MELIBATKAN PETANI KECIL DI INDONESIA
Dalam lima tahun terakhir, kawasan di Asia Pasifik mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sekitar 7 % terutama Cina dan India. Pertumbuhan tersebut mendorong pertumbuhan pandapatan per kapita yang cukup tinggi dan berdampak pada permintaan sayuran dan buah segar yang meningkat. Taiwan, Korea Selatan dan Cina merupan Negara Asia Timur yang memberikan kontribusi 31,5 % bagi output kawasan Asia Pasifik. Khususnya, Taiwan dan Korea Selatan mendapatkan pasokan sayuran dan buah segar dari kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sekalipun Cina merupakan negara produsen hortikultura yang mengekspor ke uni Eropa dan Amerika Serikat, negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan populasinya banyak mengimpor sayuran dan buah segar dari kawasan Asia Tenggara (Kanlayanarat et al, 2009).
Selain, ketiga negara di kawasan Asia Timur tersebut, Singapura, negara kecil di Asia Tenggara, banyak membutuhkan pasokan sayuran dan buah segar, sekitar 350.000 ton setiap tahunnya. Kebutuhan tersebut akan terus meningkat sejalan dengan tingginya pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pada tahun 2009, sebagian besar pasokan sayuran dan buah segar ke Singapura berasal dari Cina dan Malaysia, Indonesia baru mendapatkan pangsa pasar sebesar 6 %. Saat ini, AVA, otoritas pangan Singapura sedang menjajaki kemungkinan pengembangan pasokan sayuran dan buah dari Indonesia untuk mengurangi ketergantungan dari Cina (Perdana, 2009). Sejak akhir tahun 2009, Pemerintah Indonesia merespon keinginan Singapura dengan mencanangkan program akselerasi pengembangan ekspor sayuran dan buah segar ke Singapura.
Untuk mewujudkan daya saing sayuran segar Indonesia di pasar global diperlukan suatu pengembangan sistem manajemen rantai pasokan yang mampu menciptakan dan mendistribusikan nilai tambah diantara pelaku yang terlibat dalam agribisnis sayuran. Manajemen rantai pasokan merupakan integrasi dari proses bisnis utama dari pengguna akhir melalui para pemasok yang menyampaikan produk, jasa dan informasi yang memiliki nilai tambah bagi konsumen dan stakeholders yang lain (Mentzer et al., 2001).
Penciptaan nilai tambah merupakan untuk mewujudkan efisiensi usaha, sedangkan distribusi nilai tambah adalah proses untuk mewujudkan keadilan berusaha (Bunte, 2006). Efisiensi dan keadilan merupakan syarat keharusan untuk mewujudkan daya saing karena karakteristik produsen komoditas sayuran Indonesia memiliki skala usaha yang kecil dan tersebar di berbagai sentra produksi. Pelibatan produsen kecil merupakan salah satu kata kunci selain daya saing dan berkeadilan dalam pengembangan rantai pasokan agribisnis dan agroindustri di negara berkembang (Chowdury et al. 2005; Vorley and Proctor, 2008; Da Silva and Baker, 2009).
Manajemen Rantai Pasokan Sayuran
Tipe manajemen rantai pasokan sayuran ekspor yang diterapkan adalah integrasi lateral yang merujuk pada pengelolaan rantai pasokan pada beberapa pelaku usaha yang independen. Alasan yang mendasari penerapan integrasi lateral (lateral integration) adalah untuk mencapai lingkup dan skala ekonomi, untuk memperbaiki fokus bisnis dan kepakaran serta memungkinkan pengelolaannya (APICS, 2008).
Pengembangan manajemen rantai pasokan sayuran yang melibatkan petani kecil untuk memenuhi pasar ekspor terdiri atas dua alternatif yakni (1) manajemen rantai pasokan yang melibatkan organisasi produsen seperti kelompok tani dan koperasi; dan (2) manajemen rantai pasokan yang melibatkan pedagang. Berdasarkan kedua alternatif manajemen rantai pasokan tersebut dilakukan pemodelan dan simulasi untuk memperoleh suatu model manajemen rantai pasokan sayuran yang efisien dan berkeadilan.
Gambar 21 memperlihatkan bahwa pelaku usaha yang terlibat dalam manajemen rantai pasokan sayuran ekspor terdiri atas (1) petani yang tergabung dalam kelompok tani dengan fokus pada sektor budidaya, (2) koperasi yang fokus pada sektor rumah kemasan dan (3) eksportir yang fokus pada sektor pusat distribusi. Dalam model alternatif ini, koperasi berperan sebagai titik pemisah pesanan dan pasokan produksi (customer order decoupling point) yang keputusan manajemennya didorong oleh pesanan konsumen (pull system) dan rencana produksinya dibuat berdasarkan peramalan permintaan konsumen atau mitra usahanya di hilir (push system), yakni eksportir.
Penerapan titik pemisah tersebut dalam suatu sistem rantai pasokan disebut dengan sistem produksi hibrida (hybrid system). Sistem produksi hibrida tersebut bertujuan untuk merespon dinamika permintaan pasar, baik kuantitas, kualitas dan kontinuitas (Goncalves et al ,2004; Perdana et al, 2008;). Van der Vorst et al (2007) menyatakan bahwa titik pemisah pesanan dan pasokan tersebut ditujukan untuk mengurangi persediaan dalam rantai pasokan serta upaya fokus pada penetrasi konsumen dan sistem logistik. Verdouw et al (2006) berpendapat bahwa penggunaan titik pemisah pesanan dan pasokan tersebut merupakan karakteristik dari jaringan rantai permintaan (demand driven chain network) yang mengkombinasikan aspek efisien untuk memenuhi permintaan dan aspek fleksibilitas dalam menghadapi perubahan permintaan.
Dalam upaya mengelola risiko dalam rantai pasokan sayuran, selain melayani pasar ekspor, koperasi juga melayani pasar domestik, seperti supermarket dan pasar tradisional. Upaya tersebut dilakukan karena produk sayuran segar dalam suatu siklus produksi memiliki variasi kualitas (grade) yang didasarkan pada kriteria ukuran, warna dan tampilan. Berdasarkan tiga kriteria tersebut, terdapat tiga kelas kualitas (grade), yaitu (a) kualitas 1 yang ditujukan untuk ekspor, (b) kualitas 2 yang ditujukan untuk supermarket dan (c) kualitas 3 yang ditujukan untuk pasar tradisional.
Pemasaran dan Distribusi Penyimpanan Proses Order Sektor Budidaya Sektor
Rumah Kemasan Pusat DistribusiSektor
Pasar Ekspor Produk Keputusan Manajemen Penerimaan Order & Spesifikasi Pemba yaran Keputusan Manajemen KOPERASI KELOMPOK TANI Pemba yaran
Aliran Informasi, Sistem Penjejakan dan Keamanan Pangan
Distribusi Pola Tanam dan
Budidaya Panen
Sortasi dan Grading
Penjamin Kualitas Tr an sa ks i Jaminan Kualitas Persiapan Lahan Jaminan Kualitas Penerapan GAP Penerapan GHP, GDP, HACCP Pembibitan Cooling Penerimaan EKSPORTIR Pe ny er ah an Pemba yaran Produk Konsolidator Pre -‐ Cooling Tr an sa ks i Transfer Keuntungan Produk Pasar Domestik Or de r & Sp es ifik as i Pe m ba ya ra n Pr od uk Transaksi
Gambar 21. Model manajemen rantai pasokan sayuran ekspor yang melibatkan koperasi (alternatif 1)
Terkait dengan pengelolaan risiko, khususnya bagi para petani yang memiliki keterbatasan kapasitas sumberdaya, maka koperasi menerapkan aturan main tata kelola hubungan antara petani yang merupakan anggota koperasi dan koperasi dengan sistem penyerahan. Dalam sistem penyerahan tersebut tidak terjadi transaksi antara petani dan koperasi. Koperasi menjadi wakil petani untuk memasarkan dan memberikan nilai tambah pada produk sayuran. Koperasi menjadi penyedia jasa pemasaran dan pasca panen (post harvest and marketing
service provider) yang mendapatkan penghasilan berupa imbal jasa (fee) dari
petani anggota yang dilayaninya. Besaran imbal jasa tersebut sesuai dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
Peran koperasi dalam pemasaran dan pasca panen tersebut sejalan dengan pemikiran Erickson et al (2001) yang menyatakan bahwa koperasi merupakan suatu bentuk badan usaha yang dimiliki, dikelola dan dikontrol anggotanya serta memiliki komitmen untuk membantu anggotanya untuk memperbaiki harga
produk yang dihasilkan, menemukan pasar dan meningkatkan posisi tawar menawar. Upaya tersebut hanya dapat dilakukan secara kolektif dalam bentuk koperasi (Hanson, 2002).
Manajemen rantai pasokan sayuran yang efisien dan berkeadilan memerlukan aliran informasi yang transparan. Dalam mewujudkan kondisi tersebut, dilakukan pendampingan teknis, manajerial dan kelembagaan oleh konsolidator yang dikelola oleh Pusat Rantai Nilai (Value Chain Center) Puslitbang Inovasi dan Kelembagaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Padjadjaran.
Konsolidator tersebut menjadi jembatan antara petani, kelompok tani, koperasi dan eksportir. Konsolidator tersebut berada di sentra produksi untuk bekerja sama dengan petani, kelompok tani dan koperasi untuk memenuhi pesanan eksportir. Setiap minggu konsolidator melakukan pengajuan rencana tanam dan panen yang dibuat bersama dengan kelompok tani dan koperasi kepada eksportir. Pusat Rantai Nilai bersama dengan manajemen eksportir melakukan evaluasi mingguan untuk memperbaiki secara berkelanjutan (continous
improvement) manajemen rantai pasokan yang dikembangkan.
Dalam upaya memperkuat manajemen rantai pasokan yang dikembangkan dan untuk replikasi model, Pusat Rantai Nilai LPPM UNPAD bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian dan Program AMARTA (Agribusiness Market Support Acitivity) USAID mengembangkan konsorsium hortikultura Jawa Barat. Dalam konsorsium tersebut tergabung multi pemangku kepentingan agribisnis hortikultura dari tingkat sentra produksi, kabupaten, propinsi dan nasional. Pemangku kepentingan tersebut adalah petani, kelompok tani, koperasi, pelaku pasar (industri, eksportir, supermarket, pasar tradsional), pedagang/pemasok, lembaga pembiayaan (perbankan dan non perbankan), perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga pendukung pembangunan luar negeri, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, peruahaan agroinput dan asosiasi.
Pemasaran dan Distribusi Penyimpanan Proses Order Sektor Budidaya Sektor
Rumah Kemasan Pusat DistribusiSektor
Pasar Ekspor Produk Keputusan Manajemen Penerimaan Order & Spesifikasi Pemba yaran Produk Keputusan Manajemen PEDAGANG KELOMPOK TANI Pemba yaran
Aliran Informasi, Sistem Penjejakan dan Keamanan Pangan
Pasar Domestik
Distribusi Pola Tanam dan
Budidaya Panen
Sortasi dan Grading
Penjamin Kualitas Tr an sa ks i Jaminan Kualitas Persiapan Lahan Jaminan Kualitas Penerapan GAP Penerapan GHP, GDP, HACCP Pembibitan Cooling Penerimaan EKSPORTIR Tr an sa ks i Pemba yaran Produk Konsolidator Pre -‐ Cooling Tr an sa ks i Transaksi Pe m ba ya ra n Or de r & Sp es ifik as i Pr od uk
Gambar 22. Model manajemen rantai pasokan sayuran ekspor yang melibatkan pedagang (alternatif 2)
Konsorsium hortikultura tersebut bertujuan untuk meningkatkan akses pelaku agribisnis hortikultura terutama petani terhadap lima aspek, yaitu : agroinput, teknologi, pasar, pembiayaan dan informasi. Dengan demikian, ketersediaan lima aspek tersebut menjadi mudah bagi para pelaku agribisnis terutama petani.
Format konsorsium serupa dengan “Sistem Inovasi Pertanian (Agriculture
Innovation System) yang dikembangkan Chairatana (2000). Sistem inovasi
pertanian merupakan jaringan para pemangku kepentingan dan rantai pasokan agribisnis yang berkonsentrasi pada kreativitas, inisiasi, interaksi, kerjasama dan komitmen untuk menghasilkan kebaharuan yang terukur (tangible) dan tidak terukur (intangible) kepada pasar dan masyarakat.
Semakin tinggi tekanan meningkatkan konsistensi pasokan maka tuntutan untuk meningkatkan kualitas produk sayuran menjadi semakin bertambah. Respon untuk meningkatkan kualitas dari konsumen harus dilakukan dengan cepat karena
kegagalan terhadap respon kualitas mengakibatkan kepercayaan konsumen hilang dan akan menghentikan pesanan kepada eksportir. Berbeda dengan pasokan produk sayuran dari eksportir yang kurang hanya akan menurunkan jumlah pesanan ulangnya.
Tuntutan untuk meningkatkan kualitas produk sayuran dilakukan dengan cara meningkatkan intensitas penerapan kaidah budidaya sayuran yang baik (good
agriculture practices (GAP)). Semakin tinggi intensitas penerapan GAP akan
meningkatkan produk sayuran kualitas 1 yang ditujukan untuk pasar ekspor. Dengan demikian, penjualan produk sayuran kualitas 1 ke eksportir akan semakin banyak, baik dari koperasi ataupun pedagang.
Keterkaitan variabel dari mulai eksportir pesaing, tekanan untuk meningkatkan konsistensi pasokan, tuntutan untuk meningkatkan kualitas produk, penerapan GAP sampai dengan keuntungan eksportir membentuk suatu negative
feedback. Umpan balik negatif (negative feedback) tersebut berarti bahwa setiap
upaya untuk meningkatkan kualitas produk akan menuju arah kesetimbangan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan eksportir.
Peningkatan intensitas penerapan GAP juga akan meningkatkan produktivitas tanaman sehingga jumlah produksi petani meningkat. Sejalan dengan jumlah produksi yang meningkat, maka jumlah produk yang disortasi meningkat pula dan produk kualitas 1 untuk tujuan pasar ekspor akan meningkat.
Semakin banyak produk kualitas ekspor maka penjualan produk kualitas ekspor akan meningkat, baik yang berasal dari koperasi sebagai wakil petani maupun dari pedagang. Penjualan produk dari koperasi maupun eksportir yang meningkat akan meningkatkan jumlah persediaan kualitas ekspor di pusat distribusi (gudang) eksportir sehingga pengiriman ke luar negeri akan terjamin pasokannya.
Keuntungan eksportir dari pengiriman produk sayuran ke luar negeri ditentukan oleh biaya yang dikeluarkan. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan maka keuntungan yang dapat diperoleh eksportir semakin rendah. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa umpan balik yang terjadi pada keterkaitan