• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TEOLOGI FEMINIS DAN PENAFSIRAN FEMINIS

D. Penafsiran Alkitab Menurut Teologi Feminis

Meski teologi pembebasan membuka bagi „pengalaman perempuan’, namun belum menyerap kritik yang diajukan kaum feminis. Akibatnya adanya kelas prioritas yang diperjuangkan kaum feminis. Padahal, Kitab Suci memuat teks-teks yang digunakan sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi perbaikan kondisi kaum perempuan. Permasalahan dalam tafsir Kitab Suci lebih dalam daripada sekedar menerjemahkan kata-kata kuno dalam bahasa yang mudah dipahami. Upaya ini juga banyak menuai kontroversi. Karena, untuk merevisinya perlu dikaji dari berbagai pandangan (The Pontifical Biblical Commision, 1993:69). Bagi mereka yang mendukung, kegiatan ini sebagai wadah emansipasi. Namun, mereka mengalami hambatan karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa Kitab Suci. Meski demikian, tetap saja pembicaraan mengenai Kitab Suci menurut kaum feminis tidak sirna.

Baru pada tahun 1943, tahun yang sama dimana Paus Pius XII meminta agar para cendekia Katolik mendayagunakan berbagai metode kritik Kitab Suci modern dalam telaah mereka atas Kitab Suci (“Divino Afflante

Spiritu”), program teologi Katolik Roma ini untuk pertama kalinya

terbuka bagi perempuan (Clifford, 2002:86).

Bible” atau Kitab Suci adalah sebuah kata yang berasal usul dari bahasa

satu buku saja, melainkan kumpulan buku. Ketika kata biblia

diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, ia berubah menjadi bentuk tunggal dan tetap tinggal sebagai kata benda tunggal dalam padanan bahasa Inggrisnya. Dalam dunia kuno pada masa Kitab Suci disusun, buku-buku itu berbentuk gulungan. Karena dikumpulkan dalam rentang waktu berabad-abad, maka Kitab Suci itu merupakan sebuah perpustakaan yang terus bertambah koleksinya berupa gulungan-gulungan kitab yang ditulis dalam banyak bahasa berbeda dan dalam rupa-rupa ragam literer, yang kesemuanya mewakili dan menyajikan beragam kebudayaan serta sisi tilik teologis (Clifford, 2002:85-87).

Kitab-kitab yang kemudian tercakup dalam Kitab Suci sudah mulai diterjemahkan dan disunting bahkan sebelum keputusan akhir mengenai komposisinya diambil (Clifford, 2002:87). Karena tidak ada satupun kitab atau gulungan yang asli yang masih tersisa, maka terjemahan dibuat berdasarkan salinannya. Akibatnya, salinan teks-teks menghasilkan beberapa variasi yang menyelinap ke dalam manuskrip-manuskrip awal. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam berbagai terjemahan. Setiap ihwal penerjemahan menyiratkan upaya menciptakan istilah, karena tidak ada satu bahasapun yang dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa yang lain. Persoalan terjemahan ini semakin pelik karena Kitab Suci adalah teks kuno yang ditulis selama beberapa abad yang berbeda, di tempat yang berbeda dan oleh pengarang yang berbeda pula. Oleh karena itu, para cendekia yang melakukan terjemahan atas teks Kitab Suci harus berhati-hati memeriksa pemakaian istilah untuk memberikan makna dalam perikop tertentu dan diselaraskan dengan zaman penulisan Kitab Suci dan zamannya.

Kitab Suci sebagai sebuah cerita tentang relasi Allah dengan manusia terbuka kepada lebih dari satu penjelasan. Setiap rekonstruksi penjelasan menuntut penelitian historis secara saksama tentang kronologi peristiwa-peristiwa

alkitabiah yang muncul di dalam cerita-cerita Kitab Suci dan kurun waktu penyuntingan kisah-kisah itu beserta penulisan akhirnya. Sebuah rekonstruksi penafsiran imajinatif sangat diperlukan karena jemaat-jemaat alkitabiah itu tidak menyimpan sebuah rekaman tentang proses yang menghasilkan kitab-kitab yang terdapat dalam Kitab Suci.

Dalam Perjanjian Lama, kisah-kisah tentang berbagai momen pewahyuan sangat sering dihubungkan dengan sosok-sosok pemimpin, seperti Abraham, Musa, Daud dan Salomo, serta para nabi seperti Amos, Hosea dan Yeremia yang semuanya adalah laki-laki. Dalam Perjanjian Baru, cerita-cerita Injil terpusat pada Yesus yang walaupun dimaklumkan oleh orang-orang Kristen sebagai Yang Ilahi dan karenanya bebas dari keterbatasan-keterbatasan insani, namun meraga sebagai seorang laki-laki Nazaret dari abad pertama. Cerita-cerita Injil juga menampilkan lebih banyak kaum laki-laki khususnya para murid laki-laki Yesus, daripada kaum perempuan. Sejarah tentang pembentukan kanon Kitab Suci memperlihatkan bahwa tidak semua teks awal yang ada dalam komunitas-komunitas Yahudi dan Kristen diterima sebagai otoritatif. Kadangkala tidak mudah menentukan mengapa kitab-kitab tertentu dinilai sebagai kanonik dan yang lain tidak. Kriteria yang digunakan pun tidak jelas sehingga menimbulkan kontroversi berkaitan dengan kanon Kitab Suci.

Ada beberapa model penafsiran alkitab menurut Elizabeth Fiorenza dalam bukunya “In Memory of Her”, yaitu:

a. Model pendekatan doktriner

Model ini memahami Kitab Suci sebagai pernyataan ilahi dan kewibawaan kanonik dalam pengertian dogmatis yang ahistoris. Dalam bentuk-bentuknya yang konsisten, pendekatan ini menekankan pengalaman verbal dan ineransi (tidak mungkin salah) historis-hurufiah Kitab Suci. Teks Kitab Suci bukan hanya sebuah ungkapan pernyataan yang historis melainkan pernyataan itu sendiri. Artinya adalah tidak hanya mengkomunikasikan firman Allah, tetapi Kitab Suci adalah Firman Allah itu sendiri.

b. Model eksegesis historis positif.

Model ini dikembangkan untuk mengkonfrontasikan klaim-klaim dogmatis Kitab Suci dan kewibawaan doktriner Gereja. Serangannya terhadap kewibawaan pernyataan Kitab Suci dikaitkan dengan sebuah pemahaman mengenai eksegesis dan historiografi yang positif, faktual, objektif dan bebas nilai. Penafsiran ini berusaha untuk dapat membaca teks-teks dan suatu penyajian “fakta-fakta” historis secara ilmiah. Pendekatan ini masih menganut dogma tentang penafsiran yang tidak memihak. Pendekatan ini sering kali menghindarkan diri dari menyebutkan akibat-akibat dan signifikansi penelitiannya karena tidak mau dituduh memaksakan teks-teks dan “data” Alkitab ke dalam cetakan ideologis yang telah ditetapkan sebelumnya.

c. Penafsiran hermeneutik-dialogis

Model ini dengan sungguh-sungguh memanfaatkan metode-metode historis yang dikembangkan oleh model kedua, sementara pada saat yang sama merefleksikan interaksi antara teks dan komunitas atau teks dan penafsirnya.

Telaah-telaah metodologis tentang kritik bentuk dan redaksi telah membuktikan bahwa tulisan-tulisan Kitab Suci merupakan tanggapan- tanggapan teologis atas situasi-situasi praktis-pastoral sementara diskusi- diskusi hermeneutik telah menguraikan keterlibatan sang ahli dalam penafsiran teks-teksnya. Namun, studi kritik bentuk dan kritik redaksi telah dikritik karena mengkonseptualisasikan situasi komunitas-komunitas Kristen perdana terlalu banyak dalam bentuk pengertian perjuangan keyakinan tradisional. Maka, studi-studi tentang dunia sosial Kitab Suci menekankan bahwa tidak cukup merekonstruksi ruang lingkup gerejawi. Komunitas dan kehidupan Kristen selalu saling terjalin dengan konteks-konteks budaya, politik dan masyarakat. Model ini sangat menekankan penafsiran dialogis, karenanya model hermeneutik ini dapat digabungkan dengan usaha teologis neoortodoks.

d. Model teologi pembebasan

Berbagai bentuk teologi pembebasan telah menantang apa yang disebut teologi akademik yang objektif. Pemahaman dasar dari semua teologi pembebasan, termasuk teologi feminis adalah pengakuan bahwa semua teologi dari definisinya selalu terlibat demi atau menentang kaum tertindas. Objektivitas intelektual tidak mungkin terjadi dalam sebuah dunia yang penuh dengan pemerasan dan penindasan. Oleh karena itu, teologi tidak dapat berbicara tentang keberadaan manusia secara umum atau tentang teologi biblika secara khusus tanpa secara kritis mengidentifikasi mereka yang kemanusiaannya dibicarakan oleh simbol-simbol dan teks-teks Kitab Suci.

Telaah komitmen keilmuan teologis yang historis akademik diperlukan karena keilmuan teologis biblika seringkali tanpa sadar melayani kepentingan- kepentingan politik akademi yang tidak hanya membuat ukuran-ukuran kaum lelaki pokok dari keilmuan tetapi juga secara teoritis ikut melegitimasikan struktur-struktur penindasan dalam masyarakat.

Teks Kitab Suci memang androsentrik dan bahwa kaum lelaki telah meninggalkan cap mereka dalam pernyataan biblika (Suleeman terj, 1995:33). Kitab Suci tidak hanya ditafsirkan dari perspektif laki-laki seperti yang diperdebatkan oleh sebagian feminis. Tetapi juga buatan manusia karena ia dibuat oleh lelaki dan merupakan ungkapan dari sebuah kebudayan patriarkal. Pernyataan ilahi diungkapkan dalam bahasa manusia yang secara historis terbatas dan terkondisikan secara budaya (Suleeman terj, 1995:34). Ada beberapa metode hermeneutik yang ditawarkan Elisabeth S. Fiorenza untuk menafsirkan Kitab Suci yaitu hermeneutik kecurigaan, hermeneutik ingatan, hermeneutik evaluasi dan proklamasi, dan hermeneutik imajinasi (Fiorenza, 1992:57-76).

1. Hermeneutik kecurigaan

Metode ini menumbuhkan sikap kecurigaan dan tidak secara mutlak menerima otoritas Kitab Suci, dengan kata lain kaum perempuan diharapkan dapat membaca Kitab Suci secara kritis. Karena penulisan Kitab Suci ditulis oleh kaum laki-laki dan diwarnai oleh budaya laki-laki yang sangat mendominasi. Dalam metode penafsiran ini ia tidak memakai otoritas Alkitab sebagai otoritas tertinggi, ia menerima asumsi dasar gerakan feminisme bahwa teks Alkitab dan interpretasinya bercorak androsentris.

2. Hermeneutik Ingatan

Metode kedua ini mendorong dan memberi semangat kepada kaum feminis dengan mengingat kembali penderitaan perempuan dalam Alkitab dan mencari artinya untuk kepentingan kaum perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci adalah bahasa androsentris sebagai bahasa umum, sehingga perempuan tidak masuk di dalamnya. Untuk menyadari bahwa perempuan juga berada dalam perikop Kitab Suci maka perlu dibaca perikop perempuan sebagai indikator dan petunjuk bahwa perempuan ada di pusat kehidupan Kitab Suci.

3. Hermeneutik Evaluasi dan Proklamasi

Metode ini ingin memberikan evaluasi kritis terhadap otoritas Kitab Suci. Kaum perempuan memiliki otoritas untuk memilih dan menolak suatu teks atau perikop Kitab Suci tertentu yang dirasa tidak sesuai dengan jiwa feminis. Teks atau perikop Kitab Suci dievaluasi terlebih dulu dan diuji menurut isi pembebasan dalam konteks feminis dan fungsinya dalam konteks historis masa kini. Penafsiran suatu perikop Kitab Suci harus lahir dari suatu penelitian yang sistematis akan pengalaman penindasan dan pembebasan perempuan. Maka, teks harus dibebaskan dari kurungan tradisi atau budaya tertentu terlebih budaya patriarki.

Hermeneutik proklamasi bermaksud untuk memproklamasikan teks Alkitab yang membebaskan kaum perempuan dan menyuarakan kebebasan kaum perempuan. Dalam tafsir feminis dikembangkan pemberitaan bahwa teks dalam Kitab Suci yang menunjukkan penindasan dan diskriminasi manusia bukanlah Sabda Allah. Maka kaum perempuan harus senantiasa menyadari bahwa dirinya

memiliki otoritas memilih perikop Kitab Suci yang tidak menggambarkan penindasan. Kaum perempuan perlu bersikap kritis dalam membaca Kitab Suci sehingga dapat membedakan mana yang menjadi kabar baik dan mana kabar buruk bagi manusia tertindas.

4. Hermeneutik Imajinasi

Akhirnya, hermeneutik pengaktualisasian yang kreatif merupakan metode proses di mana teolog Feminis membaca teks, membubuhi, mengurangi, menyesuaikan teks Alkitab dengan visi kebebasan kaum wanita dalam melaksanakan tata cara penyelenggaraan ibadah.

Dengan adanya sumbangan dari teolog feminis, akan memberi pengaruh yang luas dari patriarkal dalam Kitab Suci. Pengaruh ini dapat menentukan dan membatasi keyakinan dan pola sikap masyarakat yang bersangkutan. Maka akan terbentuk rupa-rupa sekat di dalam masyarakat yang mengepadankan bidang- bidang penting dari kehidupan bersama, termasuk berbagai peran dan ekspektasi gender (Clifford, 2002:120).

Dalam daftar silsilah yang dituliskan dalam Kitab Kejadian, pola androsentrisme terus berlanjut. Berkat Allah yang istimewa dipusatkan pada para leluhur laki-laki yang dimulai untuk Abraham dan difokuskan untuk kelahiran anak-anaknya yang laki-laki. Sara sebagai istri Abraham diceritakan sudah tua dan mandul. Sara meminta Hagar untuk menjadi istri kedua bagi Abraham. Sara tetap mempertahankan statusnya sebagai istri Abraham di dalam masyarakat karena mandul dan anak laki-laki mentukan kedudukan dan martabat seorang perempuan. Di dalam Kitab Suci masih ditemukan cerita seperti Sara lainnya. Seperti cerita

Rahel dalam Kejadian 30. Rahel diceritakan sebagai istri Yakub yang mandul, tak ubahnya dengan cerita Sara. Setelah Rahel memperoleh anak laki-laki, ia berkata “Allah telah menghapuskan aibku” (Kej 30:23). Seorang ibu yang tidak memiliki anak laki-laki dinilai di dalam masyarakat mempunyai kelemahan moral. Tanpa anak laki-laki, seorang perempuan kehilangan martabatnya dan dengan mudah diabaikan oleh suaminya.

Status kelas dua kaum perempuan tampil sangat mencolok dalam kesepuluh perintah Allah yang melarang seorang laki-laki Israel mengingini harta milik sesamanya: istri, budak, ternak atau barang milik lainnya (Kel 20:17). Wawasan tentang penolong yang sepadan telah sirna di tengah sebuah masyarakat dimana seorang perempuan terdaftar dalam kepunyaan suaminya. Dalam Kitab Ulangan 24:1, yang mempunyai dasar pertimbangan dalam perceraian adalah seorang suami sedangkan seorang istri tidak bisa menceraikan suaminya. Sang suami sebagai pemilik atas istrinya, bisa membuang barang kepunyaannya, sedangkan seorang istri sebagai barang kepunyaan tidak bisa membuang pemiliknya.

Tidak semua dalam Kitab Suci terutama Perjanjian Lama menggambarkan perempuan yang tertindas oleh budaya patriarkal. Ada juga tokoh perempuan yang berperan dalam kerjasama yang direncanakan Allah seperti Rut seorang janda tanpa anak yang selalu setia pada mertuanya di tengah masyarakat yang patriarkal. Diceritakan bahwa ada relasi yang baik antara seorang ibu mertua Yahudi dengan menantu perempuan dari bangsa Moab dan bukan menjadi masalah jika Rut tidak mempunyai anak laki-laki. Kitab Rut

memperlihatkan bahwa ada modifikasi dalam tradisi alkitabiah yang dicirikan oleh patriarkal dan androsentrisme. Selain Rut, masih ada Debora, seorang hakim dan nabiah yang menjamin kelangsungan hidup bangsa Israel (Hak 4-5).

E. HERMENEUTIKA KECURIGAAN SEBAGAI METODE KRITIS YANG BERORIENTASI FEMINIS

Semua interpretasi mencakup pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang mulai mengerti. Untuk membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami (Sumaryono, 1993 :30-31). Setiap interpretasi adalah usaha untuk

“membongkar” makna-makna yang masih terselubung (Sumaryono, 1993 : 97).

Hermeneutika kecurigaan berusaha untuk menyelidiki kebebasan atau penghargaan dan melihatnya dalam teks dengan mengidentifikasi peran andosentrisme-patriarkal dari penafsirannya (Fiorenza, 1992:57).

Hermeneutika berhubungan dengan kata-kata yang tertulis sebagai ganti kata-kata yang diucapkan. Sebuah kata adalah simbol, sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Tugas hermeneutik adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja di dalam sebuah teks dan mencari daya yang yang dimiliki teks itu untuk memproyeksikan diri dan memungkinkan teks itu muncul ke permukaan (Sumaryono, 1993:100). Hermeneutik bukanlah merupakan hal baru. Para hermeneut mengundang pembaca untuk melihat secara lebih dekat bahasa yang digunakan, sebagai alat untuk mengerti ataupun salah paham. Bahasa akan menjadi pusat bahasan hermeneutik sejauh hal itu

menyatakan keseluruhan jaringan sejarah, kebudayaan, kehidupan dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk ke arah interpretasi. Hermeneutik sebagai metode pembahasan filsafat akan selalu relevan, sebab kebenaran yang diperoleh tergantung pada orang yang melakukan interpretasi. Hermeneutik bersifat luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan sifat open-mindedness-nya (Sumaryono, 1993:136).

Hermeneutika kecurigaan memaknai teks-teks androsentris sebagai ideologi kaum laki-laki yang mengungkapkan serta mempertahankan kondisi- kondisi historis patriarkal. Teks-teks dan dokumen-dokumen androsentris tidak mencerminkan realitas historis, laporan kenyataan-kenyataan historis atau menceritakan kepada pembaca bagaimana keadaan yang sesungguhnya (Suleeman terj, 1995:93). Teks-teks androsentris seperti tafsiran, argumentasi, proyeksi dan seleksi teologis yang berakar dalam sebuah kebudayaan patriarkal harus dievaluasi secara historis dalam pengertian waktu dan kebudayaan mereka sendiri dan dipertimbangkan secara teologis dalam pengertian skala nilai feminis. Petunjuk-petunjuk ini dapat menolong teolog feminis untuk membangun sebuah model penafsiran yang historis dan berlaku adil terhadap kecenderungan- kecenderungan yang egaliter atau yang mempatrialisasikan perkembangan- perkembangan dalam Gereja mula-mula.

Dari uraian diatas, penafsiran Alkitab harus melibatkan hermeneutika kecurigaan. Dengan memperhatikan tiga pertimbangan yaitu bahwa teks-teks androsentris tidak boleh dilihat secara terpisah melainkan selalu dalam konteks- konteks tekstualnya langsung. Kedua, teks-teks androsentris juga harus selalu

dianalisis dalam konteks sosial – politiknya yang spesifik guna menetapkan pesan dari teks-teks tersebut. Ketiga, teks-teks normatif kadangkala menegaskan bahwa sesuatu adalah suatu kenyataan historis dan realitas yang ada meskipun yang sesungguhnya adalah justru kebalikannya. Perintah-perintah androsentris menjadi semakin terinci dan banyak dengan bertumbuhnya gerakan perempuan di dalam masyarakat. Adalah suatu kekeliruan metodologis apabila sebagai pembaca menerima begitu saja teks-teks patriarkal androsentris.

RANGKUMAN

Begitu besarnya perjuangan kaum feminis untuk memperjuangkan martabat perempuan di dunia ini telah mencapai puncaknya dalam Gereja. Dengan menerima teologi feminis sebagai bagian dalam Gereja, maka pembaca lebih memiliki wawasan terhadap tokoh perempuan yang ada dalam Kitab Suci dengan membaca penafsiran feminis. Hermeneutika kecurigaan yang dibawa oleh teolog feminis memberikan kehidupan baru bagi Gereja yang berorientasi pada persekutuan kaum beriman, sakramen, kenabian, lembaga dan kehadiran Allah. Sehingga dengan adanya teologi feminis, Gereja dibantu mewujudkan rupa-rupa Gereja tersebut di tengah dunia.