IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.4 Pemilihan Tiga Isolat Terbaik untuk Pengujian
penilaian dari kemampuan isolat-isolat Azotobacter dalam menghasilkan nitrogenase (Abidin, 2005), zat pengatur tumbuh AIA dan enzim fosfatase (Tabel 4).
Tabel 4. Kemampuan Produksi Nitrogenase, AIA, dan Enzim Fosfatase dari Tiga Isolat Azotobacter sp. yang Terpilih
No. Kode
Isolat
Konsentrasi AIA (ppm) Enzim
Fosfatase (ppm) Enzim Nitrogenase (nmol C2H2/jam) Tanpa Triptofan Dengan Triptofan 0.02% 1 1 CM 0.61 788 52.2 709.26 2 7 NTB * 169 95.2 769.3 3 19 CK * 765 66 413.4
Tabel 4 menunjukkan kemampuan dari masing-masing isolat berbeda satu sama lain karena memiliki kelebihan dan kekurangan. Isolat 1 CM dipilih karena memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan AIA dan nitrogenase. Isolat 7 NTB dipilih karena memiliki kemampuan menghasilkan AIA dan nitrogenase yang tinggi. Isolat 19 CK dipilih karena memiliki kemampuan menghasilkan AIA dan fosfatase memiliki nilai yang cukup tinggi.
4.2 Pengujian Kemampuan Tiga Isolat Terpilih Azotobacter sp. dalam Menghasilkan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin dan Giberelin
Setelah didapatkan tiga isolat terpilih (1 CM, 7 NTB, dan 19 CK), isolat- isolat tersebut diuji kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh lain seperti sitokinin dan giberelin, karena Azotobacter juga menghasilkan zat pengatur tumbuh tersebut. Diketahui Azotobacter merupakan bakteri fiksasi N2
22
yang mampu menghasilkan substansi zat pemacu tumbuh sitokinin dan giberelin (Alexander, 1977).
Taller dan Wong (1989), membuktikan adanya sitokinin dari jenis zeatin ribosida (ZR), Zeatin (Z), isopenteniladenosin (2iPR), isopenteniladenin (2iP), metiltiozeatin (MSZ) dan metiltioisopentenil-adenin (MS2iP) yang diekskresikan oleh A. vinelandii.
Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mendorong pembelahan (sitokinesis). Beberapa macam sitokinin merupakan sitokinin alami (misal: kinetin, zeatin) dan beberapa lainnya merupakan sitokinin sintetik. Sitokinin secara mandiri tidak mempunyai efek. Akan tetapi, apabila sitokinin itu ditambahkan bersama-sama dengan AIA, maka sel itu dapat membelah (Dewi, 2008).
Kemampuan giberelin dalam meningkatkan pertumbuhan pada tanaman lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh AIA apabila diberikan secara tunggal (Dewi, 2008).
Tabel 5. Kemampuan Azotobacter sp. dalam Menghasilkan Zat Pengatur Tumbuh Sitokinin dan Giberelin
No. Isolat ZPT (ppm) Sitokinin Giberelin 1 1 CM 104.56 152.64 2 7 NTB 97.95 173.93 3 19 CK 90.85 103.08
Pada Tabel 5 dapat diamati bahwa isolat yang menghasilkan zat pengatur tumbuh sitokinin paling besar adalah 1 CM, yaitu 104.56 ppm sedangkan yang terkecil adalah 19 CK yaitu 90.85 ppm. Isolat yang menghasilkan zat pengatur tumbuh giberelin terbesar adalah 7 NTB yaitu 173.93 ppm sedangkan yang terkecil adalah 19 CK sebesar 103.08 ppm.
4.3 Pengaruh Inokulasi Tiga Isolat Terpilih Azotobacter terhadap Berat Kering Akar Jagung
Setelah dilakukan pemilihan isolat terbaik, isolat tersebut kemudian diinokulasikan pada benih jagung yang ditanam pada media Watanabe selama 14
23
hari untuk diketahuinya pengaruhnya dalam perkembangan akar. Kolonisasi bakteri pada akar merupakan kemampuan bakteri dalam menginfeksi perakaran tanaman sehingga perakaran tumbuh menjadi lebih baik. Pengamatan dilakukan dengan mengamati perakaran dan menghitung total berat kering akar.
Hasil uji Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada berat kering akar jagung antara isolat 1 CM, 7 NTB, 19 CK dan kontrol (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh inokulasi Azotobacter terhadap Berat Kering Akar (BKA)
Jagung
Isolat Berat Kering Akar (mg) pada Level KNO3
100% 75% 50% 25% 0% Kontrol 30.90 hi 30.30 i 22.90 l 17.80 mn 17.40 n 1 CM 48.05 b 41.90 c 32.30 gh 30.10 i 57.05 a 7 NTB 37.15 e 35.00 f 28.10 j 22.45 l 39.30 d 19 CK 34.50 f 33.50 fg 25.30 k 19.50 m 35.50 ef
Keterangan: Angka pada kolom dan baris yang diikuti huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan uji Duncan taraf 5%
Pada level KNO3 0%, 25%, 50%, 75%,dan 100% dengan pemberian inokulan Azotobacter, baik isolat 1 CM, 7 NTB maupun 19 CK, ketiganya terbukti memperbaiki perakaran jagung karena menghasilkan berat kering akar yang lebih besar dibandingkan kontrol (Tabel 6).
Berat kering akar yang dihasilkan pada level KNO3 0% (tanpa pemberian KNO3) memiliki nilai yang paling besar jika dibandingkan dengan perlakuan KNO3 pada level 100%, 75%, 50%, dan 25% baik pada isolat 1 CM, 7 NTB dan 19 CK yaitu berturut-turut sebesar 57.05 mg, 39.30 mg, 35.50 mg, sedangkan pada perlakuan tanpa inokulan (kontrol) berat kering akar jagung hanya sebesar 17.40 mg (Tabel 6). Begitu juga dengan perlakuan KNO3 pada level 25%, 50%, 75%, dan 100%. Hal tersebut diduga oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut: 1. Isolat Azotobacter memiliki kemampuan menambat N yang cukup tinggi
24
yang diberikan, ini dibuktikan dari hasil pengujian yang menunjukkan bahwa isolat 1 CM, 7 NTB dan 19 CK masing-masing memproduksi nitrogenase sebesar 709.26 nmol C2H2 / jam, 769.3 nmol C2H2 / jam, dan 413.4 nmol C2H2 / jam (Abidin, 2005).
2. Adanya zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh Azotobacter sehingga membantu pertumbuhan perakaran. Efek Azotobacter dalam meningkatkan biomassa akar disebabkan oleh produksi AIA di daerah perakaran. Hal ini didukung bukti bahwa eksudat akar mengandung triptofan atau senyawa serupa yang dapat digunakan oleh mikroba tanah untuk memproduksi asam indol asetat (Dewan dan Subba Rao, 1979). Azotobacter sp. dan berbagai mikroba tanah lainnya hanya mampu menghasilkan AIA dalam konsentrasi yang sangat kecil (Subba Rao, 1994). Akan tetapi, penambahan sejumlah isolat bakteri ini ke dalam rizosfer tanaman dapat memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan tanaman. Abbass dan Okon (1993) juga menerangkan bahwa kemampuan A. paspali dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman berhubungan dengan kapasitasnya dalam mensintesis faktor tumbuh. Zat pengatur tumbuh sitokinin dan giberelin yang dihasilkan juga turut membantu pertumbuhan perakaran walaupun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan AIA.
Hindersah dan Simarmata (2004) mengemukakan bahwa penginokulasian isolat Azotobacter ke dalam media tumbuh tomat dapat memperbaiki perkembangan tajuk, akar, dan tinggi tanaman.
3. Adanya pengaruh nitrat terhadap konsentrasi asam indol asetat (AIA). Diduga konsentrasi nitrat berpengaruh terhadap kandungan asam indol asetat dan sitokinin seperti penelitian yang dilakukan oleh Zhao et al. (2007) yang menyimpulkan bahwa penghambatan perpanjangan akar dalam jagung oleh kandungan nitrat eksternal yang tinggi diduga karena adanya pengurangan enzim nitrat oksida (NO) sintase endogen.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa AIA berhubungan dengan nitrat tergantung pada pertumbuhan dan perkembangan akar pada jagung (Gouvea et al., 1997). Sebuah studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa pertumbuhan akar primer, seminalis dan akar koronal jagung berkurang secara signifikan
25
dengan peningkatan konsentrasi nitrat eksternal hingga 5 mM (Tian et al., 2007).
Akan tetapi, pada hasil yang ditunjukkan oleh Tabel 6, pada level hara 100% hingga 25% baik pada isolat 1 CM, 7 NTB dan 19 CK menunjukan hasil yang sama yaitu menurun sesuai dengan penurunan level hara, sehingga dalam penelitian ini, kesimpulan yang diberikan oleh Zhao et al. (2007) bahwa semakin tinggi konsentrasi nitrat maka akan menghambat pertumbuhan akar belum dapat dijelaskan.
Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Razie dan Anas, (2005) produksi AIA yang dihasilkan Azotobacter pada media yang dipupuk urea (18.28 - 35.54 ppm AIA) relatif lebih rendah dibanding yang dihasilkan pada media yang tidak dipupuk urea (33.89 - 42.01 ppm AIA).
4. Adanya interaksi dari masing-masing zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Misalnya antara sitokinin dengan AIA. Sitokinin secara mandiri tidak mempunyai efek. Akan tetapi, apabila sitokinin itu ditambahkan bersama-sama dengan AIA, maka sel itu dapat membelah. Begitu juga dengan giberelin dan AIA. Giberelin akan memacu pembentukan enzim yang melunakkan dinding sel terutama enzim proteolitik yang akan melepaskan amino triptofan (prekursor/pembentuk AIA) sehingga kadar AIA meningkat (Dewi, 2008). ZPT (zat pengatur tumbuh) tidak bekerja sendiri dalam menimbulkan suatu respon, melainkan karena adanya interaksi dari beberapa senyawa. Pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada spesies tumbuhan, respon tumbuhan terhadap ZPT, tahap perkembangan tumbuhan dan konsentrasi ZPT. Pada umumnya keseimbangan konsentrasi dari beberapa ZPT-lah yang akan mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Dewi, 2008).
Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian inokulan 1 CM dengan perlakuan KNO3 pada level 0% dapat mengefisiensikan pemberian KNO3 pada level 100%, 75%, 50% dan 25% berturut-turut sebesar 18.73%, 36.15%, 76.62%, 89.53%. Pemberian inokulan 7 NTB dapat mengefisiensikan pemberian KNO3 pada level 100%, 75%, 50% dan 25% yaitu berturut-turut sebesar 5.78%, 12.28%, 39.85%,
26
dan 75.05%. Pemberian inokulan 19 CK dapat mengefisiensikan pemberian KNO3 pada level 100%, 75%, 50%, dan 25%, yaitu berturut-turut sebesar 2.89%, 5.97%, 32.40%, 82.05%. Sehingga inokulan Azotobacter yang paling baik dalam memperbaiki perakaran jagung adalah 1 CM. Hal ini kemungkinan disebabkan karena nitrogenase, zat pengatur tumbuh AIA, sitokinin dan giberelin yang dihasilkan oleh isolat 1 CM cukup besar, yaitu masing-masing sebesar 709.26 nmol C2H2 / jam, 788 ppm, 104.56 ppm, dan 152.64 ppm.
Tabel 7. Efisiensi Pemberian Inokulan pada Level KNO3 0%
Kode Isolat Perbandingan Efisiensi Pemberian Inokulan pada Level KNO
3 0% dengan Level KNO3
100% 75% 50% 25% 1 CM 18.73%* 36.15% 76.62% 89.53% 7 NTB 5.78% 12.28% 39.85% 75.05% 19 CK 2.89% 5.97% 32.40% 82.05% Keterangan: *)
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada level hara tanpa diberi KNO3 tetapi diinokulasi dengan Azotobacter 1 CM, 7 NTB, dan 19 CK terjadi peningkatan massa akar sebesar 2.28%, 1.26%, dan 1.04% dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi KNO3, tanpa inokulasi), begitu juga dengan pemberian KNO3 sebesar 25%, 50%, 75%, dan 100%. Pada level KNO3 25% tetapi diinokulasi dengan Azotobacter 1 CM, 7 NTB, dan 19 CK terjadi peningkatan massa akar sebesar 0.69%, 0.26%, dan 0.09% dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi KNO3, tanpa inokulasi). Pada level KNO3 50% tetapi diinokulasi dengan Azotobacter 1 CM, 7 NTB, dan 19 CK terjadi peningkatan massa akar sebesar 0.41%, 0.22%, dan 0.10% dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi KNO3, tanpa inokulasi). Pada level KNO3 75% tetapi diinokulasi dengan Azotobacter 1 CM, 7 NTB, dan 19 CK terjadi peningkatan massa akar sebesar 0.38%, 0.15%, dan 0.10% dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi KNO3, tanpa inokulasi). Pada level KNO3 100% tetapi diinokulasi dengan Azotobacter 1 CM, 7 NTB, dan 19 CK
27
terjadi peningkatan massa akar sebesar 2.55%, 0.20%, dan 0.12% dibandingkan dengan kontrol (tanpa diberi KNO3, tanpa inokulasi).
Tabel 8. Peningkatan Akar dengan Pemberian Azotobacter Dibandingkan dengan Kontrol pada Beberapa Level KNO3
Isolat Peningkatan Berat Kering Akar (mg) pada Level KNO3
100% 75% 50% 25% 0% 1 CM 2.55%* 0.38% 0.41% 0.69% 2.28% 7 NTB 0.20% 0.15% 0.22% 0.26% 1.26% 19 CK 0.12% 0.10% 0.10% 0.09% 1.04% Keterangan: *)
`Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa perakaran pada level KNO3 0% dengan pemberian inokulan Azotobacter 1 CM memiliki massa akar yang lebih besar dibandingkan dengan level KNO3 75%, 50% dan 25% karena memiliki akar rambut yang lebih banyak.
100% 75% 50% 25% 0%
Gambar 5. Perbandingan perakaran dengan pemberian inokulan 1 CM pada beberapa level KNO3 dalam media Watanabe
Pertumbuhan akar yang ditunjukkan pada level KNO3 0% lebih baik (Gambar 5) karena adanya kemampuan yang dimiliki oleh Azotobacter 1 CM
28
dalam menambat N dan menghasilkan zat pengatur tumbuh (AIA, sitokinin dan giberelin).
Frankerber (1983) mengemukakan bahwa efek AIA pada bibit tanaman tergantung pada konsentrasi, yaitu konsentrasi rendah dapat merangsang pertumbuhan sedangkan konsentrasi tinggi dapat menjadi penghambat. Begitu juga dengan sitokinin dan giberelin. Konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat menghambat perkembangan akar, diduga sitokinin selalu memiliki efek penghambatan pada pertumbuhan akar. Ini telah dilaporkan dalam literatur yang mendukung bahwa sitokinin menghambat pembentukan akar, salah satunya menunjukan bahwa potongan dari spesies dengan tingkat sitokinin endogen tinggi lebih sulit untuk menjadi akar daripada mereka yang rendah tingkat sitokininnya (Okoro and Grace, 1978).
Aplikasi giberelin eksogen (pemberian dari luar) telah terbukti dapat menghambat pembentukan akar dengan meningkatnya konsentrasi giberelin. Ada juga laporan, walaupun dengan jumlah yang lebih rendah, giberelin mampu meningkatkan pembentukan akar (Hartmann et al., 1990).
Walaupun sitokinin dan giberelin diduga dapat menghambat pertumbuhan dalam konsentrasi tinggi, akan tetapi pada uji perakaran jagung ini pertumbuhan akar yang dihasilkan menjadi baik karena kemungkinan isolat 1 CM dan 7 NTB menghasilkan zat pengatur tumbuh sitokinin dan giberelin yang konsentrasinya optimal bagi pertumbuhan perakaran jagung tersebut sehingga pertumbuhan akar dan massa akar yang dihasilkan pun menjadi lebih baik. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel dan giberelin berperan dalam pertumbuhan akar serta pembungaan.
Pada Gambar 6, pemberian inokulan 7 NTB mempengaruhi pertumbuhan akar dengan baik, hal tersebut diduga karena adanya kemampuan menambat nitrogen dan kemampuan menghasilkan zat pengatur tumbuh, nitrogenase yang dihasilkan oleh isolat 7 NTB yaitu sebesar 769.3 nmol C2H2/jam konsentrasi AIA yang dihasilkan sebesar 169 ppm, zat pengatur tumbuh sitokinin yang dihasilkan sebesar 97.95 ppm, dan giberelin yang dihasilkan sebesar 173.93 ppm.
29
75% 50% 25% 0%
Gambar 6. Perbandingan perakaran dengan pemberian inokulan 7 NTB pada beberapa level KNO3 dalam media Watanabe
Walaupun konsentrasi AIA yang dihasilkan rendah, seperti isolat 7 NTB, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan karena dalam konsentrasi yang rendah, AIA dapat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu kerja suatu zat pengatur tumbuh juga ditentukan oleh interaksi antara masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut maupun dengan kandungan nitrat yang diberikan, sehingga perlu diketahui berapa konsentrasi KNO3 yang tepat untuk suatu tanaman. Begitu juga dengan isolat 19 CK, pada level KNO3 0% massa akar yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan level KNO3 sebesar 75%, 50% dan 25% (Tabel 6).
1 CM 7 NTB
Gambar 7. Perbandingan perakaran dengan pemberian inokulan 1 CM dan 7 NTB pada level KNO3 0% dalam media Watanabe Pada Gambar 7 dapat diamati adanya perbedaan massa akar jagung yang diinokulasi dengan isolat 1 CM dan 7 NTB. Pemberian inokulan 1 CM
30
memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan inokulan 7 NTB dilihat dari jumlah akar dan massa akar yang dihasilkan. Hal tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh konsentrasi AIA yang dimiliki oleh 1 CM lebih besar senilai 788 ppm, sedangkan 7 NTB hanya senilai 169 ppm, walaupun nitrogenase yang dihasilkan oleh 7 NTB lebih besar yaitu 769.3 nmol C2H2/jam, sedangkan 1 CM sebesar 709.26 nmol C2H2/jam. Selain itu zat pengatur tumbuh sitokinin yang dihasilkan oleh isolat 1 CM juga memiliki nilai yang lebih besar dari isolat 7 NTB, yaitu 104.56 ppm, sedangkan 7 NTB hanya sebesar 97.95 ppm.
Zat pengatur tumbuh giberelin yang dihasilkan oleh isolat 7 NTB memang lebih besar yaitu 173.93 ppm dibanding isolat 1 CM sebesar 152.64 ppm, akan tetapi menurut Dewi (2008), giberelin menstimulasi pertumbuhan pada daun maupun pada batang dan efeknya dalam pertumbuhan akar sangat sedikit.
Tanpa Inokulan +Inokulan 7 NTB
Gambar 8. Perbandingan perakaran tanpa pemberian inokulan dan dengan inokulan pada level KNO3 75% dalam media Watanabe
Perakaran yang diberi inokulan memiliki akar primer yang lebih banyak jika dibandingkan dengan yang tanpa pemberian inokulan (Gambar 8). Massa akar yang diinokulasi Azotobacter lebih tinggi dibandingkan dengan massa akar yang tidak diinokulasi (Tabel 6). Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri Azotobacter mempengaruhi pertumbuhan akar karena adanya kemampuan menambat N dan menghasilkan zat pengatur tumbuh. Dilihat dari hasil tersebut kedua potensi itu (menambat N dan menghasilkan zat pengatur tumbuh) memiliki peran besar dalam memperbaiki perakaran jagung. Dalam hal penambatan N2 Azotobacter mampu mengefisiensikan kebutuhan N, sedangkan dalam hal memproduksi zat
31
pengatur tumbuh Azotobacter dapat membantu memperbaiki perakaran karena meningkatkan massa akar.
Dari hasil penelitian, zat pengatur tumbuh yang kemungkinan memiliki peran paling besar dalam memperbaiki perakaran adalah asam indol asetat (AIA), walaupun sitokinin dan giberelin juga membantu pertumbuhan perakaran. Hartmann and Kester (1975) mengemukakan bahwa dari semua jenis zat pengatur tumbuh yang sangat efektif mengatur pertumbuhan akar adalah golongan AIA. Banyak bukti menyatakan bahwa AIA sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan batang, formasi akar, menghambat pertumbuhan cabang lateral, absisi pada daun dan buah, serta mengaktifkan kerja lapisan kambium dan lainnya.
32