• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAS PEMBUKTIAN DALAM KITAB HUKUM ACARA PIDANA 1. Pengertian dan Teori Sistem Pembuktian

BAB III. PENERAPAN ASAS PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PENCUCIAN UANG

SISTEM PERADILAN PIDANA

2.3. ASAS PEMBUKTIAN DALAM KITAB HUKUM ACARA PIDANA 1. Pengertian dan Teori Sistem Pembuktian

Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di persidangan dengan tujuan untuk mencari kebenaran

95

Luhut M.P.Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem

Peradilan Pidana Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009,hlm.78.

96

Philip L.Reichel, Comparative Criminal Justice System, A Topical Approach Second Edition, University of Notherm Colorado, 1998:233, yang dikutip oleh Luhut M.P.Pangaribuan, ibid, hlm. 79. 97 ibid hlm. 84. 98 Ibid hlm.91  

50

materiil. Pembuktian adalah ketentuan-ketetuan yang berisi penggarisan dan pedoman tetang cara - cara yang dibenarkan oleh undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa .99 Pembuktian juga merupakan suatu usaha untuk membuktikan sesuatu (objek yang dibuktikan) memalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu sebagai terbukti ataukah tidak menurut Undang-undang.100 Oleh sebab itu dalam persidangan di pengadilan hakim tidak boleh membuktikan kesalahan terdakwa dengan semena-mena, karena pembuktian hanya boleh dilakukan dengan alat-alat bukti yang diatur dan dibenarkan oleh undang-undang.

Sistem Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat bukti dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti orang yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksinya demi tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai dengan asas Presumption of innocence, sehingga hukum yang diterima oleh terdakwa seimbang dengan kesalahannya.

Dalam sistem pembuktian dikenal beberapa macam teori pembuktian. Menurut Andi Hamzah terdapat 4 (empat) dimensi teori pembuktian yaitu : 101

a. Teori Pembuktian berdasarkan Undang Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie).

Pembuktian dalam system ini didasarkan pada alat-alat bukti yang sudah ditentukan secara limitative dalam undang-undang, system ini

99

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2000, hal. 273.

100

Adami Chazawi, op. cit. , hlm.101.

101

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.245-253

merupakan kebalikan dari system conviction in time karena dalam sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti dengan adanya alat-alat bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi.

b. Teori Pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.

Teori ini disebut juga conviction in time. Teori ini menyatakan bahwa hakim mengambil keputusan semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya, walaupun tidak ada alat bukti hakim dapat menjatuhkan pidana dan hakim tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya. Dalam system ini hakim mempunyai kebebasan untuk menjatuhkan putusan, Subyektifitas dari hakim sangat menonjol dalam system ini.

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan Yang Logis (Laconviction Raissonnee)

Teori ini muncul sebagai teori jalan tengah dengan pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang terbatas dengan alasan logis. Alat bukti dalam system ini tidak diatur secara limitative oleh undang-undang. Sistem ini juga disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasannya dalam menjatuhkan putusan.

d. Teori Pembuktian berdasarkan Undang Undang Secara Negative (Negative Wettelijke).

Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat paling tidak dua alat bukti yang sah. Alat bukti dalam system ini diatur secara limitative dalam undang-undang. Dalam system ini terdapat dua komponen yang saling mendukung satu sama lain yakni alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim.

KUHAP menganut sistem ke empat ini , hal ini bisa terlihat dari isi ketentuan Pasal 183 KUHAP yaitu :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah ia

52

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila terdapat paling tidak dua alat bukti yang sah. Alat bukti dalam sistem ini diatur secara terbatas dalam undang-undang, yaitu dalam pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Dalam sistem pembuktian negative ini terdapat dua komponen yang saling mendukung satu sama lain yakni alat bukti yang sah menurut undang-undang dan keyakinan hakim.

Teori Pembuktian menurut M.Yahya Haharap dibagi menjadi :102 1. Conviction – in Time

Sistem pembuktian ini semata-mata hanya berdasarkan “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim ini boleh diambil dan disimpulkan dari alat-alat bukti yang diperiksa dalam siding pengadilan tetapi bisa juga alat-alat bukti tersebut diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Intinya bahwa sistem pembuktian ini semata-mata berdasarkan keyakinan hakim belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup. Keyakinan hakim yang paling dominan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.

2. Conviction – Raisonee

Dalam sistem pembuktian ini keyakinan hakim tetap memegang peranan penting, tetapi keyakinan hakim ini bersifat dibatasi dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan alasan-alasan tersebut haruslah dapat diterima akal (reasonable).

3. Pembuktian Menurut Undang Undang Secara Positif

Sistem pembuktian ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti

102

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang

Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2000, hal. 277-279

yang sah”. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah “robot pelaksana” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Sistem ini menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

4. Pembuktian Menurut Undang Undang secara Negative (Negative Wettelijk Stelsel)

Sistem ini merupakan keseimbangan antara sistem pembuktian conviction- in time dengan pembuktian menurut undang-undang secara positif yang mana kedua sistem ini bersifat saling bertolak belakang. Keseimbangan ini berupa penggabungan secara terpadu antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dari uraian ini maka dapatlah terlihat adanya 2 (dua) komponen penting dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, yaitu :

a. pembuktian haruslah dilakukan dengan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

b. dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa teori pembuktian dibagi menjadi teori tradisional yang terdiri dari teori negative, teori positif, dan teori bebas, sedangkan teori modern dibagi menjadi teori pembuktian dengan keyakinan belaka, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian secara negative, teori keyakinan atas alasan logis, teori pembuktian negative menurut undang-undang dan teori pembuktian terbalik.103

Mengenai teori pembuktian Djoko Prakoso juga memberikan pendapatnya yaitu bahwa pembuktian dibagi menjadi sistem Keyakinan

103

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktikan Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31

Tahun 1999), Cet.kesatu, CV.Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99-101.

54

Belaka, Sistem Melulu menurut undang-undang positif (positif wettelijk) dan Sistem menurut Undang Undang sampai suatu batas (negatief wettelijk).104

2.3.2. Beban Pembuktian

Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membeberkan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan. Macam-macam beban pembuktian :

1. Beban Pembuktian Biasa

Yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan suatu pernyataan atau tuduhan adalah Jaksa Penuntut Umum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang menyebutkan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.105

2. Beban Pembuktian Terbalik terbatas dan berimbang

Terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan, tetapi peranan penuntut umum tetap aktif dalam membuktikan dakwaannya. Pada beban pembuktian ini jika terdakwa mempunyai alibi dan ia dapat membuktikan kebenaran alibinya maka beban pembuktian akan berpindah ke penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya.

3. Beban Pembuktian Terbalik

Dalam beban pembuktian ini yang mempunyai beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka terdakwa akan dinyatakan kalah, sistem ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri.

2.4. Kedudukan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Kitab