• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran pendidikan Islam sebelum kemerdekaan

BAB II KAJIAN TEORI KAJIAN TEORI

A. Pemikiran Pendidikan Islam di Indonesia

1. Pemikiran pendidikan Islam sebelum kemerdekaan

Awalnya pemikiran pendidikan pada periode sebelum Indonesia merdeka ditandai dengan munculnya dua model pendidikan, yaitu: (1)

50 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 9

51 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan PSAPM, 2004), cet I, hlm. 69

Pendidikan yang diberikan oleh sekolah-sekolah Barat yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama; dan (2) Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.52

Hasil penelitian Steenbrink (1986) menunjukkan bahwa pendidikan kolonial tersebut sangat berbeda dengan dengan pendidikan Islam Indonesia yang tradisional, bukan saja dari segi metode, tetapi lebih khusus dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah kolonial khususnya berpusat pada pengetahuan dan ketrampilan dunia yaitu pendidikan umum. Sedangkan lembaga pendidikan Islam lebih ditekankan pada pengetahuan dan ketrampilan yang berguna bagi penghayatan agama.53 Wiryosukarto (1985) lebih merinci dari masing-masing corak pendidikan ciri corak lama adalah: (1) menyiapkan calon kyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata; (2) kurang diberikan pengetahuan untuk enghadapi hidup sehari-hari dan pengetahuan umum sama sekali tidak diberikan; (3) sikap isolasi yang disebabkan karena sikap non kooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap apa saja yang berbau Barat, dan aliran kebangunan Islam tidak leluasa untuk masuk karena dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda. Sedangkan cirri-ciri corak baru adalah: (1) hanya menonjolkan intelek dan sekaligus hendak melahirkan golongan intelek; (2) pada umumnya bersikap negative terhadap agama Islam; (3) alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.54

52 A. Mukti Ali dalam Muhaimin, Wacana Pengembangan., hlm. 70

53 Karel A. Steenbrink dalam Muhaimin, Wacana Pengembangan., hlm. 70

54

Pada corak pendidikan pesantren, tujuan utamanya adalah menyiapkan calon lulusan yang hanya menguasai masalah agama semata. Rencana pelajaran ditetapkan oleh kiai dengan menunjuk kitab-kitab yang harus dipelajari. Penggunaan kitab dimulai dari jenis kitab yang rendah dalam satu disiplin ilmu keislaman sampai pada kitab yang tinggi. Kenaikan kelas atau tingkat ditandai dengan bergantinya kitab yang ditelaah setelah kitab-kitab sebelumnya selesai dipelajari. 55

Pada tingkat permulaan, isi pendidikan Islam meliputi belajar membaca Al Qur‘an, praktik shalat, pelajaran ketuhanan atau ketauhidan, fiqh, dan ushul fiqh. Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren meliputi pengajian Al Qur‘an, pengajian kitab seperti ilmu nahwu, sharaf, fiqh dengan kitab Ajrumiyah, Matan Bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.56

Dengan demikian fungsi pendidikan Islam adalah melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai Ilahi dan insani sebagaimana terkandung dalam kitab-kitab ulama terdahulu. Fungsi tersebut melekat pada setiap komponen aktivitas pendidikan Islam. Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya penguasaan ilmu agama Islam sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab produk ulama terdahulu serta tertanamnya perasaan beragama yang mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hakikat pendidik adalah orang yang mampu memahami kitab-kitab keagamaan yang sulit dan mampu mengajarkannya kepada orang lain. Hakikat peserta didik adalah

55 Susanto, Pemikiran., hlm. 13

56

seseorang yang sedang belajar memahami agama (sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab terdahulu) dan mengembangkan perasaan beragama yang mendalam. Kurikulum adalah rencana pelajaran sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab keagamaan produk ulama terdahulu. Evaluasi adalah penilaian terhadap kemampuan santri akan kitab-kitab yang dipelajari untuk selanjutnya meningkat dalam mempelajari kitab baru yang ditetapkan oleh kiai.57

Corak pendidikan ketiga, yang merupakan sintesa dari dari corak pendidikan pertama dan kedua, muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul sejak tahun 1909.58 Dalam penelitiannya, Mahmud Yunus mengemukakan bahwa pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiyah/ Madrasah Adabiyah di Padang. Sekolah Adabiyah didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Setelah 5 tahun berjalan sekolah ini diubah menjadi HIS Adabiyah yakni pada tahun 1915, yang merupakan HIS pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran agama dalam rencana pelajarannya.

Tokoh lain dalam pembaruan pendidikan Islam di Minangkabau adalah Zainuddin Lebay el Yunusi (1980-1924), yang mendirikan Madrasah Diniyah (Diniyah School) pada tahun 1915 di Padang Panjang dengan sistem klasikal dan susunan pelajaran yang terdiri atas ilmu

57 Muhaimin, Wacana Pengembangan., hlm. 74

58

agama dan bahasa Arab, ditambah dengan akhlak dan ilmu umum, terutama sejarah dan ilmu bumi.59

Selain itu, terdapat sekolah di Yogyakarta yang senada dengan model sekolah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang. Sekolah ini didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan bersama dengan teman-temannya. Hal yang menonjol dari sekolah ini adalah didirikannya pondok Muhammadiyah. Hasil penelitian Wirosukarto menunjukkan bahwa Pondok Muhammadiyah yang berdiri sekitar tahun 1920 telah menggunakan sistem penyelenggaraan pendidikan modern yang berbeda dengan model pondok pesantren lama. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari enam aspek60, yaitu (1) cara mengajar dan belajar, untuk pesantren lama menggunakan sistem sorogan dan weton yang hasilnya dianggap kurang efisien, sedangkan di pondok Muhammadiyah dipergunakan sistem klasikal dengan cara-cara Barat yang hasilnya lebih efisien (2) bahan pelajaran, pada pesantren lama hanya masalah agama semata dan kitab-kitab karya pembaru tidak dipergunakan secara luas, baik karya ulama klasik maupun ulama modern; (3) rencana pelajaran, pada pesantren lama belum ada rencana pelajaran yang teratur dan integral, sedangkan di pondok Muhammadiyah sudah diatur dengan rencana pelajaran sehingga efisiensi belajar terjamin; (4) pendidikan di luar waktu-waktu belajar, pada pesantren lama waktu belajar terlalu bebas dan kurang terpimpin, sedangkan di pondok Muhammadiyah diselenggarakan dalam asrama yang terpimpin secara teratur; (5) pengasuh (guru-guru),

59 Susanto, Pemikiran., hlm. 14

60

pada pesantren lama para pengesuh diliputi alam pikiran lama, sedangkan di pondok Muhammadiyah terdiri atas para ulama yang menganut alam pikiran modern; (6) hubungan guru dan murid, pada pesantren lama lebih bersifat otoriter dan kurang demokratis, sedangkan di pondok Muhammadiyah diusahakan suasana hubungan antara guru dan murid lebih akrab, bebas, dan demokratis.

Di samping itu, terdapat tokoh lain yang berperan dalam pembaruan pendidikan Islam di Jawa, yaitu K.H. A. Hasyim Asy‘ari, yang telah memperkenalkan pola pendidikan madrasah di lingkungan pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur. Pesantren ini didirikan pada tahun 1899 yang pengajarannya lebih menitikberatkan pada ilmu-ilmu agama dan Bahasa Arab dengan sistem sorogan dan bandongan.pada tahun 1919 pesantren ini mengalami pembaruan terutama dari sistem pengajarannya yang semula dilaksanakan dengan sistem sorogan dan bandongan ditingkatkan dengan menggunakan sistem klasikal yang terkenal dengan sistem madrasah.61 Tidak lama setelah itu, sistem ini menjadi model bagi usaha perkumpulan dalam bidang pendidikan dalam tubuh Nahdlatul Ulama.

Berdasarkan uraian terseut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada periode sebelum Indonesia merdeka terdapat dua corak pengembangan pendidikan Islam, yaitu:

a. Isolatif-tradisional, dalam arti tidak mau menerima apa saja yang berbau Barat (kolonial) sehingga menghambat masuknya

61

pemikiran modern dalam Islam. Hal ini tercermin dalam model pendidikan pesantren, yang tujuan utama pendidikannya menyiapkan calon kyai yang hanya menguasai masalah agama saja.

b. Sintesis, yakni menggabungkan antara corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat) yang disebut sekolah atau madrasah.