : 972-978.

Barus, S.P., 2002. Karakteristik Film Pati Biji Nangka (Artocarpus integra Meur) dengan Penambahan CMC. Skripsi. Biologi. Universitas Atma Jaya. Yogyakarta.

Bureau, G.,dan Multon, J.L., 1996. Food Packaging Technology. VCH Publisher

Inc.,NewYork

Cagri, A., Z. Ustunol, and E.T. Ryser. 2004. Antimicrobial Edibel films and Coatings. Journal of Food Protection, 67: 833-848

Chan, H. T., JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc., New York and Bassel

Callegarin, F., J.A.Q., Gallo, F. Debeauford and A. Voilley. 1997. Lipid and Biopackaging. J. Am Oil. Sci. 74(10):1183-1192

Darni, Y., H. Utami dan S.N. Asriah. 2009. Peningkatan Hidrofobisitas dan Sifat Fisik Plastik Biodegradable Pati Tapioka Dengan Penambahan Selulosa Residu Rumput Laut Euchema spinossum. Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Lampung: Universitas Lampung.

Donhowe, I. G; dan O. R. Fennema. 1993. Water Vapour and oxygen permeability of wax film. J. Am. Oil. Sci. 70(9):867-873

Esti, Kemal. 2001. Pektin Markisa. http://www.aagos.ristek.go.id/pangan/buah

%20dan%20sayur-sayuran/ pektinmarkisa.pdf. Diakses pada 21 maret 2012. Fairus. S., Hariono., A. Miranthi dan A. Aprianto. 2010. Pengaruh Konsentrasi

HCl dan Waktu Hidrolisis Terhadap Perolehan Glukosa yang Dihasilkan dari Pati Biji Nangka. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan. Yogyakarta

Fardiaz, 1989, Analisis Mikrobiologi Pangan, Departemen P dan K Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. ITB, Bogor. Fennema, O.R., 1976. Principles of Food Science. Marcel Dekker, Inc., Basset. Gontard. N., Guilbert., S., Cuq.J.L.,1993. Water and Glyserol as plastisizer

AffectmMechanical and Water Barrier Properties at an Edible Wheat Gluten Film. J. Food Science. 58 (1): 206-211

Irianto. E., M. Darmawan, dan E. Mindarwati. 2006. Pembuatan Edibel Film Dari Komposit Karaginan, Tepung Tapioka Dan Lilin Lebah (beeswax). Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,1 (2): -

Juari. 2006. Pembuatan Dan Karakterisasi Bio Plastik Dari Poly-3-

Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Pati Sagu Dengan Penambahan Dimetil FTALAT ( DMF). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Kusumasmarawati, A.D.,2007. Pembuatan Pati Garut Butirat dan Aplikasinya dalam Pembuatan Edible Film. Tesis. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

Kester , J.J., dan Fennema, O.R., 1986. Edibel film and Coatings: a Review. Food Technology (51).

Koswara S; Purwiyatno, H; dan Eko, H.P. 2002. Edibel film. J Tekno Pangan dan Agroindustri. 1 (12): 183-196

Krochta, 1992. Control of mass transfer in food with edilble coatings and film. Di dalam: Singh, R.P dan M.A. Wira

Krochta, and De Mulder Johnston. 1997. Edible and Biodegradable Polymers Coating and Film to Improve Food Quality. Technomis Publishing. Co. Inc. Lanchester. Bosel.

Krochta, J.M., Baldwin, E.A and Nisperos-Carriedo M.O., 1994. Edible Coatings

and Films to Improve Food Quality. Technomis Publishing.Co.Inc.

Lancester. Bosel.

Liu. Z. dan J. H Han. 2005. Film Forming Characteristics of Starches. J. Food Science. 70(1):E31-E36.

Mahgfiroh. 2008. Sintesis Dan Karakterisasi Edible Film Kitosan Termodifikasi PVA dan sorbitol. Skripsi Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Umum. Universitas Negeri Semarang.

Manuhara, G.J.,2003. Ekstraksi Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma sp. untuk Pembuatan Edible film. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta.

McHugh, T.H., 1993. Hydrophilic Edibel films : Modified Procedure for WaterVapor Permeability and Eksplanation of Thickness Effects. Journal of Food Science 58(4).

Murdianto, Wiwit., dkk. 2005. Sifat Fisik dan Mekanik Edible film Eksrak Daun Janggelan. Jurnal. Agrosains, 18 (3), diakses pada tanggal 7 Desember 2012 Nurdin, Samsu Udayana dan Suharyono A.S. 2007. Karakteristik Fungsional

Polisakarida Pembentuk Gel Daun Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr.)

http://uppmpolinela.files.wordpress.com/2008/07/karakteristikfungsional-polisakarida pembentuk-gel-daun-cincau-hijau.doc. Diakses pada 15 maret 2012.

Poelongasih, D.E. dan Marseno, W.D. 2003. Karakterisasi Edible Film Komposit Protein dan Tspioksa. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Diakses pada 2 Desember 2012.

Rachmawati, A.K. 2009. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Cincau Hijau (premna Oblongifolia Merr) Untuk Pembuatan Edibel film. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rodrigues, M., J., Ose's, K. Ziani dan J.I Mate. 2006. Combined effect of plastisizer and surfactants on the physical properties of starch based edibel films. Food Research International. 39:840-846.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 1992. Spektroskopi Inframerah. Yogyakarta: Liberty. Siswanti. 2008. Karakterisasi Edible film Dari Tepung Komposit Glukomanan

Umbi Iles-Iles (Amorphopallus Muelleri Blume) dan Tepung Maizena. Skripsi. UNS. Surakarta.

Sothornvit, R., and Krochta, J. M.,2000. Water Vapor Permeability and Solubility of Films from Hydrolyzed Whey Protein. J. Food Sci, 65(4):700-703.

Suryaningrum Dwi TH, J Basmal dan Nurochmanwati. 2005. Studi pembuatan edibel film dari karaginan. J. penelitian, Perikanan.Indonesia. 2(4); 1-13 Susanto, T dan Saneto, B. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. PT.

Bina Ilmu. Surabaya.

Syamsir, Elvira. 2008. Mengenal Edibel film.

http://id.shvoong.com/exactsciences/ 1798848-mengenal-edible-film/.

Syarief, R., S. Santausa., Dan St. Isyana.1988. Buku Monograf Teknologi Pengemasan Pangan. Lab . Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan Dan Gizi IPB. Bogor.

Syarief, R., S. Sentausa; St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan dan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor.

Syarief, Rizal; Sasya Sentausa; St Isyana.1989.Teknologi Pengemasan san Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 2008. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta) . Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Trihadi, Bambang dan Indo Susanto. 1994, Pembuatan Gula dari Pati biji nangka, Institut Pertanian Bogor.

Wadlihah, F. 2010. Pengaruh Perbandingan Tepung Terigu dan Pati biji nangka Terhadap Komposisi Proksimat dan Sifat Sensorik Kue Bolu Kukus. Skripsi. Surakarta: FIK Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wahyu, M.K. 2009. Pemanfatan Pati Singkong Sebagai Bahan Baku Edible Film. Makalah pada karya ilmiah Beswan, Universitas Padjadjaran,18 juli.

Winarno, F. G.2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia utama. Jakarta. Zhang, V., and J.H. Han. 2006. Plastikization of Pes Starch Film

Lampiran 1.

Pembuatan Pati biji nangka

dicuci, dikupas dan diiris kecil-kecil

Dokumen terkait