• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemindahan Hak Atas Tanah

DI KOTA YOGYAKARTA AWAL ABAD

D. Pemindahan Hak Atas Tanah

Masyarakaat Yogyakarta, setelah mendapatkan tanah hak pakai, berusaha mengelola tanah itu agar dapat digunakan untuk tempat tinggal atau mengolahnya sampai turun temurun. Akan tetapi, yang terjadi tidak selalu demikian, kadangkala dengan terpaksa mereka rela melepaskan tanah mereka karena tidak senang atau ada kepentingan umum yang lebih memerlukan tanah milik mereka. Kondisi ini

Macam-macam Pengeluaran 1925 f 1926 f 1927 f 1928 F 1929 f 1930 f 1.Pemeliharaan pekarangan Bupati 2. Pemeliharaan rumah- rumah negeri 3. Pemeliharaan Jalan 4. Pemeliharaan Jembatan 5. Pemeliharaan kalen 6. Pembersihan Kota 7. Pembangunan rumah 8. Pembangunan gedung sekolahan 660 - - 300 10.100 - - - 660 - - 300 10.100 21.305 32.600 - 660 1.270 131.300 300 10.100 31.895 175.800 15.000 120 1.510 122.500 300 10.100 32.595 102.000 36.000 120 1.510 122.500 300 10.100 32.595 75.000 - 120 1.510 120.000 300 10.100 32.595 100.000 36.000

menyebabkan adanya perubahan pemilikan hak atas tanah, sehingga dengan sendirinya terjadi pemindahan hak milik atas tanah yang terjadi di Kota Yogyakarta seperti pewarisan, penjualan, hibah, dan sebagainya.

Apabila seorang abdi dalem yang menduduki tanah jabatannya meninggal, maka rumah dan tanaman menurut aturan yang berlaku dialihkan kepada keturunannya. Mereka untuk sementara tetap mendiami tanah itu sebagai indung

kawedanan sampai dengan diangkatnya pejabat abdi dalem

sebagai penggantinya. Jabatan abdi dalem dapat diturunkan kepada putera sulungnya atau keluarga dekatnya, sehingga ia dapat diangkat sebagai pengganti ayahnya. Dengan sendiri- nya, ia menerima hak pakai jabatan atas tanah ayahnya, dengan kewajiban agar pekarangan itu dibagi di antara para ahli warisnya. Hak waris atas jabatan dan tanah itu tidak dapat berkali-kali diturunkan kepada ahli warisnya. Dapat dikatakan bahwa waris pangkat tidak diturunkan kepada ahli warisnya, tetapi diangkat melalui seleksi atas prestasinya. Oleh karena itu, sering terjadi beberapa kontrak atau perjanjian menimbulkan persengketaan. Akan tetapi, jika pemilik pekarangan yang tidak termasuk golongan meninggal di kampung golongan (pengindung kawedanan), maka hak atas tanah pekarangan juga turun pada ahli warisnya, terutama pada anak sulungnya. Dia berkewajiban memberi bagian kepada waris yang berhak lainnya. Apabila dia tidak dapat mengganti uang bagian tersebut, ia akan kehilangan hak untuk menerima pusaka.65

65Adatrechtbundel: Java en Madoera. S’ Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921. Jilid XXII, hlm. 205.

Tanah pekarangan jabatan sering pula dijual oleh abdi

dalem yang memiliki hak atas tanah pekarangan. Penjualan

pekarangan di kota oleh seorang abdi dalem sejak 1887 diper- kenankan oleh Sultan Hamengku Buwono ke- VII, selama orang melakukan penjualan tanah itu dengan syarat untuk dihuni. Dalam pengadilan ditetapkan bahwa penjualan peka- rangan dalam kota diperkenankan dengan perjanjian bahwa pembeli hanya berhak mendiami pekarangan itu dengan izin kawedanan. Di samping itu, pembeli juga harus mematuhi kewajiban yaitu membayar pajak dan melakukan kerja untuk

nagari.66

Mereka harus menyetorkan upeti dan melakukan kerja bagi kawedanan cangkok, atau menebus dengan uang (duwit

penanggalan) untuk melapaskan tanah kepada kawedanan

sebagai ganti rugi bagi rumah dan tanaman sebesar f.0,01 per meter persegi.67

Izin jual beli tanah itu disahkan melalui kawedanan dan keraton. Di samping itu, bupati polisi kota serta asisten panji juga terlibat dalam pengaturan setiap penjualan dan penan- datanganan akta hak milik tanah. Penjual membayar 5% dari jumlah harga tanah sebagai uang saksi (pilasi). Dari uang itu 2/3 bagiannya disetorkan kepada kawedanan dan 1/3 bagian disetorkan kepada keraton/nagari.68

Apabila yang membeli tanah pekarangan adalah abdi da- lem, padahal ia sudah mempunyai tanah pekarangan jabatan,

66Rijksblad van Sultanaat Djokjakarta, 1918, no. 14. 67Adatrechtbundel, Ibid., hlm. 205.

maka dengan pekarangannya yang baru di beli itu, ia berke- dudukan sebagai indung cangkok, disamping ia menjadi cang- kok di atas pekarangan jabatannya yang didiami. Dengan demikian, ia berkedudukan sebagai cangkok di atas peka- rangan sendiri dan menjadi indung cangkok bagi peka- rangannya yang baru dibeli. Sebagai indung cangkok peka- rangannya yang baru itu, ia memiliki kewajiban-kewajiban pada kawedanan atau kepada cangkoknya. Kewajiban- kewajiban itu dapat diganti dengan uang (duwit penanggalan).

Apabila pembeli adalah orang Indonesia, mereka harus membayar kepada kawedanan, tetapi bila pembeli itu bukan orang Indonesia, mereka harus membayar kepada keraton. Jumlah uang sebagai pengganti kewajiban yang diberikan kepada pemakai pekarangan itu adalah f.0.01 tiap-tiap meter persegi.

Pemindahan hak atas pekarangan dapat pula dilakukan dengan cara melepaskan (ngrilalake, nglintirake) kepada anak kandung atau anak angkat, berkali-kali, dengan cara pen- jualan pekarangan.69

Abdi dalem dapat pula mengalihkan sebagaian peka-

rangannya kepada orang lain. Di daerah perkotaan yang penduduknya sangat padat, tanah memiliki nilai yang cukup tinggi. Oleh karena itu, sebagaimana yang terjadi di Kam- pung Bumijo, abdi dalem terpaksa mengalihkan sebagian pekarangannya kepada orang lain. Pemegang hak awal tetap memegang cangkok pekarangan, sedangkan mereka yang

menerima sebagian pekarangan itu menjadi indung cangkok, kecuali cangkok berbuat salah, mereka dapat diusir melalui perantara pengadilan. Cangkok asli itu menjadi patuh cangkok

(lurah cangkok). Indung cangkok berkewajiban membayar

kepada patuh, sehingga indung itu dapat menjual sendiri tanah atau sebagian pekarangannya dengan persetujuan patuh dan kawedanan.

Indung cangkok ini sering pula membagi tanah peka-

rangannya, sehingga indung baru yang menerima sebagian pekarangan dari indung cangkok itu berkedudukan sebagai indung cangkok kawedanan. Dengan demikian, ia tidak menjadi indung orang yang memberikan sebagian tanahnya itu.70

Para abdi dalem keraton sering pula mengadakan pertu- karan tanah pekarangan yang dimilikinya. Pertukaran tanah saling terjadi di antara dua prajurit yang tidak dapat tinggal di luar kampungnya. Masalah ini dapat menimbulkan seng- keta di antara mereka. Mereka memiliki wewenang untuk mencabut kembali persetujuan yang diberikan.

Pemindahan hak lainnya dilakukan dengan cara jual gadai

yaitu pemilik tanah diberi pinjaman uang dengan jaminan tanah. Pada mulanya, pemilik tanah datang kepada orang yang punya uang yang mau menggadaikan tanah. Setelah tawar-menawar dengan kata sepakat mengenai besarnya uang gadai, pemilik tanah menerima uang gadainya, selan- jutnya pemilik tanah mengembalikan jumlah uang pin-

jamannya pada waktu yang telah ditentukan. Dengan demi- kian, secara resmi tanah digadaikan oleh pemiliknya. Praktik penggadaian pekarangan itu tidak mendapat izin dari kawe- danan, sehingga satu-satunya cara adalah penjualan secara umum dengan penawaran diam-diam yang menyangkut penyewaan kepada penjual dan tawaran pembelian kembali. Untuk keperluan bangunan-bangunan bagi kepentingan umum, keraton dapat mengambil (onteigenen) tanah peka- rangan. Keraton mengganti kerugian atas tanaman dan ru- mah, sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, yaitu atas tanah pekarangan (kepunyaan raja) penduduk hanya memiliki hak pakai. Hal ini juga terjadi pada perluasan kampung- kampung yang didiami orang-orang partikelir atau pembu- kaan tanah sepanjang tepi sungai. Kampung itu dimasukkan dalam satu golongan. Sejak itu, mereka masuk indung kawe- danan dan seterusnya memiliki kewajiban-kewajiban kepada kawedanan. Akan tetapi, lahan itu dapat pula berdiri sendiri sebagai pekarangan “patuh negari” atau “kebonan”.

POLA PENGUASAAN, PEMILIKAN