• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TAFSIR IBN ‘ARABI DAN ‘ABD AL-QADIR AL- JILANI

C. Biografi ‘Abd al-Qadir al-Jilani

3. Pemikiran dan Ajaran

65

moralnya telah menjadikannya sebagai salah satu kekasih Allah paling unggul yang pernah dilahirkan Islam. al-Jīlānī bukan hanya sekedar wali dengan banyak karomah, tapi ajarannya juga penuh inspirasi dan kesan hingga membuat ribuan orang meninggalkan jeratan nafsu, dan beralih pada keimanan sejati. Wajar jika Jamil Ahmad, penulis terkenal buku Hundred Great Muslims, menempatkan al-Jīlānī pada urutan pertama dalam tokoh-tokoh sufi dan orang-orang salih.96 al-Jīlānī wafat pada hari Sabtu, 8 Rabi’ul Awwal 561 H dan dimakamkan di pesantrennya, di perkampungan Bab al-Azj.

3. Pemikiran dan Ajaran

Dalam banyak majlis dan ḥalaqahnya, al-Jīlānī berkali-kali menekankan bahwa manhaj yang dianutnya adalah manhaj kaum salaf dan para sahabat Nabi. Bagi al-Jīlānī, merujuk kepada hadis Nabi, agama yang lurus itu dibangun atas amalan lahir dan batin.97 Tasawuf menurut al-Jīlānī adalah sistem yang mengatur hubungan hamba dan Tuhannya serta sistem yang mengatur hubungan antara seorang hamba dan seluruh makhluk.98

al-Jīlānī hidup pada masa kekuasaan Saljuk (492-590 H/1038-1194 M), yang ditandai dengan persaingan tiga aliran besar, yaitu nomosentrisme, logosentrisme dan erotisisme. Dalam peta sejarah pemikiran Islam periode itu, al-Jīlānī menempatkan dirinya pada aliran teo-erotisisme, yakni suatu aliran yang menekankan cinta, kerinduan, cahaya, api, dan waḥdah (kesatuan) sebagai lawan kategori-kategori filsafat rasional dan fikih. Dalam visi

96Muhammad Sholikhin. Menyatu Diri dengan Ilahi. (Yogyakarta: Penerbit Narasi. 2010), 153

97Alī Muḥammad Muḥammad al-Ṣallābī. al-‘Ālim al-Kabīr wa al-Murabbī al-Shahīr al-Shaikh

‘Abd al-Qādir al-Jīlānī. (Kairo: Muassasah Iqra’ l al-Nashr wa al-Tauzī’. 2007), 22 98al-Hasani, Nahr al-Qadariyyah …, 162

66

erotik, tujuan manusia adalah keadaan bersatu dengan Tuhan. Dalam persatuan itu, manusia adalah pecinta yang mengalami Tuhan sebagai Sang Kekasih. Manusia milik Tuhan, datang dari Tuhan, dan kembai kepada Tuhan. Melalui latihan asketik dan ekstatik, manusia sebagai pecinta harus melalui momen persesuaian dengan Tuhan hingga keadaan bersatu antara sang pecinta dan Kekasih bisa tercapai.99 Teo-erotisisme diwakili oleh kaum sufi dan telah dirintis oleh para sufi sebelum al-Jīlānī, semisal Rabī’ah al-Adawiyyah, Abu Yazīd al-Bisṭāmī, dan Manṣūr al-Ḥallāj. Di antara guru sufi terkemuka yang hidup pada masa al-Jīlānī atau berdekatan dengan masanya adalah Abū Sa’īd al-Khayr, Abū al-Qāsim al-Qushairī, Khwajah ‘Abdullah al-Anṣārī, Abū Ḥāmid al-Ghazālī, dan Khwajah Quṭb al-Dīn Mawdūd al-Chisti. Sebagai perlawanan terhadap logosentrisme para filosof, sufisme melancarkan retorika anti-rasionalnya, dan sebagai perlawanan terhadap nomosentrisme para

fuqahā’, sufisme melancarkan pendekatan kritiknya.

Perjalanan intelektual dan ruhaniyahnya telah membawa al-Jīlānī dari nomosentrisme hukum yang kaku dan logosentrisme filsafat rasional menuju teo-erotisisme sufisme sebagai jalan cinta menuju Sang Kekasih. Proses perjalanan ini secara agak samar juga terlihat dalam karya-karyanya, seperti

Ghunyah (1130 M) yang agak dominan dengan wacana yuridis, kemudian

dilanjut Sirr al-Asrār (1145) yang masih dekat dengan wacana

67

rasional, dan akhirnya wacana teo-erotik sufisme tampak pada karya Fatḥ

al-Rabbānī dan Futūḥ al-Ghaib.100

Model tasawuf yang dikembangkan al-Jīlānī merupakan kesinambungan tasawuf al-Ghazālī dan hadir dalam suasana konflik dengan tasawuf falsafi. Dalam kitab al-Fatḥ al-Rabbānī, al-Jīlānī berusaha meluruskan faham tasawuf falsafi yang rentan disalahpahami orang awam. Bukannya anti filsasfat, dalam kitab Sirr al-Asrār dan Futūḥ al-Ghaib, al-Jīlānī masih memberikan wawasan sufisme filosofis yang berbingkai syariat. al-Jīlāni mampu memadukan aspek-aspek falsafi dan tasawuf ‘amali dalam tasawufnya. Faham sufisme al-Jīlānī biasa disebut sebagai tasawuf amali atau tasawuf Sunni. Corak khasnya adalah menekankan pentingnya syariat, dan karakteristiknya adalah berakidah Ahl

Sunnah wa Jamā’ah, lebih khusus jalur teologi ‘Ash’ariyyah wa al-Māturidiyyah dan secara fiqhiyyah mengikuti salah satu dari empat madzhab

besar. Intinya, karakteristik jalan spiritual al-Jīlānī adalah perpaduan antara tasawuf falsafi dan ‘amali. Namun, yang lebih ditekankan al-Jīlānī adalah pengamalan tasawuf ‘amali, mengikuti pola tasawuf al-Ghazālī.

Saat umat Islam sedang terpecah ke dalam madzhab yang saling bermusuhan, al-Jīlānī mengambil alternatif dengan mensistematisasikan ajarannya dalam bentuk aplikatif, damai dan toleran. Ia menggabungkan ajaran-ajaran Hanbali, Syafi’i, rasionalisme Mu’tazilah dan spiritualisme al-Ḥallāj.101 Di bidang pengetahuan legal-fiqh, al-Jīlānī mengikuti pengajaran

100Sholikhin. Menyatu Diri…, 173-174

68

Hanbali, namun setelah menjadi mufti, beliau lebih banyak memberikan fatwa dalam garis madzhab Syafi’iyyah, sesuai dengan tututan masyarakat Baghdad saat itu. Keberhasilan terbesar al-Jīlānī adalah memadukan syari’at dan tarikat secara aplikatif bagi kalangan masyarakat awam khususnya.102

Saat memasuki sufisme, Jīlānī dalam kitab Sirr Asrār dan Futūḥ

al-Ghaib, akan tampak sekali pola sufisme wujudiyah, di mana dirinya telah

sampai pada tahapan ḥāqīqat al-ḥaqā’iq, yakni ru’yatullāh dan liqā’ Allāh, namun ia tidak larut dalam ekstase.103 Ibaratnya seperti Rasulullah yang sudah mi’raj kepada Allah, lalu turun kembali ke bumi.

a. Konsep Tasawuf al-Jīlānī

Bagi al-Jīlānī, konsep tasawuf dibangun di atas delapan pekerti yakni kemurahan Nabi Ibrahim, kerelaan Nabi Ishaq, kesabaran Nabi Ayyub, kecerdasan Nabi Zakariyya, kesendirian Nabi Yahya (hatinya kosong dari anak, istri dan dunia), tasawufnya Nabi Musa, sering melanglang buana seperti Nabi Isa, serta kefakiran Nabi Muhammad.104

Sufi adalah orang yang bersih (ṣafā) dzahir dan batinnya dengan mengikuti ajaran Kitab Allah dan Rasul-Nya. Semakin bersih hatinya, maka ia semakin keluar dari lautan eksistensinya dan semakin meninggalkan kehendak, serta pilihannya (ikhtiyāruh).105

102Sholikhin. Menyatu Diri…, 120

103Ibid., 34

104al-Hasani. Nahr al-Qadariyyah …, 163

69

Dalam Sirr al-Asrār, kata taṣawwuf memiliki empat huruf yang masing-masing merupakan simbol, yaitu:106

1) Ta’ berarti taubah, yakni taubat dzahir dan batin

2) Ṣād berarti ṣafā, yakni bersihnya hati dan perasaan (sirr).

3) Wāw berarti wilāyah, yang masih merupakan rentetan dari

al-taṣfiyyah, yakni penyucian dari apapun selain Allah serta berakhlak

dengan akhlak Allah.

4) Fā’ berarti fanā’, yakni fanā’ fillāh- fanā’ ‘an ghair Allāh. Ketika sifat-sifat manusiawi telah lenyap, maka yang tersisa adalah sifat-sifat-sifat-sifat

al-aḥādiyyah (kekal) sehingga hamba yang fana bersama dengan Tuhan

yang kekal dan keridhaan-Nya.

Sementara mengenai karakteristik tarekatnya adalah: kepasrahan terhadap alur-alur ketentuan Tuhan (tafwīḍ), keselarasan terhadap segala ketentuan Allah (muwāfaqah) dalam bentuk penolakan sempurna terhadap segala klaim atas kekuatan pribadi, sikap pengosongan diri demi mengharapkan curahan Ilahi (tajrīd), pengakuan atas keesaan Tuhan (tawḥīd), konsentrasi total dalam pengabdian (tafrīd), yang dikombinasikan dnegan laku sungguh-sungguh dalam ibadah (‘ubudiyyah) langgeng menetapi wujud batin (sirr) dalam penghambaan kepada allah (‘abdiyyah). Ibadah ritualnya bersumber pada kesempurnaan pengetahuan akan Ketuhanan (Rubūbiyyah), dia naik menuju medan-medan cakrawala

70

kesatuan (maṭāli’ al-jam’), di dalam kenyamanan sempurna bersama hukum-hukum Ilahi.107

b. Konsep Kemurnian Tauhid

Kondisi sosial politik pada masa al-Jīlānī ditandai dengan kekacauan pemerintahan dalam bentuk dehumanisasi dan despritualisasi. Menyikapi fenomena tersebut, sebagian ulama memutuskan hidup sufi dan menyeru umat menuju jalan yang tunggal, yaitu berpegang erat pada ketauhidan. Dalam kaitan inilah, al-Jīlānī juga melakukan hal serupa, yakni lantang menyeru masyarakat pada ketauhidan murni dan menganggap remeh apapun selain Allah. Pemikiran sufistik al-Jīlānī banyak berorientasi pada masalah-masalah moral dan ketuhanan yang bersumber dari Alquran dan Hadis. Menurut Ali al-Hitti, tarekat al-Jīlānī adalah tauhid semata yang disertai kehadiran sikap sebagai hamba Tuhan. Berikut beberapa wejangan al-Jilani terkait ketidakberdayaan siapapun selain Allah,

“Engkau bersandar kepada dirimu dan seluruh makhluk, pada hartamu, kepada penguasa negerimu. Padahal setiap orang yang kau sandari adalah rusak. Semua orang yang kau takuti dan harapkan juga rusak. Setiap orang yang kau lihat dalam keadaan bahagia dan sengsara juga rusak.”

Wahai hati yang mati! Wahai orang musyrik! Wahai para penyembah berhala, penyembah kehidupan dan harta, pengabdi sultan kerajaan! Ketahuilah mereka itu ditabiri oleh Allah. Barangsiapa yang menganggap bahwa kebahagiaan dan kenestapaan itu bersumber dari selain Allah, maka sebenarnya mereka bukanlah hamba-Nya.

Kalimat tauhid “lā ilāh illā Allah” yang berarti “tidak ada yang berhak disembah selain Allah” mempunyai dua konsekuensi, yaitu: penetapan

71

(hanya Allah yang berhak disembah) dan penafian (tidak ada sekutu-sekutu bagi Allah). Kedua elemen tauhid rubūbiyyah dan ulūhiyyah hendaknya ada dalam setiap hamba. Sayangnya banyak yang memenuhi elemen tauhid

rubūbiyyah, namun tidak memenuhi elemen tauhid ulūhiyyah, misalnya dia

beribadah kepada Allah, namun juga meminta kepada selain-Nya. Itu bukan tauhid yang murni, padahal yang dikehendaki Allah adalah kemurnian tauhid. Berhala bukan hanya patung, namun apapun selain Allah. Salah satu statemen al-Jīlānī menyebutkan:

Wahai hamba dunia dan akhirat. Kalian bodoh tentang Allah. Berhala kalian adalah dunia. Berhala kalian adalah akhirat. Berhala kalian adalah makhluk. Berhala kalian adalah syahwat dan kesenangan. Berhala kalian adalah pujian dan penerimaan makhluk. Segala hal selain Allah adalah berhala.108

al-Jīlāni menegaskan bahwa berpaling dari Allah ketika takdir buruk menimpa sama halnya ketiadaan agama, kenihilan tauhid dan sirnanya arti tawakal serta keikhlasan. al-Jīlānī seringkali menasehati agar tidak mengeluh kepada makhluk sebab satu-satunya tempat mengadu adalah Allah. al-Jīlānī sering menekankan agar mengikhlaskan segala amal hanya bagi Allah. Bahkan sebelum kewafatannya, al-Jīlānī berwasiat kepada putra-putranya agar senantiasa mengisi hatinya dengan ketauhidan, sebab ketika hati telah dipenuhi kekaguman, cinta dan penghormatan kepada Allah, sulit baginya untuk lepas dari itu semua.109 Dalam wasiatnya, al-Jīlānī berpesan:

Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah. Jangan takut kepada selain-Nya, mintalah segala sesuatu kepada-Nya, janganlah kamu berharap kepada

108‘Abd Qādir Jīlānī, Fatḥ Rabbānī. Rabbānŷ wa Faiḍ Raḥmānŷ (Jeddah: al-Ḥaramain, tt.), 234

72

Nya. Serahkan seluruh kebutuhanmu kepada Allah, jangan mempercayai siapapun selain Allah, janganlah kamu bersandar kepada selain-Nya, hendaklah kamu mengesakan-Nya, mengesakan-Nya dan mengesakan-Nya, karena pokok segala sesuatu adalah tauhid.110

Dokumen terkait