• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN DAN METODE TAFSIR AL‐QUR’AN MOHAMMED ARKOUN

Arkoun berpandangan bahwa terdapat banyak hal yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Arab, tetapi tersedia dalam bahasa Perancis. Sebagai contoh, kata ‘mitos’ (myth),

A. Biografi Arkoun

Mohammed Arkoun dilahirkan di Taorirt‐Mimoun, Kabilia, al‐Jazair, pada 1 Februari 1928. Wilayah Kabilia terdiri dari Kabilia Besar (dengan luas sekitar satu juta hektar) dan Kabilia kecil. Penduduknya hidup dari hasil pertanian (buah tin dan zaitun), menggembala ternak, dan berdagang kerajian tangan.

Secara sosio‐kultural, penduduk Kabilia tidak mengenal tata‐tulis. Masyarakat yang berdomisili di daerah itu hanya mengetahui bahasa lisan. Al‐Jazair sendiri, secara politis— khususnya ketika Arkoun lahir dan dibesarkan—berada di bawah kekuasaan Perancis. Mengingat Perancis melakukan kolonisasi dan menguasai negara ini sejak 1830.

Namun, berbeda dengan Arkoun, meskipun ia dilahirkan di Kabilia, Arkoun mengenal dengan baik tulisan, terutama bahasa Arab dan Perancis, disamping ia menguasai dengan baik bahasa yang tidak tertulis di Kabilia yang merupakan alat untuk mengungkapkan tradisi dan nilai yang sudah ribuan tahun nilainya. Karena kemampuannya dalam ketiga bahasa tersebut, Arkoun mendapat penyadaran bahwa bahasa lebih dari sekedar sarana teknis untuk mengekspresikan diri, yang dapat diganti bahasa lain tanpa masalah apapun. Setiap bahasa mempunyai latar belakang sendiri. Misalnya, bahasa Arab yang dipandangnya sebagai bahasa agama, sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan dan pendidikan (Arkoun, 2001: vi).

Pada tahun 1975, Abu Zayd menempuh studi di American University dengan bermodalkan beasiswa dari Ford Foundation. Selang dua tahun (1977) gelar MA berhasil diraihnya dengan predikat cumlaude, setelah tesisnya yang berjudul “Al‐Ittijah Al‐‘Aqli fi Al‐Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al‐

itu juga, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai teknisi di Dinas Perhubungan, dan secara berangsur‐angsur wataknya sebagai seorang teknisi bermetamorfosis menjadi seorang akademisi tulen.

Sebagai dosen baru, Abu Zayd tak luput dari kebijakan baru yang ditetapkan pimpinan jurusan di fakultasnya. Yaitu ketentuan untuk mengambil studi Islam bagi mereka yang akan menempuh studi Master maupun Doktor. Ia pun banting setir, dari mengambil studi linguistik dan kritik sastra murni menjadi studi Islam, dan pilihannya jatuh pada konsentrasi studi al‐ Qur’an. Sebelumnya, ia sempat ragu apakah tetap mengambil kajian ini atau tidak. Kekhawatirannya amat beralasan dengan melihat latar belakangnya dalam mengambil studi ini. Minat besarnya terhadap kritik sastra dan linguistik tidak dapat dilepaskannya begitu saja. Menurutnya, dengan sastra manusia dapat membuka pikiran hingga tercerahkan. Sebab itu, dalam mengambil studi Islam ia menghendaki untuk mendekatinya lewat kajian sastra maupun linguistik yang berangkat dari analisis wacana. Namun pengalaman Muhammad Ahmad Khalafullah yang juga menggunakan pendekatan kritik sastra (literer) atas narasi al‐Qur’an untuk keperluan disertasinya, yang akhirnya mengalami problem serius, kerap menghantuinya. Pengalaman seperti Muhammad Ahmad Khalafullah tentu saja tidak ia kehendaki, tetapi minatnya yang begitu besar juga tak kuasa untuk ia tepis. Akhirnya ia memasang diri untuk terus maju melakukan studi al‐Qur’an dengan mengkhususkan pada problem interpretasi dan hermeneutika.

Sedangkan karier Arkoun dimulai pada 1956 dengan menjadi staf pengajar pada Fakultas Sastra Universitas Strasbourg di Perancis hingga 1959. Tahun 1961‐1969, Arkoun yang menurut Aekoun tidak ada terjemahnya dalam Bahasa Arab. Seandainya diterjemahkan dengan usthurah sebagaimana yang termaktub dalam ayat asathiral‐awwalin,maka maknanya menjadi negatif. Padahal menurut Arkoun, mitos sangat penting dalam masyarakat mana pun. Bahkan al‐Qur’an sendiri mengandung susunan mitis (unsur usthurah) di dalamnya. Susunan mitis dalam kitab suci itu tentu saja tidak mengandung makna negatif. Karena itulah, banyak pemikiran Arkoun yang sulit diungkapkan dengan kosakata Arab secara memadai, karena memang belum dipikirkan oleh bangsa Arab dan umat Islam pada umumnya (Suadi Putro, 1998: 11‐15).

Adapun riwayat pendidikan Arkoun sejak sekolah dasar di Kabilia. Kemudian melanjutkan sekolah menengahnya di Oran yang terletak di Aljazair bagian barat. Setamat SMA ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950‐1954) sambil mengajar bahasa Arab di SMA di al‐Harrach, yang terletak di pinggiran ibu kota Aljazair.

Pada saat terjadi peperangan demi pembebasan Aljazair dari penjajahan Perancis (1954‐1962), Arkoun mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris. Sejak itulah ia menetap di Perancis. Sehingga, semakin intensif interaksinya dengan budaya Perancis. Meski demikian, minatnya dalam bidang bahasa dan sastra Arab tidak berubah. Pada perkembangannya kemudian, ia semakin mempertinggi intensitas perhatiannya terhadap pemikiran Islam. Hingga pada akhirnya, memunculkan ciri utama pemikiran Arkoun yang berusaha menggabungkan pemikiran Barat dan Islam. Pada tahun 1969, Arkoun meraih gelar doktor bidang sastra di Universitas Sorbonne Paris, dengan disertasi tentang humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih.

diangkat menjadi dosen pada universitas Sorbonne Paris. Kemudian, pada 1970‐1972, Arkoun mengajar di Universitas Lyon, dan kembali ke Paris sebagai guru besar Sejarah Pemikiran Islam. Sejak saat itulah, Arkoun semakin sering diundang untuk memberikan ceramah di luar Perancis. Bahkan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar negeri, seperti University of California in Los Angeles, Princeton University, Temple University, Universitas Katolik di Belgia. Arkoun juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Tunis, Damaskus, Beirut, Teheran, Berlin, Kolumbia, dan Universitas Amsterdam.

Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti pelbagai kegiatan ilmiah dan menduduki sejumlah jabatan penting, baik di dunia akademis maupun di masyarakat. Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam Arabica, menjadi anggota Legium Kehormatan Perancis (chevalierdelaLegiond’honneur),pernah mendapat kehormatan besar diangkat sebagai officier des Pelmesacademiqus),gelar kehormatan bagi tokoh universitas di Perancis.

Banyak karya yang telah dihasilkan Arkoun, karena ia termasuk ilmuwan produktif. Di antaranya: Tulisan tentang etika (Traite d’ethiqueavecintroduction et notesduTahdhibal‐

Akhlaq), Aspectsdelapenseemusulmaneclassique(Aspek‐aspek pemikiran Islam Klasik), Discourscoraniqueetpenseescietifique (Wacana al‐Qur’an dan Pemikiran Ilmiah), L’Islam, religion et societe (Islam, Agama, dan Masyarakat). Adapun karya Arkoun dalam bahasa Inggris berjudul RethinkingIsl ma Today.

Karya‐karya Arkoun yang sudah diterjemah dalam Bahasa Arab yaitu al‐Fikr al‐Islami: Qiraah Ilmiyah (Pemikiran Islam: Bacaan Ilmiah), al‐Fikr al‐Islami: Naqd wa Ijtihad (Pemikiran Islam: Kritik dan Ijtihad), al‐Islam: Ashalah wa Mumarasah(Islam, Keaslian dan Praktik).

103 Tahun 1964, Abu Zayd memutuskan keluar dari Ikwan al‐Muslimun, dan pada 1948, sambil bekerja sebagai teknisi, Abu Zayd melanjutkan kuliah mengambil jurusan Bahasa Arab pada Fakultas Adab di Universitas Kairo. Karena ia bekerja di siang hari, tidak ada pilihan lain baginya untuk kuliah di malam hari. Genap empat tahun studi berhasil diselesaikannya dengan meraih predikat cumlaude, sehingga ia langsung diangkat sebagai dosen tidak tetap di almamaternya ini. Pada tahun 1972 Dunia aktivisme juga ditanamkan oleh ayahnya mulai sejak dini, mengingat ayahandanya adalah seorang aktivis Ikhwan al‐Muslimun. Sehingga pada tahun 1954, dalam usia yang masih sangat belia, sebelas tahun, Abu Zayd masuk sebagai anggota Ikhwan al‐Muslimun. Padahal sejatinya Ikhwan al‐ Muslimun diperuntukkan bagi orang dewasa.

Bagi Abu Zayd, ketertarikannya terhadap Ikhwan al‐ Muslimun bukan hanya karena popularitas organisasi ini saja, tetapi lebih karena sosok Sayyid Qutb yang mampu memesonanya lewat buku Al‐Islam wa Al‐‘AdalahAl‐Ijtima’iyah (Islam dan keadilan social), yang banyak mengupas tentang keadilan manusiawi dalam nilai‐nilai Islam.

Pada tahun 1957, ayahanda Abu Zayd wafat, sementara saat itu usianya 14 tahun, dan masih bersekolah di Madrasah Ibtida’iyah Negeri di Thantha. Sesuai keinginan ayahnya sebelum meninggal, ia disarankan untuk melanjutkan sekolah kejuruan teknik, agar mudah mendapatkan pekerjaan. Padahal Abu Zayd sebelumnya sudah berencana untuk menempuh sekolah menegah umum, dikarenakan ia berharap besar dapat masuk perguruan tinggi. Tetapi tentu saja, keinginan ayahnya tidak bisa ia abaikan, apalagi sepeninggalnya, dirinyalah yang menjadi tulang punggung keluarga. Tiga tahun berselang, gelar diploma teknik berhasil diraihnya. Dan pada tahun 1961, ia sudah dapat bekerja sebagai teknisi elektronik pada Organisasi Komunikasi Nasional Dinas Perhubungan di Mesir.

BAB VI B. Arkoun dan Pewahyuan al‐Qur’an

Selama ini, kalangan tradisional‐ortodoks mempersepsikan wahyu sebagai berikut:

Dokumen terkait