• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENAFSIRAN SAYYID QUTHB TENTANG JAHILIAH DALAM AL- AL-QUR ’AN

BAB IV

PENAFSIRAN SAYYID QUTHB TENTANG JAHILIAH DALAM AL-QUR’AN

1st. Pengertian Jahiliah Menurut Sayyid Quthb

Sebelum membahas penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam al-Qur’an, penting kiranya untuk diketahui lebih dulu tentang pengertian jahiliah menurut Sayyid Quthb. Memahami masalah ini akan memberikan suatu pengantar bagi penafsiran Quthb atas kata tersebut dalam al-Qur’an.

Tidak seperti mayoritas muslim yang berpendapat bahwa jahiliah merupakan suatu periode atau masa sebelum datangnya Islam, Sayyid Quthb menekankan bahwa jahiliah bukanlah suatu masa yang telah lewat yang tidak akan terulang lagi tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang ada pada suatu masyarakat atau individu. Keadaan ini tidak hanya terdapat pada orang yang beragama di luar Islam, tetapi bahkan pada orang yang beragama Islam pun mungkin saja ada.1

Pendapat ini tentu saja mencengangkan mengingat hampir seluruh umat Islam mengakui bahwa jahiliah adalah masa sebelum Islam. Bahkan, ucapan Nabi –ketika menyatakan bahwa orang yang terbaik di masa jahiliah adalah yang

١

Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1992), vol. VI, h. 904. Selanjutnya disebut Zhilâl

terbaik di masa Islam jika ia paham2- mengindikasikan demikian. Begitu juga para sahabat seperti ‘A’isyah yang menceritakan tentang pernikahan yang ada pada masa jahiliah3 dan seorang sahabat yang menanyakan kepada Nabi tentang tingkah lakunya di masa jahiliah yang mendatangi peramal4.

Dengan bukti-bukti tersebut, baik berupa pernyataan Nabi dan sahabat, cukup mengherankan jika Sayyid tetap berpendapat jahiliah merupakan suatu keadaan, bukan masa yang telah lewat. Apakah ini berarti Quthb tidak mengetahui hadis Nabi dan ucapan ‘A’isyah serta sahabat lainnya? Cukup riskan untuk menganggapnya demikian karena mustahil rasanya jika pemikir sekelasnya tidak mengetahui hadis dan perkataan sahabat tersebut. Begitu juga jika melihat pada kitab tafsirnya yang menjadikan kitab-kitab hadis sebagai referensi cukup untuk menafikan pertanyaan tersebut. Jika demikian halnya, nampaknya Sayyid Quthb mempunyai pertimbangan lain untuk mendukung pendapatnya itu.

Apa yang Sayyid Quthb kemukakan mungkin dapat ditelusuri pada latar belakang kehidupan dan aktivitasnya yang terus menerus berada dalam tekanan. Tak dapat disangkal bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi tidak saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, kondisi sosial, politik, dan sebagainya.5

٢

Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb Ahâdîts al-Anbiyâ’, no. 3123

٣

Ibid, Kitâb al-Nikâh, no. 4732

٤

Muslim ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, Kitâb al-Salâm, no. 4133

٥

Pendapat Sayyid Quthb bahwa jahiliah merupakan suatu keadaan atau kondisi mungkin timbul dari pengalaman pribadinya dan kenyataan yang ia alami bahwa apa yang dahulu ada pada masyarakat sebelum datangnya Islam berupa perilaku maupun keyakinan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam ternyata saat ini pun masih tetap ada dengan bentuk yang berbagai macam, bahkan oleh orang yang menganut agama Islam itu sendiri.

Selama di Amerika, Sayyid Quthb menyaksikan betapa moralitas masyarakat di sana telah jatuh walaupun mencapai kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengalaman hidup selama dua tahun di negeri itu turut andil dalam menjadikan dirinya seorang fundamentalis.6 Kemudian, persekongkolan yang dilakukan Amerika dan Inggris terhadap Mesir juga membuatnya mengerti bagaimana watak Barat yang sesungguhnya. Begitu juga pemerintahan Mesir di bawah Gamal Abdul Nasser yang berorientasi pada paham sekular dan menolak usul Sayyid Quthb untuk memakai syariat Islam sebagai dasar negara. Puncaknya adalah perlakuan buruk yang menimpanya dan orang-orang yang memperjuangkan Islam yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri yang nota bene merupakan pemeluk Islam.7 Ini semua tentu mempengaruhi pemikiran Sayyid Quthb dalam merumuskan pandangannya tentang jahiliah.

Hal ini sebenarnya juga disadari oleh, misalnya, Ahmad Amîn ketika menyebutkan bahwa dengan datangnya Islam tidak secara otomatis nilai-nilai dan

٦

Emmanuel Sivan, Radical Islam, (New Haven and London: Yale University Press, 1985), h. 22

٧

Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb, (Bandung: Pena Merah, 2004), h. 77-78

perbuatan yang dahulu ada pada masyarakat sebelum Islam lenyap begitu saja.8 Jika pada masyarakat sebelum datangnya Islam kegemaran berpesta dengan minuman keras dan penyanyi dan penari wanita sebagai menu utama merupakan sesuatu yang disukai, Amîn juga menyebut hal itu terjadi dan dilakukan bahkan oleh Yazîd ibn Mu’âwiyah, salah seorang khalifah Bani Umayyah yang menurutnya kehidupan pribadi Yazîd lebih condong kepada kehidupan jahiliah daripada kehidupan Islami.9 Walaupun demikian, Amîn tidak melangkah sejauh Quthb yang menyebut saat ia hidup sebagai masa jahiliah. Perilaku jahiliah mungkin terjadi dan tetap ada sesudah datangnya Islam sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi, akan tetapi hal itu tidak membuat dikotomi masa jahiliah dengan masa Islam menjadi kabur atau hilang.

Sebaliknya, Sayyid Quthb mengemukakan dengan adanya kemiripan keadaan antara saat sekarang dengan masa sebelum Islam membuatnya berpikir untuk mendefinisikan ulang pengertian jahiliah yang selama ini diyakini oleh mayoritas muslim sebagai masa sebelum Islam. Ini terlihat ketika ia menafsirkan QS al-Ahzâb/33:33 yang berbicara tentang larangan untuk berperilaku/berhias seperti orang-orang jahiliah. Sesudah memaparkan penafsiran terdahulu tentang perilaku jahiliah, Sayyid Quthb menulis bahwa ini merupakan bentuk perilaku jahiliah yang disorot al-Qur’an untuk menyucikan masyarakat Islam dari pengaruhnya. Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa jahiliah merupakan suatu keadaan masyarakat yang mempunyai gambaran tertentu yang keadaan ini dapat

٨

Ahmad Amîn, Fajr al-Islam, (Singapura: Sulayman Mar’i, 1965), h 78

٩

terjadi kapan saja dan dimana saja. Dengan definisi inilah Sayyid Quthb menyebut masa ia hidup sebagai masa jahiliah yang tidak ada kesucian dan keberkahan bagi orang yang hidup di dalamnya.10 Secara lebih tegas, Sayyid Quthb menguraikan jahiliah sebagai bentuk penyimpangan dari otoritas kekuasaan Allah. Ia menyatakan,

ﻰ ﻠﻋوضرﻷاﻰ ﻓ ﷲانﺎﻄﻠ ﺳ ﻰ ﻠﻋ ءاﺪ ﺘﻋﻻا سﺎﺳأﻰﻠﻋ مﻮﻘﺗ ﺔﯿﻠھﺎﺠﻟاهﺬھ

ﺔﯿھﻮﻟﻷاﺺﺋﺎﺼﺧﺺﺧأ

ﺔﯿﻤﻛﺎﺤﻟاﻲھو

ﺮﺸ ﺒﻟاﻰ ﻟاﺔﯿﻤﻛﺎﺤﻟاﺪﻨﺴﺗ ﺎﮭﻧأ

ﺎﺑﺎﺑرأﺾﻌﺒﻟﻢﮭﻀﻌﺑ ﻞﻌﺠﺘﻓ

,

ﺎ ﮭﺘﻓﺮﻋﻰ ﺘﻟاﺔﺟذﺎﺴ ﻟا ﺔ ﯿﺋاﺪﺒﻟاةرﻮﺼﻟا ﻰﻓﻻ

ﺎ ﻋداةرﻮ ﺻ ﻰ ﻓﻦ ﻜﻟو ﻰ ﻟوﻻاﺔ ﯿﻠھﺎﺠﻟا

ﻢﯿ ﻘﻟاو تارﻮﺼ ﺘﻟاﻊ ﺿوﻖ ﺣ ء

,

ﻦﯿﻧاﻮﻘﻟاو ﻊﺋاﺮﺸﻟاو

,

عﺎﺿوﻷا و ﺔﻤﻈﻧﻷا و

,

ةﺎ ﯿﺤﻠﻟﷲاﺞﮭﻨﻣﻦﻋلﺰﻌﻤﺑ

,

ﷲاﮫﺑنذﺄﯾﻢﻟﺎﻤﯿﻓ و

..

١١

(Kejahiliahan ini berpijak pada pelanggaran terhadap kekuasaan Allah di muka bumi, khususnya adalah tentang ulûhiyyah, yaitu al-Hâkimiyyah. Jahiliah ini memberikan otoritas kekuasaan ini kepada manusia sehingga sebagian dari mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan. Bukan dalam bentuk primitif yang sederhana yang dikenal dalam kejahiliahan zaman lampau, namun dalam bentuk klaim tentang hak menciptakan pandangan hidup, nilai-nilai, hukum, undang-undang, sistem, dan institusi yang steril dari manhaj Allah bagi kehidupan ini dan dalam hal yang tidak diizinkan oleh Allah…)

Dengan definisi ini, dengan pasti ia menyebutkan bahwa saat ini semua masyarakat berada dalam kejahiliahan seperti yang dialami oleh Islam ketika pertama kali mncul atau bahkan lebih buruk lagi. Segala yang ada saat ini, sudut pandang manusia, kepercayaan, tradisi, adat, hukum, dan undang-undang semuanya merupakan produk jahiliah yang tidak sesuai dengan hukum Islam yang, tentunya, bagi orang yang mengikutinya berarti ia telah menodai

١٠

Zhilâl, vol. XXII, h. 2861

١١

Sayyid Quthb, Ma’âlim fi al-Tharîq, (tt: al-Ittijad al-Islami al-‘Alami, 1985), h. 8. Selanjutnya disebut Ma’âlim

kemutlakan Allah sebagai penguasa yang mempunyai hak untuk membuat undang-undang yang tidak ada seorang pun mempunyai kewenangan untuk itu.

Lalu, masyarakat seperti apa yang dipandang Sayyid Quthb sebagai masyarakat jahiliah? Ia menyebutkan bahwa pada dasarnya masyarakat jahiliah adalah setiap masyarakat yang tidak mengikhlaskan penghambaannya kepada Allah semata yang tampak secara jelas dalam keyakinan dan pandangan hidup mereka. Dengan definisi ini, dapat digolongkan ke dalam masyarakat jahiliah semua masyarakat sekarang yang ada di muka bumi.

Masyarakat itu adalah masyarakat komunis karena mereka mengingkari keberadaan Allah dan menganggap bahwa kekuatan yang mengatur seluruh eksistensi adalah materi atau alam; masyarakat penyembah berhala seperti yang terdapat di India, Jepang, Filipina dan Afrika karena menganut akidah dan sistem peribadatan yang bertentangan dengan syariat Islam; masyarakat Yahudi dan Nasrani di seluruh dunia karena konsep kepercayaan mereka yang telah menyimpang seperti konsep trinitas dan mempertuhankan pemuka agama mereka; dan masyarakat yang menyatakan diri sebagai masyarakat Islam. Untuk yang terakhir mereka termasuk kategori masyarakat jahiliah bukan karena mereka menuhankan selain Allah tetapi lantaran mereka tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah semata dalam sistem kehidupan mereka, memberikan hak memerintah kepada orang yang lain dari Allah dan menerima sistem, hukum, nilai, adat, dan sebagainya.12

١٢

Dengan rumusan baru tentang jahiliah ini, Sayyid Quthb nampaknya juga memandang masa jahiliah sebelum Islam sebagai cermin untuk menilai suatu masyarakat yang ada sesudahnya. Jika masyarakat sesudah Islam menganut nilai-nilai dan mempunyai keadaan seperti masyarakat sebelum Islam, masyarakat itu patut disebut sebagai masyarakat jahiliah.

Bagi para pembelanya, terdapat kesalahpahaman tentang ide jahiliah yang dilontarkan oleh Sayyid Quthb. Sebagian orang, seperti disinyalir oleh Bahnasawi, menganggap dan memahami jika suatu masyarakat telah dinilai jahiliah itu berarti telah kafir dan keluar dari Islam. Lebih buruknya lagi, orang-orang itu menyandarkan dan menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat Sayyid Quthb padahal Sayyid Quthb sendiri tidak pernah menyatakan demikian.13 Kesalahpahaman ini, bagi Gilles Kepel sebagimana dikutip Bahnasawi, terjadi karena hukuman mati yang terlalu dini bagi Sayyid Quthb yang pada akhirnya pemikirannya dipahami oleh para pengikutnya dengan segala kesamarannya yang membuat mereka melakukan pengkafiran tanpa bisa dikendalikan.14

Peristiwa pembunuhan mantan Menteri Wakaf pada 1977 oleh kelompok al-Takfîr wa al-Hijrah dan pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981 oleh Tanzhîm al-Jihâd terjadi karena pengaruh dan terinspirasi oleh Sayyid Quthb yang dijuluki sebagai Arsitek Islam Radikal oleh Esposito.15 Walaupun julukan itu

١٣

K. Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 79

١٤

lihat dalam Ibid, h. 204

١٥

John L. Esposito, Ancaman Islam; Mitos atau Realitas? Terj. Alwiyyah Abdurrahman dan MISSI, (Bandung: Mizan, 1996), h. 152

terlalu berlebihan untuk Sayyid Quthb, boleh jadi pembunuhan itu terjadi karena kesalahan dalam memahami dan menafsirkan tulisan Sayyid Quthb ketika memvonis jahiliah dan menganggapnya sebagai suatu kebolehan untuk melakukan tindak kekerasan. Kesalah-pahaman ini timbul karena menyamaratakan pengertian jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb. Demikian menurut para pembelanya.

Namun demikian, pembelaan ini terasa aneh karena Sayyid Quthb sendiri telah menggolongkan masyarakat yang mengaku Islam namun tidak merealisasikan penghambaan kepada Allah sebagai masyarakat jahiliah seperti tersebut di atas. Seluruh masyarakat yang disebut jahiliah itu dalam pandangan Sayyid Quthb bukan masyarakat Islam. Semua masyarakat itu mempunyai satu persamaan, yaitu kehidupan di dalamnya tidak berdasarkan penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah.16 Dengan demikian, pernyataan Bahnasawi bahwa harus ada pembedaan pengertian tentang jahiliah menurut Sayyid Quthb dan tidak menyamaratakannya tidak dapat diterima mengingat Sayyid Quthb sendiri secara tegas menyatakan masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang keluar dan tidak termasuk dalam masyarakat Islam.

Untuk memperjelas masalah, perlu kiranya disebutkan bagaimana definisi masyarakat Islam menurut Sayyid Quthb yang membedakannya dengan masyarakat jahiliah. Dalam pandangan Sayyid Quthb, masyarakat Islam adalah masyarakat yang tergambar di dalamnya penghambaan kepada Allah dari mulai

١٦

keyakinan dan pandangan hidup setiap individunya, simbol dan ritual peribadatannya, hingga pada sistem sosial dan undang-undangnya.17

Perlu disebutkan pula di sini pernyataan dari Afif bahwa untuk dapat memahami pandangan Sayyid Quthb dengan baik, harus diingat posisi Sayyid Quthb sebagai seorang ideolog al-Ikhwân al-Muslimûn. Sebagai seorang ideolog, Sayyid Quthb berusaha menggerakkan aktivitas para pengikutnya dalam memperjuangkan cita-cita mereka. Karenanya, pandangan-pandangannya bersifat

“menggerakkan.”18 Jika pernyataan ini diterima, mungkin saja pandangan Sayyid Quthb tentang jahiliah mempunyai tujuan untuk menggerakkan para pembacanya khususnya para anggota kelompok al-Ikhwân al-Muslimûn.

Di atas telah disebutkan kalau menurut para pembelanya telah terjadi kesalahpahaman tentang pengertian jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb. Bahnasawi menyatakan bahwa untuk menghindari kesalahpahaman ini perlu dibedakan kategori jahiliah yang dimaksud. Ia menyebut ada dua hal yang menyebabkan suatu masyarakat dinilai jahiliah oleh Sayyid Quthb: perilaku/perbuatan dan keyakinan/akidah. Untuk yang pertama, suatu masyarakat akan dinilai jahiliah jika mempunyai perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kategori ini, masyarakat itu tetap merupakan masyarakat Islam hanya saja keislaman mereka telah ternodai oleh perbuatan yang mereka lakukan. Adapun terhadap masyarakat yang melakukan penyimpangan dari sisi akidah, mereka inilah yang disebut Sayyid Quthb telah keluar dari barisan masyarakat

١٧

Ibid, h. 85

١٨

Islam dan digolongkan sebagai kafir. Singkatnya, sifat jahiliah yang yang dilekatkan kepada orang-orang kafir maksudnya adalah jahiliah keyakinan dan bila ditujukan kepada orang-orang Islam berarti yang dimaksud adalah jahiliah perbuatan.19

Untuk membuktikan hal ini ia merujuk pada penafsiran Sayyid Quthb atas QS al-Nisâ’/4:94 yang berbicara tentang keharusan untuk bersikap teliti dan tidak boleh menyakiti atau membunuh orang yang telah mengucapkan syahadat. Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb menyatakan bahwa Allah memerintahkan kaum muslim agar ketika berperang hendaknya tidak memulai peperangan dengan seseorang atau membunuh sebelum memperoleh kejelasan. Cukup kiranya dengan melihat lahiriah Islam lewat perkataan lisan. Sebab tidak ada dalil yang membatalkan perkataan lisan.20

Apa yang dilakukan Bahnasawi dengan membagi jahiliah yang dimaksud Sayyid Quthb kepada dua kategori nampaknya tidak tepat karena Sayyid Quthb tidak pernah membedakan antara dua hal tersebut. Baginya, pembedaan hanya ada pada dua bentuk masyarakat: masyarakat jahiliah dan masyarakat Islam; masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang berseberangan dengan masyarakat Islam, tidak ada alternatif ketiga. Ketegasan yang tak kenal kompromi inilah yang membuat sebagian orang menggolongkannya ke dalam kelompok fundamentalis.

١٩

Bahnasawi, Butir-butir, h. 85-86

٢٠

Ibid, h. 88. Untuk penafsiran Sayyid atas ayat tersebut lihat dalam Zhilâl, vol. V, h. 737

Mengenai penafsiran Sayyid Quthb yang dijadikan bukti pembedaan itu juga kurang tepat karena ayat tersebut berbicara dalam keadaan perang dan dalam rangka mencari tahu keislaman seseorang. Seorang yang berasal dari masyarakat jahiliah kemudian bertemu dengan sekelompok orang dan mengucapkan salam –

yang menunjukkan dirinya muslim- maka orang tersebut tidak boleh dibunuh karena secara lahir ia telah menunjukkan bahwa dirinya seorang muslim. Dalam konteks inilah Sayyid Quthb menegaskan ketidakbolehan untuk membunuh orang yang mengaku Islam karena perkataannya sudah cukup dijadikan bukti keislamannya walaupun mungkin orang itu sebenarnya bukan seorang muslim.

Memahami pernyataan Sayyid Quthb tersebut secara parsial juga akan menimbulkan kontradiksi dengan pernyataan Sayyid Quthb yang lain tentang penyebutan seorang muslim. Memahami penafsiran di atas hanya seperti itu akan memunculkan anggapan bahwa Sayyid Quthb hanya mencukupkan diri dengan pengakuan lidah untuk menggolongkan seseorang ke dalam Islam dan tidak mementingkan amal perbuatan. Padahal, Sayyid Quthb menganggap bahwa hanya sekadar pengakuan saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai muslim. Ribuan kali seseorang menegaskan dirinya beriman namun jika pengakuannya tidak disertai dengan amal maka dia bukanlah seorang mukmin.21

Jika pembedaan yang dikemukakan Bahnasawi di atas tidak dapat diterima, nampaknya penjelasannya terhadap maksud Sayyid Quthb tentang masyarakat lebih tepat. Ia menyebutkan bahwa sebenarnya yang dimaksud Sayyid

٢١

Quthb dengan masyarakat jahiliah bukanlah masyarakat sebagai suatu kumpulan individu tetapi lebih sebagai sebuah sistem atau peraturan sebuah negara. Suatu negara yang mempunyai sistem atau peraturan yang tidak sesuai dengan syariat Islam itulah yang disebut Sayyid Quthb sebagai masyarakat jahiliah.22 Jika pendapat ini benar, ini berarti pernyataan Sayyid Quthb tentang masyarakat jahiliah terkait dengan usahanya dalam rangka mengganti sistem dan peraturan sekular yang dijalankan Gamal Abdul Nasser di Mesir dengan sistem dan peraturan yang sesuai dengan syariat Islam karena –seperti dikatakan Afif- Sayyid Quthb adalah seorang ideolog yang seluruh pandangannya bersifat menggerakkan. Penilaian Bahnasawi ini juga berkaitan erat dengan status penduduk yang berada di dalam negara yang memakai hukum dan peraturan yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang menurutnya tetap berada dalam Islam. Jadi, menurutnya, yang dimaksud dengan masyarakat jahiliah dalam pandangan Sayyid Quthb adalah ideologinya dan institusi yang menerapkannya, bukan penduduknya.23 Adapun penduduk yang menganut Islam dan melaksanakan ajaran Islam tetap dipandang sebagai seorang muslim

Dengan penjelasannya ini, terlihat bahwa pandangan Sayyid Quthb tentang masyarakat jahiliah tidak terkait dengan individu tetapi sebuah negara sehingga tidak memunculkan kesan bahwa Sayyid Quthb membenarkan ide pengkafiran. Ini juga memberikan kejelasan bahwa Sayyid Quthb tidak menilai sebagai kafir seseorang yang disebut dengan jahiliah karena Nabi sendiri pernah

٢٢

Bahnasawi, Butir-butir, h. 202

٢٣

meyebut Abû Dzarr sebagai orang yang mempunyai sifat jahiliah. Seandainya Sayyid Quthb juga menyebut individu yang mempunyai sifat jahiliah dengan kafir berarti ia juga mengkafirkan Abû Dzarr sebagai orang yang telah disematkan sifat jahiliah oleh Nabi. Mustahil rasanya Sayyid Quthb berpendapat demikian mengingat ia selalu memuji para sahabat sebagai generasi terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah Islam.24

Memang tepat rasanya jika masyarakat yang dimaksud Sayyid Quthb adalah sebuah negara. Baginya, adanya negara Islam adalah suatu keharusan sebab tanpa negara maka syariat Islam sulit ditegakkan.25 Secara implisit berarti masyarakat Islam tidak akan tercipta tanpa ada negara. Dengan adanya negara Islam, secara otomatis syariat Islam akan berjalan dan individu yang ada di dalamnya juga akan menjalankan syariat Islam. Ini menunjukkan bahwa Sayyid Quthb memprioritaskan pendirian negara Islam dan menjadikannya sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk individu-individu yang patuh dalam menjalankan syariat dan hukum-hukum Allah.

Setiap individu akan dapat melaksanakan syariat Islam jika ada sebuah negara yang mempunyai hukum dan peraturan berdasarkan syariat Islam karena sebuah negara mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk mengatur individu-individu yang ada di dalamnya. Sebaliknya, tanpa negara Islam, akan sulit untuk menjadikan tiap individu dapat melaksanakan syariat Islam. Konsekuensi atas pandangannya tentang kewajiban mendirikan negara Islam membuatnya

٢٤

Ma’âlim, h. 11

٢٥

berhadapan dengan gagasan nasionalisme dan sosialisme Arab yang dipelopori oleh Nasser.26

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Kepel yang dikutip Bahnasawi ketika menyebutkan bahwa jahiliah yang dimaksud oleh Sayyid Quthb adalah sebuah ungkapan untuk masyarakat yang dipimpin oleh penguasa fasik yang ingin membuat orang-orang menjadi hambanya dan menyembahnya. Penguasa tersebut memerintah berdasarkan hawa nafsu dan tidak melaksanakan prinsip al-Qur’an dan Sunnah Nabi.27

Apa yang diungkapkan Kepel tersebut –ketika menyebut penguasa fasik yang tidak memerintah berdasarkan ajaran Islam berarti menginginkan orang-orang menjadi hamba dan menyembahnya- selaras dengan pandangan Sayyid Quthb yang menyebutkan pendirian negara Islam pada dasarnya adalah mengesakan Allah dari dua sisi ulûhiyyah dan rubûbiyyah-Nya dan memurnikan penyembahan hanya pada-Nya.28 Pernyataan ini mengandung konsekuensi jika suatu negara tidak berdasarkan pada syariat Islam dan ketetapan Allah berarti menodai prinsip penyembahan kepada Allah dengan melakukan penyembahan pada selain-Nya.

Namun demikian, sesudah jelas bahwa masyarakat yang dimaksud Sayyid Quthb adalah sebuah negara, tidak berarti kritikan terhadapnya menjadi hilang. Abu Zayd misalnya, walaupun mengakui bahwa seruan dan kecaman Sayyid

٢٦

Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 135

٢٧

lihat dalam Bahnasawi, Butir-butir, h. 200

٢٨

Quthb bertujuan untuk mengganti pemerintahan nasser, ia menganggap apa yang dilakukan Sayyid Quthb telah menggeser persoalan dari pertikaian dunia menjadi pertikaian agama. Adalah kekeliruan jika menganggap pertikaian antara al-Ikhwan dengan kelompok Revolusi sebagai pertikaian agama. Justru sebenarnya pertikaian tersebut seputar kekuasaan politik, atau seputar hâkimiyyah dalam pengertian mengatur masyarakat.29

Perbuatan menggeser persoalan dunia menjadi persoalan agama ini disamakan oleh perbuatan yang dilakukan Bani Umayyah yang mengangkat Mushhaf ketika berhadapan dengan tentara Ali. Siapa yang berani menolak mengambil hukum (tahkim) kepada kitab Allah tentunya hanya mereka yang agama dan akidahnya diragukan.30 Dengan kata lain, perbuatan Sayyid Quthb, seperti halnya Bani Umayyah, mencari legitimasi dari teks-teks agama untuk mendukung pendapatnya tentang negara. Padahal, ada wilayah khusus bagi efektivitas teks dan ada wilayah lain bagi efektivitas akal dan pengalaman dimana tidak ada tempat bagi efektivitas teks dalam wilayah ini.31

Kritikan Abu Zayd ini merupakan suatu kewajaran mengingat terdapat perbedaan sudut pandang antara dirinya dengan Sayyid Quthb dalam hal konsep negara. Jika Abu Zayd menganggap suatu negara tidak membutuhkan teks-teks agama dan mencukupkan diri dengan akal dan pengalaman yang menunjukkan ia menganut pemikiran sekular, bagi Sayyid Quthb pendirian negara tidak dapat

٢٩

Nashr Hâmid Abû Zayd, Naqd al-Khithâb al-Dînî, (Kairo: Maktabah Madbûli, 1995), h. 110

٣٠

Ibid, h. 111

٣١

Dokumen terkait