• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerja Keras Pemulung di TPA Jatibarang Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen Kota Semarang Kecamatan Mijen Kota Semarang

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir 1. Permasalahan Sampah di TPA

2. Kerja Keras Pemulung di TPA Jatibarang Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen Kota Semarang Kecamatan Mijen Kota Semarang

Seorang pemulung memiliki pekerjaan sebagai pencari barang yang sudah tidak layak pakai, karena orang bekerja sebagai pemulung adalah orang yang bekerja sebagai pengais sampah. Sebagian pemulung yang berada disekitar tempat pembuangan akhir sampah (TPS) hanya tinggal di gubuk-gubuk kecil. Bagi sebagian pemulung, memulung barang bekas adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan, supaya mereka dapat bertahan hidup. Para pemulung menjauhkan gengsi mereka untuk rela mencari botol-botol bekas, plastik, dan barang-barang bekas lainnya didalam TPS walaupun baunya sangat menyengat, dan hasilnya pun hanya sedikit.

Secara sosial masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung merupakan masyarakat yang berasal dari golongan yang sangat memprihatinkan dengan kondisi ekonomi yang sangat lemah sehingga memaksa mereka untuk berprofesi sebagai pemulung yang setiap harinya harus berada di lokasi tempat pembuangan akhir untuk mrngumpulkan barang-barang bekas yang dapat mereka jadikan sebagai rupiah untuk menyambung hidup mereka.

Masyarakat pemulung yang ada di TPA Jatibarang tidak hanya merupakan masyarakat asli wilayah tersebut, tetapi juga terdapat masyarakat yang berasal dari daerah lain seperti, kabupaten Semarang, Boyolali, Grobogan, Kendal, Kudus bahkan juga dari Bandung yang kemudian tinggal di wilayah tersebut dan berprofesi sebagai pemulung di TPA Jatibarang, sebagaimana yang diutarakan oleh Pak Joko yang merupakan staf UPT TPA Jatibarang.

Disini itu mbak justru pemulungnya lebih banyak yang dari luar Semarang. Dari Semarang banyak tapi dari daerah lain juga banyak. Grobogan dan Boyolali itu paling banyak. Kadang saya heran kenapa mereka bisa sampai kesini gitu.

Penuturan tersebut, bahwa pemulung yang ada di TPA Jatibarang tidak hanya merupakan warga asli Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen tetapi juga berasal dari daerah-daerah lain yang datang ke kota Semarang untuk mencari pekerjaan namun minimnya pengalaman dan tingkat Pendidikan mereka yang tergolong rendah sehingga mereka terpaksa menjadi pemulung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mereka berasal dari berbagai daerah ke kota metropolitan dengan harapan agar mereka dapat memperbaiki nasib mereka karena mereka yakin bahwa siapapun yang mencari maka mereka akan mendapatkan apa yang mereka cari.

Pekerjaan pemulung bukan sebagai pekerjaan terhina, atau pekerjaan yang memalukan bagi mereka akan tetapi yang paling penting bagaimana mereka bisa membiayai keluarga dan anak-anaknya. Oleh karena itu, pekerjaan

memulung jauh lebih baik dari pada seseorang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh ibu Muslihatun yang berprofesi sebagai pemulung:

“Alhamdulilah ya mbak dari kerja seperti ini, bisa menyekolahkan anak. Yang terpenting anak bisa sekolah mbak biar gak seperti orang tuanya. Kalua untuk kebutuhan sehari-hari alhamdulilah cukup. Yang penting kerja keras mbak, pantang menyerah”

Penuturan yang dikemukakan ibu Muslihatun maka dapat di simpulkan bahwa pemulung bukan pekerjaan yang memalukan, terhina dan tercela bagi mereka, karena mereka mencari pekerjaan yang lebih baik tidak mudal karena memerlukan modal, Pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka tidak miliki. Jadi mereka melakukan pekerjaan tersebut karena tidak memerlukan modal yang besar, cukup dengan ikut serta pengepu yang mempunyai modal supaya mereka bisa membiayai keluarganya. Yang paling penting bagi mereka dapat melakukan pekerjaan dengan baik, halal, dan dapat menghasilkan uang untuk dapat membiayai kelangsungan hidup Bersama keluarganya.

Pada prinsipnya semua orang menginginkan pekerjaan yang lebih baik, namun karena mereka tidak mempunyai kekuatan untuk mendorong mereka melakukan pekerjaan yang lebih baik karena tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Hal yang sangat penting untuk memperbaiki kehidupan yaitu keterampilan kerja, pendidikan dan modal. Di samping itu pekerjaan

memulung bukan perbuatan yang tercela, terhina yang harus diketahui oleh masyarakat, melainkan pekerjaan yang mulia dan memproduksi atau menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmati masyarakat luas.

a. Lama Bekerja Pemulung di TPA Jatibarang

Pemulung sampah di TPA Jatibarang umunya sudah bekerja selama >10 tahun. Dengan jam efektif 6 hari kerja dalam seminggu. Adapun waktu kerja para pemulung sampah dimulai pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Kemudian dilanjut pada sore hari mulai pukul 14.00 sampai petang.

Ditinjau dari tingkat pendidikannya, pemulung sampah tersebut mayoritas berpendidikan rendah hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata tingkat pendidikan pemulung adalah Sekolah Dasar (SD). Selain berpendidikan rendah pemulung sampah lebih banyak yang tidak memiliki keterampilan atau tidak mengenyam pendidikan formal. Meskipun sebagian kecil dari mereka memiliki keterampilan akan tetapi tidak adanya modal membuat keterampilan yang mereka miliki tersebut menjadi sia-sia. Rendahnya tingkat pendidikan menjadikan rendahnya pendapatan seorang pemulung sampah karena tidak mampu mengolah kembali barang-barang bekas atau tidak mampu membuat keterampilan dari barang-barang bekas.

Pendapatan setiap hari para pemulung sampah berkisar Rp 40.000 sampai Rp 100.000 bahkan terkadang kurang dari itu. Pendapatan

tersebut tidak sebanding dengan pengeluaran untuk kebutuhan kehidupan sandang, kebutuhan pangan, biaya pendidikan anak bahkan biaya tak terduga. Hasil wawancara dengan Jamin (20).

“disini lebih sering gajian perminggu mbak, soalnya bos tengkulak kesini seminggu sekali. Itu pun kalau ada barang yang dijual baru dpt uang. Kalau barangnya nggak ada ya enggak. Kalau saya sekitar 200ribu per hari mbak. Istilahnya saya itu mandiri. Jadi hasilnya belum banyak”

Untuk mencukupi kekurangannya para pemulung sampah tersebut terpaksa bekerja keras diluar jam bekerja untuk bisa mendapatkan tambahan pendapatan.

Berdasarkan pengamatan penulis dilapangan, kondisi pemulung sampah di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Jatibarang Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen sangat memprihatinkan. Kebanyakan dari mereka hidup dalam kondisi rumah tidak layak huni, berukuran kecil seperti gubuk, berdinding gamacca serta seng bekas dan berlantai tanah.

b. Bentuk Kemandirian Pemulung Sampah

Walaupun pemberdayaan sudah dilakukan oleh Instansi dan Lembaga-lembaga sosial terhadap para pemulung, namun pemulung sampah inilah yang paling berperan dalam proses memberdayakan dirinya sendiri, artinya proses pemberdayaaan itu terjadi atas dasar kemandirian dan kemauan para pemulung sampah dalam mengubah

kehidupannya atau memanfaatkan potensi yang dimilikinya, seperti kemauan mereka untuk keluar dari garis kemiskinan sehingga mereka bisa bersaing dengan kelompok masyarakat yang lain, karena merekalah yang paling mengetahui tentang kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya, pihak luar hanya berfungsi sebagai motivator dan fasilitator.

Adapun upaya-upaya yang mereka lakukan untuk memberdayakan dirinya sendiri yaitu, sebagian dari pemulung sampah memilih untuk menyekolahkan anaknya dari hasil memulung ataupun dengan uang pinjaman dengan harapan anaknya tersebut bisa sukses dan memutus rantai kemiskinan, memotivasi dirnya sendiri agar bisa mendapat barang-barang bekas lebih banyak dengan cara, menghilangkan sikap malas dan bersandar pada nasib yang biasa mereka alami sehingga mereka bersikap acuh tak acuh dan tidak mau berusaha untuk mencari pekerjaan lain.

c. Tidak Mudah Putus Asa

Berdasarkan hasil wawancara (19 Agustus 2019) penulis dengan para pemulung sampah mayoritas para pemulung sampah yang bekerja di (TPA) Tempat Pemrosesan Akhir Jatibarang Kelurahan Kedungpane Kecamatan Mijen berpendidikan rendah, mereka hanya tamat Sekolah Dasar bahkan ada yang tidak sekolah, sehingga mereka

tidak bisa mencari pekerjaan lain yang blebih baik karena minimnya ilmu pengetahuan. Hal inilah yang menjadi tantangan yang dihadapi para pemulung sampah dalam mengubah nasibnya, berusaha hingga tidak mudah putus asa agar garis kemiskinan tidak terjadi juga kepada anak-anak mereka.

3. Kontribusi Pemulung Dalam Ekonomi Keluarga di TPA Jatibarang