• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis penggunaan bom dalam penangkapan ikan di kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis penggunaan bom dalam penangkapan ikan di kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

HALMAHERA UTARA

JURIL CHARLY ONTHONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan Ikan Di Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun, kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagiah akhir tesis ini.

Bogor, November 2010

Juril Charly Onthoni C452070274

(3)
(4)
(5)

JURIL CHARLY ONTHONI. Analisis Penggunaan Bom Dalam Penangkapan Ikan di Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON dan DEDI JUSADI.

Alat penangkapan ikan yang dipergunakan oleh masyarakat nelayan Kabupaten Halmahera Utara untuk melakukan penangkapan ikan sangat beragam, baik untuk penangkapan ikan pelagis, ikan demersal, maupun ikan karang. Alat tangkap yang dominan digunakan oleh nelayan adalah pancing ulur, jaring dan lain sebagainya, dengan mempergunakan armada perahu/kapal sederhana sampai dengan perahu/kapal dengan kapasitas 10 gross tonage. Namun demikian, penggunaan teknologi penangkapan ikan yang merusak lingkungan masih banyak terdapat di beberapa wilayah perairan Halmahera Utara seperti penggunaan bom. Alat tersebut dijatuhkan ke dalam air yang terdapat banyak ikan, dan menimbulkan ledakan yang berakibat matinya ikan-ikan kecil dan besar di sekitar lokasi ledakan. Tindakan ini dilakukan tidak hanya di perairan dangkal, namun juga dilakukan pada perairan dalam. Tindakan ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan nelayan. Ikan-ikan yang belum layak ditangkap akan mati, dan resiko cacat atau sampai kematian dapat dialami oleh nelayan.

Penelitian ini untuk mengungkapkan akar penyebab nelayan masih mempergunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei, dan dibantu dengan menyebarkan isian pertanyaan kepada sejumlah responden yang ditentukan secara purposive sampling method. Data primer yang dikumpulkan meliputi komposisi umur, tingkat pendidikan dan pendapatan nelayan. Ketiga variabel tersebut diduga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kegiatan penggunaan bom ikan. Keterkaitan antara ketiga variabel tersebut terhadap pemboman ikan dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Data sekunder dianalisa secara deskriptif, dan digambarkan dalam bentuk tabel dan grafik.

Nelayan di 3 lokasi penelitian tergolong sebagai nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan. Dalam melakukan penangkapan ikan, alat yang digunakan masih sederhana dan terbatas. Demikian pula dengan perahu yang dipakai untuk melaut masih tradisional dengan ukuran yang relatif kecil. Hal ini berimplikasi pada jumlah dan jenis tangkapan yang makin lama makin berkurang, sehingga penghasilan yang diperoleh nelayan relatif kecil. Kecilnya penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan menyebabkan mereka menggunakan bom sebagai kelengkapan alat tangkap ikan.

(6)

mempengaruhi nelayan menggunakan bom adalah lamanya pengalaman menggunakan bom dan mudahnya bahan yang dibutuhkan untuk membuat bom ikan; dan (3) Pendidikan adalah faktor yang sangat kuat mempengaruhi nelayan untuk tidak menggunakan bom dalam penangkapan ikan.

.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

JURIL CHARLY ONTHONI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Puji dan Syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas Berkat dan Rahmat-Nya, sehingga penulis masih bisa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam proses studi dan dalam upaya menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini begitu banyak bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga ungkapan terima kasih penulis sampaikan, khususnya kepada Bapak Dr. Ir. Domu simbolon, M.Si, dan Bapak Dr. Ir. Dedi Jusadi, M.Sc, sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis, sehingga proses penelitian dan penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Bupati, Sekretaris Daerah dan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, serta Camat Kao, Kapolsek Kao, Camat Kao Utara dan Kepala Desa Doro, Bori, dan Pediwang Kecamatan Kao Utara, atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis mengumpulkan data-data penelitian. Curahan kasih dan pengorbanan yang diberikan oleh istri dan anak-anak selama penulis belajar, merupakan dorongan yang sangat besar bagi penulis untuk menyelesaikan studi.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik moril maupun materil, khususnya Staf Dosen dan Staf Sekretariat PSP IPB serta rekan-rekan mahasiswa IPB dari Halmahera Utara, diucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2010

(11)

Juril Charly Onthoni dilahirkan di Tobelo, pada tanggal 1 April Tahun 1969 dari Bapak Hironimus Onthoni dan Ibu Gerti Makangiras.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri Tobelo dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Pattimura melalui jalur Sipenmaru, dan diterima sebagai mahasiswa jurusan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Setelah lulus pada tahun 1992, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan bekerja pada Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara sebagai Ajun Penyuluh Keluarga Berencana. Pada tahun 1997 penulis dipindahkan dari Kabupaten Maluku Tenggara ke Kabupaten Maluku Utara, dan bekerja sebagai Penyuluh Keluarga Berencana di Kecamatan Tobelo. Tahun 2003, setelah pemekaran wilayah di Provinsi Maluku Utara, dimana Kecamatan Tobelo masuk sebagai salah satu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di kabupaten ini, dan ditempatkan sebagai Kepala Seksi Penanggulangan Korban Bencana pada Dinas Kesejahteraan Sosial setempat. Pada tahun 2006, oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara, penulis ditugaskan di Kecamatan Kao sebagai Camat Kao. Mengawali tahun 2009, penulis dipindahkan dari Kecamatan Kao dan ditempatkan sebagai Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten Halmahera Utara. Tiga bulan menjabat sebagai Sekretaris KPUD, penulis kembali dipindahkan ke Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Halmahera Utara, dan menjabat sebagai Sekretaris sampai sekarang.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

DAFTAR ISTILAH ... xvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Kerangka Pemikiran ... 4

1.6 Hipotesis Penelitian ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeboman Ikan ... 7

2.2 Mata Pencaharian Alternatif ... 9

2.3 Pemberdayaan Masyarakat... 10

2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan) ... 13

2.5 Perikanan Tangkap ... 15

2.5.1 Alat penangkapan ikan ... 16

2.5.2 Armada perikanan ... 18

2.5.3 Nelayan ... 20

2.5.4 Produksi ... 24

2.5.5 Pemasaran ... 25

2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 26

2.6.1 Luas dan letak geografis ... 26

2.6.2 Penduduk ... 28

2.6.3 Ekonomi ... 30

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.2 Metode Pengumpulan data ... 31

3.3 Analisis Data ... 33

3.3.1 Analisis deskriptif ... 33

(14)

4 HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ... 35

4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan ... 35

4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom ... 38

4.1.3 Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan ... 42

4.2 Kondisi Ekonomi Nelayan ... 44

4.3 Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Bom Ikan ... 46

4.3.1 Penggunaan bom ikan di Desa Doro ... 46

4.3.2 Penggunaan bom ikan di Desa Bori ... 48

4.3.3 Penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ... 49

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian ... 51

5.1.1 Alat penangkapan ikan ... 51

5.1.2 Sosial budaya masyarakat nelayan ... 52

5.1.3 Ekonomi masyarakat nelayan ... 56

5.2 Penggunaan bom dalam penangkapan ikan ... 57

5.3 Faktor Determinan Penggunaan Bom Ikan ... 61

5.4 Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan ... 62

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 67

6.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6

2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara... 27

3 Sebaran umur responden di lokasi penelitian... 43

4 Sebaran tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian ... 44

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ... 17

2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara ... 18

3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara... 19

4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009 ... 20

5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap ... 23

6 Produksi ikan total menurut jenis alat ... 24

7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008 ... 29

8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian ... 32

9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan ... 34

10 Instrumen penelitian untuk variabel umur ... 34

11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan ... 34

12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan... 34

13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian ... 37

14 Persepsi responden terhadap bantuan... 38

15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan ... 38

16 Persepsi responden tentang lama menggunakan bom ... 40

17 Persepsi responden dalam memperoleh mesiu ... 40

18 Persepsi responden tentang korban penggunaan bom ikan ... 42

19 Jumlah penduduk Desa Doro, Bori dan Pediwang... 43

20 Anova penggunaan bom ikan di Desa Doro ... 47

21 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Doro ... 47

22 Anova penggunaan bom ikan di Desa Bori ... 48

23 Hasil variabel, koevisien regresi, nilai t dan p-value di Desa Bori ... 49

24 Anova penggunaan bom ikan di Desa Pediwang ... 50

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(18)

DAFTAR ISTILAH

Bom : Bahan Peledak.

Destructive Fishing : Merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan

ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum.

Detonator :

Pappaca : Pemadat.

Sumbu Bismillah : Sumbu yang ukurannya 2 cm.

Fishing Ground :

Bargaining Power :

Lau : Bulu ayam, Serabut kain.

Ketinting : Perahu motor tempel.

(19)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memasuki masa reformasi dalam tahapan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, telah terjadi banyak perubahan mendasar dalam tata pemerintahan daerah. Perubahan mendasar dalam masa reformasi adalah diberlakukannya sistem otonomi daerah, dimana setiap daerah yang dibentuk mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri. Perubahan ini, dalam prosesnya tidak hanya mempengaruhi aspek pemerintahan saja, namun selanjutnya cukup memberikan dampak kebebasan pada masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

Kabupaten Halmahera Utara sebagai sebuah daerah yang baru dimekarkan, memiliki luas perairan laut sekitar 19.536,02 km², memiliki potensi sumber daya ikan yang melimpah dan memberikan peluang yang sangat besar untuk dimanfaatkan secara ekonomis. Potensi sumberdaya ikan ini terlihat dari data keberagaman hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Halmahera Utara, antara lain:

ikan pelagis besar dan kecil, ikan demersal, dan ikan karang (DKP Halmahera Utara, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan Laut (2007), dalam Dokumen Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Halamahera Utara (DKP Halmahera Utara, 2008), potensi sumberdaya ikan yang terdapat di perairan Halmahera Utara cukup besar. Potensi lestari ikan pelagis diperkirakan 211.590 ton/tahun, dan ikan demersal sebesar 135.005 ton/tahun. Potensi ini merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang dapat memberikan manfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Utara.

(20)

penangkapan ikan harus memiliki beberapa pengaturan dan pembatasan agar tidak menghancurkan sumberdaya yang ada.

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan adalah merupakan salah satu cara penangkapan yang sangat merusak dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu dan dipasangi sumbu untuk kemudian dinyalakan dan dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua biota laut yang ada di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lainnya ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).

Menurut Mukhtar (2007), penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan merusak lingkungan. Penggunaannya di sekitar terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi ledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Kepolisian Resort Halmahera Utara, tindakan kriminal penggunaan bom ikan masih terdapat di perairann Teluk Kao Pulau Halmahera. Penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan ini dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil untuk memperbanyak hasil tangkapannya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pantai yang tersebunyi. Sayangnya aksi nelayan ini belum dapat dicegah karena keterbatasan personil dan perlengkapan yang dimiliki, dibandingkan dengan luas wilayah yang harus dijaga dan diawasi.

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Bom yang digunakan dalam penangkapan ikan merupakan sebuah alat yang dapat merusak (destruktif). Penggunaan bom dalam penangkapan ikan menyebabkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan di laut, khususnya ekosisem terumbu karang (Subandi, 2004). Selanjutnya DWF (2003), diacu dalam Subandi (2004) mengungkapkan, hasil survei beberapa LSM yang menunjukkan bahwa aktifitas tersebut tetap marak dilakukan oleh nelayan hingga saat ini. Bahkan beberapa metode penangkapan ikan legal yang umum digunakan oleh nelayan seperti pukat cincin (purse seine), bagan tancap (stationary lift net) dan bagan perahu (mobile lift net) juga telah menggunakan bahan peledak untuk melumpuhkan ikan dan mempermudah proses penangkapannya.

Kabupaten Halmahera Utara yang merupakan sebuah kabupaten yang memiliki areal perairan laut dalam wilayahnya, dan memiliki kandungan sumberdaya ikan yang sangat besar, sudah tentu wajib menjaga dan melestarikan sumberdaya tersebut untuk tetap lestari dan berkelanjutan. Penanganan dan pemanfaatannya merupakan kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana diamanatkan dalam pasal 10 UU 22/1999, dan pasal 18 UU 34/2004 yang mencakup eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan laut sebatas wilayahnya (Suharyanto, 2005).

Menurut hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Utara, berbagai program telah dilaksanakan untuk dapat menggarap potensi yang ada, seperti pengembangan alat penangkapan ikan, peningkatan SDM nelayan, penanganan hasil tangkapan dan program-program lainnya yang dilakukan untuk dapat meningkatkan peran serta nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada secara baik dan benar. Namun dalam kenyataannya, penggunaan bom oleh nelayan dalam penangkapan ikan masih tetap ada di beberapa lokasi perairan dalam wilayah Kabupaten Halmahera Utara.

(22)

dengan bom. Ancaman resiko cacat dan kematian yang mungkin terjadi bisa diabaikan, pengalaman-pengalaman yang tinggi dan rendahnya pengetahuan serta kemiskinan yang dialami oleh nelayan, dapat menjadi pengaruh yang menyebabkan nelayan menggunakan alat tangkap tersebut. Kondisi ini apabila tetap dilakukan oleh nelayan, bisa berdampak buruk bagi kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada di perairan Kabupaten Halmahera Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1 Mengidentifikasi alasan-alasan nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan di lokasi penelitian.

2 Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan di lokasi penelitan.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. Bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Utara dan jajarannya, serta lembaga-lembaga lainnya, dalam penentuan dan pengelolaan program-program perikanan.

2. Bahan masukkan dan informasi bagi berbagai kalangan pemerhati lingkungan, khususnya pada pemerhati perikanan laut.

3. Menambah referensi khasanah keilmuan terkait dengan kondisi perikanan di perairan Kao Utara.

1.5 Kerangka Pemikiran

(23)

penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (unfriendly technology), seperti: bom ikan. Fenomena yang menarik perhatian banyak pihak adalah penggunaan bom ikan (blast fishing). Tingkat kerusakan penggunaan teknologi bom terhadap lingkungan perairan sangat signifikan dan mempunyai resiko tinggi terhadap nelayan, namun kegiatan ini masih tetap dilakukan bahkan dengan intensitas yang semakin tinggi. Sayangnya tidak ada data kuantitatif yang akurat tentang isu ini, hanya secara kualitatif dirasakan keberadaannya pada beberapa nelayan yang berada di Kabupaten Halmahera Utara. Sudah tentu oleh masyarakat nelayan setempat memiliki alasan-alasan yang kuat dalam penggunaan alat penangkapan yang merusak ini. Oleh karena itu, dilakukan analisis yang sistematis terhadap berbagai faktor yang diduga dapat mempengaruhi penggunaan bom, seperti umur, pendidikan dan pendapatan.

Seseorang dikatakan miskin apabila belum mampu memenuhi kebutuhan fisik manusia, meliputi papan, pangan dan sandang, mental spiritual (pendidikan) dan sosial. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut ditentukan oleh tingkat pendapatan serta kemudahan dalam memperoleh materi kebutuhan pokoknya (Muhsin, 1994). Walaupun resiko yang dihadapi oleh nelayan terbilang besar dalam menggunakan bom dalam penangkapan ikan, seperti cacat parmanen dan kematian, namun demi memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, hal tersebut tetap masih dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, muncul beberapa pertanyaan mendasar terkait dengan penggunaan bom dalam penangkapan ikan di perairan Halmahera Utara, yaitu :

1. Mengapa masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan?

2. Sejauh mana keterlibatan masyarakat nelayan di Kabupaten Halmahera Utara menggunakan bom dalam penangkapan ikan?

(24)

penangkapan ikan dapat berkelanjutan. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

1.6 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah penggunaan bom oleh nelayan di Kabupaten Halmahera Utara dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan dan pendapatan nelayan.

Alasan alasan nelayan menggunakan bom ikan

Rekomendasi Penanggulangan Bom Ikan

Faktor-faktor yang mempengaruhi Masyarakat nelayan

Alat tangkap tradisional (ramah

lingkungan)

Karakteristik Nelayan Pengguna Bom Ikan

(destruktif)

Potensi Sumberdaya Ikan Kabupaten Halmahera Utara

Analisis Regresi Berganda

Analisis Deskriptif Pendapatan Pendidikan Umur

(25)

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengeboman Ikan

Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini, (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi, (4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5) Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum (Mukhtar, 2007).

Pengeboman ikan adalah cara penangkapan ikan yang sangat merusak, dan juga ilegal di seluruh Indonesia. Bom buatan sendiri dibuat dengan mengemas bubuk ke dalam botol bir atau minuman ringan. Sumbu biasanya dibuat dari kepala korek yang digerus dan dimasukkan ke dalam pipa sempit, lalu diikat kuat dengan kawat. Sumbu dinyalakan lalu botol dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak di bawah air dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh hampir semua makhluk hidup di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lain ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak dapat pulih kembali (Erdmann, 2004). Kerusakkan terumbu karang terindikasi oleh faktor fisik seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, dan pengambilan biota laut lainnya dengan benda keras, seperti pembongkaran terumbu karang dengan menggunakan linggis (Suharyanto, 2006).

(26)

kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom. Ritual ini untuk memprakirakan berapa keuntungan mereka kelak jika membom suatu jenis ikan, termasuk di dalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya. Setiap kilogram bom yang meledak, radius menghancurkan bisa mencapai 5 meter. Bisa dibayangkan berapa ratus ribu bahkan mungkin ratus juta biota laut yang ikut rusak dan mati terkapar tak berdaya jika radius 250 kg bom menjangkau ribuan meter. Apalagi jika ditambah makhluk-makhluk laut (misalnya plankton) yang tidak kasat mata (mikroskopis). Ini hanya untuk satu jenis alat tangkap, yakni bom. Alat dan bahan yang digunakan untuk merakit bom di antaranya detonator (umumnya berjenis 66 dan 88), bubuk bom yang dicampur minyak tanah, laddo sebagai pemberat agar bom mudah tenggelam hingga ke dasar laut, penyulut (biasanya obat nyamuk) untuk menyalakan sumbu, pappaca’ (pemadat), kantong plastik untuk membungkus detonator agar tidak basah terkena air, kemasan (botol minuman, jerigen, atau galon) dan sumbu untuk membakar. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan, misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm ,tergantung kedalaman laut lokasi penangkapan. Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika lautnya dangkal, sumbunya juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran. Sumbu yang ukurannya 2 cm disebut juga sumbu bismillah sebab pembom harus mengucapkan

”Bismillah” tepat di saat bom dilepas ke laut supaya tidak meledak di tangan.

Ikan target pemboman biasanya ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di karang-karang (tidak sejenis). Adapun ciri-ciri ikan yang sudah dibom di antaranya tulangnya patah-patah, mata menonjol keluar dan dagingnya lembek (Anonimous, 2008).

(27)

terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang (Mukhtar, 2007).

Mukhtar (2007) lebih lanjut mengatakan bahwa, secara umum penanganan destructive fishing dapat dilakukan dengan cara:

1. Meningkatkan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi, penyuluhan atau penerangan terhadap dampak negatif yang diakibatkan oleh penangkapan ikan secara illegal.

2. Mencari akar penyebab kenapa destructive fishing itu dilakukan, apakah motif ekonomi atau ada motif lainnya, dan setelah diketahui permasalahan, upaya selanjutnya melakukan upaya preventif.

3. Meningkatkan penegakan dan penaatan hokum.

4. Melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya ikan. 5. Perlu adanya dukungan kelembagaan dari pemerintah, yang artinya harus

ada yang mengurusi kasus ini.

2.2 Mata Pencaharian Alternatif

Kegiatan mata pencaharian alternatif bertujuan untuk menyediakan jenis usaha berkelanjutan bagi masyarakat yang selama ini melakukan kegiatan usaha yang bersifat tidak ramah lingkungan. Mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan ini harus menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Kelompok masyarakat yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan seperti penangkapan dengan bom atau meting, perlu merubah jenis usahanya sebelum terlambat dan tidak ada yang tersisa untuk generasi mendatang (Erdmann, 2004).

(28)

biarkanlah nelayan memutuskan sendiri keinginan dan tujuannya. Jika keinginannya untuk meningkatkan pendapatan, hal tersebut harus ditempatkan sebagai salah satu tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Fakor-faktor yang menyebabkan pendapatan nelayan rendah antara lain adalah unit penangkapan yang terbatas yang dikarenakan penguasaan teknologi yang rendah, skala usaha/modal yang dimiliki kecil dan masih bersifat tradisional. Kemampuan nelayan dalam memanfaatkan peluang usaha dan mengatasi tantangan lingkungan yang rendah, dikarenakan masyarakat yang masih bergantung pada musim penangkapan. Dalam penentuan fishing ground, nelayan yang mempunyai izin untuk melakukan operasi di tempat tersebut akan memperoleh hasil yang banyak, tetapi bagi nelayan yang tidak memiliki akses ke lokasi yang produktif tersebut, selain hasil tangkapan yang tidak maksimal juga biaya operasi yang tinggi. Eksternalitas teknologi terjadi karena nelayan cenderung melakukan penangkapan ikan pada lokasi yang sama, atau setidaknya saling berdekatan satu dengan yang lain, sehingga terjadi pertemuan antara alat tangkap ikan yang digunakan, yang menjurus pada kerusakan atau perusakan (Nikijuluw, 2002). Faktor lainnya adalah law enforcement yang tidak berpihak kepada nelayan, diantaranya terjadinya ego sektoral, regulasi yang tidak mendukung, terbatasnya peran kelembagaan, baik pemerintah maupun non pemerintah, penetapan bahan baku (ikan) yang kurang adil, belum ditetapkannya undang-undang anti monopoli, pembagian keuntungan yang tidak proporsional, dan kebijakan ekonomi secara mikro yang lebih banyak memberikan kerugian di pihak nelayan, dibandingkan memberikan keuntungan.

2.3 Pemberdayaan Masyarakat

(29)

berdasarkan upah minimum regional. Efisiensi tata niaga diukur dari keuntungan masing-masing biaya perniagaan (harga ikan segar, biaya angkut, restribusi TPI) dan keuntungan pedagang pengumpul. Efektifitas ekspor dapat dilihat dari jumlah dan nilai ekspor produk perikanan dan kontribusi ekspor produk perikanan terhadap PDB nasional. Perluasan lapangan kerja dapat diukur dari persentase angkatan kerja yang terserap. Peningkatan devisa dapat diukur dari persentase peningkatan sumbangan devisa dari ekspor produk-produk perikanan. Parameter kebijakan berdasarkan pada tercapainya seluruh output yang dikehendaki seoptimal mungkin, dan menghindari munculnya output yang tidak dikehendaki, (Sari, 2004).

Kusnadi (2003), menganalisa bahwa terdapat sebab yang kompleks mengapa kemiskinan nelayan terus terjadi. Ia menjelaskan ada sebab internal dalam masyarakat nelayan dan ada problem eksternal. Sebab internal antara lain: keterbatasan sumber daya manusia, kemampuan modal usaha, relasi pemilik- nelayan buruh, kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan dan ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi melaut. Sebab kemiskinan yang bersifat eksternal yang berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan, antara lain: kebijaksanaan pembangunan perikanan yang berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, sistem pemasaran hasil perikanan yang mengundang pedagang perantara, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan, dan kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun.

(30)

kesenjangan akses dan pendapatan yang berimplikasi pada timbulnya kesenjangan sosial ekonomi antar pengguna sumber daya perikanan.

Kebijakan motorisasi dan modernisasi, ternyata banyak menimbulkan kritik dari berbagai pihak. Beberapa penelitian memperlihatkan dampak negatif dari proyek yang dikenal dengan istilah blue revolution ini. Donald K. Emerson (1979) diacu dalam Mubyarto et al. (1984) menyatakan bahwa, pemberian bantuan teknologi motorisasi, memberikan dampak negatif bagi produktivitas nelayan; karena motorisasi, ikan-ikan yang semula biasa ditangkap nelayan tradisional akan disedot oleh nelayan yang memiliki kapal modern bermesin dengan alat yang berdaya tangkap besar.

Purna (2000), menyatakan bahwa salah satu permasalahan mendasar bagi pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya yang bergerak dalam skala mikro dan kecil adalah sulitnya akses permodalan dari lembaga keuangan/perbankan formal. Akibatnya nelayan seringkali terjerat oleh renteneer yang menawarkan pinjaman dengan cepat dan mudah, namun diimbangi dengan tingkat bunga yang tinggi. Keterbatasan permodalan ini diperburuk dengan sistem penjualan yang cenderung dimonopoli oleh para tengkulak. Akibatnya nelayan tidak memiliki bargaining power yang memadai sehingga pendapatan yang diperoleh habis untuk bayar hutang dan makan. Lingkaran kemiskinan ini selalu berputar dan menyebabkan di sektor kelautan dan perikanan lekat dengan kemiskinan.

(31)

jaminan yang merupakan syarat pemberian kredit oleh bank umum. Fasilitas kredit yang diberikan untuk membantu kelancaran usaha lebih dikenal dengan kredit produktif, yaitu kredit yang diberikan perbankan guna membantu para pengusaha untuk memperlancar dan meningkatkan kegiatan usahanya, yang terdiri dari kredit investasi dan kredit modal kerja.

2.4 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan (Berwawasan Lingkungan)

Dalam rangka mendayagunakan potensi perikanan secara optimal sebagai ujung tombak perekonomian daerah, maka kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Halmahera Utara diarahkan untuk :

1. Memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan.

2. Meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan. 3. Meningkatkan kesejahteraan nelayan.

4. Meningkatkan kecukupan gizi dari hasil perikanan.

5. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja di bidang kelautan dan perikanan. Untuk pencapaian tujuan yang telah digariskan, maka perlu adanya dukungan kebijakan pemerintah terhadap beberapa komponen yang mencakup kebijakan tentang infrastruktur, kebijakan sumberdaya nelayan, kebijakan perikanan tangkap, kebijakan perikanan budidaya, kebijakan pemasaran hasil perikanan, serta pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan.

(32)

pengelolaan sumber daya laut meskipun mengeluarkan biaya yang tidak sedikit (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/agribisnis/1id30666.html).

Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan

”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara

lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun konflik antar nelayan. Sebaliknya, contolled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa (1) pembatasan input (input restriction), yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal, dan jenis alat tangkap, (2) pembatasan output (output restriction), yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah territorial use right yang menekankan penggunaan fishing right (hak memanfaatkan sumberdaya perikanan) dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak

memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu (http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian /agribisnis/1id30666.html).

(33)

2.5 Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah usaha ekonomi dengan mendayagunakan sumber hayati perairan dan alat tangkap untuk menghasilkan ikan dan memenuhi permintaan akan ikan (Achmad, 1999). Pengusahaan perikanan yang tidak terawasi dapat mengakibatkan penangkapan yang berlebih (overfishing), penurunan mutu, bahkan dapat merusak produktivitasnya (Naamin, 1991).

Sumberdaya ikan terdiri dari ikan pelagis dan ikan demersal, dimana ikan pelagis mencakup ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil yang hidup di pemukaan laut atau didekatnya (Djatikusumo, 1975; Merta et al., 1998). Ikan pelagis yang banyak terdapat di wilayah perairan dekat pantai adalah pelagis kecil, misalnya ter, kembung, laying, selar dan bentong (Merta et a.,l 1998).

Ikan demersal merupakan kelompok ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan, dimana beberapa spesiesnya merupakan spesies ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis penting, yakni bambangan (Lutjanidae), kerapu (Serranidae), baronang (Siganidae) ekor kuning (caesionidae) serta species-species ikan hias seperti napoleon (Labridae) dan ikan konsumsi lainnya (Aoyama, 1973; Badrudin et a.,l 1998; Djamali et al., 1998).

Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang sifatnya terbatas dan dapat pulih (renewable), yang berarti bahwa setiap pengurangan yang disebabkan kematian maupun penangkapan akan dapat memulihkan sumberdaya tersebut kembali ke tingkat produktivitas semula (Anonymous 1993). Namun apabila tekanan pengusahaan atau penangkapan tersebut cukup tinggi intensitasnya hingga melampaui daya dukung, maka untuk pulih kembali akan memerlukan waktu yang relatif lama (Anonymous, 1993; Dahuri, 1999).

(34)

2.5.1 Alat penangkapan ikan

Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan karang umumnya bersifat pasif sehingga dibutuhkan suatu pemikat, agar ikan berenang mendekati alat tangkap. Contoh pemikat ini adalah umpan. Saat ini terdapat berbagai jenis alat yang dapat digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Secara umum alat penangkap ikan tersebut tergolong kedalam jenis bubu, muro ami dan teknik lain dengan menggunakan peledak dan racun (Antariksa dan Bandiyono, 1999).

Alat tangkap ikan yang merupakan salah satu sarana pokok adalah penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan (Anonymous, 1993). Adapun jenis alat tangkap yang dominan digunakan, mencakup jaring insang (gill net), rawai (longline), pukat cincin (purse seine) dan jaring udang (trawl) (Ayward, 1992; Mulyanto, 1995).

Jaring insang merupakan alat tangkap yang mempunyai besar mata jaring yang disesuaikan dengan sasaran ikan atau non-ikan yang akan ditangkap. Ikan tertangkap karena terjerat pada bagian tutup insangnya (Subani dan Barus, 1989; Mulyanto, 1995). Rawai merupakan alat tangkap yang berbentuk rangkaian tali temali panjang yang bercabang-cabang dan setiap ujung cabangnya

diikatkan sebuah mata pancing (hook) dengan berbagai ukuran (Hayward, 1992; Subani dan Bares, 1989).

Pukat cincin merupakan alat tangkap yang dilengkapi dengan cincin dan tali kerut pada bagian bawah jaring, yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring sewaktu operasi dengan cara menarik tali kerut tersebut ( Hayward, 1992; Mulyanto, 1995; Subani dan Bares, 1989). Pukat udang dari segi operasionalnya sama dengan pukat harimau yang penggunaannya dilarang oleh pemerintah (Keppres No.39 tahun 1980) , yang membedakan adalah adanya tambahan alat pemisah ikan (Subani dan Bares, 1989; Mulyanto, 1995).

(35)

cincin, jaring lingkar, trammel net, bagan tancap, rawai tetap, rawai tuna, pancing tonda dan sero.

Tabel 1 Jumlah unit penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

No Alat tangkap

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

(36)

Tabel 2 Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara, 2009.

Fluktuasi jumlah trip disesuaikan dengan keadaaan iklim dan cuaca pada setiap tahunnya. Perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang tidak seragam setiap tahun membuat kesempatan melaut juga berbeda setiap tahun. Sekalipun demikian diharapkan dunia perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara dapat menjawab tantangan peningkatan taraf hidup masyarakat di waktu yang akan datang.

2.5.2 Armada perikanan

(37)

operasi pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksplorasi perikanan.

Kategori berdasarkan ukuran kapal atau perahu di Indonesia menurut Statistik Kelautan dan Perikanan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005) terdiri atas tiga kategori yaitu:

(1) Perahu Tanpa Motor (2) Motor Tempel, dan

(3) Kapal Motor, yang selanjutnya terbagi menurut ukuran Gross Tonagenya yaitu: < 5 GT; 5-10 GT; 10-20 GT; 20-30 GT; 30-50 GT; 50-100 GT; 100-200 GT dan > 100-200 GT.

Perkembangan jumlah kapal perikanan di Kabupaten Halmahera Utara, disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, terlihat dengan jelas bahwa kapal penangkap didominasi oleh Kapal motor berukuran 0 – 5 GT. Kapal motor jenis ini di Kabupaten Halmahera Utara didominasi oleh perahu jenis pambut dengan mesin jenis katinting. Perahu jenis ini banyak digunakan karena memiliki daya jelajah yang cukup jauh, serta mampu bergerak dalam keadaan laut yang bergelombang karena bahan perahunya yang ringan, dan memiliki keseimbangan yang baik.

Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara

No Tahun 2004 2005 2006 2007 2008

1 PTM 318 346 415 451 455

2 Motor Tempel 183 205 263 290 348

3 Kapal Motor :

0 - 5 GT 762 865 1.021 1.117 1.176

5 - 10 GT 50 58 60 62 64

10 - 20 GT 17 21 25 27 31

20 - 30 GT - - - - -

30 - 50 GT - - - - -

50 - 100 GT - - - - -

100 - 200 GT - - - - -

> 200 GT - - - - -

(38)

2.5.3 Nelayan

Penduduk Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2009 tercatat sebanyak 163.836 jiwa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah daratannya, maka tingkat kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Halmahera Utara pada setiap kecamatan dapat disajikan seperti pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa, penyebaran penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Tobelo, yaitu 746 jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang relatif rendah terdapat di Kecamatan Kao Barat dan Tobelo Barat, yakni masing-masing sebanyak 14 jiwa/km2 dan 15 jiwa/km2. Adapun faktor yang mempengaruhi tidak meratanya persebaran penduduk adalah faktor topografi wilayah dan kurangnya aksebilitas jalan yang berakibat rendahnya kegiatan perekonomian di daerah-daerah tersebut.

Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Halmahera Utara, tahun 2009

No Kecamatan Jumlah penduduk (jiwa)

Luas daerah (km2)

Kepadatan penduduk (jiwa/km2)

1 Kao Teluk 6.911 135,4 51

2 Malifut 10.349 374,1 28

3 Kao 7.212 111,2 65

4 Kao Barat 8.632 596,7 14

5 Kao Utara 7.112 128,8 55

6 Tobelo Barat 4.497 294,7 15

7 Tobelo Timur 6.828 120 57

8 Tobelo Selatan 13.411 204,3 66

9 Tobelo Tengah 10.713 56 191

10 Tobelo 24.604 33 746

11 Tobelo Utara 10.427 100,4 104

12 Galela 7.910 138,7 57

13 Galela Selatan 8.948 84,5 106

14 Galela Barat 9.636 45,5 212

15 Galela Utara 8.951 255,3 35

16 Loloda Utara 10.231 390,4 26

17 Loloda Kepulauan 7.464 63,3 118

Jumlah 163.836 3.132

(39)

Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan/binatang air lainnya dilaut. Secara umum nelayan dapat dikategorikan sebagai : nelayan tetap, nelayan sambilan utama, nelayan sambilan tambahan, nelayan pengusaha, maupun buruh nelayan dan biasanya bermukim didaerah pesisir sehingga sering disebut sebagai masyarakat pesisir (Sari, 2004).

Menurut Undang-undang (UU) No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan penangkapan. Berdasarkan curahan waktu kerjanya nelayan dibedakan menjadi:

1. Nelayan penuh adalah nelayan yang seluruh waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

2. Nelayan sambilan utama adalah nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan

3. Nelayan sambilan tambahan adalah nelayan yang sebagian kecil dari waktu kerjanya dipergunakan untuk melakukan operasi penangkapan (Direktorat Jenderal Perikanan, 1999).

Menurut Hermanto (1986), berdasarkan bagian yang diterima dalam usaha penangkapan ikan, nelayan dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Juragan darat adalah orang yang mempunyai perahu dan alat penangkapan ikan laut. Juragan darat hanya menerima bagi hasil tangkapan yang diusahakan oleh orang lain. Pada umumnya juragan darat menanggung seluruh biaya operasi penangkapan.

2. Juragan laut adalah orang yang tidak punya perahu dan alat tangkap, tetapi bertanggung jawab dalam operasi penangkapan ikan di laut.

(40)

menerima bagi hasil sebagai nelayan dan bagi hasil sebagai pemilik unit penangkapan.

4. Buruh atau pandega adalah orang yang tidak memiliki unit penangkapan dan hanya berfungsi sebagai anak buah kapal, umumnya menerima bagi hasil tangkapan dan jarang diberikan upah harian.

5. Anggota kelompok adalah orang yang berusaha pada suatu unit penangkapan secara berkelompok. Perahu yang dioperasikannya adalah perahu yang dibeli dari modal yang dikumpulkan oleh semua anggota kelompok.

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkapan dikategorikan sebagai nelayan meskipun mereka tidak melakukan kegiatan menangkap (Dirjen Perikanan Tangkap 2004). Dengan demikian maka yang dimaksud dengan nelayan adalah semua orang yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya berdasarkan waktu yang dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, nelayan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Nelayan yang seluruh waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan penuh

2. Nelayan yang sebagian besar waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan utama. Dalam kategori ini, nelayan dapat pula mempunyai pekerjaan lain

3. Nelayan yang sebagian kecil waktunya dialokasikan untuk melakukan penangkapan ikan, disebutkan sebagai nelayan sambilan tambahan. Dalam kategori ini, nelayan mempunyai pekerjaan pokok yang lain.

(41)

Tabel 5 Jumlah nelayan menurut jenis alat tangkap

Sumber Data : DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

(42)

2.5.4 Produksi

Produksi hasil perikanan merupakan output dari proses penangkapan ikan. Produksi tersebut ditentukan oleh berbagai faktor seperti sarana penangkapan ikan, kemampuan atau keterampilan nelayan, manajemen, dan beberapa faktor lainnya termasuk infrastruktur pendukung seperti pelabuhan perikanan atau pangkalan pendaratan ikan. Data yang diperoleh dari hasil survei lapangan di seluruh Kabupaten Halmahera Utara, diperoleh data produksi dari setiap jenis alat tangkap untuk periode tahun 2004–2008, dapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Produksi ikan total menurut jenis alat

No Alat tangkap Jumlah produksi (ton) menurut tahun

2004 2005 2006 2007 2008

Sumber: DKP Kabupaten Halmahera Utara 2009.

(43)

2.5.5 Pemasaran

Komoditas perikanan yang dijual di pasar lokal di Kabupaten Halmahera Utara hampir seluruhnya berasal dari produksi perikanan tangkap dan dalam keadaan segar. Untuk ikan segar yang berukuran besar, biasanya sebelum dijual dipotong-potong terlebih dahulu menjadi beberapa potong.

Ikan hasil tangkapan sebagian besar tanpa pengawet es. Ikan didaratkan dan diletakkan begitu saja di dalam keranjang plastik tanpa adanya upaya penanganan. Ikan diangkut atau menunggu untuk diangkut ke pasar tanpa adanya pemberian es untuk mencegah proses kemunduran mutu. Pemberian es baru dilakukan setelah ikan tiba di pasar dan akan disimpan dalam kotak pendingin untuk dijual pada hari berikutnya. Salah satu kendala tidak diterapkannya pengawetan ikan tersebut adalah karena harga es balok untuk penanganan ikan masih terbatas dan mahal harganya, kareana permintaan untuk kepentingan lain juga cukup besar.

Akibat penanganan yang kurang baik ini, maka mutu ikan segar cepat menurun, sehingga nelayan dan pedagang menerima harga yang rerlatif rendah, sementara konsumen juga memakan ikan yang rendah kualitasnya. Sekalipun demikian, mutu ikan yang rendah ini hanya diperoleh pada daerah-daerah yang jauh dari lokasi pasar. Secara umum daerah penangkapan terletak tidak terlalu jauh dari lokasi pasar sehingga dugaan turunnya mutu ikan tangkapan masih tidak terlalu besar. Sebagian besar ikan yang dikonsumsi masih tergolong segar, walaupun belum kena bahan pengawet es.

(44)

2.6 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 2.6.1 Luas dan letak geografis

Wilayah Halmahera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 dan secara administratif kenegaraan, resmi menjadi wilayah kabupaten baru pada tanggal 31 Mei 2003. Kabupaten Halmahera Utara memiliki luas wilayah sebesar 24.983,32 km2, dan luas daratan sebesar 5.447,3 km2 atau sebesar 22% dari luas wilayah kabupaten. Luas perairannya sebesar 19.536,02 km2 atau sebesar 78% dari luas wilayah kabupaten.

Kabupaten Halmahera Utara secara administratif terdiri dari 22 kecamatan yang terdiri dari 260 desa. Sebagian besar wilayah kecamatannya yakni 18 kecamatan merupakan kecamatan pesisir dan 4 kecamatan lainnya merupakan kecamatan pedalaman. Kabupaten Halmahera Utara memiliki 94 buah pulau sedang maupun kecil, berpenghuni maupun tidak berpenghuni.

Kabupaten Halmahera Utara secara geografis terletak di bagian Utara dari Pulau Halmahera, tepatnya berada pada koordinat 1o57’-3o00’ LU dan 127o17’

-128o08’ BT, serta memiliki wilayah yang terbentang dari utara ke selatan

sepanjang 333 km dan dari barat ke timur sepanjang 148 km. Peta Kabupaten Halmahera Utara dapat dilihat pada Gambar 2.

Secara geografis dan administratif, Kabupaten Halmahera Utara memiliki batas-batas wilayah yang berbatasan dengan wilayah daerah lain, sebagai berikut: (1) sebelah utara berbatasan dengan samudera pasifik, (2) sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Wasilei, Kabupaten Halmahera Timur, (3) sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, (4) sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loloda Selatan, Kabupaten Halmahera Barat dan laut Sulawesi.

(45)

Gambar 2 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Utara.

Perairan laut Kabupaten Halmahera Utara diperkirakan memiliki potensi sumber daya perikanan tangkap (standing stock) sebesar 89.865,69 ton/tahun, dengan potensi lestari (MSY) atau potensi ikan yang boleh dimanfaatkan sebesar 44.932,85 ton/tahun, yang terdiri dari perikanan pelagis sebesar 26.946,41 ton/tahun dan perikanan demersal sebesar 17.986,44 ton/tahun. Potensi hutan mangrove terdiri dari mangrove primer 3.720,612 Ha dan mangrove sekunder 1.456,880 Ha (Data Tata Ruang 2007), serta Potensi terumbu karang seluas 539,6 Ha dan padang lamun seluas 6.126,14 Ha.

Kecamatan Kao Utara adalah sebuah kecamatan yang berada di bagian pesisir sebelah Timur Pulau Halmahera dan terletak di sebelah selatan dari ibu kota Kabupaten Halmahera Utara, yang dapat dijangkau dengan mudah

U

(46)

mempergunakan kendaraan darat, dengan jarak tempuh sekitar 50 km dari ibu kota Kabupaten. Kecamatan ini memiliki topografi wilayah yang sebagian besar datar dengan bukit-bukit kecil dan tampak subur ditanami berbagai jenis tanaman. Pada wilayah pantai, yang menghadap perairan Teluk Kao, kecamatan ini memiliki areal terumbu karang yang cukup besar, dan tersebar di seluruh pesisir wilayah, dengan areal pantai berpasir dan karang. Kedalaman perairan laut dalam wilayah Kecamatan Kao Utara tidak terlalu dalam, hanya paling tinggi 80 m dari permukaan laut.

Batas wilayah kecamatan Kao Utara pada bagian Utara, berbatasan dengan Kecamatan Tobelo Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kao Barat, Sebelah Selatan Berbatasan dengan Kecamatan Kao, dan bagian timur berbatasan di perairan Teluk Kao dengan Kecamatan Wasiley Kabupaten Halmahera Timur.

Jumlah desa yang ada di dalam wilayah Kecamatan Kao Utara berjumlah 12 desa, 9 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman penduduk berada di pesisir pantai, 2 desa memiliki wilayah dan areal pemukiman yang tidak berbatasan langsung dengan pantai, sedangkan 1 desa, yakni Desa Bobale memiliki wilayah dan areal pemukiman pada sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Bobale, dengan luas daratan pulau sekitar 4 km², yang terletak di tengah perairan Teluk Kao.

2.6.2 Penduduk

Berdasarkan data pada Kantor Kecamatan Kao Utara, penduduk Kecamatan Kao Utara pada tahun 2008 berjumlah 11.115 jiwa dari 2.694 kk, yang tersebar pada 12 desa dengan kepadatan penduduk terbesar berada pada Desa Daru yang merupakan Ibu kota Kecamatan Kao Utara, sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat pada desa Boulamo (Tabel 7).

(47)

sebagian masyarakat, namun sebagian besar hasilnya tidak untuk dijual, tetapi hanya untuk konsumsi keluarga.

Tabel 7 Data penduduk Kecamatan Kao Utara tahun 2008

No. Desa Kepala Keluarga Jumlah

Penduduk 1 Daru 423 1.679 2 Wateto 197 793 3 Warudu 88 318 4 Tunuo 212 878 5 Pediwang 338 1.456 6 Bori 260 1.145 7 Doro 394 1.695 8 Dowongimaiti 75 263 9 Bobale 197 857 10 Gamlaha 277 1.067 11 Boulamo 46 190 12 Gulo 187 774 Jumlah 2.694 11.115 Sumber : Laporan Penduduk Kantor Kecamatan Tahun 2009.

Disamping mengandalkan hasil perkebunan, masyarakat di Kecamatan Kao Utara juga menggarap berbagai potensi laut yang ada di perairan Teluk Kao. Berbagai macam ikan, baik demersal maupun pelagis menjadi tangkapan rutin, disamping beberapa jenis kerang laut yang juga sering mereka peroleh dari areal terumbu karang, pada saat air laut surut.

(48)

2.6.3 Ekonomi

Kondisi perekonomian di Kecamatan Kao Utara terlihat masih terbelakang. Untuk menjual hasil panen perkebunan, dilakukan oleh masyarakat kepada pedagang-pedagang keturunan yang membuka toko-toko kecil yang juga menjual kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Pasar untuk kebutuhan harian hanya dilakukan setiap hari Rabu dan Sabtu di ibu kota kecamatan, yakni Desa Daru. Dimana oleh masyarakat nelayan, hasil-hasil tangkapan yang diperoleh banyak dijual di pasar tersebut, disamping dijual kepada pedagang pengumpul (dibo-dibo) yang berkeliling desa-desa untuk mengumpulkan ikan yang dibeli dari nelayan yang melakukan penangkapan ikan.

(49)

3

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tiga desa yang berada di Kecamatan Kao Utara, yaitu: Desa Doro, Desa Bori dan Desa Pediwang (Lampiran 1). Penetapan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa, ketiga desa tersebut merupakan desa yang masyarakat nelayannya lebih sering menggunakan racun dan bahan peledak (bom ikan) dalam kegiatan penangkapan ikan di Halmahera Utara.

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, yang dimulai dari bulan September-Desember 2009. Persiapan yang meliputi penelusuran studi kepustakaan dan studi pendahuluan dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2009, dan dilanjutkan dengan observasi lapangan pada bulan Oktober hingga Desember 2009.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, dengan melakukan observasi terhadap kegiatan pengeboman ikan dan mewawancarai nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Selain itu, pengumpulan data dilakukan dengan pengisian daftar isian pertanyaan (kuesioner) oleh responden.

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi umum perikanan tangkap di Kabupaten Halmahera Utara, dan hal-hal lain yang erat kaitannya dengan topik penelitian ini. Data sekunder ini diperoleh melalui kegiatan penelusuran pustaka dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Halmahera Utara, Badan Pusat Statistik Halmahera Utara, da instansi terkait lainnya.

(50)

sengaja (puposive sampling method) yang berasal dari ketiga desa sampel, masing-masing sebanyak 20 responden. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan responden ini adalah (1) Responden bersedia dan mengerti untuk mengisi daftar pertanyaan yang diajukan, (2) Responden berasal dari desa sampel yang telah ditentukan (Ugiyono, 2006), dan (3) Responden menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan.

Data/informasi yang terkait dengan proses kegiatan pengeboman ikan diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara. Data primer lainnya dikumpulkan melalui pengisian kuesioner oleh para responden yang telah ditentukan. Data yang dikumpulkan melalui pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) oleh responden adalah: (1) komposisi umur nelayan, (2) tingkat pendidikan (3) persepsi responden dalam penggunaan bom ikan, (4) kondisi sosial ekonomi nelayan, termasuk pendapatan, (5) perkembangan jumlah nelayan yang menggunakan bom ikan (6) jumlah tangkapan nelayan dengan penggunaan bom ikan, dan (7) alasan nelayan menggunakan bom. Jenis dan sumber data, dan metode pengumpulan data disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Jenis dan sumber data, serta metode pengumpulan data penelitian

(51)

3.3 Analisis Data 3.3.1 Analisis deskriptif

Analisis deskripsi ini menyajikan distribusi frekuensi secara tematik berupa tabel dan gambar (grafik). Analisis deskripsi ini bertujuan untuk melihat kecenderungan persepsi responden dengan variabel penelitian yang digunakan dan faktor pendorong nelayan menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Analisis ini digunakan untuk menganalisis karakteristik perikanan di lokasi penelitian.

3.3.2 Analisis regresi berganda

Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penggunaan bom ikan sebagai alat penangkapan ikan, dianalisa dengan persamaan regresi berganda (Walpole, 1995), dengan formula:

3 3 2 2 1 1

0

b

X

b

X

b

X

b

Y

Keterangan : Ỹ = aktifitas penggunaan bom. X1 = umur

X2 = pendidikan X3 = pendapatan b = konstanta

b1, b2, b3, = koefisien regresi

(52)

Tabel 9 Instrumen penelitian penggunaan bom ikan

Tabel 10 Instrumen penelitian untuk variabel umur

No Umur Skor

Tabel 11 Instrumen penelitian untuk variabel pendidikan

No Pendidikan Skor

Tabel 12 Instrumen penelitian untuk variabel pendapatan

(53)

4

HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Perikanan Tangkap di Lokasi Penelitian 4.1.1 Teknologi alat penangkapan ikan

Umumnya jenis teknologi penangkapan ikan yang digunakan nelayan Kecamatan Kao Utara Kabupaten Halmahera Utara adalah relatif sederhana. Alat tangkap yang rata-rata dipakai adalah pancing ulur dan jaring insang hanyut dan tetap (gillnet). Pancing ulur dapat digunakan dengan umpan atau dengan pemikat yang dibuat dari serabut kain, atau bulu ayam yang disebut lau. Pengoperasian alat penangkapan ikan dengan lau, biasanya dilakukan pada batas antara terumbu karang yang biasanya dangkal, dan perairan yang lebih dalam (pada kedalaman 40m – 100 m). Ujung tali pancing dipasang pemberat (potongan besi), kait yang telah dipasangi lau diikat di tengah tali pancing (bisa 5 sampai dengan 25 kait dipasang berurutan dengan jarak 50 -100 cm), dan tali pancing diturunkan ke dalam air mengikuti pemberat sampai ke dasar perairan, dan ditarik kembali dengan gerakan turun naik. Lau yang terpasang pada kait memikat ikan (karena menyerupai ikan kecil yang sedang berenang), dan memakan pemikat tersebut, ikanpun terkait dan ditangkap.

Pancing ulur yang menggunakan lau juga digunakan oleh nelayan hanya dengan 1 kait. Kait yang dipasang lau diikat di ujung tali pancing kemudian ditenggelamkan ke dasar perairan menggunakan batu yang diikat pada potongan daun kelapa, dan setelah batu menyentuh dasar, tali pancing ditarik dengan keras agar lepas dari potongan daun, kemudian tali pancing ditarik dengan cepat. Lau yang menyerupai ikan kecil sedang berlari ditangkap oleh ikan besar, ikan itupun terkait pada kait yang ada, dan ditarik naik ke atas perahu. Pancing ulur lainnya juga menggunakan kait, namun pemikat yang dipasang pada kait adalah potongan daging ikan, yang apabila dimakan oleh ikan sasaran akan terkait pada kait yang ada. Jenis alat tangkap ini sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kao Utara.

(54)

batang kayu yang digali dan dibentuk menjadi perahu, yang disebut jukung. Pada jukung ini dipasang penyeimbang yang disebut sema-sema. Pada beberapa nelayan tertentu, sudah ada yang mempergunakan perahu yang dibuat dari bahan kayu lapis anti air, yang ditempelkan menjadi badan perahu pada rangka yang telah dibuat, dan dipasang mesin ketinting di dalamnya. Mesin ini adalah mesin serba guna yang biasanya digunakan juga dalam usaha-usaha parutan kelapa atau singkong. Kapasitas mesin berkisar antara 3 – 5 horse power.

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan pancing ulur, nelayan-nelayan di Kecamatan Kao Utara biasanya melakukannya secara sendiri-sendiri atau satu orang. Namun demikian, sebagian unit penangkapan ikan terdiri dari 2 orang anak buah kapal (ABK)..

Alat tangkap yang juga dipergunakan oleh nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan di lokasi penelitian adalah, jaring insang tetap dan jaring insang hanyut. Jaring insang tetap biasanya digunakan pada perairan-perairan dangkal, seperti di atas terumbu karang dengan cara dilingkarkan pada gerombolan ikan yang ada, atau ditempatkan di sekitar hutan mangrove, untuk menghalau ikan-ikan pada saat air laut surut. Ikan yang terperangkap pada mata jaring kemudian diangkat bersama jaring ke atas perahu dan dilepaskan dari jeratan jaring yang ada. Penggunaan jaring hanyut biasanya dilakukan dengan cara jaring dilepas di perairan yang dalam, dan dibiarkan hanyut terbawa arus. Ujung jaring diikatkan pada pelampung, dan ujung jaring sebelahnya diikatkan pada perahu. Penggunaan alat tangkap ini dilakukan oleh nelayan antara 2 – 4 orang, dengan mempergunakan perahu yang cukup untuk memuat nelayan, alat tangkap dan hasil yang diperoleh. Apabila jumlah tangkapan melebihi dari daya muat perahu, terkadang para nelayan setempat meminta bantuan kepada nelayan lainnya yang sedang menangkap ikan untuk membantu mengangkat ikan yang ada keatas perahu nelayan tersebut. Pembagian hasil akan dilakukan oleh nelayan yang mempunyai jaring kepada nelayan yang menyertainya (ikut) dan kepada nelayan lain yang turut membantu, apabila hasilnya lebih.

(55)

kepada penampung ikan (dibo-dibo) yang biasanya mengelilingi desa-desa di pesisir Teluk Kao untuk mengumpulkan ikan hasil tangkapan nelayan, yang akan dijual ke ibukota kabupaten, atau dijual kepada perusahaan tambang emas yang berjarak dari desa penelitian kurang lebih 80 km. Harga perkilogram ikan apabila dijual ke pasar, biasanya Rp.10.000.- sampai dengan Rp.15.000.- per kilogram, namun apabila dijual kepada pedagang pengumpul, kisaran harganya bisa turun sampai Rp.7.500.- per kilogram ikan.

Jenis dan jumlah unit penangkapan yang terdapat di ketiga desa lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13, jumlah nelayan yang paling banyak berada di Desa Pediwang, yakni sebanyak 148 orang, kemudian Desa Doro sebanyak 142, dan di Desa Bori sebanyak 111 orang. Penggunaan alat tangkap yang dominan adalah pancing ulur, sebanyak 69 unit di Desa Doro, 55 unit di Desa Pediwang dan 51 unit di Desa Bori. Alat tangkap lainnya adalah jaring insang yang terlihat sedikit di masing-masing desa, dimana yang terbanyak di Desa Pediwang 3 unit, di Desa Doro 2 unit, dan di Desa Bori 1 unit.

Tabel 13 Jenis dan jumlah unit penangkapan ikan di tiga lokasi penelitian

Desa Jumlah Jumlah alat tangkap (unit) Jumlah nelayan Pancing Ulur Jaring Insang Perahu

Doro 142 69 2 36

Bori 111 51 1 30

Pediwang 148 55 3 39

Jumlah 401 175 6 105

Sumber: Kantor desa Doro, Bori dan Pediwang

(56)

Tabel 14 Persepsi responden terhadap bantuan

4.1.2 Penangkapan ikan dengan menggunakan bom

Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan pada tiga desa penelitian terkadang menggunakan bom sebagai alat penangkapannya. Hasil survei yang dilakukan terhadap 60 responden nelayan yang berasal dari 3 desa menunjukkan bahwa sebagian nelayan tidak melakukan pengeboman ikan lagi karena takut kepada petugas. Namun demikian, masih banyak di antara nelayan yang tetap menggunakan bom dalam penangkapan ikan. Nelayan ini hanya mengambil ikan ukuran besar dan bernilai ekonomis tinggi, sedangkan ikan-ikan ukuran kecil yang ikut mati atau terbius akibat bom dibiarkan, lalu pergi ke lokasi lain mencari daerah yang lebih potensial. Ketika nelayan yang melakukan pengeboman ikan pergi, biasanya ada nelayan lain yang mengambil ikan mati atau terbius yang ditinggalkan oleh nelayan yang melakukan pengeboman ikan. Adapun komposisi jumlah nelayan responden yang melakukan pengeboman ikan, nelayan yang hanya sekedar mengambil ikan yang mati/terbius, dan nelayan yang tidak melakukan pengeboman ikan disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15 Persepsi responden dalam penggunaan bom ikan

Desa Penggunaan bom

Melakukan Pengumpul sisa ikan Tidak lagi Doro

(57)

adalah sebanyak 18 orang atau sekitar 30%. Sedangkan nelayan yang tidak menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan tetapi mereka mengumpulkan sisa ikan yang telah mati/terbius sebanyak 8 orang, atau sebesar 13%. Pengumpulan hasil tangkapan ini biasanya hanya mengumpulkan sisa-sisa ikan, biasanya yang berukuran kecil untuk dijadikan umpan.

Tren menurunnya nelayan menggunakan bom pada ketiga desa lebih kuat di desa Pediwang, karena tidak ada lagi nelayan responden yang mau ikut serta dalam kegiatan penggunaan bom ikan. Namun demikian, masih ada sebanyak 3 responden yang aktif melakukan pemboman ikan di desa tersebut dan 3 responden yang mengumpulkan sisa-sisa ikan yang dibom. Untuk Desa Bori, terdapat 8 orang responden atau 40% (dari total responden 20 orang) yang melakukan pengeboman ikan, hanya 1 responden sebagai pengumpul sisa ikan, dan yang lainnya tidak melakukan pengeboman ikan lagi. Sedangkan di Desa Doro, dari 20 responden, terdapat 7 orang yang masih melakukan pengeboman ikan, dan 4 orang sebagai pengumpul sisa ikan, dan 9 orang yang tidak mau melakukan lagi.

Alasan nelayan di 3 desa penelitian menggunakan alat penangkapan ikan dengan bom berdasarkan hasil survei, menunjukkan bahwa dari 11 orang nelayan yang melakukan pengeboman menyatakan, penggunaan bom yang mereka lakukan dalam penangkapan ikan disebabkan karena: 1) bahan mudah ditemukan, 2) sederhana dalam proses perakitan dan penggunaannya, 3) memperoleh tangkapan lebih banyak, dan 4) resiko kecelakaan yang timbul terhadap diri merupakan kelalaian nelayan itu sendiri.

Gambar

Tabel 1 Jumlah unit  penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
Tabel 2  Jumlah trip penangkapan menurut jenis alat di Halmahera Utara
Tabel 3 Jumlah nelayan menurut jenis ukuran kapal di Halmahera Utara
Tabel 4 Jumlah dan tingkat kepadatan penduduk  menurut kecamatan di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Langkah selanjutnya menentukan keberadaan titik koordinat lintang dan bujur, degan cara menghitung antara lintang dan buju terdekat yang sudah ditentukan oleh

Metode Economic Order Quantity atau EOQ merupakan metode yang akan digunakan di dalam sistem untuk menentukan kapan Toko Keisya Salon melakukan pemesanan barang

Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang

Jika merupakan suatu batuan sedimen seperti batu kapur, harus mengalami kontak dengan massa batuan beku panas yang besar dibawah tekanan yang cukup untuk mencegah dekomposisi dari

baby buncis kenya Kelompok Tani “Baby French Farmer Group” , maka diperoleh 13 faktor kunci sukses internal yang terdiri dari delapan kekuatan dan lima kelemahan internal.

Dalam tulisan ini dilakukan penelitian tentang permasalahan penggunaan energi dalam jaringan komunikasi seluler dan usulan teknik-teknik menghemat energi pada sistem LTE. Dapat

a) Sebagai seorang ahli anestesi harus mampu melakukan managemen anestesia terhadap pasien-pasien dengan trauma okuli terbuka, pasien-pasien yang memerlukan pencegahan kenaikan