• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

C. Pemungutan dan Pembayaran PBB

Yang dijadikan subyek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata sebagai pemilik dan atau orang atau badan yang menguasai bumi dan atau bangunan. (pasal 8 ayat 1). Wajib Pajak adalah orang atau badan yang memenuhi

syarat obyektif, yaitu memiliki atau menguasai dan atau mendapatkan manfaat daripadanya. Subyek pajak PBB belum tentu merupakan Wajib Pajak PBB. Subyek Pajak baru merupakan wajib pajak PBB kalau memenuhi syarat-syarat obyektif, yaitu mempunyai obyek pajak yang dikenai PBB. Sedangkan obyek pajak PBB adalah Bumi dan atau Bangunan (pasal 2).

Diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan dapat membawa perubahan nilai dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan, yaitu perubahan dari paradigma

government menuju governance. Paradigma government (paradigma klasik)

menempatkan negara (pemerintah) sebagai satu-satunya penyelenggara pemerintahan, sedangkan paradigma governance memandang penyelenggaraan

pemerintahan sebagai proses interaksi antar aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu dalam masyarakat (Kooiman, 1993: 255). Proses penyelenggaraan pemerintahan (governing) pada saat ini merupakan

proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan

penyeimbangan (balancing) setiap hubungan tersebut. Untuk mewujudkan proses

tersebut, maka pola penyelenggaraan pemerintahan tradisional yang mendasarkan diri pada persepektif hubungan “top-down” dan “rational-central-rule approach”

menjadi tidak cocok. Di sinilah kemudian dibutuhkan pendekatan governance

dalam penyelenggaraan pemerintahan (Kooiman, 1993: 255 – 258).

Secara lebih luas, masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah ditinjau dari sudut pandang manajemen diidentifikasi oleh Hariyoso (2001) ke dalam lima kategori, yaitu:

(1) Belum memadainya dukungan anggaran yang ditopang oleh adanya pengalaman serta telah dihayatinya etos dan acuan, sikap, dan etos kerja yang diwariskan oleh sejumlah masa lalu yang memerlukan pembelajaran, menyebabkan belum dapat diterapkannya manajemen pelayanan publik dalam konteks total quality management dalam era reformasi yang berciri desentralistik;

(2) Dewasa ini masih perlu diseleksi pilihan kiat, metode dan teknologi pelayanan yang mampu mengubah orientasi manajemen pelayanan konvensional yang perlu semakin diorientasikan pada etos dan budaya manajemen pelayanan publik berkualitas;

(3) Masih nampak belum seimbangnya hak dan kewajiban yang melayani (public server) kepada yang dilayani (public served) dalam bentuk pemberian kontraprestasi yang sepadan atas kotribusi/pengorbanan yang diberikan masyarakat;

(4) Masih belum diadakan internalisasi nuansa administrasi politik yang berkaibat jauh terhadap penerapan konsep local government productivity yang masih mengandung keretakan dalam penyelenggaraan manajemen pelayanan umum. Hal ini bahkan berimplikasi lebih jauh dengan kurangnya pengertian tentang pergeseran paradigma pemerintahan daerah oleh pelaksana yang terjadi dalam suasana transisional di era reformasi yang bercorak desentralistik dan globalisasi;

(5) Belum dapat diterapkannya konsep pelayanan prima sekaligus dengan adanya sindroma hubungan antara yang melayani dengan yang dilayanai dalam kedudukan sebagai pelanggan, konstituen partai, klien, dan kelompok sasaran.

Upaya untuk lebih memberdayakan pemerintah daerah dapat dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mendapatkan sumber sumber pendapatan termasuk pendapatan melalui pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional. Kewenangan pengelolaan pajak tersebut berada di tangan pemerintah sebagai pemegang otoritas alokasi distribusi dan stabilisasi sumberdaya dalam negara. Proses pengelolaan pajak termnasuk PBB merupakan sebuah kebijakan publik yang memiliki implikasi baik langsung maupun tidak langsung terhadap masyarakat.

Kebijakan pemerintah yang tepat akan berdampak pada peningkatan kemakmuran masyarakat.

Kerangka dasar kebijakan perpajakan ini ditentukan oleh pusat dengan asumsi pemerintah pusat harus menyediakan sumber-sumber keuangan untuk daerah agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan daerah masih sering harus dibantu pemerintah pusat dalam menjalankan fungsi daerah maupun melaksanakan program-program pusat yang ditugaskan pada daerah.

Sumber pendapatan daerah disebutkan dalam pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, terdiri dari pendapatan asli daerah yaitu hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Selain jenis pajak tersebut pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan yang diberikan pusat dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sementara pendapatan daerah cukup besar diperoleh dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), suatu jenis pajak yang pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah pusat, namun hasilnya diperuntukan bagi pemerintah daerah.

Pengelolaan pajak yang terpusat juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memeratakan hasil penerimaan PBB yang berasal dari obyek pajak, yang letaknya di luar wilayah yang menjadi kewenangan daerah dan untuk mempermudah pengelolaan sistem pengadministrasian pajak daerah tersebut karena selalu terkait dengan pengelolaan jenis pajak pusat lainnya. Pengelolaan dimaksud adalah pembagian perimbangan hasil penerimaan PBB dibagi antara pemerintah pusat dengan daerah yaitu imbangan pembagian 90% untuk pemerintah daerah (baik kabupaten maupun Provinsi), sedangkan 10% merupakan bagian pemerintah

pusat, dan pada akhirnya juga akan dibagikan kembali kepada daerah namun dengan mekanisme tertentu. Itulah sebabnya kewenangan sebagian besar penarikan PBB diberikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota.

Masyarakat adalah pelaku utama dan sekaligus merupakan obyek dari pembangunan, sehingga keberhasilan berbagai implementasi kebijakan untuk peningkatan pendapatan asli daerah dari sektor PBB, sangat membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat pada umumnya, dan pemerintah berkewajiban menjalankan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang (Tjokroamidjojo, 1987:206). Namun banyaknya hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak, pada umumnya, menurut R.Santoso Brotodiharjo (Munawir, 2000:7) adalah:

”Adanya perlawanan pasif dari wajib pajak yang mempersulit pemungutan pajak. Hal ini erat kaitannya dengan struktur ekonomi, perkembangan intelektual dan moral penduduk serta sistem pemungutan pajak itu sendiri. Dalam perlawanan pasif ini tidak ada usaha secara nyata dari masyarakat untuk menghambat pemungutan pajak, namun disebabkan oleh karena kondisi masyarakat yang kurang tahu mengenai seluk beluk pajak, maka mereka tidak bersedia membayar pajak. Penghambat kedua, adalah adanya perlawanan aktif yaitu berupa semua usaha dan perbuatan yang langsung ditujukan kepada fiskus dan bertujuan menghindari pajak. Nyata-nyata ada usaha wajib pajak untuk tidak membayar pajak, dan mengelakkan penyelundupan pajak maupun usaha melalaikan pajak.”

Untuk mengatasi hambatan tersebut dibutuhkan perangkat kebijakan yang tepat agar wajib pajak tidak dapat lagi menghindari pajak. Dalam proses penyusunan kebijakan tersebut perlu adanya strategi yang memperhitungkan segala kekuatan kelemahan peluang dan ancaman yang dimiliki dan dihadapi oleh

pemerintah selaku pemegang otoritas dan sebagai implementator dari kebijakan itu sendiri.

Pembayaran PBB dapat dilakukan ditempat pembayaran PBB di loket-loket yang telah ditunjuk. Loket yang ditunjuk untuk ini meliputi berbagai lembaga keuangan antara lain Bank Central Asia (BCA) dan Badan Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK)) se Kabupaten Karanganyar. Cara lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pembayaran PBB adalah melalui petugas pemungut PBB. Petugas pemungut PBB ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati yang diterbitkan setiap tahun.

Penunjukan Petugas Pemungut PBB dimaksudkan untuk mendekatkan dan memudahkan wajib pajak dalam melakukan pembayaran PBB. Petugas yang ditunjuk sebagai petugas pemungut PBB sebagian besar adalah para Kepala Dusun /Perangkat Desa.

Prosedur pemungutan PBB ditempuh melalui mekanisme yang telah diatur oleh tim intensifikasi dibuat berjenjang mulai dari kabupaten hingga ke dusun, yaitu Kepala Dusun sebagai petugas dilapangan yang membagikan SPPT dan menagih pajak kepada wajib pajak. Berdasarkan mekanisme tersebut dapat dilihat bahwa ujung tombak dari penerimaan PBB adalah para Kepala Dusun sebagai petugas pemungut yang langsung berhadapan dengan wajib pajak. Lebih jelasnya skema Tim Intensifikasi Pemungutan PBB adalah sebagai berikut.

Gambar 4 : Skema Tim Intensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan

Sumber : Diolah dari SK Bupati Karanganyar tanggal 9 September 2005 Nomor : 973/354 Tahun 2005. TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KECAMATAN KADES SELAKU KOORDINATOR PETUGAS PEMUNGUT PETUGAS ADMINISTRASI PBB DESA KADUS PETUGAS PEMUNGUT DUSUN WAJIB PAJAK PENERIMA SPPT BANK PERSEPSI TIM INTENSIFIKASI PBB TINGKAT KABUPATEN

Dokumen terkait