BAB IV. PEMBAHASAN
C. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal
3. Penafsiran Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun
Bila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka dapat ditemukan beberapa hal penting yang diturunkan dari penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap penguasaan negara dalam pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, hal tersebut adalah :
a. Air adalah komponen dari hak asasi manusia yang untuk memenuhinya
merupakan tanggungjawab negara, di mana negara harus menghormati (to
respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill) hak masyarakat untuk mendapatkan air.
b. Air memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sumber daya alam lainnya sebagai misalnya minyak atau barang tambang lainnya, oleh karena itu hak atas air merupakan hak asasi manusia yang diturunkan dari Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maka pengaturan terhadap air mempunyai kekhususan.
c. Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang
berbunyi : “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif”, adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh Undang Undang Dasar. Meskipun jaminan negara dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tersebut tidak dirumuskan kembali dalam bentuk tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Provinsi, tetapi harus dijabarkan lebih lanjut didalam peraturan pelaksanaannya.
d. Lebih lanjut, tanggung jawab negara dirumuskan dalam Pasal 14, 15 dan 16 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yaitu adanya tanggung jawab untuk mengatur, menetapkan dan memberikan izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai.
e. Pasal 11 ayat (3) yang menyatakan bahwa : “Penyusunan pola pengelolaan
sumber daya air dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya” cukup mencerminkan keterbukaan dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air. Termasuk keterbukaan untuk keterlibatan masyarakat, swasta dan perusahaan negara/daerah untuk ikut mengelola sumber daya air. Mahkamah berpendapat bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mengatur hal-hal yang pokok dalam pengelolaan sumber daya air, dan meskipun Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air membuka peluang peran swasta untuk mendapat Hak Guna Air dan izin pengusahaan sumber daya air tidak akan jatuh ketangan swasta, karena keterlibatan pihak swasta hanya dapat dilakukan atas dasar izin pemerintah.140
f. Prinsip “pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air” adalah menetapkan air bukan sebagai objek yang dikenai harga secara ekonomi, ini sesuai dengan status air sebagai “res commune”141
140 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007 dikatakan: Hak guna usaha diatur dalam pasal 9 UU SDA. Ketentuan disitu tidak ada persoalan, karena ia diberikan lewat izin. Jadi bila dikaitkan dengan paradigma HAM, dalam hal ini negara adalah berperan dalam pengurusan, yaitu memberikan perizinan bagi hak guna usaha
141 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007, dikatakan: Kalau dalam air tidak sama dengan unbundling meskipun air bersifat mengalir dan pengelolaannya dapat dikelola oleh lebih dari satu pihak. Seperti sungai yang mengalir di negara-negara eropa, itu berlaku asas yang disebut human haritage is minkand atau res comune. Jadi ini sifatnya hanya pengelolaan
g. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) harus memposisikan diri sebagai operator negara dalam merealisasikan kewajiban negara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan secara ekonomis.
Dalam mencermati penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian kedua undang-undang tersebut di atas, dapat dilihat beberapa perbedaan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan kedudukan ketenagalistrikan dengan sumber daya air dalam makna “dikuasai oleh negara” di dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, perbedaan tersebut antara lain:
1. Undang-undang Ketenagalistrikan merupakan turunan dari Pasal 33 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945. sedangkan Undang-undang Sumber Daya Air turunan dari Pasal 33 ayat (3) dan Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945 yang meletakan air disamping sebagai komponen yang harus dikuasai oleh negara, tetapi juga sebagai hak asasi manusia.
2. Berdasarkan frasa “dikuasai oleh negara,” Mahkamah Konstitusi menafsirkan tanggungjawab negara terhadap ketenagalistrikan dengan fungsi negara c.q pemerintah untuk mengatur (regelendaad) dan fungsi negara sebagai pengelola (beheersdaad). Sedangkan untuk sumber daya air, Mahkamah Konstitusi menafsirkan tanggungjawab negara dalam bentuk fungsi
pengaturan (regelendaad) dan fungsi pengurusan (bestuursdaad).
Pengurusan yang dimaksud adalah kewenangan negara c.q pemerintah untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licencie), dan konsesi (concessie).
3. Metode penafsiran yang dominan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi
terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan adalah metode penafsiran historis dan metode penafsiran tekstual. Sedangkan dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih dominan penafsiran fungsional
4. Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, khususnya pasal mengenai unbundling,
karena norma yang demikian itu lah yang dipandang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya, bahwa norma hukum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Unang Dasar 1945 di persidangan.142
142 Hal ini pernah dikatakan oleh I Dewa Gde Palguna dan Wasis Susetio dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 Januari 2007 di Mahkmah Konstitusi
F. Conditionally Constitutional 1. Pengertian
Conditionally Constitutional merupakan istilah baru dalam ilmu hukum, khususnya hukum tata negara.143 Sehingga belum ditemukan literatur yang membahas khusus hal tersebut. Istilah ini dapat dikatakan salah satu bentuk penemuan hukum dari Mahkamah Konstitusi yang dilakukan dalam rangka menafsirkan ketentuan hukum tertulis (undang- undang) terhadap Undang Undang Dasar.
Dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menyebutkan:
“Bahwa Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air telah cukup memberikan kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan. Sehingga, apabila Undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap Undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (Conditionally Constitutional)”144
Penggalan putusan di atas memberikan pijakan untuk menentukan unsur-unsur dari klausula Conditionally Constitutional. Beberapa unsur yang terdapat di dalam putusan tersebut adalah:
a. Undang-undang yang diuji tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi
b. Adanya perintah kepada suatu instansi (pemerintah) untuk memperhatikan
pendapat Mahkamah Konstitusi dalam sebuah putusan.
c. Klausula Conditionally Constitutional memberi peluang bahwa suatu Undang- undang yang telah diuji kepada Mahkamah Konstitusi dapat diuji kembali. d. Syarat untuk menguji kembali undang-undang tersebut adalah apabila undang-
undang tersebut dalam pelaksanaannya ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi.
Dengan logika induktif, gabungan dari 4 (empat) unsur-unsur tersebut dapat dirangkai menjadi definisi atau pengertian dari Conditionally Constitutional. Misalkan
Conditionally Constitutional adalah putusan atau kondisi yang menyatakan suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar, di mana putusan tersebut memberikan syarat kepada instansi, dalam pelaksanaannya, untuk harus memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh Mahkamah. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain, maka undang-undang tersebut masih dapat diajukan untuk diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi.
2. Tata cara pengujian kembali
Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air masih dapat diajukan kembali pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi, apabila peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan maksud dari penafsiran Mahkamah Konstitusi.
143 Dalam wawancara dengan Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 30 Januari 2007 dikatakan: Conditionally Constitutional merupakan terminologi yuridis yang baru, ini merupakan penemuan hukum oleh MK. Ia dianggap konstitusional dengan keadaan atau kondisi sebagaimana ditafsirkan oleh MK. Dalam hal ini sepanjang ia dilakukan dengan perizinan, maka ia konstitusional. Tapi diluar itu, apa lewat perjanjian atau yang lain, maka ia inkonstitusional.
144 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, halaman 495.
Untuk itu, dapat dilihat pada peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi dipandang sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan putusan Mahkamah Konstitusi, karena peranan swasta dalam hak guna usaha air harus lewat izin pengusahaan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang SPAM “berpotensi” bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, karena tidak mengikuti alur pikiran yang ada dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang SPAM misalnya disebutkan:
Pasal 64 ayat (3):“Pelibatan koperasi dan/atau badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang sehat melalui proses pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 64 ayat (5): “Koperasi dan/atau badan usaha swasta yang mendapatkan hak berdasarkan pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengadakan perjanjian dalam penyelenggaraan SPAM dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya.
Bila diamati Pasal 64 ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, maka tidak ditemukan sedikitpun kata izin di sana. Dalam ketentuan itu, pihak swasta, koperasi dan masyarakat dapat terlibat dalam usaha pengembangan sistem air minum lewat pelelangan yang kemudian dilanjuti dengan perjanian. Kondisi seperti ini lah yang dapat dikatakan bertentangan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, namun hal ini masih perlu dibuktikan lagi di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.
Pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diajukan apabila syarat-syarat sebagaimana disebutkan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya tidak diperhatikan oleh Pemerintah, baik dalam peraturan pelaksananya maupun dalam pelaksanaannya.
Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemerintah atau ditafsirkan lain oleh Pemerintah, maka peraturan pelaksananya, seperti peraturan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka peraturan pemerintah tersebut dapat diuji kepada Mahkamah Agung terlebih dahulu.
Ketika peraturan pemerintah tersebut dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Agung, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi terkait dengan pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahuhn 2004 tentan Sumber Daya Air , antara lain:
1. Ketika sedang dalam tahap pemeriksaan Peraturan Pemerintah yang diuji kepada Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air diajukan kembali permohonan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dengan mendalilkan bahwa Peraturan Pemerintah yang dimaksud bertentangan dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi dalam putusan pengujian undang- undang sebelumnya. Dalam hal ini, peraturan pemerintah yang dianggap bertentangan tersebut dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang Mahkamah Konstitusi.
Tetapi, pengujian peraturan pemerintah yang menjadi peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air harus dihentikan sampai ada putusan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Agung terlebih dahulu. Penundaan atau penghentian ini diatur dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.145
Bila pemeriksaan pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak dihentikan, dalam artian Mahkamah Konstitusi tetap melakukan pemeriksaan pengujian undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi akan tergiring untuk memeriksa Peraturan Pemerintah yang sedang diuji oleh Mahkamah Agung karena Peraturan Pemerintah tersebut dijadikan sebagai bukti dalam persidangan
2. Kemungkinan kedua yaitu menunggu keluarnya putusan dari Mahkamah Agung
dalam pengujian Peraturan Pemerintah yang bersangkutan. Apabila putusannya mengabulkan permohonan pemohon, maka peraturan pemerintah yang bertentangan itu dibawa bersama-sama dengan putusan Mahkamah Agung untuk dijadikan sebagai dalil permohonan dan alat bukti dipersidangan pengujian kembali Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Kemungkinan kedua ini lebih kuat dari pada kemungkinan pertama yang disebutkan di atas. Tetapi, hal ini tidak serta-merta (mutatis mutandis) akan menyebabkan norma hukum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, sebab persoalannya adalah ranah penerapan dari suatu norma hukum, bukan konstitusionalitas norma hukum.
3. Pengaruh Conditionally Constitutional terhadap sifat putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat dalam menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar.146 Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat. Hal itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.147
Dalam pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, putusan Mahkamah konstitusi terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.148 Sehingga dengan adanya klausula Conditionally Constitutional yang memberi peluang materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat diuji kembali adalah bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) Undang Undang dasar 1945 jo Pasal 10 dan Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertentangan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
145 Pasal 55 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung dihentikan apabila undang- undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi
146 Pasal 24C ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar; c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
147 Maruarar Siahaan, Op.cit., hal. 252.
148 Pasal 60 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: Terhadap materi
Sifat putusan MK Conditionally Constitutional Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari
undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem), dalam Pasal 60 UU MK
Materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang permohonannya ditolak oleh MK dapat diajukan kembali, apabila dalam pelaksanaanya dilakukan tidak sesuai dengan tafsir MK Pasal 42 PMK Nomor 6 Tahun 2005 memberikan
pengecualian, bahwa materi muatan, ayat, pasal atau bagian dari undang-undang tidak dapat dimohonkan pengujian kembali adalah karena alasan atau dalil yang sama
Dalil atau alasan hukum yang dapat diajukan dengan
Conditionally Constitutional adalah kesalahan
penerapan dari putusan MK, misalkan peraturan pemerintah. Jadi tidak terkait langsung dengan norma undang-undang
Final dan mengikat (Pasal 24C ayat 1), sehingga tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh`
Conditionally Constitutional memberi peluang bahwa
suatu undang-undang yang telah diuji dapat diuji kembali, sehingga membuat putusan MK tidak bersifat final, maksudnya masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh, meskipun tidak upaya hukum vertikal.149
Tabel 13. Perbandingan sifat putusan Mahkamah Konstitusi dengan Conditionally Constitutional
Conditionally Constitutional dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ditafsirkan secara fungsional dan dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang mesti harmonis, maka Conditionally Constitutional bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Tetapi Conditionally Constitutional juga memberikan persyaratan bahwa peraturan pelaksana yang dimaksud dalam penafsiran Mahkamah konstitusi dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah bagian dari sistem hukum sumber daya air yang juga harus harmonis. Jadi, persoalan konstitusionalitas norma Undang-undang Sumber Daya Air yang dimohonkan pemohon adalah telah selesai. Tinggal lagi bagaimana peraturan pelaksananya harus sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi.
Apabila peraturan pelaksana dari suatu undang-undang, misalkan dalam bentuk peraturan pemerintah, dipandang bertentangan dengan untdang-undang. Maka peraturan pemerintah tersebut dapat diuji ke Mahkamah Agung, dan kemudian dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan bila undang-undang yang mendasarinya
sedang dilakukan pengujian. Hal demikian dapat terjadi dengan atau tanpa
persyaratan Conditionally Constitutional.
149 Wasis Susetio (tenaga ahli Mahkamah Konstitusi) dalam wawancara yang dilakukan tanggal 30 Januari 2007 menyebutkan: upaya hokum melalui Conditionally constitutional ini semacam PK (Peninjauan Kembali)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
dalam Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dan Putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
a. Terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
• Putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan merupakan penafsiran Mahkamah Konstitusi yang pertama kali Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, terurama mengenai Penguasaan negara
• Makna “penguasaan negara” atas cabang-cabang produksi penting dan
sumber kekayaan alam, meliputi:
1) Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad) 2) Pengaturan (regelendaad)
3) Pengelolaan (beheersdaad)
4) Pengawasan (toezichthoundensdaad)
b. Terhadap Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
• Listrik merupakan salah satu cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara
• Makna penguasaan negara atas ketenagalistrikan meliputi fungsi negara sebagai pengatur (regelendaad) dan fungsi pengelolaan (beheersdaad), yaitu terlibat langsung dalam manajemen BUMN
• Penyediaan tenaga listrik tidak dapat dipisah-pisah (unbundling), dan harus dikelola langsung oleh negara, sedapat mungkin sepenuhnya
c. Terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
• Hak atas air merupakan hak asasi manusia, sehingga hak tersebut tidak hanya tunduk pada Pasal 33 ayat (3) Undang Undang dasar 1945 saja, tetapi juga pada Pasal 28H Undang Undang Dasar 1945
• Air bukanlah barang ekonomi, sesuai dengan prinsip “pemanfaat air
membayar jasa pengelolaan sumber daya air”
• Peran swasta dalam pengelolaan sumber daya air hanya dapat dilakukan dibawah izin dari pemerintah
• Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi cenderung melihat konstitusionalitas norma (validitas norma), bukan keberlakuannya (eficacy norma)
• Modifikasi cuaca hanya dapat dilakukan dengan izin pemerintah 2. Metode penafsiran yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi
a. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi mengutamakan penafsiran historis dan tekstual terhadap Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, yang dikuatkan dengan penafsiran doktrinal, fungsional dan komparatif
b. Dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi cenderung menafsirkan Undang-undang yang dimohonkan dengan penafsiran fungsional (terutama izin). Sehingga Undang- undang ini harus dilihat dulu penerapannya dalam ketentuan pelaksanannya (PP, Perpres, Kepmen, Dll)
Penafsiran fungsional dalam putusan pengujian undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air cenderung melihat pemerintah secara
prediktif-positif. Harusnya Mahkamah Konstitusi juga perlu mempertimbangkan untuk membandingkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan Undang-undang Sumber Daya Air negara lain dan praktiknya. Hal ini sebenarnya dikemukakan dalam persidangan oleh saksi ahli. Tetapi Mahkamah Konstitusi tidak menggunakan penafsiran komparatif
3. Conditionally Constitutional
• Conditionally Constitutional termasuk penafsiran fungsional dan ia dipandang sebagai sebuah penemuan hukum baru dalam peradilan dan hukum tata negara
• Melihat kepada unsur-unsur Conditionally Constitutional dalam putusan
pengujian unadng-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maka Pengertian Conditionally Constitutional adalah putusan atau kondisi yang menyatakan suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan Unang Undang Dasar, di mana putusan tersebut memberikan syarat kepada instansi, dalam pelaksanaannya, untuk harus memperhatikan apa yang ditafsirkan oleh Mahkamah. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi atau ditafsirkan lain, maka undang-undang tersebut masih dapat diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi.
• Conditionally Constitutional dalam putusan pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah ketentuan yang bertentangan dengan sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.
• Apabila Conditionally Constitutional ditafsirkan secara tekstual dan memandang hukum sebagai suatu sistem yang harmonis, maka Conditionally Constitutional
bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tetapi, Conditionally Constitutional
tidaklah hasil dari penggunaan penafsiran tekstual, melainkan merupakan penggunaan metode penafsiran fungsional yang bersifat prediktif positif, sehingga peraturan pelaksana yang dimaksud Mahkamah Konstitusi dalam putusan Pengujian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya air adalah bagian dari sistem hukum sumber daya air yang juga harus harmonis. B. Saran
Beberapa saran yang ingin disampaikan dari hasil penulisan skripsi ini adalah:
1. Perlu adanya gambaran yang jelas tentang metode penafsiran yang digunakan hakim dalam setiap putusannya, sehingga dapat memudahkan para pihak untuk