• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

A. Proses Penanaman

Jumlah pohon jambu mete yang diusahakan untuk sutera: ... pohon Luas lahan untuk pengusahaan sutera: ... m2

Jarak Lubang tanam: a). 2m x 2m b). 3m x 3m c). 4m x 4m Perawatan: a). Dipupuk b). Disemprot daun

c). Disemprot hama e). ... B. Proses Pemanenan Kepompong Sutera Emas

Panen dalam 1 tahun: a). 1 kali b). 2 kali c). 3 kali d). Belum pernah Pernah panen di bulan: a). Januari b). Februari c). Maret d). April

e). Mei f). Juni g). Juli h). Agustus i). September j). Oktober k). November l). Desember Jumlah kepompong sekali panen:

Panen pertama: a). 2 ons b). 3 ons c). 4 ons d). 5 ons e). 6 ons f). 7 ons g). 8 ons h). 9 ons i). 10 ons j). .... ons Panen kedua: a). 2 ons b). 3 ons c). 4 ons d). 5 ons e). 6 ons

f). 7 ons g). 8 ons h). 9 ons i). 10 ons j). .... ons Tabel 1. Biaya Alat dan Bahan Produksi Budidaya Ulat Sutera Emas

No Biaya Satuan Jumlah Harga/satuan Umur Pemakaian 1. Keranjang buah 2. Karung 3. Cangkul 4. Linggis 5. Timbangan 6. Gunting 7. Pupuk 8. Obat daun 9. Bibit pohon 10. 11. 12. 13.

Penjualan Hasil Panen

Dijual ke Perusahaan: ... Koperasi : ...

Harga kokon per kilo: a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000 d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000 Harga kokon yang masih ada pupanya:

a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000 d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000 Harga pupa/entung per kilo:

a). Rp.50.000 b). Rp.60.000 c). Rp.70.000 d). Rp.80.000 e). Rp.90.000 d). Rp.100.000

50 Tabel 2. Curahan Jam Kerja Petani

No Kegiatan Frekuensi Lama Pelaksanaan (jam)

Harian Mingguan Bulanan

1 Pembibitan

2 Membuat lubang tanam

3 Penanaman 4 Pemupukan 5 Penyemprotan daun 6 Pemanenan kokon 7 Pembersihan kokon 8 Penimbangan kokon 9 Pengumpulan kokon

32 Lampiran 2. Nilai Investasi Dari Alat-Alat Yang Dipakai Petani Pengumpul

Jumlah Alat Harga Alat Beban Biaya Total

No Nama Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Keranjang Timbangan Gunting Harga

1 Ahmadi 1 1 2 25000 275000 40000 3750 55000 6000 64750 2 Romlan 1 1 2 20000 250000 40000 3000 50000 6000 59000 3 Tugiman 2 2 40000 30000 6000 0 4500 10500 4 Mujari 2 1 2 40000 270000 50000 6000 54000 7500 67500 5 Wiknyo 2 1 40000 25000 6000 0 3750 9750 6 Sisar 3 1 3 60000 275000 45000 9000 55000 6750 70750 7 Jumadi S. 2 1 2 40000 160000 30000 6000 32000 4500 42500 8 Surawi 1 25000 3750 0 0 3750 9 Jazimah 1 15000 2250 0 0 2250 10 Sogiyanto 3 1 2 60000 750000 30000 9000 150000 4500 163500 11 Yatno 2 1 3 40000 275000 75000 6000 55000 11250 72250 12 Pargiyanto 2 1 3 50000 270000 75000 7500 54000 11250 72750 13 Pardi 1 1 2 25000 260000 50000 3750 52000 7500 63250 14 Sugiyo 3 1 4 75000 275000 100000 11250 55000 15000 81250 15 Bahroni 1 1 2 25000 275000 50000 3750 55000 7500 66250 16 Ponijo 1 2 25000 40000 3750 0 6000 9750 17 Wiyono 2 1 2 40000 400000 15000 6000 80000 2250 88250 18 Hartowiyadi 2 1 4 40000 150000 20000 6000 30000 3000 39000 19 Wajiman 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000 20 Sarjono 2 2 40000 40000 6000 0 6000 12000 21 Muh Soleh 2 1 2 50000 250000 50000 7500 50000 7500 65000

Total Biaya Investasi Alat 1076000

Keterangan: Beban Biaya Keranjang = 15% dari harga alat Beban Biaya Timbangan = 20% dari harga alat Beban Biaya Gunting = 15% dari harga alat

33 Lampiran 3. Biaya tetap untuk pengumpulan kokon ulat sutera

Jumlah Alat Harga Penggunaan Total Harga penggunaan

No Keranjang Timbangan Gunting 15% 20% 15% Keranjang Timbangan Gunting

1 1 1 2 3750 55000 6000 3750 55000 12000 2 1 1 2 3000 50000 6000 3000 50000 12000 3 2 2 6000 0 4500 12000 0 9000 4 2 1 2 6000 54000 7500 12000 54000 15000 5 2 1 6000 0 3750 12000 0 3750 6 3 1 3 9000 55000 6750 27000 55000 20250 7 2 1 2 6000 32000 4500 12000 32000 9000 8 1 3750 0 0 3750 0 0 9 1 2250 0 0 2250 0 0 10 3 1 2 9000 150000 4500 27000 150000 9000 11 2 1 3 6000 55000 11250 12000 55000 33750 12 2 1 3 7500 54000 11250 15000 54000 33750 13 1 1 2 3750 52000 7500 3750 52000 15000 14 3 1 4 11250 55000 15000 33750 55000 60000 15 1 1 2 3750 55000 7500 3750 55000 15000 16 1 2 3750 0 6000 3750 0 12000 17 2 1 2 6000 80000 2250 12000 80000 4500 18 2 1 4 6000 30000 3000 12000 30000 12000 19 2 2 6000 0 6000 12000 0 12000 20 2 2 6000 0 6000 12000 0 12000 21 2 1 2 7500 50000 7500 15000 50000 15000 Rata-Rata 11893 39381 15000

Total harga barang investasi 261643 827000 315000

Umur Penyusutan Per Alat 2 tahun 5 tahun 3 tahun

Biaya Penyusutan 130821 165400 105000

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah baik berupa kekayaan alam tambang, maupun kekayaan alam flora dan fauna. Masih cukup banyak kekayaan alam Indonesia yang belum diketahui dan dimanfaatkan. Salah satu diantaranya adalah ulat sutera liar Cricula trifenestrata. Ulat yang terkenal menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat sutera murbei dan ulat sutera non murbei. Kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya adalah Bombyx mori, sedangkan kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei. Ulat sutera liar (wild silkworm) atau kelompok sutera non murbei merupakan ulat sutera yang menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Di Indonesia terdapat lima spesies ulat sutera liar, yaitu Attacus atlas L, Samia cynthia ricini Bsd, Cricula trifenestrata Helf, C. aelaezea Jord, Anthraea pernyi yang semuanya termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996).

Cricula trifenestrata yang menghasilkan kokon (kepompong) berwarna kuning keemasan hidup liar di sebagian daerah Indonesia. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya beberapa keunggulan dari ulat sutera liar dibanding dengan ulat sutera B. mori. Sifat suteranya lembut, dapat menyimpan panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan lain adalah variasi warna suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon mengandung lebih banyak pori dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).

Pakan C. trifenestrata mencakup daun dari berbagai jenis tumbuhan seperti pohon alpukat, kenari, kedondong, kopi, jambu mete, mangga, dan kayu manis. Banyak perkebunan di Indonesia, khususnya perkebunan jambu mete berpotensi dijadikan sumber pakan C. trifenestrata. Ulat sutera liar hanya hidup di iklim tropis seperti di Indonesia, sehingga Indonesia memiliki potensi pengembangan budidaya C. trifenestrata yang lebih strategis.

Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas hasil perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki arti ekonomis yang cukup besar sebagai bahan baku agroindustri. Sejak tahun

2 1994-2002, areal tanaman jambu mete terus meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 3,5% per tahun. Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia telah mencapai 110.232 ton (Direktorat Jendral Perkebunan, 2003).

Sebagian besar petani jambu mete masih menganggap C. trifenestrata ini sebagai hama sehingga ulat sutera ini seringkali diberantas. Padahal keberadaan C. trifenestrata pada pohon jambu mete justru memicu peningkatan kualitas buah jambu mete. Selain keunggulan di atas, kokon C. trifenestrata dapat dijadikan bahan baku pembuatan asesoris. Sebagian kecil petani jambu mete di daerah Imogiri yang telah mengetahui nilai ekonomi C. trifenestrata telah mulai memanfaatkan kokonnya sejak tahun 1995 dengan cara mengkoleksinya dari alam (Situmorang, 1996). Sebagian kokon-kokon yang dikumpulkan, dipintal menjadi benang sutera emas dan sebagian lainnya dibuat menjadi lembaran kokon yang digunakan dalam pembuatan berbagai macam barang kerajinan tangan yang eksklusif.

Sampai saat ini, terdapat beberapa produsen aksesoris yang memanfaatkan kepompong C. trifenestrata sebagai bahan baku produknya. Produsen tersebut tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Kendala utama yang dialami para produsen

adalah bahan baku kulit kokon yang masih terbatas karena ulat sutera C. trifenestrata belum dibudidayakan. Lebih jauh, jika ulat ini tidak dipopulerkan

di masyarakat untuk dibudidayakan, ditambah lagi oleh dampak perubahan iklim, besar kemungkinan di masa mendatang spesies ini akan mengalami kepunahan atau potensi ini justru dikembangkan oleh negara lain. Oleh karena itu, perlu diketahui sistem produksi C. trifenestrata secara terintegrasi sehingga dapat diadopsi dalam usaha budidaya atau dijadikan referensi bagi pemilik kebun jambu mete ataupun kebun lainnya di daerah lain untuk memanfaatkan ulat sutera C. trifenestrata dan tidak menganggapnya sebagai hama.

3 Tujuan

Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis sistem produksi dan potensi ekonomi pemanfaatan hama ulat sutera liar (C. trifenestrata) di desa Imogiri. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk mengetahui:

1. Kebutuhan input produksi dan teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan C. trifenestrata.

2. Pola produksi dan siklus C. trifenestrata.

3. Keterlibatan tenaga kerja dalam rumah tangga petani jambu mete di Imogiri.

4. Pendapatan petani jambu mete yang membudidayakan C. trifenestrata di Imogiri.

4 TINJAUAN PUSTAKA

Ulat Sutera

Ulat yang terkenal menghasilkan sutera meliputi dua kelompok, yaitu ulat sutera murbei dan ulat sutera non murbei (San-Ming, 1989). Ulat sutera yang dimasukkan dalam kelompok sutera murbei adalah ulat sutera yang telah didomestikasi dengan daun murbei (Morus sp) sebagai pakannya, contohnya Bombyx mori, sedangkan yang masuk dalam kelompok non murbei atau sutera liar adalah ulat sutera yang belum didomestikasi dengan pakan bukan daun murbei, contohnya Cricula trifenestrata.

Ulat sutera liar (wild silkworm) merupakan ulat sutera non-murbei yang menghasilkan berbagai jenis sutera yang sangat bervariasi jenisnya. Terdapat setidaknya lima spesies ulat sutera liar di Indonesia yaitu Attacus atlas L, Samia cynthia ricini Bsd, Cricula trifenestrata Helf, Cricula aelaezea Jord, Anthraea pernyi yang semuanya termasuk familia Saturniidae (Situmorang, 1996). Ulat sutera liar tersebut menghasilkan jenis sutera yang berbeda dangan Bombyx mori. Sifat suteranya lembut, dapat menyimpan panas lebih lama, dan anti bakteri. Keunggulan lain adalah variasi warna suteranya yang bermacam-macam, filamen kokon mengandung lebih banyak pori dan tidak menyebabkan alergi (Akai, 1997).

Cricula trifenestrata

Cricula trifenestrata termasuk dalam klasifikasi ordo Lepidoptera, famili

Saturniidae, genus Cricula (Triplehorn & Johnson, 2005). Ciri morfologi C. trifenestrata ini adalah tubuh ulat berwarna hitam dengan bercak-bercak putih dan

rambut-rambut putih, kepala dan ujung abdomen berwarna merah cerah.

5 Tubuh ulat mampu mencapai panjang 60 mm. Pupa berada di dalam kokon berbentuk jala yang berwarna kuning emas dan seringkali ditemukan bergerombol di daun. Ngengat betina berukuran besar (memiliki bentangan sayap sekitar 75mm) dan berwarna coklat. Ngengat betina mudah dibedakan dengan ngengat jantan karena

memiliki tiga “jendela” kecil pada sayap depan (Kalshoven, 1981).

Gambar 2. Ngengat dari C. trifenestrata Daerah Penyebaran

Cricula trifenestrata Helf. dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia dan Asia Tenggara (Kalshoven, 1981). Cricula trifenestrata javana ditemukan di Nusa Tenggara Timur, yaitu Flores (Watson, 1913). Cricula trifenestrata tenggarensis ditemukan di Sumba (Paukstadt & Paukstadt, 1999). Cricula trifenestrata juga dijumpai di daerah Sumatera (Herausgeber, 1996). Cricula trifenestrata kransi ditemukan di daerah Sulawesi (Akai, 2000). Cricula trifenestrata banggaiensis ditemukan di Kepulauan Banggai (Naumann dan Pakustadt, 1997). Cricula trifenestrata bornea ditemukan di Kalimantan (Watson, 1913).

Daur Hidup Cricula trifenestrata Helf.

Penelitian di Bangladesh menunjukkan daur hidup C. trifenestrata diselesaikan dalam 61-125 hari dengan lima instar larva (Hug et al,. 1991). Ahmed dan Alam (1993) menyatakan bahwa larva yang sangat aktif adalah instar III sampai akhir. Saat larva yang lebih muda tidak makan, larva beristirahat di tepi daun dan yang lebih tua menggantungkan diri pada petiole atau bahkan pada ranting yang kecil.

Ulat memasuki stadium pupa setelah melewati masa pertumbuhan yang ditandai dengan lebih banyak makan. Proses tersebut didahului dengan pembuatan kokon sebagai pelindung dari mangsanya dan untuk perkembangan selanjutnya (Jolly,

6 1974). Setelah itu, ngengat keluar dari kokon yang membungkusnya. Ngengat berwarna cokelat muda dengan tiga bercak transparan pada sayap bagian depan, dan pada hari berikutnya ngengat akan kawin. Selanjutnya, betina akan mengeluarkan telur dan lengkaplah daur C. trifenestrata Helf (Budidaya Ilmu Pertanian, 1986). Pakan Cricula trifenestrata

Ulat sutera ini bersifat gregarious (agresif saat makan) dan pada saat terjadi peledakan populasi dapat menyebabkan pohon menjadi gundul. Pohon yang biasa diserang C. trifenestrata adalah pohon jambu mete (Anacardium sp.), pohon alpukat (Persea sp.), kedondong (Spondias sp.), kenari (Canarium sp.), mangga (Mangifera sp.) dan kayu manis (Cinnamomum sp.) (Kalsholven, 1981). Situmorang (1996) menyatakan bahwa C. trifenestrata memakan daun pada pohon jambu mete, alpukat, mangga, kenari, kedondong, kayu manis dan lain-lain. Tanaman yang daunnya dimakan tidak akan mengakibatkan kematian pada pohon, tetapi akan tetap tumbuh dan bertunas kembali.

Tanaman Jambu Mete A. occidentale

Tanaman mete atau jambu mete berasal dari daerah di kawasan Amerika Tengah, Peru, Meksiko, Brazil hingga Hindia Barat. Tanaman jambu mete tumbuh pada 250 LU/LS, dapat tumbuh sampai pada ketinggian 2.500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini tahan terhadap cuaca panas, namun suhu optimum bulanan untuk pertumbuhan rata-rata 27 0C. Apabila pada saat pembungaan terjadi suhu rendah, perkembangannya dapat terganggu. Perakaran tanaman mete sangat intensif dan dalam, sehingga dapat tahan terhadap kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Di daerah gunung Kidul dan wilayah Timur Indonesia yang beriklim kering dan tanahnya berbatu serta berkapur, tanaman ini masih mampu tumbuh dan berproduksi baik. Tanah yang berdrainase baik dengan solum dalam, berpasir dan mengandung lempung sangat sesuai untuk pertumbuhannya. Curah hujan yang merata baik untuk menanam mete secara komersil dan besar-besaran (Ashari, 1995).

Potensi Pertumbuhan Perkebunan Jambu Mete

Jambu mete (A. occidentale L.) merupakan komuditas hasil perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, karena memiliki arti ekonomis yang cukup besar sebagai bahan baku agroindustri. Semenjak tahun 1994 sampai 2002

7 pertumbuhan areal tanaman jambu mete terus meningkat, rata-rata 3,5% per tahun. Tahun 2003, produksi gelondong mete Indonesia telah mencapai 110.232 ton (Direktorat Jendral Perkebunan, 2003). Produksi gelondong mete Indonesia juga menduduki urutan ke-6 sebagai produsen mete di dunia setelah Vietnam, India, Nigeria, Brazil, dan Tanzania (Food and Agriculture Organization, 2004).

Pertanaman jambu mete tersebar di Kawasan Timur Indonesia. Sebagian besar pertanamannya (sekitar 98%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat. Daerah penghasil utama jambu mete yaitu Nusa Tenggara Timur (14,15%), Sulawesi Tenggara (24,05%), Sulawesi Selatan (24,92%), Jawa Timur (10,14%), Nusa Tenggara Barat (10,17%) dan Jawa Tengah (5,01%) (Direktorat Jendral Perkebunan, 2003).

Tabel 1. Daerah Penghasil Utama Jambu Mete di Indonesia pada Tahun 2002

No Provinsi Luas Pertanaman (ha) Produksi

(ton)

PR PB Total

1 Nusa Tenggara Timur 146.153 209 146.362 15.600 2 Sulawesi Tenggara 117.031 3.519 120.550 26.507 3 Sulawesi Selatan 78.558 1.195 79.753 27.459

4 Jawa Timur 57.445 0 57.445 11.181

5 Nusa Tenggara Barat 51.640 3.800 55.445 11.210

6 Jawa Tengah 30.271 0 30.271 5.524

7 Provinsi lainnya 87.698 1.405 89.103 12.738

Total 568.796 10.128 578.924 110.232

Sumber: Direktorat Jendral Perkebunan (2003), PR: Perkebunan Rakyat, PB: perkebunan Besar Sistem Produksi

Sistem produksi merupakan kumpulan dari sub sistem yang saling berinteraksi dengan tujuan menstranformasi input produksi menjadi output produksi yang memiliki nilai lebih/jual. Input produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin, tenaga kerja, modal, dan informasi. Sedangkan output produksi merupakan produk yang dihasilkan berikut hasil sampingannya, seperti limbah, informasi, dan sebagainya (Fadly, 2011). Secara skematis sistem produksi digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Skema Sistem Produksi

8 Analisis Pendapatan Usaha Tani

Usaha tani adalah kegiatan yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai pengeluaran. Analisis pendapatan memerlukan data penerimaan (revenue) dan pengeluaran (expenses) baik yang menyangkut tetap (fixed) maupun biaya operasi (operating expenses). Semuanya dalam perhitungan tunai (cash). Jumlah yang dijual (termasuk yang digunakan sendiri) dikalikan dengan harga merupakan jumlah yang diterima, itulah yang disebut penerimaan. Bila penerimaan dikurangi dengan biaya produksi hasilnya dinamakan pendapatan. Analisis pendapatan berguna untuk mengetahui dan mengukur apakah kegiatan yang dilakukan berhasil atau tidak. Terdapat dua tujuan utama dari analisa pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Tingkat pendapatan selain dipengaruhi oleh keadaan harga faktor produksi dan harga hasil produksi, juga dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak. Analisis usahatani meliputi penerimaan dan pendapatan usahatani (Soekartawi, 2002).

Penerimaan total adalah nilai produk total usaha tani dalam jangka waktu tertentu. Boediono (2002), menyatakan bahwa penerimaan adalah hasil penjualan output yang diterima produsen dan jumlah penerimaan dari suatu proses produksi dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah produksi yang dihasilkan dengan harga jual produk tersebut. Biaya mencakup suatu pengukuran nilai sumber daya yang harus dikorbankan sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Berdasarkan volume kegiatan, biaya dibedakan atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan produksi yang jumlah totalnya tetap pada volume kegiatan tertentu, contuhnya adalah biaya penyusutan, sedangkan biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang jumlah totalnya berubah-ubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan, contohnya adalah biaya bahan baku setengah jadi dan biaya survey. (Boediono, 2002). Pengeluaran total usaha tani adalah nilai semua input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran (Soekartawi, et al., 1986)

9 Soeharjo dan Patong (1973) mengatakan bahwa pendapatan usaha tani yang diterima seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima petani lainnya. Perbedaan pendapatan petani ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya masih dapat berubah dalam batas-batas kemampuan petani, misalnya luas lahan usaha tani, efisiensi kerja dan efisiensi produksi. Faktor-faktor yang tidak dapat berubah seperti iklim dan jenis lahan.

Salah satu ukuran yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui keuntungan usaha tani yang dilihat dari segi pendapatan adalah perbandingan antara penerimaan dengan biaya atau R/C. Nilai R/C > 1 berarti penerimaan yang diperoleh akan lebih besar daripada tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut sehingga kegiatan usaha tani efisien untuk dilakukan. Nilai R/C < 1 maka tiap unit biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh sehingga usaha yang dilakukan tidak efisien. Alat yang digunakan untuk menganalisis keuntungan usaha tani adalah R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total (Soekartawi et al., 1986).

Nilai Ekonomis Sutera

Nilai merupakan penghargaan atas suatu manfaat bagi orang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Sedangkan penilaian merupakan penetapan atau penentuan bobot atau manfaat suatu barang dan jasa bagi manusia. Jadi penilaian barang dan jasa merupakan penentuan bobot atau manfaat barang dan jasa bagi manusia (David dan Johnson, 1987).

Kebutuhan akan benang sutera selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 1994 keperluan benang sutera dunia adalah 92.743 ton per tahun, sedang produksinya baru mencapai 83.393 ton (Food and Agriculture Organization, 1994, dalam Departemen Kehutanan 1996). Untuk memenuhi keperluan tersebut konsumen sutera juga membidik pasar di Amerika Selatan dan Asia Tenggara antara lain ke Indonesia. Dengan demikian pasar benang sutera masih terbuka, baik untuk memenuhi kebutuhan ekspor, maupun untuk digunakan di dalam negeri.

10 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari awal Desember 2010 sampai awal Januari 2011. Lokasi penelitian bertempat di perkebunan jambu mete rakyat milik kelompok tani Catur Makaryo di desa Imogiri, Yogyakarta.

Materi Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah petani yang memanfaatkan C. trifenestrata. Pemilihan wilayah di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Yogyakarta didasarkan atas pertimbangan bahwa masyarakat di wilayah tersebut telah memanfaatkan kokon dari ulat sutera emas C. trifenestrata secara ekonomis.

Penentuan responden (sampel unit) diambil dari petani dari kelompok tani Catur Makaryo, dua dusun (Karangtengah dan Karangrejek) yang dipilih secara sengaja (purposive), dengan satuan responden adalah kepala keluarga. Pemilihan desa secara sengaja didasarkan pertimbangan yang sama dengan pemilihan wilayah.

Data dan Instrumentasi

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder meliputi data kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan dan diperoleh melalui wawancara dengan petani yang terpilih menjadi responden, ketua kelompok, dan penanggung jawab pengelola lapang kelompok tani Catur Makaryo serta pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun secara terstruktur dan dipersiapkan terlebih dahulu untuk memperoleh gambaran tentang input, output serta besarnya kegiatan usaha pembudidayaan C. trifenestrata dan kegiatan usaha di luar usaha pembudidayaan.

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan dari bahan tertulis atau pustaka yang dapat dipercaya dan berhubungan dengan penelitian berupa hasil penelitian. Diantaranya data klimatologi daerah Imogiri

11 dari BMKG, data karakteristik penduduk dari Badan Pusat Statistik, Badan Pendapatan Daerah Kota Yogyakarta, dan Dinas Pertanian Kota Yogyakarta.

Prosedur

Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei untuk menganalisis sistem produksi dan pendapatan ekonomi dari pemanfaatan C. trifenestrata di desa Imogiri. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis pendapatan. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan kondisi dan potensi usaha pemanfaatan C. trifenestrata di desa Imogiri. Analisis pendapatan digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi pemanfaatan C. trifenestrata di desa Imogiri.

Rancangan dan Analisis Data Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dalam penelitian ini merupakan deskripsi yang mendalam tentang proses produksi dari pemanfaatan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata. Proses produksi yang dimaksud meliputi pengamatan terhadap input, proses dan output yang terkait dengan pemanfaatan kokon ulat sutera emas C. trifenestrata. Input merupakan bahan dan alat-alat yang dibutuhkan dalam pemanfaatan kokon, termasuk siklus produksi dari kokon ulat sutera emas C. trifenestrata. Proses merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan output. Output merupakan hasil keluaran dari proses produksi yang memiliki nilai.

Analisis Pendapatan (Nilai Ekonomi)

Analisis Pendapatan atau nilai ekonomi dari usaha tani pemanfaatan kepompong sutera emas dihasilkan dari beberapa perhitungan. Perhitungan tersebut meliputi : biaya investasi, biaya operasional, total biaya (biaya tetap + biaya variable), pemasukan, keuntungan, R/C rasio, BEP dan payback periode.

12 Biaya Investasi. Investasi adalah dana yang dikeluarkan untuk membangun usaha. Biaya investasi biasanya berumur lebih dari satu tahun. Misalnya biaya alat timbangan besar yang umur pemakaiannya lebih dari 1 tahun.

Biaya Operasional. Biaya operasional adalah biaya produksi yang harus dikeluarkan setiap satu periode produksi. Biaya tersebut yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Misalnya biaya penyusutan.

Biaya Total atau Total Cost (TC). Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan ulat sutera dan pengumpulan kokon. Biaya total atau Total Cost ini merupakan total biaya produksi yang dikeluarkan untuk biaya operasinoal.

Penerimaan atau Total Revenue (TR). Penerimaan adalah jumlah uang yang diperoleh dari hasil penjualan hasil produksi. Penerimaan yang diperoleh oleh petani dapat berupa penerimaan pokok dan penerimaan sampingan.

Keuntungan. Keuntungan merupakan selisih penerimaan dengan total biaya produksi. Keuntungan dihitung berdasarkan selisih antara penerimaan total (Total Revenue) dengan biaya total (Total Cost). Rumus pendapatan menurut Guritno (1996) adalah sebagai berikut :

Kriteria yang digunakan : maka untung, maka rugi, maka impas

TR = Total Revenue (Total Penerimaan) TC = Total Cost (Total Biaya)

R/C Ratio. Analisis R/C ratio merupakan alat analisis yang digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Suatu usaha dinyatakan layak untuk dijadikan usaha jika nilai R/C ratio lebih besar dari satu (R/C > 1). Semakin tinggi nilai R/C maka tingkat keuntungan suatu usaha akan lebih besar.

13 Payback Periode (PP). Analisis payback periode (PP) untuk mengetahui lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi yang ditanamkan atau berapa lama investasi yang ditanamkan akan kembali. PP dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

14 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Sejarah Kelompok Tani Catur Makaryo

Kelompok Tani Catur Makaryo merupakan kelompok usaha pertanian yang memiliki peranan penting dalam pengembangan dan kemajuan pertanian di desa Imogiri, Yogyakarta. Kelompok tani ini menjadi tempat bagi para petani berbagi informasi dan pengalaman, serta bekerjasama dalam rangka mensejahterakan desa. Kelompok ini bernama Catur Makaryo yang dalam bahasa Jawa berarti “empat pihak yang berusaha”. Empat pihak tersebut adalah: Dusun Karang Tengah, Dusun Karang Rejek, Kesultanan Yogyakarta dan Perusahaan Yarsilk. Kelompok Tani Catur

Dokumen terkait