• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SISTEM PERPAJAKAN DALAM DUNIA USAHA MENURUT

B. Asas-asas Pemungutan Pajak

Hukum pada umumnya bertugas membuat adanya keadilan, sesuai dengan hukum itu bahwa tujuan hukum pajak sendiri adalah membuat adanya keadilan dalam hal pemungutan pajak. Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsip mengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya sehari-hari.32

Hal inilah yang menjadi sendi pokok yang harus diperhatikan oleh negara selaku pemungut pajak. Maka dari hal itu, pertimbangan dan perbuatan yang adil adalah syarat mutlak bagi pembuat undang-undang khususnya undang-undang perpajakan dan juga selaku aparatur pemerintah yang berkewajiban melaksanakannya.33

Konsep keadilan itu bersifat relatif. Hal yang dulunya dianggap adil, di zaman modern sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai keadilan. Sebagai contohnya bahwa zaman dahulu suatu negara yang kalah perang harus membayar setiap tahun sejumlah uang atau memberikan hasil bumi kepada negara yang menaklukkannya.34

Kebijakan yang dianggap adil oleh suatu negara, belum tentu adil di mata negara lainnya, misalkan di Jepang, pegawai negeri dibebaskan dari pajak pendapatan karena telah secara langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah. Di Indonesia sendiri juga berlaku sejak 1 Januari 1964 dengan pengertian bahwa pajak pendapatannya dipikul oleh pemerintah. Namun di negara-negara lain tidak dibahas mengenai pengecualian pajak pendapatan bagi

32

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.26.

33 Ibid. 34

pegawai negeri. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata.35

Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations” pada abad ke-18 mengajarkan tentang asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama The Four Cannons atau The Four Maxims dengan uraian sebagai berikut:36

1. Equality

Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, dibawah perlindungan pemerintah (asas pembangunan/asas kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminalisasi di antara sesama wajib pajak, dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula.

2. Certainty

Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya.

3. Convenience of payment 35 Ibid. 36 Ibid.

“Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan waktu diterimanya penghasilan yang bersangkutan.

4. Efficiency

“Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it brings into to public treasury of the state”. Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.

Hostra dalam mengemukakan pendapatnya mengenai “The Four Maxims” dari Adam Smith ini mengatakan bahwa dalam “formulasi klasik dari teori tentang pajak” itu terlihat adanya kepincangan dalam tubuh asas-asas tersebut, di samping kenyataan bahwa cara perumusan Maxim pertama dirasakannya kurang tandas dan tuntas. Misalnya: oleh Adam Smith diwariskan kepada generasi penerusnya suatu persoalan penting, yaitu apa sajakah yang dapat dipakai sebagai ukuran untuk mengukur “equality” tersebut.37

Ungkapan Adam Smith tersebut merupakan sesuatu yang merumuskan suatu asas pemungutan pajak yang dalam prinsip diikuti oleh para pengikutnya sepanjang masa. Jauh di kemudian hari ditemukan formulasi yang lebih konkret

37

yaitu bahwa dalam pajak atas pendapatan bukanlah pendapatan itu sendiri yang dipakai sebagai ukuran pengenaan pajak pendapatan, melainkan yang terkenal dengan nama “gaya pikul”.38

Perbedaan dengan maxim-maxim berikutnya dijelaskan bahwa persyaratan keadilan dalam maxim kedua sesungguhnya berlaku penuh untuk bidang hukum seluruhnya, jadi tidak merupakan monopoli hukum pajak. Namun demikian, daripadanya tercermin betapa pentingnya adanya pembatasan-pembatasan yang tepat, pasti, dan tegas sehingga tidak memungkinkan ditemukannya peluang oleh siapapun untuk mengelakkan diri dari pajak dalam bentuk penyelundupan dan sebagainya. Selanjutnya maxim ke-3 dan ke-4 dianggapnya hanya bersifat memberi petunjuk dalam pelaksanaannya.39

Zaman modern sekarang ini pun Adriani sangat menyetujui syarat umum dan merata itu walaupun dalam arti yang agak berlainan daripada tafsiran yang dianut dalam abad ke-18. Menurut guru besar itu, yang dimaksudkan dengan umum dan merata ialah bahwa pemungutan pajak itu harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh tekanan yang sama atas seluruh rakyat. Adapun bagaimana jelasnya, barulah dapat diuraikan dalam membicarakan tentang hal tarif.40

1. Teori-teori pembenaran pemungutan pajak

Beberapa teori yang memberikan dasar pembenaran (justification) untuk menjawab berbagai perdebatan yang ada di kalangan para sarjana dan pemikir

38 Ibid. 39 Ibid., hlm.29. 40 Ibid.

masalah pemungut pajak, mengenai apakah negara dibenarkan memungut pajak dari rakyat.41

a. Teori asuransi

Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara disamakan dengan perusahaan asuransi, warga negara membayar pajak sebagai premi untuk mendapat perlindungan.

Adapun beberapa hal yang membedakan antara pemungutan pajak dengan premi asuransi adalah:42

1) Pemungutan pajak untuk kepentingan seluruh masyarakat, sedangkan asuransi untuk kepentingan individual.

2) Besarnya beban pajak disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan wajib pajak, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

3) Dalam pajak tidak ada klaim langsung atas terjadinya keadaan yang memberatkan individu, sedangkan dalam asuransi besarnya premi disesuaikan dengan besar kecilnya pertanggungan.

Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan, yakni jika seseorang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dengan

41

Erly Suandy, Op.Cit., hlm.28.

42

asuransi. Di samping itu, tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindugannya terhadap pembayar pajak.

b. Teori kepentingan

Teori ini menyatakan bahwa pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu yang menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya.

Permasalahan dalam teori ini adalah bagaimana dan kriteria apa yang diambil sebagai ukuran tingkat kepentingan seseorang dan/atau badan terhadap negara. Misalnya, seorang yang miskin, yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar, harus membayar pajak yang lebih besar, sementara mereka yang hidup cukup mapan, yang tidak membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial, justru memberikan pajak yang sedikit. Namun demikian teori ini cukup penting untuk diperhatikan, karena semua orang, kaya dan miskin, mempunyai kepentingan terhadap negara yang jelas-jelas membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit.43

c. Teori daya pikul/teori gaya pikul

Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari wajib pajak, jadi tekanan semua pajak-pajak harus sesuai dengan daya pikul wajib pajak-pajak dengan memperhatikan

43

pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga pengeluaran belanja wajib pajak tersebut.

Teori ini menekankan pembebanan pajak itu harus sama beratnya untuk setiap orang dengan daya pikulnya masing-masing. Dalam teori ini muncul masalah, yaitu: bagaimana mungkin si miskin yang membutuhkan perlindungan dan jaminan sosial yang besar dapat memberikan pajak yang besar, maka dalam teori ini, keadilan dan keabsahan pemungutan pajak didasarkan pada kemampuan dan kekuatan masing-masing anggota masyarakatnya, bukan berdasarkan besar kecilnya kepentingannya.44

Teori ini masih dipertahankan hingga kini oleh kebanyakan sarjana terkemuka dalam lapangan hukum pajak. Asas ini sangat terkenal, tetapi mengenai seluk-beluknya sering kali timbul salah paham, bahkan di antara para sarjana hukum dan para cerdik-pandai lainnya.45

De Langen mengemukakan bahwa asas gaya pikul hingga kini masih tetap merupakan asas yang terpenting dalam hukum pajak, walaupun tidak dapat disangkal, bahwa ada asas-asas lain, yang semenjak tahun 1919 semakin menduduki tempat yang utama pula, seperti asas perolehan utama dan asas kenikmatan.46

44

Ibid., hlm.9.

45

R.Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm.32.

46 Ibid.

Pengertian asas kenikmatan ialah asas bahwa pajak dapat dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh orang masing-masing seperti tercantum dalam teori kepentingan. Dengan kata lain, asas ini adalah asas umum yang

terdapat dalam jual-beli yaitu membayar sesuatu seimbang dengan apa yang diperolehnya.47

De Langen menyatakan bahwa asas gaya pikul ini menjelmakan cita-cita untuk mendapatkan tekanan yang sama atas individu, seimbang dengan luasnya pemuasan kebutuhan yang dapat dicapai oleh seseorang. Dalam pemuasan kebutuhan itu yang dibutuhkan untuk kehidupan yang mutlak harus diabaikan, dan sisanya inilah yang disamakannya dengan gaya pikul seseorang.48 Asas gaya pikul ini hingga kini tetap merupakan suatu pengertian yang hidup dan yang seadil-adilnya, tetapi uraian secara ilmiah mengenai isinya sering terbentur kepada kesulitan-kesulitan terhadap uraian mengenai luasnya, terlebih mengenai pelaksanaan untuk menetapkan imbalan antara luasnya dengan jumlah-jumlah pajak yang harus dipungutnya.49

d. Teori bakti

Teori ini didasari paham organisasi negara (organische staatsleer) yang mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan dibidang pajak. Dengan sifat seperti itu, maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat 47 Ibid., hlm.33. 48 Ibid. 49 Ibid.

berkewajiban membayar pajak. Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak. Teori ini merupakan hubungan antara “bapak” dengan “anak” tercermin dengan baik, yaitu: sudah menjadi tugas “bapak” untuk memperhatikan segala keperluan anaknya, dan untuk itu “anak” menunjukkan bakti terhadap bapaknya dengan turut merawat dan memelihara pemberian tersebut berupa pembayaran pajak.50

e. Teori daya beli

Teori ini adalah teori modern, yang tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut teori ini, fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fungsi kedua dari pemungutan pajak, yaitu fungsi mengatur.

50

Adriani mengemukakan bahwa teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan pula dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak terluput dari adanya variasi dalam coraknya.51 Perlu dicatat bahwa dalam zaman modern ini, banyaklah terdapat aliran yang tidak menyetujui adanya teori-teori untuk memberi dasar keadilan kepada hak negara untuk memungut pajak. Mereka menyandarkannya atas dasar pertimbangan praktis, seperti kita lihat pada teori asas gaya beli dan yang seharusnya tidak menyimipang dari asas keadilan pula. Hanya bilamana sangat diperlukan, barulah mereka itu menunjuk kepada sejarah atau mencarikan dasar keadilan untuk pemungutan suatu pajak tertentu.52

Dokumen terkait