HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemilihan Alternatif Unit Pengolahan
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemilihan Alternatif Unit Pengolahan
Pemilihan alternatif SPALD dan IPALD dilakukan dengan cara penilaian skor. Kriteria pemilihan didasarkan pada beberapa parameter representatif untuk memberikan penilaian seobjektif mungkin. Berikut merupakan uraian dalam penentuan alternatif sistem.
a) Parameter pemilihan sistem
b) Pembobotan untuk masing-masing parameter.
Bobot ditentukan berdasarkan kepentingannya terhadap keberhasilan sistem dengan jumlah keseluruhan bobot adalah 100%.
c) Pemberian skor penilaian parameter terhadap masing-masing alternatif.
Skor diberikan dengan pertimbangan kesesuaian penerapan sistem pada wilayah perencanaan dengan nilai sebagai berikut:
• Nilai 1 : Kurang sesuai • Nilai 2 : Lebih sesuai d) Perhitungan Total Skor
Total skor dihitung dengan mengalikan skor dan bobot (Total = skor x bobot). Alternatif SPALD yang dipilih merupakan alternatif dengan nilai terbesar.
5.1.1 Pemilihan Alternatif SPALD
Parameter yang digunakan adalah kecepatan aliran minimal, kebutuhan akan pengolahan awal, kedalaman galian, serta reliabilitas sistem. Parameter tersebut merupakan faktor yang dinilai penting dalam performa sistem penyaluran air limbah. Kecepatan aliran minimal dan kedalaman galian menjadi krusial dalam pemilihan sistem SPALD karena topografi wilayah perencanaan yang datar. Dalam perhitungan dimensi pipa, peningkatan kecepatan dapat dilakukan dengan perubahan slope pipa. Namun, penggunaan slope yang besar membuat kedalaman galian menjadi lebih besar. Keterangan mengenai kondisi kemiringan lahan, ketinggian medan, penggunaan lahan,
58
dan gambaran umum lain wilayah perencanaan dapat dilihat pada Bab 3. Peta kontur Kecamatan Krian dapat dilihat pada Gambar 3.2. Peta wilayah perencanaan dapat dilihat pada Lampiran A.
Tabel 5. 1 Pemilihan Sistem Penyaluran Air Limbah
Parameter Bobot Konvensional Small Bore Sewer
Shallow Sewer Skor Total Skor Total Skor Total
Slope Minimal 10% 1 0,10 1 0,1 2 0,20 Kecepatan aliran minimal 25% 1 0,25 2 0,5 1 0,25 Diameter Minimal 10% 1 0,10 2 0,2 2 0,20 Perlu pengolahan awal 20% 2 0,40 1 0,2 2 0,40 Kedalaman galian 15% 1 0,15 2 0,3 2 0,30 Reliabilitas 20% 2 0,40 1 0,2 1 0,20 Total 1,40 1,5 1,55
Sumber: Hasil Perhitungan, 2017
Sesuai dengan lingkup perencanaan, pemilihan sistem dipilih selain pada performa, juga pada biaya yang diperlukan. Penilaian skor didasarkan pada kriteria desain masing-masing sistem yang dapat dilihat pada Tabel 2.5. Berdasarkan kriteria tersebut tingkat kesesuaian dipilih sebagai berikut:
• Slope Minimal
Nilai 2 : Slope minimal paling rendah Nilai 1 : Slope minimal lebih besar
Wilayah perencanaan memiliki slope medan sebesar 0 – 0,00682. Untuk memperoleh kedalaman galian pipa minimal, diperlukan slope minimal pipa yang lebih kecil. Berdasarkan Tabel 2.5 slope minimal terendah dimiliki oleh sistem shallow sewer sebesar 0,006. Oleh karena itu, sistem ini memiliki skor 2.
• Kecepatan Aliran Minimal
Nilai 2 : Kecepatan aliran paling kecil Nilai 1 : Kecepatan aliran lebih besar
Untuk memenuhi nilai kecepatan aliran minimal, slope pipa biasanya diperbesar yang secara tidak langsung akan
59 memperbesar kedalaman galian pipa. Oleh karena itu, pada lahan yang landai kecepatan aliran yang kecil akan lebih menguntungkan. Berdasarkan Tabel 2.5 small bore sewer memiliki kecepatan aliran paling kecil sehingga memiliki skor 2.
• Diameter pipa minimal
Nilai 2 : Diameter pipa minimal terkecil Nilai 1 : Diameter pipa minimal lebih besar
Berdasarkan Tabel 2.5. diameter pipa minimal sistem konvensional adalah 200 mm. Sementara itu, sistem lain memiliki diameter pipa minimal 100 mm. Diameter yang lebih besar membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Oleh karena itu, skor sistem konvensional adalah 1 sedangkan sistem lain mendapat skor 2.
• Perlunya Pengolahan Awal
Nilai 2 : Tidak membutuhkan pengolahan awal Nilai 1 : Memerlukan pengolahan awal
Pada wilayah perencanaan masih terdapat rumah tangga yang tidak memiliki tangki septik. Pengupayaan penggunaan tangki septik atau pengolahan air limbah setempat lebih sederhana telah dilakukan sejak tahun 2009 oleh puskesmas. Namun, praktik BABS belum dapat dituntaskan hingga kini. Apabila pengolahan awal dibebankan kepada rumah tangga di area pelayanan, kecil kemungkinan dilakukan pembangunan
mandiri, sebaliknya apabila dibebankan pada biaya
pembangunan SPALD kebutuhan pengolahan awal akan meningkatkan biaya pembangunan.
Berdasarkan Tabel 2.5. sistem small bore sewer memerlukan bangunan pengolahan awal berupa tangki septik atau bak pengendap lain. Tanpa adanya pengolahan awal sistem ini tidak dapat berjalan. Oleh karena itu, diberi skor 1. Sistem konvensional maupun sistem shallow sewer dapat beroperasi tanpa adanya pengolahan awal sehingga diberi skor 2.
• Kedalaman galian pipa minimal
Nilai 2 : Kedalaman galian pipa minimal paling kecil Nilai 1 : Kedalaman galian pipa minimal lebih besar Kedalaman galian pipa yang besar berimbas pada kebutuhan biaya yang lebih besar. Oleh karena itu, kedalaman pipa minimal diperlukan untuk membuat sistem dengan biaya minimal. Selain itu, kedalaman galian menjadi faktor penting
60
untuk mencegah infiltrasi air tanah ke dalam pipa. Infiltrasi air tanah akan menyebabkan peningkatan beban hidrolis pada unit IPALD. Hal ini berpotensi mengurangi efisiensi pengolahan air limbah di unit IPALD. Sistem konvensional memiliki diameter pipa minimal serta kecepatan aliran minimal yang lebih tinggi dari sistem lain. Kondisi tersebut menyebabkan sistem konvensional memperoleh skor 1 sedangkan sistem lain memperoleh skor 2.
• Reliabilitas Sistem
Nilai 2 : Reabilitas paling tinggi Nilai 1 : Reabilitas lebih rendah
Reliabilitas sistem merupakan pengalaman keberhasilan penggunaan sistem. Hal ini menjadi faktor kritis terutama di wilayah berkembang karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Mara, 2013). Sistem konvensional memiliki reliabilitas tinggi karena sudah banyak digunakan dan dapat beroperasi. Sementara itu, implementasi sistem shallow sewer pernah dilakukan di Bandung sebagai pilot project dan Yogyakarta. Namun, sistem mengalami kendala dalam operasionalnya. Sementara itu, sistem small bore sewer belum diperoleh informasi mengenai implementasinya sehingga tidak diketahui bagaimana performa sistem tersebut. Dengan pertimbangan kondisi di atas, sistem konvensional diberi skor 2, sistem shallow
sewer diberi skor 1, dan sistem small bore sewer diberi skor 1.
Dengan beberapa pertimbangan di atas, sistem yang digunakan untuk perencanaan ini adalah shallow sewer.
Sistem shallow sewer dipilih sebagai sistem SPALD di wilayah perencanaan dengan total skor tertinggi sebesar 1,55. Sistem konvensional dan sistem small bore sewer masing-masing memperoleh total skor 1,4 dan 1,5.
5.1.2 Pemilihan Alternatif IPALD
Wilayah perencanaan memungkinkan penggunaan
sistem skala komunitas. Berdasarkan uraian pada sub bab 2.7, terdapat 2 unit alternatif yang sesuai untuk digunakan pada skala komunitas yakni unit ABR dan AF. Pada sub bab ini akan dipilih unit yang paling sesuai untuk perencanaan melalui metode skoring dan pembobotan parameter kunci. Hasil skoring dapat dilihat pada Tabel 5.2.
61 Tabel 5. 2 Pemilihan Alternatif IPALD
Parameter Bobot ABR AF
Skor Total Skor Total
Efisiensi 10% 2 0,2 2 0,2 Reliabilitas 20% 2 0,4 2 0,4 Produksi Lumpur 20% 1 0,2 2 0,4 Kebutuhan Lahan 10% 2 0,2 1 0,1 Biaya 20% 2 0,4 1 0,2 Kesederhanaan sistem 20% 2 0,4 1 0,2 Total 1,8 1,5
Sumber: Hasil Perhitungan, 2017
Parameter perbandingan sistem didasarkan kepada kriteria faktor kritis dalam pemilihan teknologi pengolahan air lim90bah di negara berkembang (Mara, 2013). Terdapat 6 faktor yang dapat digunakan sebagai acuan pemilihan IPALD yakni efisiensi, reliabilitas, produksi lumpur, kebutuhan lahan, biaya, dan kesederhanaan sistem.
• Efisiensi Pengolahan
Nilai 2 : Efisiensi Pengolahan >70% Nilai 1 : Efisiensi pengolahan <70%
Menurut Sasse (2009), Unit ABR dan AF memiliki efisiensi pengolahan sebesar 70-90%. Nilai tersebut, relatif besar dibanding unit pengolahan lain. Oleh karena itu, kedua alternatif memperoleh skor 2.
• Reliabilitas
Nilai 2 : Reliabilitas paling tinggi Nilai 1 : Reliabilitas lebih rendah
Unit ABR dan Unit AF telah banyak digunakan untuk mengolah air limbah domestik di Indonesia. Hasil pengolahan unit – unit tersebut menunjukkan keberhasilan dalam mengolah air limbah sesuai baku mutu yang disyaratkan sesuai dengan uraian dalam sub bab 2.8 tentang penelitian pendahuluan. Atas pertimbangan tersebut, kedua unit memperoleh skor 2.
• Produksi Lumpur
Nilai 2 : Produksi lumpur paling kecil Nilai 1 : Produksi lumpur lebih besar
Menurut Sasse dkk (2009) unit AF menghasilkan lebih sedikit lumpur dibandingkan unit ABR. Oleh karena itu, ABR
62
memiliki skor 1 sedangkan AF memiliki skor 2. Volume lumpur sedikit akan mengurangi volume bak pengendap di unit AF.
• Kebutuhan Lahan
Nilai 2 : Kebutuhan lahan paling kecil Nilai 1 : Kebutuhan lahan lebih besar
Unit AF memiliki rentang nilai HRT yang lebih besar dibandingkan unit ABR. HRT yang tinggi menghasilkan volume IPALD yang besar. Ukuran volume besar akan berdampak pada biaya yang lebih tinggi. Selain itu, unit AF memerlukan perawatan dan penggantian media filter secara berkala. Hal itu meningkatkan biaya operasional yang diperlukan oleh unit AF. Berdasarkan pertimbangan di atas, unit ABR mendapat skor 2 sedangkan unit AF mendapatkan skor 1.
• Kesederhanaan Sistem
Nilai 2 : Kebutuhan bentuk dan perawatan paling sederhana
Nilai 1 : Kebutuhan bentuk dan perawatan yang lebih rumit
Kesederhanaan sistem, secara proses kedua sistem memiliki kompleksitas tinggi. Namun, dalam hal praktis, unit ABR memiliki tingkat kesederhanaan lebih tinggi dalam hal bentuk bangunan serta perawatan yang lebih sederhana. Di sisi lain, unit AF memerlukan bahan berupa media filter yang tidak selalu ada di wilayah sekitar perencanaan. Kedua faktor di atas membuat ABR dapat dinilai lebih sederhana dibandingkan sistem AF sehingga memperoleh skor 2 sedangkan unit AF memperoleh skor 1.