• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: KEKUASAAN POLITIK DALAM AL QUR‟AN

B. Penafsiran Ayat-Ayat Kekuasaan Politik Menurut Pemikiran Hamka



























































Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah

akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.76

B. Penafsiran Ayat-ayat Kekuasaan Politik Menurut Pemikiran Hamka 1. Kedudukan Manusia di Muka Bumi

Dalam al Qur‟an surah az-Zariyat/51:56 menjelaskan bahwa penciptaan manusia dan jin hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Manusia mempunyai kedudukan lebih mulia dibandingkan dengan jin, manusia diangkat menjadi Khalifah (wakil) Allah di permukaan bumi. Yang memiliki tugas sebagai wakil Allah tidak hanya di tanggung oleh para Nabi dan Rasul, karena para Nabi dan Rasul memang

75

QS. An Nuur/24:55

76

51

diutus untuk menunutun umat manusia, bukan juga di tanggung oleh para Raja atau presiden, para gubernur atau pejabat tinggi yang terpilih untuk mengelola persoalan negaranya. Tapi ini merupakan misi yang diamanahkan untuk semua umat manusia. Setiap manusia memiliki tanggung jawab bagi orang-orang yang berada dalam tanggungannya (rakyatnya)..77 Sebagaimana hadits Nabi yang dikutip oleh Hamka “…Semua kamu adalah pemimpin dan semua kamu bertanggung jawab atas

kepemimpinannya…”.78

Dalam al Qur‟an surah al Baqarah ayat 30, menjelaskan bahwa Allah menyatakan maksud-Nya kepada malaikat-Nya bahwa Dia hendak melantik khalifah-Nya di atas bumi. Karena itu, diciptakan-khalifah-Nya Adam sebagai manusia pertama yang akan dijadikan khalifah. Khalifah adalah orang yang diserahi tanggung jawab untuk melanjutkan kehendak orang yang mengkhalifahkannya.79



















Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."80. Dengan dua ayat berturut-turut; yaitu QS.2:28 dan QS.2: 29 perhatian kita ini didasarkan oleh Tuhan. Sebagaimana Hamka Menjelaskan.

77

Muhammad A. Al-Buraey, Islam: Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, trjm. Achmad Nashir Budiman, h. 115

78

Abu „Abdullah Muhammad ibn Isma‟il al-Bukhari, Sahih Bukhari, (Cet.III; Beurit: Dar Ibn Katsir, 1407 H/ 1987 M), Juz. II, h. 484

79

Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Depok: Gema Insani. 2015), h. 17

80

Pertama, bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan, Kemudian Dia matikan, setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal. Kedua, Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar perintah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, fikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kamu diciptakan.81

Kemudian Allah Swt., berfirman kepada para malaikat-Nya. “Dan (Ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang Khalifah.” (Pangkal ayat 30).

Di dalam ayat itu, Allah berfirman kepada malaikat bahwa Dia akan menciptakan Khalifah di muka bumi. “Mereka berkata; Apakah engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata; Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!” (ujung ayat 30).

Artinya setelah Allah menjelaskan maksud-Nya tersebut, kemudian Malaikat-pun memohon penjelasan, Khalifah mana lagi yang Allah kehendaki untuk dijadikan? Pertanyaan tersebut di jawab oleh Tuhan: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Setelah itu Allah pun melanjutkan apa yang telah Dia kehendaki, yaitu menciptakan khalifah tersebut; dia-lah Nabi Adam.

Untuk mendapatkan arti yang tepat terhadap kalimat Khalifah tersebut, perlu di kaji apa tugas Khalifah tersebut. Hamka menjelaskan:

81

53

1. Seketika Rasulullah Saw., telah wafat, sahabat-sahabat Rasulullah Saw., sependapat mesti ada yang menggantikan beliau mengatur masyarakat, mengepalai mereka, yang akan menjalankan hukum, membela yang lemah, menentukan perang atau damai dan memimpin mereka semuanya. Sebab dengan wafatnya Rasulullah, kosonglah jabatan pemimpin itu. Maka sepakatlah mereka mengangkat Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. menjadi pemimpin mereka. Dan mereka gelar dia “Khalifah Rasulullah”. Meskipun yang dia gantikan memerintah itu utusan Allah, namun dia tidaklah langsung menjadi Nabi atau Rasul pula. Sebab risalat itu tidaklah dapat digantikan. Jadi, di sini dapat kita artikan “ Khalifah” itu pengganti Rasulullah dalam urusan pemerintah.

2. Kepada Nabi Daud, Allah pernah berfirman:













“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi”82

Ini bisa diartikan sebagai khalifah Allah sendiri; pengganti atau alat dari Allah buat melaksanakan Hukum Tuhan dalam pemerintahannya. Dan boleh juga diartikan bahwa dia telah ditakdirkan Tuhan menjadi pengganti dari raja-raja dan pemimpin-pemimpin dan Nabi-nabi Bani Israil yang terdahulu dari padanya.

3. Tetapi ada pula ayat-ayat bahwa anak cucu atau keturunan yang dibelakang adalah sebagai Khalifah dari nenek-moyang yang dahulu (sebagai tersebut dalam Surat Yunus/10:14), demikian juga dalam surat-surat yang lain.

4. Tetapi dalam surat an-Naml/27:62. Ditegaskan bahwa seluruh manusia ini adalah Khalifah di muka bumi ini.83

Sementara khalifah (pengganti atau penyambung), Hamka mengartikannya dengan dua pengertian. Pertama, manusia telah diangkat oleh Allah Swt., menjadi khalifah di muka bumi. Kedua, Umat Muhammad Saw., menjadi khalifah dari umat-umat terdahulu. Jadi bukan sebagai khalifah Allah, melainkan menggantikan tugas dari nenek moyang atau menyambung atas orang-orang yang telah lalu. Khalifah memiliki tugas yaitu meramaikan bumi mencurahkan akal budi untuk menciptakan, bekerja, mencari, menambah keilmuan dan membangun, berkebudayaan dan memajukan,

82

QS. Shad/38:26

83

mengatur urusaan Negeri, Bangsa bahkan Benua. Di dalam perjuangan hidup di dunia, orang yang pintar hendaknya memimpin mereka yang tidak pintar, orang yang kuat menjadi pembela bagi orang yang lemah. Tapi yang mulia di sisi Allah adalah yang lebih tinggi takwanya kepada Allah. 84

2. Sumber Kekuasaan Politik

Perlu di sadari bahwa kekuasaan yang dipegang oleh manusia di muka bumi ini pada hakikatnya tidaklah mutlak dia yang memilikinya dan bukan dia yang menciptakan kekuasaan itu. Tetapi sebenarnya Allah yang memberikan kekuasan itu kepada manusia yang Allah kehendaki, itu menunjukkan bahwa dari Allah lah kekuasaan itu berasal. Dimana kekuasaan dari segala bentuknya adalah milik Allah, yang telah menjadikan manusia sebagai pemimpin atau khalifah untuk menjalankan kekuasaan tersebut yang diikuti dengan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dalam nash.85 Penafsiran ini muncul ketika Hamka menafsirkan ayat yang pertama dari surat al Mulk yang berbunyi “ Maha Suci Allah, yang di tangan-Nyalah segala kerajaan. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam ayat lain Allah Swt., QS. Ali Imran/3:26.



















































Artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang

84

Ahmad Hakim dan M.Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, h. 57

85

55

Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Hamka menjelaskan Asbabun Nudzul tentang ayat ini bahwa ketika Nabi Muhammad yang berasal dari kaum Quraisy di angkat menjadi Nabi menimbulkan iri hati di kalangan Yahudi (Bani Israil). Karena selama ini Nabi dan Rasul pembawa Risalat di utus dari kalangan mereka. Adapun bangsa Quraisy (Arab di Hejaz) adalah bangsa yang biasa dan bukan dari kalangan bangsawan. Sementara di bagian Utara ada raja-raja dari kalangan Bani Mundzir yang dipandang sebagai kalangan bangsawan, dan mereka berada di bawah kekuasaan Persia dan Kerajaan Romawi. Tapi sekarang muncul kekuasaan baru dari tanah Arab. Yaitu Nabi Muhammad Saw., yang diutus oleh Tuhan untuk menjadi Rasul. Walaupun hanya di utus menjadi Rasul tapi Rasulullah memperoleh kekuasaan, suatu pemerintahan yang megah dan berwibawa, menegakkan kebenaran dan mencegah kebatilan. Kerajaan Romawi dan Kerjaan Persia tidak mengakui kenyataan itu. 86

Rasulullah berjuang bukan berniat mencari kekuasaan, atau untuk menduduki jabatan tertinggi yaitu sebagai kepala Negara. Yang dituju Rasulullah ialah kebebasan beragama, tegaknya syiar Allah dan manusia terlepas dari kehidupan yang gelap-gulita penuh dengan kesyirikan kepada kehidupan yang terang-benderang penuh dengan cahaya Iman. Walaupun Rasulullah tidak berniat mencari kekuasaan, tapi kekuasaanpun tercapai. Dan pada akhrnya kekuasaan bukanlah sebuah tujuan melainkan menjadi alat untuk menegakkan agama. Bani Israil merasa bahwa dari

86

kalangan mereka saja Nabi di utus, dari kalangan yang lain tidak. Kalaupun ada mereka mengatakan itu Nabi Palsu. Raja Persia pernah memberikan perintah kepada bawahannya untuk menangkap Rasulullah, yang dilihatnya sebagai pengacau di Tanah Arab, dalam keadaan hidup atau mati.87

Kemudian Hamka menjelaskan. Dalam keadaan yang demikian itu Tuhan menyuruh mengucapkan do‟a: Katakanlah: Ya Tuhan yang memiliki segala kekuasaan,”(pangkal ayat 26). Seluruh kekuasaan dilangit dan di bumi, atau segala makhluk yang hidup atau yang mati, di laut dan di darat, gunung dan lembah, yang berada di alam semesta. “Engkau Berikan kekuasaan kepada barangsiapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari barangsiapa yang Engkau kehendaki”. Sebesar apapun kekuasan seseorang raja yang diberi oleh Allah, mudah saja baji-Nya mencabutnya. Sudah banyak raja-raja, sultan-sultan, yang dulu nenek-moyangnya berkuasa besar, sampai pada anak atau cucu; semuanya habis yang tinggal hanyalah gelar. “Dan Engkau muliakan barangsiapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan barangsiapa yang Engkau kehendaki”. Kemudian Allah bisa menganugerahkan kekuasaan walaupun kepada orang yang tidak berpangkat tinggi. Dan kehinaan bisa Allah jatuhkan pula walaupun kepada orang yang memiliki pangkat yang tinggi. “Di tangan Engkau segala kebaikan.” Yaitu Engkaulah sumber telaga dari segala yang baik di alam ini, dipancarkan-Nya kepada sekalian makhlukNya, sehingga

87

57

semuanya mendapat menurut kadar bahagian masing-masing. “ Sesungguhnya Engkau atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.” (ujung ayat 26).88

Dari penafsiran Hamka diatas, dapat kita simpulkan bahwa Ayat ini menyatakan, Allah Ta‟ala adalah pemilik sejati kekuasaan. Allah yang memberikan kekuasaan kepada siapapun yang Allah kehendaki, dan Allah jualah yang mencabut kekuasaan mereka yang Allah kehendaki. Allah bisa saja menimpakan kehinaan kepada orang yang memilki kekuasaan tinggi, dan Allah bisa juga mengangkat orang yang hina menjadi seorang penguasa. Karena pada dasarnya Allah-lah yang memiliki kekuasan itu, manusia hanya menjalankan kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt.

3. Janji Allah Kepada Orang-orang Yang Beriman

Adalah suatu kepastian, kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih Allah Swt., akan memberikan kemengan kepada mereka dalam bentuk kekuasaan. Dengan kekuasaan itu kemudian Islam mengubah kehidupan manusia kepada tingkat moral yang tinggi, sosial, pendidikan, ekonomi, kebuyadaan yang rendah menjadi manusia yang memiliki budaya dan peradaban yang tinggi, kemudian maju dengan berdasarkan kepada: Nilai-nilai, hukum, norma, moral yang disokong dengan keimanan, bersikap terbuka dan demokratis, menghormati keberagaman, dan bekerjasama menjaga keutuhan Negara.89

Hal ini sebagaimana tertuang dalam al Qur‟an. Allah Swt berfirman dalam QS. An Nuur/24:55.

88

Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz I, h. 142

89













































































Artinya: Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.90 Hamka menjelaskan, bahwa Ayat 55 ini merupakan inti tujuan perjuangan hidup. Dan inilah janji dan pengharapan yang telah diberikan oleh Tuhan bagi setiap Mu‟min dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan keyakinan di permukaan bumi ini. Hamka menyatakan :

Bahwa pokok pendirian mesti dipegang teguh dan sekali-kali jangan dilepaskan, baik keduanya atau salah satu di antara keduanya.Pertama ialah iman atau kepercayaan. Kedua amal saleh, perbuatan baik, bukti dan bakti. Kalau keduanya telah berpadu satu, amal salih timbul dari iman dan iman menimbulkan amal, terdapatlah kekuatan pribadi, baik orang-seorang ataupun pada masyarakat Mu‟min itu.91

Kepada setiap orang yang memegang teguh pendirian itu atau masyarakat seperti inilah Allah menjanjikan bahwa mereka akan diberikan warisan kekuasaan di atas bumi ini. Kendali bumi ini akan diserahkan ke tangan mereka, sebagaimana dahulu

90

QS. An Nuur/24:55

91

59

pun warisan yang demikian telah pernah pula diberikan kepada ummat yang terdahulu dari mereka. Oleh sebab itu Hamka berkesimpulan dari ayat diatas:

Cita-cita menjadi Khalifah Allah di atas bumi ini, adalah memegang tampuk pemerintahan di atasnya, pasti berhasil, asal kamu masih tetap beriman dan beramal shalih. Yang cita-cita itu pasti tercapai, yaitu agamamu tegak tidak ada gangguan dan keamanan timbul, segala kekacauan hilang. Sebab semuanya itu didapat dengan teguh percaya kepada Tuhan. Tetapi siapa yang menyeleweng, terhitunglah ia fasik dan durhaka.92

Disisi lain, Hamka juga memberikan pandangan bahwa pemimpin dan kepemimpinan dijanjikan oleh Allah dijelaskan dengan terang bahwa perkara yang membentuk pemimpin itu ada tiga yaitu Allah, rasul dan orang yang beriman, mereka adalah merupakan saluran yang akan menyalurkan kehendak Allah dan rasul dalam mengemudi umat serta mencapai ridho Allah.93 Kemudian Hamka menjelaskan faktor yang mendorong seseorang untuk menjadi pemimpin. Sebagaimana di kutip oleh Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah:

“Kerana dia diakui lebih kuat, lebih pandai dan lebih dapat dikemukakan, dia bersedia naik yang lain bersedia turun, dia bersedia mengatur dan yang lain bersedia diatur. Sebabnya bermacam-macam; ada kerana keturunan, seumpama anak seorang ulama menjadi ulama pula kerana lingkungan dan pergaulan dan kebiasaan di dalam rumah ayahnya yang dilihatnya sejak kecil”.94

Alasan lain yang menyebabkan seseorang untuk menjadi pemimpin, diantaranya adalah agama, faham yang dipegang, perebutan yang dapat mempengaruhi.

92

Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz XVIII, h. 223

93

HAMKA, “Dari Hati Ke Hati: Konsepsi al-Qurān tentang Pemimpin”, Panji Masyarakat, Jakarta: Yayasan Nurul Islam 1971, No. 76, 1 April 1971, h.3-4. lihat Dalam:

https://www.librarybus.com/view?t=kepimpinan+menurut+hamka%3A+sa++UM+Repository&u=http% 3A%2F%2Frepository.um.edu.my%2F94773%2F1%2F02Kepimpinan%2520Menuru%2520Pandangan %2520HAMKA%2520Abdul%2520Hafiz.pdf. Diakses pada tanggal 21/02/2019 jam 8:56

94

Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, “Pemimpin Menurut Pandangan Hamka:

Satu Tinjauan Dalam Tafsir Azhar (Leadership According to HAMKA: A Review on Tafsir Al-Azhar”, (Jurnal Al-Tamaddun Bil. 8 (1). 2013), h. 19

Hamka menegaskan sebagaimana di kutip oleh Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah:

“Agama yang dipeluk atau kitab-kitab yang dibaca atau suatu fahaman yang dipegang teguh, semuanya pun menentukan corak pemimpin, bahkan perlumbaan perebutan pengaruh dan kuasa dengan pemimpin yang lain yang sama-sama hidup menjadi saringan juga buat menentukan kelemahan dan kekuatan…”95

4. Pemimpin Harus Adil

Al Qur‟an sebagai pedoman umat Muslim mengajarkan beberapa hal yang penting dalam kehidupan setiap muslim, salah satu konsep yang dijelaskan dalam al Qur‟an adalah (لدعلا ) artinya keadilan. Kata al-„adl (لدعلا) secara bahasa berarti lurus, jujur dan tidak khianat. Pada dasarnya al-„adl adalah ditengah-tengah antara dua hal, yakni antara ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kesembronoan). Barangsiapa yang mampu menjauhkan diri dari ifrath dan tafrith, maka ia telah berbuat adil.96 Untuk itulah, al Qur‟an memberikan perintah keras supaya keadilan ditegakkan di segala bidang kehidupan dan pergaulan, disertai dorongan kuat supaya setiap manusia menjadi penegak dan pembela keadilan. Termasuk dalam bidang kekuasaan. Allah berfirman dalam al Qur‟an, QS. Shad/38: 26.

                               95

Zulkifli Mohd Yusoff dan Abdul Hafiz Abdullah, “Pemimpin Menurut Pandangan Hamka:

Satu Tinjauan Dalam Tafsir Azhar (Leadership According to HAMKA: A Review on Tafsir Al-Azhar”, (Jurnal Al-Tamaddun Bil. 8 (1). 2013), h. 19

96

61

Artinya: Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah

akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.97

“ Hai Daud! Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi.” (pangkal ayat 26). Tentang arti dan makna khalifah sudah sudah dijelaskan di awal. Ketika Allah menyatakan kepada malaikat-malaikat bahwa Dia hendak mengadakan khalifah di muka bumi. Makna yang dekat dengan Khalifah ialah pengganti atau pelaksana.

Hamka menjelaskan, bahwa Adam sebagai Bapak pertama dari manusia dapat dianggap sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Adapun Daud sekarang ini, bisa Dia diartikan menyambut tugas Adam jadi Khalifah dari Allah. Melihat kepada kedudukannya sebagai raja dari bani Israil, kedudukannya sebagai Khalifah itu sudah bukan semata-mata menjadi Rasul dan Nabi saja lagi, bahkan juga sebagai pemegang kekuasaan. Hamka menerangkan supaya jabatan Khalifah itu berjalan dengan baik dan sesuai dengan fungsinya. Maka Allah memberi beberapa pesan . Pertama: “Maka hukumlah diantara manusia dengan benar”. Hukum yang benar ialah hukum yang adil. Di antara kebenaran dengan keadilan adalah satu hal yang memiliki nama berbeda tapi saling berkesinambungan. Yang benar itu juga dan yang adil itu juga kalau sudah benar pastilah dia adil. Kalau sudah adil pastilah dia benar. “Dan janganlah engkau perturutkan hawa”. Hamka mengartikan bahwa Hawa ialah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci. Dalam

97

bahasa Indonesia hawa itu disebut dengan emosi atau sentiment. Lalu dilanjutkan dengan bahaya yang akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum dipengaruhi oleh hawanya: “Niscaya dia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah”. Hamka menjelaskan, kalau seorang penguasa, sultan, khalifah atau presiden atau yang lainnya tidak lagi menghukum dengan benar dan adil, malahan sudah hawa yang menjadi hakim, hilanglah harapan orang banyak untuk mendapat perlindungan hukum dari yang berkuasa dan hilang keamanan jiwa dalam Negara. “Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, untuk mereka azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (ujung ayat 26). Sesungguhnya kekuasaan itu suatu ujian yang berat. Kekuasaan bisa saja menyebabkan orang lupa dari mana dia menerima kekuasaan itu, lalu dia berbuat sewenang-wenang berkehendak hati. Sebab itu disalahgunakannya kekuasaan.98

Dalam pandangan Hamka bahwa keadilan adalah asal mula dari kekuasaan, Keadilan yang tidak berat berat sebelah dan keputusannya, tidak dipengaruhi oleh sentiment perasaan benci dan perasaan sayang. Keadilan yang undang-undangnya tidak berubah-ubah disebabkan kekeluargaan dan kefamilian. Sebagaimana sabda Rasul “Demi Allah! Sekiranya Fatimah anakku sendiri yang mencuri, tetap aku akan potong tangannya” Keadilan yang tidak dipengaruhi oleh sesama anggota partai atau pertentangan ideology. Keadilan yang pernah dirasakan oleh kaum muslimin ketika pemerintahan masa Rasulullah yang dilandaskan kepada al Qur‟an dan Hadis. Keadilan

98

63

yang harus dipertahankan karena dialah sendi kekukuhan Negara, walaupun terhadap teman karib dan kepada musuh yang dibenci sekalipun99. Firman Allah Swt.,























“…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa…100

Dalam hal untuk memilih seorang pemimpin, Hamka menegaskan bahwa al Qur‟an telah memberikan dua pokok dasar dalam memilih pemimpin atau yang akan memegang tampuk kekuasaan. Pertama, Ilmu, dan Kedua, Tubuh. Terutama ilmu yang berkaitan dengan tugas yang akan dihadapinya, sehingga tidak membuat dia ragu dalam menjalankan roda pemerintahannya. Yang penting sekali ialah Ilmu dalam tata cara menggunakan tenaga untuk pemerintahannya. Pemimpin tertinggi tidak perlu mengetahui segala macam cabang ilmu, tetapi wajib mengetahui ilmu tentang apa yang akan ditugaskan untuk menghadapi suatu pekerjaan, itulah ilmu tentang kepemimpinan. Sedangkan yang dimaksud dengan tubuh ialah kesehatan, bentuk tampan, yang menimbulkan simpati. Oleh sebab itu, ulama-ulama banyak berpendapat bahwa seseorang yang badannya cacat (invalid) janganlah dijadikan seorang kepala Negara atau raja. Seperti buta, tuli, dan mengalami gangguan jiwa karena orang seperti itu akan

Dokumen terkait