• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuktian berusaha mencari dan menemukan kebenaran substantif

Disiplin ilmu hukum sebagaimana pula ilmu-ilmu lain, senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, sesuai dengan tuntutan masyarakat pada zamannya. Pada perkembangan tersebut, ada pakar yang mengatakan bahwa memisahkan secara kontradiktif antara pencarian kebenaran formal dan kebenaran

84

Ibid.

85

substantif menjadi tidak relevan dalam hukum acara perdata, mengingat bahwa dalam praktik, ada tuntutan untuk mencari keduanya (formal dan substantif) dalam waktu yang bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepada

hakim di pengadilan.86

Walaupun demikian, seorang hakim sesungguhnya dituntut untuk mencari kebenaran substantif terhadap perkara yang sedang diperiksa karena tujuan pembuktian adalah untuk meyakinkan hakim, atau untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang ada dan benarnya peristiwa hukum tertentu, sehingga konstatir, kualifisir, konstituir, dan putusan yang dijatuhkan hakim selalu mengacu

dan berdasarkan pada pembuktian kebenaran itu.87 Pengadilan pada dasarnya tidak

dilarang mencari dan menemukan kebenaran substantif, akan tetapi bila kebenaran substantif tidak ditemukan, hakim dibenarkan hukum mengambil putusan

berdasarkan kebenaran formal.88

Sebagai tindak lanjut dari prinsip bahwa hakim harus berusaha mencari dan menemukan kebenaran substansial dalam perkara perdata, maka hakim harus aktif argumentatif dalam memimpin persidangan.

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

adalah benar. Salah satu asas pemeriksaan perkara perdata adalah “audi et elteram

partem” yakni mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Asas ini sering pula disebut sebagai asas kesamaan kedudukan para pihak. Dengan asas ini, pengadilan harus mengakui adanya hak tergugat untuk membela diri. Dengan demikian,

86

Abdul Manan, op. cit., h. 228

87

Ibid.

88

memberikan implikasi bahwa: Pertama, kedua belah pihak harus didengar

kepentingannya, sama dan seimbang. Kedua, hakim menilai alat bukti setelah pihak

lawan mengetahui eksistensi alat bukti itu dan memberikan penilaiannya sendiri.

Ketiga, pemeriksaan dilakukan dengan hadirnya para pihak, pertemuan sepihak

tidak dibenarkan, dan keempat, para pihak harus dipanggil secara resmi dan patut.

Hakim harus berusaha agar tatacara dan tenggang waktu pemanggilan para pihak

benar-benar dipatuhi.89

Pemeriksaan perkara perdata di pengadilan, harus benar-benar mendengarkan

kedua belah pihak secara sama dan berimbang, sering disebut dengan istilah fair

hearing, serta aturan main dalam pemeriksaan perkara benar-benar ditaati, atau fair play.

Perlakuan pengadilan secara sama dan berimbang, sebenarnya berangkat dari asumsi bahwa para pihak memiliki tingkat kecerdasan dan penguasaan hukum yang sama, tetapi secara empirik tidak demikian. Masih terlalu banyak warga masyarakat yang buta hukum, bahkan buta huruf. Oleh karena itulah, ada pakar yang

mempersoalkan kemungkinan para pihak diperlakukan tidak sama sehingga dengan

demikian dapat berada pada kedudukan yang sama.

Setiawan mengutip pendapat P. van Dijk dan G.J.H van Hook bahwa perlakuan yang sama itu, diberikan kepada masing-masing pihak yang memiliki

equality of arm yaitu para pihak memiliki kedudukan yang sama dan seimbang, baik

pengetahuan hukumnya maupun kemampuan ekonominya.90

89

Setiawan, op. cit., h. 363

90

Pada kondisi memaksa dan benar-benar menghendaki perlakuan tidak sama sehingga dengan demikian para pihak bisa berada pada posisi yang sama, hanyalah dapat dijalankan apabila hakim aktif memimpin serta mengendalikan jalannya

perkara.91 Karena itulah, untuk mencari dan menemukan kebenaran substantif,

hakim harus aktif memimpin persidangan dengan tetap berpedoman pada norma-norma hukum dan norma-norma etik yang berlaku. Sikap aktif memimpin dan mengendalikan persidangan, sama sekali tidak bertujuan untuk mengebiri asas imparsialitas, netralitas, serta asas hakim tidak memihak. Keaktifan hakim semata-mata dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran dalam rangka menegakkan keadilan yang berketuhanan.

Tidak ditemukan pembedaan kebenaran formal dan kebenaran substantif dalam filsafat hukum Islam terhadap penyelesaian perkara perdata, tetapi hakim dituntut untuk berijtihad sebelum menjatuhkan putusan. Ini berarti bahwa hakim harus aktif mencari dan menemukan kebenaran sebelum menjatuhkan putusan. Ijtihad itu pun harus didasari kemampuan dasar yang memadai, agar hasil ijtihadnya tidak keliru. Meskipun ijtihad salah, tetap hakim mendapatkan pahala, yaitu pahala ijtihad dan tidak mungkin dapat dihukum (diberi sanksi) karena salahnya hasil ijtihad itu.

Sebuah riwayat selama ini dijadikan pijakan untuk menjustifikasi kebenaran formal perlu ditinjau ulang, sebab ternyata bukanlah hadis. Redaksi riwayat ini berbunyi:

91

َﻧ ْﺣ ُن َﻧ ْﺣ ُﻛ ُم ِﺑ ﱠظﻟﺎ َو ِھا ِر َو ُﷲ َﯾ ﺗ َو ﱠﻟ ﱠﺳﻟا ﻲ َر ِﺋا َر 92

Walaupun bukan hadis, riwayat ini relevan dengan konsepsi proses peradilan yang dikembangkan di Eropa, khususnya negara Belanda, yang kemudian menjajah Indonesia dan mengembangkan serta memberlakukan hukum-hukumnya di persada nusantara.

Akibat penjajahan Belanda dalam waktu lama, hukum bawaan Belanda pun berpengaruh besar dalam tata kehidupan, terutama sekali dalam kehidupan formal pemerintahan, kenegaraan dan kasus-kasus resmi di pengadilan. Perkembangan selanjutnya, hukum Belanda menjelma sebagai wakil hukum Eropa, meskipun di Eropa sendiri tidak hanya mengenal satu sistem hukum. Kemudian, hukum Eropa dan Amerika merupakan perwujudan pengaruh hukum modern yang mendunia,

setelah mengalami eklektik dari pelbagai sumber hukum.93

Kecenderungan hukum modern adalah bahwa hubungan hukum keperdataan antara subyek hukum yang satu dengan lainnya diatur secara khusus dalam bentuk perjanjian (kontrak) sehingga penyelesaian sengketa perdata, meskipun tetap formal, sesungguhnya mencakup kebenaran substansial oleh karena penyelesaian itu pada umumnya telah dipikirkan dan disepakati sejak awal dilakukannya hubungan hukum.

92

Ibn al-Mulqi>n Sira>j al-Di>n Abu Hifz Umar bin Ali bin Ahmad al-Sya>fi’i> al-Misri>, Taz|kirah al-Muhta>j ila> Aha>di>s| al-Munha>j, J>uz I (Beirut: Maktabah al-Isla>mi>, 1994). Dalam al-Maktabah al-Sya>milah, CD. Room.

93

A. Qodri Azizy, Hukum Nasional, Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum (Cet. I; Jakarta: Teraju, 2004), h. 2

E. Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Penemuan Kebenaran Formal dan Kebenaran Substantif di Pengadilan

Banyak faktor yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum yang benar dan adil. Penegakan hukum merupakan terapan dari bekerjanya sistem hukum nasional yang melembaga dalam institusi-institusi formal, termasuk pengadilan. Pengadilan pun sebagai sub sistem penegakan hukum, terdiri dari beberapa individu yang menentukan kualitas sebuah proses dan produk pengadilan, termasuk putusan perdata. Selain itu, masyarakat dengan latar belakang yang beragam memberikan andil dalam setiap proses perkara di pengadilan. Hal ini karena semua informasi yang direkam dalam gugatan kemudian diperiksa oleh hakim, sangat bergantung kepada selera hukum penggugat. Seluruh muatan surat gugatan tentu mengandung dua kemungkinan yaitu benar atau salah. Hakim yang memeriksa dan memutus perkara, sangat bergantung kepada kemampuan para pihak untuk menyusun argumentasi dan membuktikannya, sehingga secara substantif boleh jadi putusan yang diambil mengandung ketidakbenaran dan ketidakadilan, meskipun hakim yang memutusnya sudah berijtihad.

Menurut Rifyal Ka’bah, faktor-faktor yang menentukan dalam penegakan

hukum antara lain: Pertama, Faktor ketidaktahuan individu terhadap aturan hukum

yang berlaku. Kedua, pemasyarakatan dan pembudayaan hukum, Ketiga, tabiat

hukum yang sekuler, dan Keempat, berkaitan substansi hukum dan penegak

hukum.94

94

Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indoensia (Cet.I; Jakarta: Kairul Bayan Sumber Pemikiran Islam, 2004), h. 183

Perspektif keawaman hukum individu dan masyarakat pada umumnya

sebagai faktor pertama yang berpengaruh terhadap penegakan kebenaran dan

keadilan, juga dipengaruhi kondisi geografis. Luas wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, tentu tidak mudah untuk memberikan pengetahuan hukum dan pemahaman yang sama mengenai sebuah aturan hukum (perundang-undangan) meskipun aturan itu telah diumumkan secara resmi oleh pemerinah, baik melalui Lembaran Negara, media massa, penerbitan buku-buku dan selebaran, maupun melalui penyuluhan hukum secara langsung kepada masyarakat.

Selain itu, lembaga bantuan hukum atau advokat dalam kenyataannya tidak mudah dan tidak murah untuk dimanfaatkan jasanya oleh seluruh lapisan masyarakat dengan status sosial yang beragam. Hal ini terjadi karena, selain advokat belum merata eksistensinya di seluruh pengadilan, juga karena jasa advokat tergolong mahal sehingga hanya masyarakat menengah ke atas yang memanfaatkan jasa advokat, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang menjadi perhatian masyarakat luas. Dalam kasus yang disorot media massa, advokat ternama biasanya bersedia memberi bantuan hukum secara gratis.

Kehadiran advokat dalam praktek peradilan secara filosofis hendaknya mempermudah dan memperlancar jalannya proses pemeriksaan perkara perdata sehingga asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan benar-benar dapat terealisasi. Akan tetapi secara empirik, kehadiran advokat tidak selamanya mampu memenuhi harapan dan kebutuhan hukum masyarakat, bahkan kadang-kadang mengakibatkan proses pemeriksaan berlangsung lama. Hal ini terjadi karena advokat tidak bisa secara spontanitas langsung memberikan tanggapan terhadap persoalan

yang muncul di persidangan, tetapi harus mengonfirmasi dan memverifikasi kepada pihak materil (pemberi kuasa) kemudian menjawabnya secara tertulis. Keadaan ini membutuhkan penundaan sidang yang secara konvensional membutuhkan waktu rata-rata satu pekan, bahkan lebih.

Dilihat dari perspektif kebenaran, kehadiran advokat yang cakap hukum dalam kenyataannya lebih banyak bersifat subyektif, lebih mengutamakan kepentingan klien dari pada kepentingan penegakan hukum yang benar dan adil. Akibat selanjutnya, berpengaruh kepada upaya penegakan kebenaran dan keadilan dalam proses perkara perdata di pengadilan.

Secara filosofis, kehadiran advokat seharusnya membantu masyarakat dalam upaya penegakan hukum yang benar dan adil serta mewakili kien untuk mencapai atau mempertahankan hak-hak keperdataan di muka sidang. Advokat diharapkan mampu dan mau memberikan informasi dan pencerahan hukum yang tepat kepada masyarakat, termasuk mereka yang digolongkan buta hukum. Pengadilan sebagai benteng terakhir penegakan keadilan, tidak memiliki legal standing dan pos finansial untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bernuansa penyuluhan dan pencerahan hukum secara melembaga. Walaupun boleh jadi, beberapa aparat pengadilan memberikan kuliah, mengisi ceramah, menulis dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya.

Faktor penentu kedua yang mempengaruhi pengungkapan kebenaran adalah

pemasyarakatn hukum, yaitu pembudayaan aturan sehingga menjadi tradisi dalam masyarakat. Faktor penentu ini oleh Lawrence M. Friedman, sebagaimana dikutif

Abdul Manan, disebut the legal culture, yaitu keseluruhan faktor yang menentukan

budaya milik masyarakat umum.95 Dengan demikian dapat dipahami bahwa budaya hukum itu mencakup keseluruhan cara pandang dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana sistem hukum itu berlaku dalam masyarakat. Hal ini sangat tidak mudah karena menyangkut perubahan pola pikir secara menyeluruh.

Kebenaran formal boleh jadi tidak memadai secara filosofis, tetapi jika hal itu telah membudaya dalam penyelesaian sengketa perdata di masyarakat, eksistensinya akan terus bertahan dan ditaati. Oleh karenanya, sulit atau bahkan mungkin dianggap salah, jika ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran substantif. Sebaliknya, penegakan kebenaran substantif dalam berhukum diyakini memenuhi persyaratan secara filosofis jika tidak didukung dengan kesadaran hukum masyarakat, tetap tidak akan efektif. Oleh karena itulah, Rifyal Ka’bah mengusulkan agar pembudayaan hukum dikembangkan di dalam dan luar sekolah dengan sistem keteladanan. Mulai dari orang tua, para pendidik, tokoh politik dan penegak hukum itu sendiri. Karena tidak tegaknya hukum di Indonesia, antara lain disebabkan kurangnya percontohan dan keteladanan dalam rangka

pembudayaan hukum.96

Faktor berpengaruh ketiga adalah tabiat hukum yang sekuler. Penegakan

hukum lebih banyak dititikberatkan pada ketetapan manusia yang mempunyai daya jangkau yang sangat relatif, bisa salah atau benar, dipatuhi atau dilanggar tanpa beban. Hal ini karena tidak dikaitkan dengan perintah Allah untuk menegakkan

95

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), h. 96

96

kebenaran dan keadilan dengan mengenyampingkan kezaliman, padahal masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Putusan-putusan pengadilan pada umumnya bersifat qad}a>’i (yuridis) dan jauh dari karakter diya>ni (religius) sehingga tidak

mempunyai dasar nurani dan ukhrawi yang kokoh.97

Pengadilan Agama sebagai lembaga pengadil di bidang tertentu untuk orang-orang yang beragama Islam, harus mampu mewarnai penegakan hukum yang sekuler menjadi penegakan hukum relegius. Pengadilan Agama juga harus mampu dan mau disertai keberanian yang bertanggungjawab, untuk melahirkan putusan-putusan yang berkarakter qad}a>’i> dan diya>ni> secara simultan, memadukan aspek legal dan moral dalam bingkai kebenaran substantif yang berkeadilan. Hal ini bisa dilakukan

melalui dua cara. Pertama, pola pemikiran hukum yang telah melahirkan formulasi

tradisi keilmuan, yakni kebenaran formal, harus ditelaah ulang (re-reading) secara

cermat dan benar sebagai upaya dekonstruksi sistem pemikiran yang telah dominan.

Kedua, oleh karena doktrin yang diderivasi oleh tradisi tersebut kini masih aktif sebagai bagian dari sistem pengetahuan, maka diupayakan adanya transpormasi muatan dan fungsi awalnya kepada sesuatu yang baru, yaitu kebenaran substantif.

Cara pertama disebut regresif, sedangkan cara kedua dinamakan progresif.98

Hukum Islam progresif berusaha menemukan dan menerapkan dasar keilmuan hukum Islam yang moderat dan adaptatif terhadap perubahan sosial, bahkan menjadi terdepan dalam kepeloporan penegakan hukum yang benar dan adil

97

Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yasrib, 1999), h. 60

98

Langkah dekonstruktif ini dikemukakan dalam rangka dekonstruksi pemikiran hukum Islam klasik, akan tetapi secara teoritis, relevan diterapkan dalam rangka membongkar pemikiran hukum positivistik-normatif yang hanya mementingkan kebenaran formal belaka. Lihat Efrinaldi dan Khaerunnas Rajab, “Meretas Dinamika dan Kristalisasi Hukum Islam di Indonesia , dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No.74 Tahun 2011, h. 42

secara substantif. Hal ini sangat penting diperkenalkan dan diterapkan untuk menampilkan corak hukum Islam yang aplikatif dalam realitas kehidupan sehari-hari dan responsif terhadap dinamika perubahan dan kemajuan zaman. Dengan demikian, diharapkan ada pergeseran pemahaman, gagasan dan penerapan hukum dari “kebenaran formal” menjadi kebenaran “materil-substantif”, dan berpindahnya suasana hukum “pasif-normatif” menjadi “aktif-argumentatif” dalam proses penyelesaian sengekta perdata yang progresif.

Faktor berpengaruh keempat adalah hukum dan penegak hukum. Dari

perspektif hukumnya, kebenaran formal yang menjadi doktrin dalam hukum acara perdata, jelas merupakan warisan Belanda. Oleh karena itu, seandainya ada pertanyaan apakah HIR dan R.Bg. itu perlu diubah, maka dijawab dengan tegas bahwa HIR dan R.Bg. perlu diubah dan disesuaikan dengan asas-asas hukum acara modern, sehingga sejajar dengan hukum acara yang berlaku di negara-negara lain yang berakibat lebih jauh jangkauannya, sampai melintasi batas-batas tanah air. Suatu hukum acara perdata yang canggih, yang sanggup mengakomodir dan adaftatif terhadap pergaulan dan lalu lintas hukum antar bangsa-bangsa, tanpa

kehilangan identitas nasionalnya.99 Pada kondisi seperti itu, hukum Islam yang

diyakini sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) harus mengambil

peran dan berpartisipasi dalam rangka legislasi hukum acara perdata nasional. Karena Islam bukan sekadar aturan-aturan agama, tetapi juga mendeskripsikan

99

ideologi perundang-undangan, politik pemerintahan dan juga sebagai aturan sosial

kemasyarakatan, yang bermuatan agama secara seimbang.100

Secara filosofis, hukum Islam tidak membedakan secara tajam antara acara perdata dan acara pidana. Poin penting yang hendak ditekankan di dalam proses pembuktian dan penemuan hukum dalam kedua sistem hukum (pidana-perdata) adalah bahwa seluruh penegakan hukum dalam perspektif filsafat hukum Islam harus mengandung nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai kebenaran dan nilai-nilai keadilan tersebut dapat digali dari kalangan masyarakat lokal Indonesia untuk legislasi nasional di bidang hukum acara perdata.

Porsi terbesar dan paling berpengaruh dalam pengambilan putusan perdata di pengadilan tentu saja penegak hukum, yaitu hakim dan aparat peradilan lainnya. Benar secara formal atau benar secara substantif, atau bahkan formal dan substantif menyatu dalam sebuah kebenaran yang mendasari putusan perdata, semuanya sangat dipengaruhi oleh sistem kerja aparat penegak hukum di pengadilan, terutama hakim. Karena itulah, pengangkatan hakim harus benar-benar selektif dengan tidak hanya berpedoman pada kemampuan akademik semata, tetapi juga memperhatiakn unsur-unsur kecermatan, inovasi, kreatifitas, keberanian dan akhlak yang terpuji sebagai perwujudan insan pengayom yang berhati nurani.

100

Demikian ungkapan Sacht, sebagaimana dikutip pada sampul bagian belakang buku Ibnu Qayyim al-Jauziyah, yang diterjemahkan oleh Adnan Qohar dan Anshoruddin dengan judul Hukum Acara Peradilan Islam (Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

Dokumen terkait