• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Diagnosis

Ada dua cara untuk mendiagnosis penyakit Tifus abdomianalis yaitu secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis klinis sering tidak tepat karena gejala klinis khas Tifus abdominalis tidak ditemukan atau gejala yang sama terdapat pada penyakit lain.30 Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboratrium untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus abdominalis.

2.7.1. Pemeriksaan Darah Tepi

Diagnosis Tifus abdominalis dengan pemeriksaan darah tepi akan mendapatkan gambaran lekopenia dan limfositosis relatif pada permulaan sakit. Disamping itu, pada pemeriksaan ini kemungkinan terdapat anemia dan trombositopenia ringan.18 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita Tifus abdominalis atau bukan. Akan tetapi, adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis Tifus abdominalis.33

2.7.2. Pemeriksaan Bakteriologis

Diagnosis pasti Tifus abdominalis dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.34 Berkaitan dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.15

Hasil biakan yang positif dapat memastikan Tifus abdominalis akan tetapi hasil negatif belum tentu tidak menderita Tifus abdominalis karena tergantung pada

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan antara lain; penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.34 2.7.3. Pemeriksaan Serologis13,34, 35

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis Tifus abdominalis dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada Tifus abdominalis ini meliputi : (a) uji Widal; (b) tes TUBEX®; dan (c) metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). a. Uji Widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita Tifus abdominalis. Teknik aglutinasi uji Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Pada umumnya uji hapusan lebih sering dipakai

karena hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit dibandingkan uji tabung yang membutuhkan waktu inkubasi satu malam.

Namun demikian uji Widal memiliki kelemahan seperti rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil sehingga membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita Tifus abdominalis. Pemberian antibiotika sebelum pengambilan serum dapat memberikan hasil negatif palsu sedangkan kesamaan antigen O dan H yang dimiliki S. typhi dengan salmonella lain, bahkan kesamaan epitop dengan Enterobactericeae lain dapat menyebabkan hasil positif palsu. Hingga saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaat test Widal masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal harus ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi. Meskipun pemeriksaan Widal memiliki banyak keterbatasan namun pemeriksaan ini masih dianjurkan untuk dilakukan karena proses pengerjaannya cepat, tidak membutuhkan instrumental dan relatif murah.

Di lndonesia, besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis Tifus abdominalis belum terdapat kesesuaian. Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa standar nilai uji Widal untuk diagnosis Tifus abdominalis didasarkan pada prosedur yang digunakan di masing-masing rumah sakit atau laboratorium. Widodo.D, dkk melakukan studi cross sectional pada 300 responden sehat di 5 kecamatan di wilayah DKI Jakarta tahun 2006 dimana sebagian besar responden memberikan hasil seropositif pada pemeriksaan serologi Widal S. typhi O (55,7%), H (78%). Terdapat 1,3% responden sehat dengan titer S. typhi O > 1/160, 7,7%

responden dengan titer H > 1/320. Tidak ada responden yang memiliki titer S. parathypi A O dan C O > 1/ 160. Hanya sebagian kecil responden sehat yang memiliki titer S. parathypi B O > 1/160 (1,34%), A H > 1/320 (5,33%), B H > 1/320 (2,67%), S. paratyphi C H > 1/320 (0,66%). Karena itu, berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa cut off terbaik uji Widal satu kali untuk diagnosis demam tifoid dan uji Widal S.paratyphi di Jakarta adalah > 1/160 untuk titer O dan > 1/320 untuk titer H. Penetapan nilai uji Widal positif yang digunakan di RSU Dr. F.L . Tobing Sibolga yaitu apabila ditemukan gejala Tifus abdominalis dengan didukung titer ≥ 1/80 untuk anti-O atau ≥ 1/160 untuk anti-H sedangkan apabila titer O dan H menujukkan nilai 1/320 atau lebih pada satu kali pemeriksaan maka dinyatakan adanya infeksi aktif pada penderita atau penderita pernah divaksinasi.13

b. Tes TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitain oleh Olsen,Sonja et al, 2004 menyebutkan perbedaan antara tes TUBEX dan uji Widal yaitu sensitivitas (78/64), spesifisitas (94/76). Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal karena memiliki keunggulan yang lebih baik daripada tes Widal dan dapat menutupi kelemahan tes Widal.

c. Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9. Antigen ini mampu membedakan organisme ini >99% dari serotype bakteri salmonella yang lain, sehingga tes ini sangatlah spesifik terhadap salmonella serotype thypi.

Tes diagnostik ELISA memiliki keunggulan dari tes lainnya karena uji ini dapat digunakan p a d a f a s e a k u t d a n memiliki nilai yang akurat dengan hanya satu kali pemeriksaan serta memiliki sensitifitas dan spesififitas yang jauh lebih baik daripada uji Widal. Adapun kelemahan uji ELISA antara lain dilakukan dengan sistem multis t e p , m e n g g u n a k a n enzim konjugat dan proses pembacaan sampel menggunakan media elektronik sehingga harga uji ini menjadi mahal.

Penelitan yang dilakukan oleh Lim et al, 1998 yangmembandingkan antara tes TUBEX dengan ELISA didapatkan bahwa TUBEX memiliki hubungan yang sangat baik dengan ELISA yang mendeteksi anti-LPS s.typhi (p = 0,003). Hal ini dikarenakan kedua tes tersebut menggunakan antigen dan mendeteksi antibody Ig M yang sama. Oleh karenaitu, kedua tes ini memiliki sensitivitas (100% / 100%) dan spesifisitas (100% / 96.9%) yang sama-sama tinggi..

Dokumen terkait