• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian .1Teknologi alat penangkapan ikan .1Teknologi alat penangkapan ikan

4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan pada tiga desa penelitian terkadang menggunakan bom sebagai alat penangkapannya. Hasil survei yang dilakukan terhadap 60 responden nelayan yang berasal dari 3 desa menunjukkan bahwa sebagian nelayan tidak melakukan pengeboman ikan lagi karena takut kepada petugas. Namun demikian, masih banyak di antara nelayan yang tetap menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Nelayan ini hanya mengambil ikan ukuran besar dan bernilai ekonomis tinggi, sedangkan ikan-ikan ukuran kecil yang ikut mati atau terbius akibat bom dibiarkan, lalu pergi ke lokasi lain mencari daerah yang lebih potensial. Ketika nelayan yang melakukan pengeboman ikan pergi, biasanya ada nelayan lain yang mengambil ikan mati atau terbius yang ditinggalkan oleh nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Adapun komposisi jumlah nelayan responden yang melakukan pengeboman ikan, nelayan yang hanya sekedar mengambil ikan yang mati/terbius, dan nelayan yang tidak melakukan pengeboman ikan disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan

Desa Penggunaan bom

Melakukan Pengumpul sisa ikan Tidak lagi Doro Bori Pediwang 7 8 3 4 1 3 9 11 14 Jumlah 18 8 34

Penggunaan bom di Kecamatan Kao Utara pernah dilakukan oleh banyak nelayan dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan Tabel 15, sebanyak 34 responden atau sebanyak 57% yang menyatakan bahwa mereka sudah tidak mau lagi melakukan pengeboman ikan. Nelayan yang masih menggunakan bom ikan

adalah sebanyak 18 orang atau sekitar 30%. Sedangkan nelayan yang tidak menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan tetapi mereka mengumpulkan sisa ikan yang telah mati/terbius sebanyak 8 orang, atau sebesar 13%. Pengumpulan hasil tangkapan ini biasanya hanya mengumpulkan sisa-sisa ikan, biasanya yang berukuran kecil untuk dijadikan umpan.

Tren menurunnya nelayan menggunakan bom pada ketiga desa lebih kuat di desa Pediwang, karena tidak ada lagi nelayan responden yang mau ikut serta dalam kegiatan penggunaan bom ikan. Namun demikian, masih ada sebanyak 3 responden yang aktif melakukan pemboman ikan di desa tersebut dan 3 responden yang mengumpulkan sisa-sisa ikan yang dibom. Untuk Desa Bori, terdapat 8 orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa ikan, dan yang lainnya tidak melakukan pengeboman ikan lagi. Sedangkan di Desa Doro, dari 20 responden, terdapat 7 orang yang masih melakukan pengeboman ikan, dan 4 orang sebagai pengumpul sisa ikan, dan 9 orang yang tidak mau melakukan lagi.

Alasan nelayan di 3 desa penelitian menggunakan alat penangkapan ikan dengan bom berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa dari 11 orang nelayan yang melakukan pengeboman menyatakan, penggunaan bom yang mereka lakukan dalam penangkapan ikan disebabkan karena: 1) bahan mudah ditemukan, 2) sederhana dalam proses perakitan dan penggunaannya, 3) memperoleh tangkapan lebih banyak, dan 4) resiko kecelakaan yang timbul terhadap diri merupakan kelalaian nelayan itu sendiri.

Nelayan yang melakukan kegiatan pengeboman ikan menyatakan bahwa sebagian besar dari mereka telah berpengalaman melakukannya lebih dari 4 tahun, yakni sebanyak 16 orang (88 %), dan sebanyak 2 orang (12 %) menyatakan bahwa mereka telah berpengalaman selama 1 tahun. Responden nelayan yang memiliki pengalaman selama 2 tahun dan 3 tahun tidak ada (Tabel 16). Hal ini menunjukkan bahwa transfer pengalaman untuk menggunakan bom dalam penangkapan ikan tidak terjadi setiap tahun, namun dapat terjadi sewaktu-waktu tergantung keberanian dan dorongan tertentu yang menyebabkan seorang nelayan menggunakan bom ikan.

Tabel 16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom

Desa Pengalaman menggunakan bom

1 tahun 2 tahun 3 tahun > 4 tahun

Doro 1 0 0 6

Bori 1 0 0 7

Pediwang 0 0 0 3

Jumlah 2 0 0 16

Bom yang digunakan oleh nelayan di 3 desa penelitian dalam operasi penangkapan ikan, diperoleh dengan cara merakit sendiri, atau membeli dari nelayan lain. Sebagian besar dari nelayan yang menggunakan bom memiliki kemampuan untuk merakit bom ikan, walaupun sebagian kecil dari mereka hanya membeli bom yang sudah jadi dari nelayan lain. Namun sebagian nelayan melakukan penyelaman di dasar laut untuk mencari bom sisa waktu perang tempo dulu (Tabel 17).

Tabel 17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu

Desa Memperoleh mesiu

beli menyelam

Doro 3 1

Bori 4 0

Pediwang 2 1

Jumlah 9 2

Harga 4 buah bom yang sudah dirakit jika dijual kepada nelayan berkisar antara Rp.100.000.- sampai dengan Rp.200.000.- Hasil wawancara dengan responden, diperoleh informasi bahwa, bahan bom yang berupa bubuk mesiu dapat diperoleh dengan cara menyelam ke dasar laut menggunakan bantuan air compressor di sekitar perairan Teluk Kao yang banyak terdapat bom-bom bekas perang dunia kedua, yang banyak dibuang ke laut oleh tentara Jepang, setelah kalah dari tentara Sekutu. Bom yang telah lama berada di dasar laut tersebut, kemudian dibuka menggunakan gergaji besi sambil disiram air, atau bom tersebut telah terbuka akibat termakan karat. Berat bom yang diangkat, bisa berkisar antara 50 kg – 100 kg. Isi bom tersebut (mesiu) adalah bahan utama dari pembuatan bom ikan yang dilakukan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara. Harga 1 kg. bubuk mesiu yang dijual kepada nelayan lain berkisar Rp.50.000.-

sampai dengan Rp.100.000.-, dimana untuk 1 kg bubuk mesiu, dapat dirakit antara 3 – 4 bom rakitan

Proses pembuatan bom sangat sederhana dan bahan-bahan pendukungnya mudah diperoleh. Botol bekas atau pipa bekas (Ø ¾ inchi) yang dipotong sepanjang ± 10 – 20 cm, disumbat ujung sebelahnya dengan erat menggunakan kayu, kemudian dimasukkan mesiu di dalamnya. Ujung sebelahnya kemudian ditutup dengan kayu atau karet sandal bekas yang telah dilobangi bagian tengahnya untuk dipasangi sumbu. Sumbu konfensional dibuat menggunakan pipa sempit (Ø 2 – 3 mm) dan dipotong sepanjang 3 – 4 cm, dan diisi dengan bahan kepala korek api yang digerus dan dipadatkan kedalam pipa sempit, kemudian dipasang ke dalam lubang yang telah disiapkan pada perangkat bom. Bom jenis ini adalah bom yang dilempar dari atas perahu setelah sumbu dibakar menggunakan bara rokok atau bara obat nyamuk. Sumbu terbaru yang saat ini juga digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara adalah menggunakan bohlam lampu pijar yang biasanya digunakan untuk senter, dipecahkan tanpa merusak fillamen (yang berpijar dalam bohlam) bohlam. Fillamen tersebut kemudian dimasukkan secara hati-hati kedalam lubang sumbu pada perangkat bom, dan direkatkan agar kedap air, dimana pada kutub positif dan negatif bohlam disambungkan dengan seutas kabel positif dan negatif yang cukup panjang. Cara kerjanya, bom yang telah siap kemudian diturunkan ke kedalaman laut tertentu yang telah diamati oleh seorang nelayan yang melakukan penyelaman untuk melihat posisi ikan. Setelah bom diturunkan pada kedalaman yang diinginkan (terdapat banyak ikan), ujung kabel positif dan negatif yang berada di atas perahu kemudian disambungkan dengan kutub positif dan negatif pada beterai atau accu sepeda motor, dan menyebabkan sumbu (fillamen) yang terdapat di dalam mesiu menyala dan memicu bom meledak. Ikan-ikan yang telah ditangkap dengan bom kemudian dikumpulkan dengan cara menyelam oleh para nelayan yang ada, mempergunakan keranjang tali, ataupun dikumpulkan dengan tangan.

Hasil wawancara dengan responden nelayan di ketiga desa menunjukkan bahwa korban akibat penggunaan bom selama kurun waktu 5 tahun terakhir tidak ada, baik yang cacat maupun meninggal. Korban pernah terjadi pada 10 sampai

15 tahun lalu yang menyebabkan cacat dan kematian pada beberapa nelayan (Tabel 18), seperti Desa Doro korban meninggal 1 orang, di Pediwang korban meninggal 1 orang dan cacat 1 orang, sedangkan korban di Desa Bori, 2 orang cacat parmanen.

Tabel 18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan

Desa Korban bom

cacat meninggal Doro 0 1 Bori 2 0 Pediwang 1 1 Jumlah 9 2