• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GERAKAN SOSIAL, PERSEPSI DAN RIBA

C. Konsep tentang Riba

3. Pemikiran Modern tentang Riba

Para pakar muslim modern berbeda pandangan mengenai riba yang telah diterangkan dalam alquran dengan mengaplikasikan riba dalam bentuk bunga. Perbedaan yang tampak yaitu terfokus pada masalah pokok sebagai berikut: pertama, unsur ketidakadilan menjadi isu utama dalam pelarangannya sehingga larangan riba ditekankan pada aspek rasional. Kedua, larangan praktek riba berdasarkan konsep hukum

Islam (fiqh).56

Ada perbedaan pendapat oleh para modernis dengan kelompok neo-Revivalis. Para modernis lebih condong pada pandangan pertama,

56

Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 72.

sedangkan kelompok neo-Revivalis cenderung pada pandangan

kedua.57Wahba al Zuhayli mendefinisikan riba sebagai berikut:

“Riba is a surplus of commodity without counter-value in the commutative transaction of property for property. The intent of such a transaction is a surplus of commodities. Therefore, the definition of riba includes both credit riba and invalid sales, since postponement in either of the indemnities is a legal surplus without perceivable material recompense, the daley usually due to an increase in compentation. In Isla, money-money transactions are not allowed and there is no time value of money concept”.58

Dalam kitab Ahkamul Qur‟an, Qaḍi Abu Bakr Ibn Al-„Arabī mengungkapkan pengertian riba sebagai tambahan yang tidak dibetulkan atas nilai barang yang diserahkan terhadap nilai tandingan (dari barang

yang diterimakan).59Artinya, nilai yang diserahterimakan dalam sebuah

transaksi harus sama persis dan setara bagi kedua belah pihak. Dalam kitab Bidaya al-Mujtahid, Ibn Rushd mendefinisikan secara detail delapan transaksi yang berasal dari riba, yaitu:

a. Transaksi penjualan dicampuradukkan dengan hutang

b. Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan “beri saya kelonggaran (dalam pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)”.

c. Transaksi penjualan antara emas dan baeang dagangan untuk emas. d. Transaksi penjualan dengan penambahan yang dilarang syara‟.

57

Neo-Revivalis adalah kelompok yang memberikan respon terhadap pemikiran modernism klasik. Pandangan Neo-Revivalis berpijak pada penafsiran tradisional yang menekankan bahwa setiap bunga adalah riba.

58

Wahba Al Zuhayli dalam Camille Paldi, 2014, Understanding Riba and Gharar in Islamic Finance “Journal of Islamic Banking and Finance, Vol. 31 July-Sept 2014 No. 3, International Association of Islamic Banks Karachi, Pakistan, 36-37.

59

Al-Arabi dalam Zaim Saidi, “Tidak Syar‟inya Bank Syariah di Indonesia dan Jalan Keluarnya Menuju Muamalat” (Yogyakarta: Dekolomotif, 2010), 88.

109

e. Transaksi pengurangan atas jumlah imbalan agar penyelesaian segera cepat selesai.

f. Transaksi penjualan dicampuraduk dengan pertukaran uang.

g. Transaksi penjualan dengan menunda pembayaran yang dilarang. h. Transaksi penjualan atas produk pangan yang belum diterima secara

penuh.

Muhammad Abduh adalah seorang tokoh yang pertama kali memperbarui pengertian riba pada saat beliau masih berperan sebagai Mufti al-Azhar. Fatwa yang dikeluarkan oleh beliau adalah “bunga atas

tabungan adalah halal”.60

“Riba sebagaimana telah ditetapkan sama sekali tidak dibolehkan, sedangkan kantor pos menginvestasikan uang yang dikumpulkan dari masyarakat, yang tidak diambilnya sebagai hutang atas dasar kebutuhan, maka dalam investasi atas uang sejenis ini dimungkinkan untuk diterapkan aturan tentang bagi hasil”

Dari pernyataan yang dimaksud terlihat bahwa Muhammad Abduh mulai menggeser pengertian bunga sebagai keuntungan (atas bagi hasil), dan karenanya tidak termasuk riba. Kemudian murid beliau Rashid Rida mengklarifikasikan riba ke dalam dua golongan, yakni:

1) Riba yang telah ditetapkan dalam alquran, dan

2) Riba yang telah ditetapkan dalam Sunnah.61

Rashid Rida mengatakan bahwa riba yang ditetapkan dalam alquran hukumnya tetap haram dan tidak dapat diubah selamanya. Menurut Rashid Rida, riba yang ditetapkan dalam Sunnah sifatnya lebih

60Muhammad Abduh, Risalah Tauhid (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), 137.

61

ringan dan sekunderkarena dapat diterimanya dalam keadaan darurat. Lebih lanjut Rashid Rida menjelaskan bahwa riba yang disebutkan dalam alquran adalah riba jahiliyyah, maksudnya adalah suatu kebiasaan yang terjadi pada diri seseorang yang tidak dapat melunasi hutangnya pada masa jatuh tempo. Rashid Rida juga menyamakan riba jahiliyyah ini dengan riba nasi‟ah, riba nasi‟ah hanya ia kaitkan dengan utang piutang.

Rashid Rida mengajarkan kepada kita bahwa hukum dari riba nasi‟ah adalah haram jika ia berlipat ganda. Beliau pun menyimpulkan bahwa bunga yang dikenakan oleh bank hukumnya tidak haram dan diperbolehkan. Namun, riba menurut Sunnah yang dilarang agama adalah riba yang berhubungan dengan perdagangan khususnya barter (riba fadl).

Pendapat lain yang layak dikritisi adalah pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrur mengenai teori batas hukum. Dalam teori ini, Syahrur memperkenalkan kajian bunga secara baik dan terperinci. Dengan mengutip beberapa ayat alquran yang berhubungan dengan masalah riba. Syahrur menjelaskan bahwa arti riba dalam bahasa Arab adalah “pertumbuhan dan perkembangan” dari kekayaan.

Muhammad Syahrur mengatakan bahwa umat muslim tidak perlu ragu serta khawatir ketika harus bertransaksi, dalam dunia perbankan dengan menggunakan sistem konvensional yang di dalamnya memakai sistem bunga, asalkan bunga yang diperoleh belum mencapai 100% dari

111

modal awal.62 Konsekuensi dari analisis ini, Syahrur menegaskan bahwa

bentuk bunga yang dilarang karean termasuk riba jika bunga tersebut mencapai angka 100%.

Dengan demikian, selama bunga kurang dari jumlah tersebut masih dalam kategori diperbolehkan, dalam arti tambahan itu belum melanggar batas ketentuan Allah SWT. Pemberian berbunga dimaksud tidak boleh diberikan oleh selain bank, karena akan mengarah kepada pembebanan bunga yang melebihi kebijakan pemerintah.

Berdasarkan pandangan ulama kontemporer yang dikemukakan para ahli tersebut, maka dapat kita lihat adanya perubahan pengertian dan pemaknaan arti riba. Riba yang dilarang oleh agama lebih ditekankan pada praktek pembungaan secara berlipat ganda. Sedangkan pengambilan dari keuntungan terjadinya transaksi pinjam meminjam berdasarkan tingkat nilai suku bunga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah tidak termasuk riba yang dilarang agama dan hukumnya legal.

4. Konsep Bunga