• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Pembuatan Simplisia

Sortasi basah dilakukan pada saat bahan masih segar sebelum bahan dicuci. Tujuannya adalah untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar, serta pengotor lainnya yang harus dibuang. Rimpang lengkuas yang telah dipanen kemudian dibersihkan dari tanah, akar dan batang tanaman yang masih menempel dengan menggunakan pisau, sehingga tinggal bagian rimpangnya saja. Dengan dilakukannya sortasi basah ini maka menjamin kemurnian dari simplisia rimpang lengkuas yang digunakan, karena bahan lain yang tidak diinginkan telah dibuang.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk memperoleh simplisia yang bersih serta untuk menghilangkan tanah, mikroba, dan pengotor lainnya yang masih menempel pada rimpang. Pencucian dilakukan dengan air yang mengalir yaitu air kran sebanyak tiga kali supaya kotoran yang terlepas tidak menempel kembali. Menurut Anonim (1985) pencucian sebanyak satu kali dapat menghilangkan 25% dari jumlah mikroba awal, dan jika dilakukan pencucian sebanyak tiga kali maka jumlah mikroba yang tertinggal hanya sekitar 42% dari jumlah mikroba awal. Pencucian tidak dapat membersihkan simplisia dari semua mikroba yang ada karena air pencucian yang digunakan biasanya juga mengandung sejumlah mikroba. Proses pencucian yang dilakukan akan menurunkan jumlah mikroba yang dapat menyebabkan pembusukan dan membuat penampilan fisik simplisia lebih menarik.

Setelah rimpang dicuci sebanyak tiga kali dengan air kran diperoleh rimpang yang bersih yang bebas dari tanah dan akar. Simplisia yang baru diambil atau dicuci tidak langsung dirajang, tetapi dijemur terlebih dahulu dalam keadaan utuh selama 1 hari. Penjemuran sebelum perajangan dilakukan untuk mengurangi pewarnaan akibat adanya reaksi antara bahan dengan logam pisau alat perajang. Karena apabila bahan tidak dijemur terlebih dahulu pada saat dilakukan perajangan akan terjadi warna kehitaman (karena reaksi logam dengan senyawa fenol dan glikosida) pada rimpang yang dapat menurunkan penampilan fisik dari rimpang lengkuas. Setelah rimpang dijemur secara utuh selama satu hari, rimpang telah siap untuk dirajang.

3. Perajangan

Perajangan bahan dilakukan dengan menggunakan alat perajang empon-empon pada empat ketebalan yang berbeda, yaitu 2, 4, 6 dan 8 mm. Perajangan bahan dilakukan untuk mempermudah proses pengeringan, pengemasan, serta penyulingan. Pada umumnya semakin tipis bahan maka proses pengeringan akan semakin cepat. Namun, irisan yang terlalu tipis juga tidak baik karena senyawa aktif yang mudah menguap akan berkurang atau hilang dan simplisia juga akan lebih mudah rusak saat dikemas. Selain itu perajangan bahan untuk memperkecil ukuran supaya lebih kompak dan seragam di dalam alat penyuling. Apabila bentuk bahan tidak kompak dan seragam, penggunaan uap air saat penyulingan menjadi tidak efisien karena akan banyak uap air yang lolos tidak mengenai bahan.

Hasil analisis statistik terhadap pengukuran masing-masing ketebalan dari rimpang lengkuas (lampiran 6) diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan

rata-rata ukuran yang dihasilkan dengan ukuran yang sebenarnya. Artinya alat perajang yang digunakan memberikan hasil ketebalan irisan yang baik.

4. Pengeringan

Rimpang segar yang telah dirajang kemudian dihamparkan di atas tempat pengeringan dan diatur supaya tidak saling menumpuk agar pemanasan dapat merata. Rimpang kemudian ditutupi dengan kain hitam dan dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari sampai rimpang kering. Di bawah tempat pengeringan diberi jarak tertentu supaya memungkinkan terjadinya sirkulasi udara. Bahan harus sering dibalik posisinya supaya pengeringan dapat merata dan menghindari terjadinya face

hardening, yaitu pada bagian luarnya sudah kering namun bagian dalamnya masih

basah. Proses pengeringan secara alamiah ini dipilih karena proses ini masih banyak digunakan oleh industri-industri obat tradisional untuk mengeringkan simplisia.

Pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air (kurang dari 8% untuk rimpang) sehingga simplisia tidak mudah rusak, dan dapat disimpan untuk waktu yang lama. Karena dengan adanya air dapat menimbulkan reaksi enzimatik yang dapat mengubah atau mengurai senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia. Reaksi enzimatik tidak berlangsung apabila kadar air dalam simplisia kurang dari 10%. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya pertumbuhan jamur atau mikroorganisme lain yang dapat menurunkan kualitas simplisia, serta menghasilkan zat beracun yang disebut mikotoksin. Dari penelitian sebelumnya (Christanti, 2001) diperoleh hasil bahwa rimpang lengkuas kering memiliki kadar minyak atsiri yang lebih besar dibandingkan pada rimpang lengkuas segar, sehingga proses pengeringan perlu

dilakukan supaya kadar minyak atsiri yang diperoleh melalui proses penyulingan dapat maksimal.

Proses pengeringan secara alamiah merupakan cara yang murah dan mudah dilakukan. Namun pada proses ini suhu, kelembaban dan aliran udara tidak dapat dikontrol, juga memerlukan waktu pengeringan yang lama. Proses pengeringan dihentikan apabila simplisia telah mudah dipatahkan. Pada penelitian ini proses pengeringan dilakukan selama 8 hari dengan parameter mudah dipatahkannya simplisia terutama pada ketebalan 8 mm. Selama proses pengeringan dicatat suhunya pada tiap-tiap jam menggunakan termometer dan diperoleh nilai suhu pengeringan rata-rata sebesar 35,6oC dengan kisaran dari 30oC sampai 42oC (lampiran 7).

E. Penetapan Susut Pengeringan

Penetapan susut pengeringan dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang mudah menguap dalam serbuk simplisia rimpang lengkuas. Selain itu, susut pengeringan ditetapkan untuk menjaga kualitas simplisia karena susut pengeringan berkaitan dengan kemungkinan pertumbuhan jamur atau kapang. Karena apabila kandungan air dalam simplisia sedikit maka kemungkinan simplisia rusak karena ditumbuhi jamur atau mikroba sangat kecil, dan sebaliknya. Pada pemeriksaan mutu dengan penetapan susut pengeringan diperoleh nilai bahwa semakin tebal simplisia nilai susut pengeringannya semakin besar pula (Tabel II dan Gambar 6). Proses pengeringan dilakukan dalam waktu yang cukup lama (delapan hari) dan parameter kering yang digunakan adalah mudah dipatahkannya simplisia dengan ketebalan 8

mm. Akibatnya pada saat penetapan susut pengeringan pada ketebalan 2 mm nilai susut pengeringannya sangat kecil karena semakin banyak air dan minyak atsiri yang telah menguap selama proses pengeringan. Sedangkan pada ketebalan 8 mm nilai susut pengeringannya paling besar karena pada saat proses pengeringan tidak terlalu banyak air dan minyak atsiri yang menguap.

Tabel II. Susut pengeringan rimpang lengkuas Ketebalan (mm) Mean Susut pengeringan (%b/b) SD 2 2,69 0,1429 4 5,34 0,3703 6 5,45 0,1703 8 7,06 0,3789 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 2 4 6 8 ketebalan (mm) s u s ut pe n ge ri n ga n (% )

Gambar 6. Grafik susut pengeringan rimpang lengkuas

Untuk mengetahui apakah masing-masing ketebalan mempunyai nilai susut pengeringan yang berbeda-beda maka dilakukan uji statistik berupa analisis variansi satu arah yang dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil analisis (lampiran 10) menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang bermakna antar nilai susut pengeringan pada setiap ketebalan yang berbeda, kecuali antara susut

pengeringan pada ketebalan 4 dan 6 mm dimana perbedaannya tidak bermakna. Artinya pada ketebalan 4 dan 6 mm mempunyai nilai susut pengeringan yang sama.

Persyaratan kadar air untuk rimpang menurut Anonim (1985) adalah ≤8%, dan dari hasil pengeringan nilai susut pengeringan pada setiap ketebalan irisan kurang dari 8% (Lampiran 8). Karena hasil penetapan susut pengeringan tersebut tidak hanya menunjukkan besarnya kandungan air yang menguap tetapi juga kandungan minyak atsiri, maka kandungan air yang terkandung dalam simpleks rimpang lengkuas kurang dari 8%. Karena kadar air yang diperoleh memenuhi syarat maka simplisia dapat dikatakan bermutu, dan dengan kandungan airnya yang sedikit maka kemungkinan simplisia rusak karena ditumbuhi jamur atau mikroba sangat kecil.

F. Penetapan Kadar Minyak Atsiri

Penetapan kadar minyak atsiri terhadap simpleks rimpang lengkuas dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat destilasi Stahl. Pada saat alat dipanaskan, maka air suling dan minyak atsiri yang terkandung dalam simpleks rimpang lengkuas akan menguap. Penguapan ini terjadi pada titik didih yang lebih rendah dari titik didih air dan minyak atsiri, karena tekanan yang dihasilkan oleh campuran uap akan lebih besar dari pada tekanan yang dihasilkan dari masing-masing komponen. Tekanan uap yang naik akan turun menjadi 1 atm karena alat berhubungan dengan atmosfir luar. Karena tekanan parsial turun maka menyebabkan turunnya titik didih. Titik didih air 100oC dan titik didih komponen minyak mudah menguap berkisar antara 150oC-300oC pada tekanan 1atm, maka kedua komponen akan menguap pada

suhu di bawah titik didih air. Jika komponen minyak telah habis menguap, suhu akan naik mencapai titik didih komponen yang tertinggal yaitu air suling (Guenther, 2006). Karena rimpang lengkuas disuling dalam bentuk irisan, maka minyak akan lebih mudah diuapkan dan kekuatan difusi air (hidrodifusi) akan sedikit dibutuhkan untuk membebaskan minyak atsiri. Pada awal penyulingan, komponen-komponen minyak yang bertitik didih rendah akan tersuling lebih dahulu kemudian disusul komponen yang bertitik didih tinggi. Dari proses penyulingan selama 6 jam diperoleh minyak atsiri yang berwarna kekuningan dan terdapat pada bagian atas buret penampung, artinya minyak atsiri simpleks rimpang lengkuas memiliki bobot jenis yang lebih rendah dari air. Proses penyulingan ini dilakukan pada tekanan yang rendah (1 atm) yang mengakibatkan suhu proses juga rendah sehingga tidak merusak minyak atsiri. Namun, proses ini membutuhkan jumlah uap air yang lebih besar per satuan berat minyak sehingga proses penyulingan akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lama (6 jam). Proses penyulingan dihentikan ketika volume minyak atsiri yang tertampung dalam buret tidak bertambah lagi (volumenya tetap).

Penetapan kadar minyak atsiri simpleks rimpang lengkuas ini dilakukan dengan metode penyulingan air. Metode ini menggunakan air suling yang kontak langsung dengan bahan. Air suling yang digunakan berfungsi untuk menambah kecepatan penguapan minyak dengan mendesak minyak ke permukaan rimpang lengkuas, sehingga proses penyulingan dengan air lebih unggul daripada penyulingan uap. Selain itu, uap air juga dapat berfungsi mentransmisikan panas karena rimpang lengkuas tidak dapat meneruskan panas ke seluruh bagian rimpang, sehingga

mempermudah penguapan minyak atsiri. Menguapkan campuran minyak atsiri dalam air akan mempertahankan suhu tetap lebih rendah dari titik didih air sehingga kerusakan dan degradasi minyak atsiri oleh pemanasan yang terlalu tinggi dapat dicegah.

Tabel III. Kadar minyak atsiri rimpang lengkuas Ketebalan Mean Kadar (%v/b) SD

2 0,1995 7,9812x10-4 4 0,3995 3,6332x10-4 6 0,5981 7,9561x10-4 8 0,1992 4,5055x10-4 0.0000 0.1000 0.2000 0.3000 0.4000 0.5000 0.6000 2 4 6 8 ketebalan (mm) k a da r m iny a k ( % v /b)

Gambar 7. Grafik kadar minyak atsiri rimpang lengkuas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tebal irisan kadar minyak atsiri juga semakin tinggi, namun pada ketebalan 8 mm kadar minyak atsiri menurun (tabel III, gambar 7). Menurut Anonim (1978), kadar minyak atsiri untuk rimpang lengkuas adalah sebesar 0,5-1% v/b. Dari hasil penetapan kadar minyak atsiri rimpang lengkuas yang dilakukan ternyata yang memenuhi persyaratan hanya pada ketebalan 6 mm saja, yaitu sebesar 0,5981 % b/v ± 7,9561x10-4. Pada ketebalan 2 dan 4 mm diperoleh nilai kadar minyak atsiri yang terlalu kecil karena ketebalan irisan yang

terlalu tipis sehingga kandungan minyak atsirinya telah menguap selama proses perlakuan terutama saat pengeringan. Karena proses pengeringan yang dilakukan memerlukan waktu yang lama, maka semakin banyak pula minyak atsiri yang menguap dan hilang. Sedangkan pada simplisia ketebalan 8 mm juga diperoleh kadar minyak atsiri yang kurang dari 0,5%, karena irisan yang terlalu tebal sehingga minyak atsiri yang terkandung di dalamnya tidak semua dapat keluar saat dilakukan proses penyulingan. Artinya masih ada minyak atsiri yang tertinggal.

Untuk mengetahui apakah masing-masing ketebalan mempunyai kadar minyak atsiri yang berbeda-beda maka dilakukan uji statistik berupa analisis varian satu arah yang dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD). Hasil analisis (lampiran 13) menunjukkan bahwa kadar minyak atsiri pada ketebalan 2, 4, dan 6 mm memiliki nilai yang berbeda bermakna, sedangkan antara ketebalan 2 dengan 8 mm memiliki nilai yang berbeda tidak bermakna.

Proses penyulingan minyak atsiri simpleks rimpang lengkuas ini tidak dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dibuktikan melalui uji statistik analisis variansi dan LSD untuk susut pengeringan dan kadar minyak atsiri yang telah dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada ketebalan 2 dan 8 mm nilai susut pengeringannya berbeda bermakna, tetapi kadar minyak atsirinya berbeda tidak bermakna. Sedangkan pada ketebalan 4 dan 6 mm nilai susut pengeringannya berbeda tidak bermakna, tetapi kadar minyak atsirinya berbeda bermakna.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait