ABSTRACT
EFFECT OF VARIETY FROM BENZYL ADENINE (BA) CONCENTRATE AND NAPHTHALENE ACETIC
ACID(NAA) CONCENTRATE TO EXCESSIVE OF MICROBUD FROM CASSAVA
(Manihot esculenta Crantz) BY USING IN VITRO
By
Kresna Shifa Usodri
Excessiving a cassava usually using convetional method by using 3 grain cutting to 5 grain cutting. For make it efficien in excessive, its need a method with usng cutting plant from aksilar bud from cassava by added the variety of Benzyl
Adenine concentrate and Naphthalene Acetic Acid (NAA) concentrate by using in vitro.
The main purpose of this research are knowing the effect of variety Benzyl Adenine concentrate and Naphthalene Acetic Acid (NAA) concentrate about growth and excessive of cassava’s bud by using in vitro. This research have been done in Plant Tissue Laboratory, Agriculture Faculty, University of Lampung, started from September 2011 to December 2011. This research used complete factorial random design with two treatment factor. The first factor was applicated of Benzyl Adenine (BA) with three degree, it were : 0,2 mg/l(B1); 0,4 mg/l(B2); 0,8 mg/l (B3), and the second factor were the variant concentrate of Naphthalene Acetic Acid (NAA) , it were : 0 (N0); dan 0,1 mg/L (N1). The result showed that on Benzil Adenin (BA) cultur affected on bud length, but it wasn’t affected real on the number of fresh leaves and the number of grain. The additioned of NAA affected real on number of fresh leaves, but it wasn’t affected real on bud length variable and number of grain. The combination between aplicated of Benzyl Adenine (BAA) and added of Naphthalene Acetic Acid (NAA) weren’t showed the real affected to all of observation variables. On the single sub cultur
applicated of Benzyl Adenine (BA), it was affected real to all of observation variables. Additioned of Naphthalene Acetic Acid (NAA) to the media showed the real affetioned to all of observation variables. The combination between aplicated of Benzil Adenin (BAA) by additioned of Naphthalene Acetic Acid (NAA) were showed the real affected to all of observation variables
ABSTRAK
PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI BENZYL ADENINE (BA) DAN KONSENTRASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) TERHADAP
PERBANYAKAN TUNAS MIKRO TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) SECARA IN VITRO
Oleh
Kresna Shifa Usodri
Perbanyakan Ubi kayu umumnya menggunakan metode konvensional dengan menggunakan stek 3 buku sampai dengan 5 buku. Untuk mengefisienkan perbanyakan , maka dilakukan suatu metode dengan menggunakan bahan tanam stek tunas aksilar tanaman ubi kayu dengan penambahan berbagai konsentrasi Benzyl Adenine (BA) dan Naphthalene Acetic Acid (NAA) secara In Vitro. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui adanya pengaruh berbagai konsentrasi Benzyl Adenine (BA) dan Naphthalene Acetic Acid (NAA) pertumbuhan dan perbanyakan tunas ubi kayu secara invitro. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada bulan september 2011 sampai bulan desember 2011. Penelitian ini
menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor perlakuan.
Faktor pertama adalah pemberian Benzyl Adenine (BA) dengan tiga taraf, yaitu 0,2 mg/l(B1); 0,4 mg/l(B2); 0,8 mg/l (B3), sedangkan faktor kedua adalah berbagai konsentrasi Naphthalene Acetic Acid (NAA) , yaitu 0 (N0); dan 0,1 mg/l (N1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahap kultur Benzyl Adenine (BA) berpengaruh terhadap panjang tunas, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun segar dan jumlah buku. Penambahan NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah daun segar, tetapi tidak berpengaruh nyata pada variabel panjang tunas dan jumlah buku. Kombinasi antara pemberian Benzyl Adenine (BA) dengan penambahan Naphthalene Acetic Acid (NAA) tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap semua variabel pengmatan. Pada tahap sub-kultur pemberian Benzyl Adenine (BA) secara tunggal Berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan. Penambahan Naphthalene Acetic Acid (NAA) terhadap media menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap semua variabel pengamatan. Kombinasi antara pemberian Benzyl Adenine (BA) dengan
penambahan Naphthalene Acetic Acid (NAA) tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap semua variabel pengamatan.
PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI BENZYL ADENINE (BA) DAN KONSENTRASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) TERHADAP
PERBANYAKAN TUNAS MIKRO TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) SECARA IN VITRO
(Skripsi)
Oleh
Kresna Shifa Usodri
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI BENZYL ADENINE(BA) DAN KONSENTRASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) TERHADAP
PERBANYAKAN TUNAS MIKRO TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) SECARA IN VITRO
Oleh
Kresna Shifa Usodri
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Representasi tunas hasil kultur stek tanaman singkong setelah diperlakukan dengan berbagai konsentrasi BA dengan atau
tanpa 0.1 mg/L NAA selama 4 minggu... 28
2. Representasi tunas hasil sub kultur stek tanaman singkong setelah diperlakukan dengan berbagai konsentrasi BA dengan
atau tanpa 0.1 mg/L NAA selama 4 minggu... 34
3. Akar yang muncul pada tunas in vitro stek tanaman ubi kayu pada tahap kultur setelah diperlakukan dengan berbagai
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………...... 25
4.1 Hasil Penelitian... 25
4.1.1 Tahap Kultur…….……….. ………... 25
4.1.2 Tahap Sub Kultur……… 29
4.1.3 Pengamatan Visual………. 35
4.2 Pembahasan... 36
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 44
5.1 Kesimpulan... 44
5.2 Saran... 45
DAFTAR PUSTAKA... 46
MENGESAHKAN
Ketua Tim Pembimbing : Dr.Ir. Erwin Yuliadi, M.Sc …...……...
Anggota Pembimbing : Ir. Ardian, M.Agr ..…...
Penguji Bukan Pembimbing : Dr.Ir. Agus Karyanto, M.Sc ..…...
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S NIP 196108261987021001
Orang pintar belum tentu akan berhasil dalam hidupnya dan orang bodoh tidak juga selalu gagal dalam hidupnya, itu semua terjadi karena yang menentukan seseorang berhasil dalam hidupnya bukanlah suatu kemampuan otak manusia tersebut, namun seberapa besar dia mampu memanfaatkan waktu yang ia punya untuk menjalankan hal-hal yang baik untuk hidupnya
Saat dirimu merasa semua hal sia-sia dan semua yang kau lakukan tak ada gunanya… Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tahu betapa keras dirimu telah berusaha…
Saat duka dan lara menghampiri dan kau menangis tak
terhankan… Ketahuilah kawan bahwa Allah melihat setiap duka, lara, dan tangisan yang telah kau alami...
Saat kau tak mampu lagi untuk melakukan apa-apa dan tak ada
yang membantu mu… Maka Allah akan selalu ada dalam setiap
langkahmu untuk membantu dan mendapingi mu
Semoga kamu mendapat cukup kesenangan untuk membuat kau bahagia,
Cukup cobaan untuk membuat kau kuat,
Cukup penderitaan untuk membuat kau menjadi manusia yang sesungguhnya,
dan cukup harapan untuk membuat kau positif terhadap kehidupan.
Alhamdulillahi Robbil ‘alamin, segala puji dan syukur
terucap dalam setiap doa, setiap saat ku terus berusaha untuk menyelesaikan tugas ku dan akhirnya
semua itu menghasilkan sesuatu yang indah semua itu berkar ridho
dari Mu ya Rabb
Dan akhirnya kupersembahkan juga karyaku ini sebagai rasa hormat dan baktiku kepada Kedua orangtuaku Tercinta ; Ayahanda Zuhdi
Amrozi S.Sos dan Ibunda Nilawati Orang terdekatku : Martalina Aksuri
dan.. Almamater tercinta Agroteknologi, Fakultas Pertanian
Judul Skripsi : PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI BENZYL ADENINE(BA) DAN
KONSENTRASI NAPHTHALENE ACETIC ACID (NAA) TERHADAP PERBANYAKAN TUNAS MIKRO TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) SECARA IN VITRO
Nama Mahasiswa : Kresna Shifa Usodri
Nomor Pokok Mahasiswa : 0814013154
Program Studi : Agroteknologi
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir Erwin Yuliadi, M.Sc Ir. Ardian, M.Agr
NIP195607121982111002 NIP 196211281987031002
2. Ketua Program Studi Agroteknologi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada 2 Mei 1990 anak tunggal dari
pasangan Bapak Zuhdi Amrozi, S.Sos dan Ibu Nilawati. Penulis menyelesaikan
pendidikan formal SDN 90 Bengkulu tahun 1996-2002. Pada tahun 2002- 2005
penulis sekolah di SLTPN 1 Metro, Lampung. Pada Tahun 2005-2008 penulis
sekolah di SMAN 3 Bandar Lampung. Pada tahun yang sama penulis terdaftar
sebagai mahasiswa Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas
Lampung melalui Program Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN).
Selama kuliah penulis menjadi anggota Agronomi Pecinta Alam (AGROPALA)
tahun 2009- 2010. Pada bulan Juli sampai Agustus 2011, penulis melaksanakan
kegiatan KKN Tematik di desa Rigis Jaya Kecamatan Air Hitam, Kabupaten
Lampung Barat dengan tema Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Pada bulan
Januari hingga Februari 2012 penulis melaksanakan kegiatan Praktek Umum di
PT Sang Hyang Seri Kantor Regional V, Kecamatan Pekalongan, Kabupaten
Lampung Timur dengan judul Proses Produksi Benih Padi (Oryza sativa L.) di PT
SANWACANA
Penulis panjatkan puji sykur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
ridho-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Erwin Yuliadi, M.Sc. selaku pembimbing Utama yang telah
memberikan saran, nasihat, semangat, dan bimbingan dalam penelitian
2. Ir. Ardian, M.Agr. selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan saran,
kritik, dan bimbingan selama penyusunan skripsi
3. Dr. Ir. Agus Karyanto, M.Sc. selaku Penguji bukan pembimbing atas saran
dan bimbingan pada penulis selama ini
4. Ir. Herry Susanto, M.P. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas
bimbingan, nasehat, dan semangat kepada penulis
5. Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. selaku Ketua Program Studi
Agroteknologi atas bantuan yang telah diberikan
6. Prof. Dr. Ir. Wan abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
7. Kedua orang tuaku tercinta Bapak Zuhdi Amrozi, S.Sos dan Ibu Nilawati.
8. Rekan seperjuangan dalam penelitian atas kerjasama Maryo Gunawan,
Martalina Aksuri, dan Henni Elfandari serta teman-teman lain yang
Prasetyo, Elida Yantama, Lindiana, Resmia F Hendradi, Diana saragih,
Maylinda W, Edo, Gilan Ginanjar, Febria Siska, Renny mitasari, Yessi,
Yohanes, Eko Ari Widodo, dan Rizki Amelia.
9. Teman-teman penulis David, Agus, Setiawan, Agustinus, Darma,Indra,
Topik, Fatwa, Eko, Asep, Panji, Andika, Apri, Aris, devi, tina, mastutik, kiki,
Edi, Agung, Agan, Daniel, Danil, Aldi, dan Ade
10. Seluruh teman- teman Agroteknologi ’08 untuk kebersamaan, dukungan, dan
doa kepada penulis Best Friends yang telah mengukir keindahan di Fakultas
Pertanian
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka dan penulis berharap
skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pembaca. Amin
Bandar Lampung, Juli 2012
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika, tepatnya
Brasil (Lingga dkk., 1986 ; Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi kayu yang
juga dikenal sebagai ketela pohon atau singkong, dan dalam bahasa Inggris
bernama cassava, adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Ubinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil
karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Dewasa ini, ubi kayu tidak hanya digunakan sebagai bahan baku industri pangan,
tetapi juga sudah banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif berbahan
nabati (bioenergi). Industri ini berpotensi untuk berkembang sangat baik terutama
setelah negara-negara maju mulai mengaplikasikan bioenergi sebagai sumber
energi alternatif selain sebagai bahan baku industri dalam bentuk alkohol (Night
Elf, 2008). Di Indonesia, alasan pemilihan ubi kayu sebagai komoditas utama
penghasil bahan bakar nabati salah satunya adalah untuk menjaga kestabilan harga
ubi kayu (Prihardana dkk., 2007). Ubi kayu juga dijadikan sumber pakan nabati
oleh para peternak dalam bentuk parutan ubi kayu mentah yang digunakan untuk
pakan ayam buras di DKI Jakarta (Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
2
Ubi kayu merupakan salah satu komoditas pertanian unggulan di Provinsi
Lampung. Pada tahun 2010, total luas lahan yang ditanami ubi kayu adalah
346.217 ha dengan total produksi 8.637.594 ton dan produktivitas sebesar 249,48
ton/ha. Sementara pada tahun 2011, diperkirakan luas lahan yang ditanami ubi
kayu seluas 336.917 ha dengan produksi 8.425.820 ton dan produktivitas sebesar
25,009 ton/ha (Badan Pusat Statistik Lampung, 2011).
Selain itu, kebutuhan akan bahan baku ubi kayu semakin meningkat pula dengan
diversifikasi industri pengolahan bahan baku ubi kayu menjadi bioetanol. Hal ini
menyebabkan percepatan kenaikan kebutuhan ubi kayu tidak seiring dengan
pertambahan jumlah lahan yang dapat ditanami ubi kayu (Anonim, 2010). Selain
permasalahan tersebut, ada permasalahan lainnya yaitu beberapa varietas yang
telah dirilis oleh pemerintah tidak dapat serta merta diperoleh petani ubi kayu
dengan mudah dan dalam jumlah yang banyak. Hal ini disebabkan terbatasnya
jumlah bibit yang dapat disebar atau didistribusikan dalam waktu relatif singkat,
karena dari satu tanaman ubi kayu hanya diperoleh sekitar 10 stek saja setelah
tanaman berumur 10 bulan atau lebih (BIP, 1995). Sedangkan stek yang
diperlukan untuk penanaman ubi kayu secara monokultur satu hektarnya saja
sekitar 14.000 stek.
Menurut Suryana (2009), permasalahan utama yang dihadapi dalam
pengembangan agroindusti pangan non-beras seperti ubi kayu adalah ketersediaan
bahan baku pangan lokal yang tidak kontinyu sehingga tidak dapat menjamin
keberlanjutan industri pengolahannya seperti pengolahan menjadi tepung cassava. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan ubi kayu sekarang ini,
3
kualitas yang ditetapkan. Sehingga para petani sebagai produsen bahan baku
industri membutuhkan banyak bibit yang berkualitas untuk dapat memenuhi
permintaan industri.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut strateginya adalah dengan menggunakan
teknologi modern yang dapat menunjang ketersediaan dan kontinuitas sumber
bahan tanamnya. Pembudidayaan ubi kayu melalui teknik in vitro memberikan
peluang untuk melakukan perbanyakan secara massal. Keberhasilan perbanyakan
secara in vitro ini akan bermanfaat untuk menunjang kegiatan penelitian
perbaikan tanaman. Selain itu juga bermanfaat bagi penyediaan bibit tanaman
untuk para petani ubi kayu dan pengusaha perbanyakan tanaman. Dengan
teknologi in vitro, tidak hanya permasalahan tersebut yang dapat teratasi, juga
dapat melengkapi teknologi konvensional yang sudah ada. Ardian dan Yuliadi
(2009) telah mendapatkan teknik perbanyakan stek mikro tanaman singkong
secara in vitro yang true-to-type. Akan tetapi setelah stek mikro diperoleh perlu diketahui pertumbuhan stek tersebut secara in vitro.
Penggunaan media dasar dan zat pengatur tumbuh dalam teknologi in vitro
sangatlah penting. Media dasar sebagai tempat tumbuhnya tanaman harus sesuai
dengan karakteristik eksplan yang akan ditanam. Terdapat beberapa macam jenis
media dasar yang digunakan dalam teknologi in vitro, salah satunya adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962). Menurut Gamborg dan Phillips (1995),
media Murashige dan Skoog (MS) merupakan media yang biasa digunakan dalam
kultur jaringan dan untuk regenerasi hampir seluruh jenis tanaman. Kelebihan dari
4
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan hara baik yang
alami maupun sintetik yang dalam konsentrasi rendah dapat memepengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Beberapa kelompok ZPT adalah
sitokinin, auksin dan giberelin untuk memacu pertumbuhan tanaman (Yusnita,
2010). ZPT yang sering ditambahkan pada media adalah auksin dan sitokinin.
ZPT golongan auksin dapat meginisiasi akar dan memacu perkembangan akar
cabang pada kultur jaringan (Davies, 2004) sedangkan ZPT golongan sitokinin
dapat memecah dormansi sel dan mempunyai peranan dalam morfogenesis dan
pembelahan sel serta menstimulasi pembentukan tunas (Gaba, 2005).
Jenis dan konsentrasi ZPT yang diberikan ke tanaman berbeda antarjenisnya.
Salah satu ZPT tersebut adalah Auksin yang merupakan salah satu hormon
tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan suatu tanaman. Salah satu
jenis auksin adalah auksin sintetis NAA (Naphthalene Asetic Acid) yang mempunyai sifat lebih stabil daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh
enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses
sterilisasi. Tetapi NAA mempunyai sifat yang tidak baik karena mempunyai
kisaran kepekatan yang sempit. Batas kepekatan yang meracun dari zat ini sangat
mendekati kepekatan optimum untuk perakaran. Dengan demikian perlu
kewaspadaan saat pemakaiannya agar kepekatan optimum ini tidak terlampaui
(Hendaryono dkk., 1994).
Jenis ZPT lainnya yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas – tunas baru
adalah sitokinin. Sitokinin merupakan ZPT yang diperlukan untuk perbanyakan
5
organ tanaman. Fungsi fisiologis sitokinin pada tumbuhan adalah untuk
pembelahan sel dan pembesaran sel sehingga akan memacu kecepatan
pertumbuhan tanaman, untuk pembentukan tunas – tunas baru, dan untuk
penundaan penuaan atau kerusakan pada hasil panen seingga lebih awet, dan
menaikkan tingkat mobilitas unsur – unsur dalam tanaman (Salisbury dan Ross,
1995).
Jenis sitokinin yang sering ditambahkan dalam media adalah Benzyl adenine (BA). BA merupakan golongan sitokinin aktif yang bila diberikan pada tunas
pucuk akan mendorong ploriferasi tunas yaitu keluarnya tunas lebih dari satu
(Wilkins, 1989). BA termasuk golongan sitokinin, merupakan ZPT yang banyak
digunakan untuk memacu inisiasi dan poliferasi tunas. Terutama untuk
mendorong pembelahan sel, menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi
tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1987).
Pada percobaan yang dilakukan oleh Park dkk. (2002) untuk eksplan adalah
potongan daun Phalaenopsis yang diambil dari tunas yang ditumbuhkan in vitro dari buku – buku tangkai bunga empat kultivar. Eksplan tersebut dikulturkan di
media MS + 88,8 µM (= 20 mg/L BA) dan 5,4 µM (1 mg / L NAA) + 30 g/L
sukrosa selama 12 minggu menghasilkan 10 – 12 protocorm-like-bodies. Hasil
penelitian lainnya yang dilakukan Panjaitan (2005), disimpulkan bahwa
pemberian 2,25 mg/L BA (sitokinin) ditambah 0,75 mg/L NAA (auksin)
berpengaruh nyata terhadap jumlah akar pada planlet tanaman anggrek
6
Dari uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengujian terhadap
penambahan beberapa konsentrasi BA dan NAA dalam upaya untuk memperoleh
bahan tanam ubi kayu secara efektif dan efisien dan dapat diperbanyak dengan
cepat melalui teknik perbanyakan tanaman secara In vitro.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh pemberian 0,2 mg/l; 0,4 mg/l; 0,8 mg/l BA
terhadap pertumbuhan dan perbanyakan tunas ubi kayu secara in vitro ?
2. Apakah terdapat pengaruh pemberian 0 mg/l dan 0,1mg/l NAA terhadap
pertumbuhan dan perbanyakan tunas ubi kayu secara in vitro ?
3. Apakah terdapat pengaruh interaksi pemberian BA dengan NAA terhadap
pertumbuhan dan perbanyakan tunas ubi kayu secara invitro?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, dapat dirumuskan tujuan
penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh pemberian BA terhadap pertumbuhan dan perbanyakan
tunas ubi kayu secara in vitro
2. Mengetahui pengaruh pemberian NAA terhadap pertumbuhan dan
perbanyakan tunas ubi kayu secara in vitro
3. Mengetahui pengaruh interaksi pemberian BA dengan NAA terhadap
7
1.4 Landasan Teori
Dewasa ini, ubi kayu tidak hanya digunakan sebagai bahan baku industri pangan,
tetapi juga sudah banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif berbahan
nabati (bioenergi). Industri ini berpotensi untuk berkembang sangat baik terutama
setelah negara-negara maju mulai mengaplikasikan bioenergi sebagai sumber
energi alternatif selain sebagai bahan baku industri dalam bentuk alkohol (Night
Elf, 2008). Di Indonesia, salah satu alasan pemilihan ubi kayu sebagai komoditas
utama penghasil bahan bakar nabati salah satunya adalah untuk menjaga
kestabilan harga ubi kayu (Prihardana dkk., 2007). Selain itu,ubi kayu juga
dijadikan sumber pakan nabati oleh para peternak seperti parutan ubi kayu mentah
yang digunakan untuk pakan ayam buras di DKI Jakarta (Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian, 1996). Mengingat pentingnya tanaman ubi kayu
tersebut maka permintaan ubi kayu yang terus meningkat harus diimbangi dengan
ketersediaan varietas unggu yang dapat diciptakan dan digunakan oleh petani
dalam waktu singkat serta jumlah yang banyak. Salah satu cara untuk mengatasi
hal tersebut adalah dengan mengunkan salah satu metode yaitu teknologi in vitro.
Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam teknologi in vitro sangatlah penting. Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah (< 1 μM) dapat mendorong, menghambat, atau secara
kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, 1989). ZPT
yang sering ditambahkan pada media adalah auksin dan sitokinin. ZPT golongan
auksin dapat menginisiasi akar dan memacu perkembangan akar cabang pada
8
memecah dormansi sel dan mempunyai peranan dalam morfogenesis dan
pembelahan sel serta menstimulasi pembentukan tunas (Gaba, 2005). Auksin
yang digunakan adalah NAA dan sitokinin yang digunakan adalah BA.
NAA merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil
daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan
oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi. Tetapi NAA mempunyai sifat
yang tidak baik karena mempunyai kisaran kepekatan yang sempit. Batas
kepekatan yang meracun dari zat ini sangat mendekati kepekatan optimum untuk
perakaran. Dengan demikian perlu kewaspadaan dengan pemakaiannya agar
kepekatan optimum ini tidak terlampaui (Hendaryono dkk., 1994).
Zat pengatur tumbuh NAA dapat berperan sebagai perangsang terbentuknya
enzim-enzim yang aktif dalam pembelahan sel. Tanpa pemberian NAA, walaupun
telah diberikan sitokinin, eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro belum mampu
berakar, sedangkan pada media MS dengan adanya penambahan NAA dapat
merangsang pertumbuhan akar (Simatupang, 1991).
Sitokinin mempunyai peranan penting jika diberikan bersamaan dengan auksin
yaitu merangsang pembelahan sel dalam jaringan serta merangsang pertumbuhan
tunas dan daun (Wetherell, 1982). Golongan sitokinin yang sering ditambahkan
dalam media antara lain adalah BA. BA merupakan golongan sitokinin aktif yang
bila diberikan pada tunas pucuk akan mendorong ploriferasi tunas yaitu keluarnya
tunas lebih dari satu (Wilkins, 1989).
BA termasuk golongan sitokinin, ZPT ini banyak digunakan untuk memacu
9
menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi
akar (Pierik, 1987). Benzyl Adenine (BA) merupakan zat pengatur tumbuh sintetik yang daya rangsangnya lebih lama dan tidak mudah dirombak oleh sistem enzim
dalam tanaman. BA dapat merangsang pembentukan akar dan pembentukan tunas
(Mariska dkk., 1987). Menurut Panjaitan (2005) pemberian 2,25 mg/l BA
ditambahkan dengan 0,75 mg/l NAA berpengaruh nyata terhadap jumlah akar
pada planlet tanaman anggrek Dendorbium secara in vitro.
Pada perbanyakan klon lili yang dilakukan oleh Setiawati (2003), konsentrasi
sitokinin yang tinggi akan mempercepat inisiasi tunas. Waktu inisiasi tunas lili
paling cepat terjadi pada klon 500-2 pada media MS dengan pemberian BA 2 mg/l
serta penambahan NAA 1 mg/l (13 HST). Klon yang paling lambat bertunas yaitu
klon 500-3, pada media MS + BA 1 mg/l + NAA 1 mg/1 (23 HST).
1.5 Kerangka Pemikiran
Ubi kayu merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat. Salah satu manfaat
tanaman ubi kayu yang pengolahannya sedang digalakkan pemerintah adalah
sebagai bahan baku industri terutama sebagai sumber energi bioetanol.
Permintaan akan kebutuhan ubi kayu mengalami peningkatan sangat cepat tetapi
tidak diimbangi dengan persediaan ubi kayu yang memadai. Oleh sebab itu
diperlukan varietas ubi kayu yang baik dalam segi genotipe, cepat dalam
pertumbuhan dan perbanyakan, serta mudah dalam mendapatkannya.
Varietas yang selama ini telah dikembangkan dan dirilis oleh pemerintah, ternyata
10
petani. Itu semua dapat dilihat dari masih tingginya permintaan akan kebutuhan
ubi kayu yang dapat dilihat dari badan BPS yang ada. Oleh sebab itu, perlu
diadakan penelitian lebih lanjut lagi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan cara perbanyakan stek ubi kayu secara in vitro. Dalam perbanyakan singkong secara in vitro perlu diperhatikan penggunaan media pembiakan dan zat pengatur tumbuh agar mendapatkan hasil stek ubi kayu
yang terbaik dan dalam waktu singkat. Media yang digunakan adalah media dasar
Murashige dan Skoog sedangkan untuk zat pengatur tumbuh dapat menggunakan
NAA dan BA. NAA dan BA digunakan dalam perbanyak stek ubi kayu secara in vitro karena memiliki pengaruh yang sesuai dalam perbanyakan stek ubi kayu.
Penggunaan teknologi melalui perbanyakan secara in vitro, diharapkan
memberikan kontribusi yang besar dalam pertumbuhan dan perbanyakan stek
tanaman ubi kayu dalam waktu yang cepat dan dalam jumlah yang banyak.
Perbanyakan dan pertumbuhan stek mikro yang cepat dan dalam jumlah banyak
tersebut diharapkan pula dapat memenuhi pasokan atau permintaan akan stek ubi
kayu sehingga pemenuhan akan kebutuhan singkong dapat tercukupi.
I.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran serta landasan teori yang ada, maka dapat
diajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh pemberian BA terhadap pertumbuhan dan perbanyakan
11
2. Terdapat pengaruh pemberian NAA terhadap pertumbuhan dan perbanyakan
stek ubi kayu secara in vitro
3. Terjadi interaksi pada pemberian BA dan NAA terhadap pertumbuhan dan
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman Singkong
Ubi kayu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Benua Amerika,
tepatnya Brasil (Lingga dkk., 1986 serta Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi
kayu yang juga dikenal sebagai ketela pohon atau singkong, dalam bahasa Inggris
bernama cassava, adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Ubinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil
karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
Secara taksonomi ubi kayu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpighiales
Suku : Euphorbiaceae
Subsuku : Crotonoideae
Tribe : Manihoteae
Marga : Mannihot
2
Ubi dari ubi kayu merupakan ubi atau akar pohon yang panjang dengan
fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis
ubi kayu yang ditanam. Ubi dari ubi kayu berasal dari pembesaran sekunder akar
adventif (Purwono dan Purnamawati, 2007). Ubi dari ubi kayu tidak tahan simpan
meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan
keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun
bagi manusia. Tetapi, ubi dari ubi kayu merupakan sumber energi yang kaya
karbohidrat walaupun sangat miskin protein.
Terdapat dua jenis ubi kayu yaitu ubi kayu sebagai pangan dengan kadar
cyanogenic acid atau asam sianida (HCN) rendah dan jenis ubi kayu beracun yang mengandung kadar asam sianida tinggi yang biasa digunakan untuk industri.
Singkong diklasifikasikan dalam spesies Manihot esculenta Crantz dan merupakan satu-satunya dalam family Ephorbiaceae yang secara luas
dibudidayakan untuk produksi pangan. Tanaman ini umumnya diplodi dengan
jumlah kromosomnya 2n = 36 (O’Hair, 1995).
Varietas ubi kayu yang sudah tersebar luas di masyarakat pada masa sekarang ini
merupakan varietas lokal maupun varietas unggulan nasional. Berdasarkan
laporan tahunan Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi), Malang tahun 2000 bahwa telah diperoleh 28 kombinasi persilangan
dan 3 kombinasi silang bebas klon-klon ubi kayu dalam rangka pembentukan
varietas unggul ubi kayu yang rendah HCN dan toleran terhadap serangan hama
tungau merah. Varietas unggul ubi kayu yang saat ini banyak ditanam masyarakat
adalah: Adira 1, Adira 2, Adira 4, Darul Hidayah, Malang 1, Malang 2, Malang 4,
3
1.2 Perbanyakan Tanaman Ubi Kayu
1.2.1 Perbanyakan tanaman ubi kayu secara konvensional
Umumnya tanaman ubi kayu diperbanyak dengan stek batang, walaupun tanaman
ini mampu menghasilkan biji. Perbanyakan vegetatif dengan stek batang
berkaitan dengan kesamaan karakter keturunannya dengan indukan asal stek.
Perbanyakan tanaman dengan cara ini dapat mengakibatkan lebih mudah
terinfeksi penyakit, selain itu cara ini juga terkendala oleh terbatasnya jumlah
bibit. Hal ini disebabkan karena dari satu tanaman singkong hanya diperoleh
sekitar 10 stek saja setelah tanaman berumur 10 bulan atau lebih (BIP,1995).
2.2.2 Perbanyakan tanaman ubi kayu secara in vitro
Kultur jaringan merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengisolasi
bagian tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik. Sehingga
bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
lengkap (Hartman dkk., 2002).
Berbeda dengan teknik perbanyakan vegetatif konvensional, kultur jaringan
melibatkan pemisahan komponen-komponen biologis dan tingkat pengendalian
yang tinggi dalam memacu proses regenerasi dan perkembangan jaringan. Setiap
urutan proses dapat dimanipulasi melalui seleksi bahan tanaman, medium kultur
dan faktor-faktor lingkungan, termasuk eliminasi mikroorganisme seperti jamur
dan bakteri. Semua itu dimaksudkan untuk memaksimalkan produk akhir dalam
bentuk kuantitas dan kualitas propagula berdasarkan prinsip totipotensi sel
4
Dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut:
1. Untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat
diperbanyak secara konvensional. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan
menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang
banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis.
2. Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan tidak memerlukan tempat yang
luas.
3. Teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang
tahun tanpa bergantung pada musim.
4. Bibit yang dihasilkan lebih sehat.
5. Memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik.
(Yusnita, 2003).
Kultur jaringan akan lebih besar persentase keberhasilannya jika menggunakan
jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda yang terdiri dari
sel-sel yang sel-selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat
pektin, plasmanya penuh, dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang
menggunakan jaringan ini untuk kultur jaringan. Sebab, jaringan meristem
keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormone
yang mengatur pembelahan (Hendaryono dkk., 1994).
Tahap-tahap pada perbanyakan secara in vitro meliputi, persiapan eksplan
(George, 1996), pemantapan kultur, multipikasi, dan pengakaran serta aklimitasi
5
tertentu yang spesifik untuk tanaman tertentu. Pada dasarnya komposisi media
dasar dan zat pengatur tumbuh yang digunakan berpengaruh langsung pada tahap
ini
Media kultur merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah
diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman
yang dikulturkan (Yusnita, 2003). Menurut Wetter dan Constabel (1982),
komposisi media hara untuk kultur jaringan tanaman mengandung 5 kelompok
senyawa yaitu garam organik, sumber karbon, vitamin, pengatur tumbuh, dan
pelengkap organik. Banyak media dasar yang sering digunakan dalam teknik
kultur jaringan. Beberapa media dasar tersebut adalah media dasar Murashige and
Skoog, White, Vacin and Went, WPM, B5, dan Nitsch and Nitsch (Gunawan,
1988). Media yang paling umum digunakan adalah media Murashige dan Skoog.
Menurut Gamborg and Phillips (1995), media MS atau Linsmaier and Skoog (LS)
sebagian besar menggunakan komposisi garam, khususnya dalam
meregenerasikan tanaman.
Dalam medium kultur jaringan sering digunakan senyawa organik sebagai sumber
vitamin, zat pengatur tumbuh, atau asam amino yang berharga murah jika
dibandingkan dengan harga bahan sintetiknya. Contohnya : air kelapa, ekstrak
buah pisang, tomat dan lain-lain. Ekstrak dari buah-buahan ini mempunyai
kelemahan karena konsentrasi vitamin, mineral, dan zat pengatur tumbuh yang
dikandungnya sangat bervariasi tergantung pada tempa tanaman itu tumbuh, cara
6
Menurut Beyl (2005), media kultur jaringan meliputi 95% air, hara makro dan
mikro, zat-zat pengatur tumbuh, vitamin, gula (karena tanaman in vitro
umumnya tidak mampu berfotosintesis), dan terkadang menggunakan bahanbahan
organik baik yang sederhana sampai yang komplek. Dan semuanya terdiri sekitar
20 komponen berbeda yang biasa digunakan dalam media.
Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik bukan nutrisi yang
dalam konsentrasi rendah (< 1 μM) dapat mendorong, menghambat atau secara
kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan (Wattimena, 1989).
Menurut Harjadi (2009), konsep zat pengatur tumbuh diawali dengan konsep
hormon tanaman. Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman
yang dalam konsentrasi yang rendah mempengaruhi proses-proses fisiologis,
seperti pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan tanaman. Prose-sproses lain
seperti pengenalan tanaman, pembukaan stomata, translokasi dan serapan hara
dipengaruhi oleh hormon tanaman. Hormon tanaman kadang-kadang juga disebut
fitohormon. Dengan ditemukannya zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang
pertumbuhan vegetatif, maka penggunaan ZPT sangat penting pada media tanam
kultur jaringan.
Zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin dalam keseimbangannya
merupakan keberhasilan penerapan teknik kultur jaringan. Sitokinin sebagai
senyawa organik yang dikombinasikan dengan auksin akan mendorong
pembelahan sel dan menentukan arah diferensiasi sel tanaman. Jika konsentrasi
7
dan akar, bila konsentrasi sitokinin tinggi maka kemungkinan akan terbentuk
tunas (Wattimena, 1988).
Auksin pada kultur jaringan dikenal sebagai hormon yang berperan menginduksi
kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorofil dalam proses
embriogenesis dan juga mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman (Santoso
dkk., 2004). Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas
adventif dan tunas aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan
untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi
auksin yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan
auksin konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan
morfogenesis (Zulkarnain, 2009). Menurut Wattimena (1992), auksin sintetik
perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara alami sering tidak
mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin mempunyai peranan
terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan kalus. Kisaran
konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01 – 10 ppm.
NAA merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil
daripada IAA, karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan
oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi, tetapi NAA mempunyai sifat
yang tidak baik karena mempunyai kisaran kepekatan yang sempit. Batas
kepekatan yang meracun dari zat ini sangat mendekati kepekatan optimum untuk
perakaran. Dengan demikian perlu kewaspadaan dengan pemakaiannya agar
8
Golongan sitokinin yang sering ditambahkan dalam media antara lain adalah BA.
BA merupakan golongan sitokinin aktif yang bila diberikan pada tunas pucuk
akan mendorong ploriferasi tunas yaitu keluarnya tunas lebih dari satu (Wilkins,
1989). BA termasuk golongan sitokinin, merupakan ZPT yang banyak digunakan
untuk memacu inisiasi dan poliferasi tunas. Terutama untuk mendorong
pembelahan sel, menginduksi tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi
menghambat inisiasi akar (Pierik, 1987).
1.3 Pentingnya Tanaman Ubi Kayu
Ubi kayu menjadi salah satu sumber pangan penting bukan hanya di Indonesia
tetapi juga di dunia. Lebih dari 500 juta penduduk dunia di negara-negara
berkembang banyak menanam ubi kayu di lahan sempit sebagai sumber pangan
(Roca dkk.,1992). Menurut Nweke dkk. (2002), ubi kayu merupakan bahan
pangan pokok terpenting kedua di Afrika, ditambah banyak petani berpenghasilan
rendah menanam ubi kayu ini di lahan marjinal dengan biaya murah dan dapat
menghidupi lebih dari 300 juta orang di daerah tersebut. Ubi kayu merupakan
tanaman pangan non-beras yang memiliki kandungan gizi yang baik. Kandungan
karbohidrat ubi kayu sebesar 34.7 gram/100g dan mengandung protein 1.2 /100g
(Soetanto, 2008).
Dewasa ini, ubi kayu tidak hanya digunakan sebagai bahan baku industri pangan,
tetapi juga sudah banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif berbahan
nabati (bioenergi). Industri ini berpotensi untuk berkembang sangat baik terutama
setelah negara-negara maju mulai mengaplikasikan bioenergi sebagai sumber
9
Elf, 2008). Di Indonesia, salah satu alasan pemilihan ubi kayu sebagai komoditas
utama penghasil bahan bakar nabati salah satunya adalah untuk menjaga
kestabilan harga ubi kayu (Prihandana dkk., 2007). Ubi kayu juga dijadikan
sumber pakan nabati oleh para peternak seperti parutan ubi kayu mentah yang
digunakan untuk pakan ayam buras di DKI Jakarta (Instalasi Penelitian dan
Pengkajian Teknologi Pertanian, 1996).
Kebutuhan akan bahan baku ubi kayu semakin meningkat pula dengan
diversifikasi industri pengolahan bahan baku ubi kayu menjadi bioetanol.
Tanaman ubi kayu merupakan salah satu tanaman yang dapat diproses menjadi
bioetanol sebagai bahan bakar terbarukan pengganti bahan bakar minyak bumi
dari fosil (Stellent, 2005).
Pada tahun 2010, total luas lahan yang ditanami ubi kayu adalah 346.217 ha
dengan total produksi 8.637.594 ton dan produktivitas sebesar 249,48 ton/ha.
Sementara pada tahun 2011, diperkirakan luas lahan yang ditanami ubi kayu
seluas 336.917 ha dengan produksi 8.425.820 ton dan produktivitas sebesar
25,009 ton/ha (Badan Pusat Statistik Lampung, 2011). Meningkatnya produksi
dan luas tanam dari ubi kayu tidak diimbangi dengan bertambahnya ketersediaan
dari bibit ubi kayu tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan suatu metode perbanyakan
ubi kayu yang dapat menghasilkan ubi kayu dalam waktu yang singkat dan dalam
jumlah yang banyak. Salah satu metode yang dapat menunjang dari ketersediaan
1
III. METODELOGI PENELITIAN
1.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung pada bulan September sampai Desember 2011.
1.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah Eksplan tunas samping (1 buku) dari kultur
in vitro ubi kayu (M. Esculenta) varietas Kasesart, Media MS (Murashige & Skoog) , ZPT BA (Benzyladenin) dan NAA (Naphthaleneacetic Acid), Alkohol,
Clorox (sunclin), Sabun cuci. Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat standar
untuk kultur jaringan. Alat-alat tersebut meliputi alat tanam, botol tanam, gelas
erlenmeyer, gelas ukur, pipet, neraca, pH-meter, autoklaf, lup, oven, laminar air flow cabinet (LAFC), hotplate, magnetic stirrer, lampu spirtus (bunzen), kamera, petridish serta alat-alat lainnya.
1.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan teracak lengkap. Setiap
perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri dari tiga botol kultur yang
masing – masing berisi dua eksplan. Perlakuan disusun secara faktorial dengan
2
0,4 mg/l(B2); 0,8 mg/l (B3). Faktor keduanya adalah konsentrasi asam naftalen
asetat yaitu, 0 (N0); dan 0,1 mg/L (N1). Data pada masing – masing perlakuan
dihitung nilai tengahnya dan dianalisis ragam dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil (BNT).
1.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Penyiapan Eksplan
Eksplan pada percobaan ini adalah eksplan stek mikro satu buku yang berasal dari
tunas mikro tanaman ubi kayu pada media yang sama. Tunas tersebut kemudian
disterilisasikan dengan larutan sodium Hypochlorite 1% selama 10 menit dan
dibilas dengan air steril 3 kali.
3.4.2 Penyiapan Media
Media yang digunakan adalah media MS. Dalam setiap pembuatan media, dibuat
¼ liter (250 ml) untuk 10 botol kultur. Pembuatannya dengan cara mencampurkan
larutan stok, BA dan NAA sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan serta gula
7,5 g kemudian dilarutkan dengan aquades sampai 250 ml. Larutan dikondisikan
pada pH 6,3 dengan menambahkan NaOH untuk menaikkan pH dan HCl untuk
menurunkan pH. Larutan ditambah agar-agar 2 g, kemudian diaduk dengan
magnetic stirrer dan dipanaskan hingga mendidih. Larutan dituangkan ke dalam botol kultur sebanyak 25 ml/botol, kemudian ditutup dengan plastik PP 0,3 mm
dan diikat dengan karet. Media dimasukkan ke dalam autoclave untuk disterilisasi
dengan tekanan 1,5 kg/cm2 selama 45 menit. Botol-botol kultur berisi media
3
3.4.3 Sterilisasi botol dan alat
Alat-alat yang harus disterilkan adalah botol kultur, petridish, scalpel, pinset, dan pisau pemes. Alat-alat tersebut dicuci sampai bersih lalu dikeringkan. Setelah
kering, sterilisai ke dalam autoclave pada tekanan 1,5 kg/cm2 selama 45 menit.
3.4.4 Penanaman eksplan
Penanaman tunas dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC). LAFC
adalah tempat menanam eksplan dan subkultur dengan kondisi aseptik. Eksplan
stek mikro satu buku ditanam tegak lurus terhadap media dan sepertiga bagian
steknya dibenam di dalam agar. Selanjutnya tutup botol dibuka dengan hati-hati,
kemudian dilakukan penanaman eksplan ke dalam botol kultur. Selama
penanaman mulut botol selalu didekatkan dengan api bunsen. Setelah eksplan di
tanam di botol, botol ditutup rapat menggunakan plastik pp.
1.5 Variabel pengamatan
Parameter yang diamati setelah minggu ke empat setelah penanaman eksplan
adalah jumlah buku per tunas, jumlah daun segar, panjang tunas, dan peubah
lainnya yang muncul setelah dilaksanakannya penelitian. Jumlah buku per tunas
dan jumlah daun segar dihitung dengan cara mengamati langsung jumlah daun
dan jumlah buku yang terdapat pada tunas. Untuk variabel panjang tunas di ukur
dengan cara mengeluarkan tanaman dari botol eksplan dan ditaruh di petridish
25
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan Penelitian ini, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai
berikut :
1. Pemberian benziladenin (BA) dengan konsentrasi 0.2 -.04 mg/L memberikan
pengaruh terhadap peningkatan panjang tunas, jumlah tunas, jumlah daun
segar, dan jumlah buku
2. Penambahan Naphtaleneaceticacid (NAA) 0.1 mg/L dalam media dapat
meningkatan jumlah buku, panjang tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun
segar tanaman ubi kayu.
3. Naphtaleneaceticacid (NAA) 0.1 mg/L dan beberapa konsentrasi benziladenin
26
5.2 Saran
Saran yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Penelitian lanjutan sampai dengan proses aklimatisasi untuk
melihat daya hidup dari ubi kayu setelah dipindah kekondisi seperti di
lapangan
2. Penggantian bahan tanam dengan pengambilan bahan tanam dengan umur
yang berbeda untuk mendapatkan konsentrasi yang tepat pada setiap fase
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pupuk hayati MIG-6 plus dan aplikasi penanaman singkong mekar manik. Brosur Mekar Manik. 13 hal.
Ardian dan E. Yuliadi. 2009. Pertumbuhan dan perbanyakan tunas mikro singkong (Manihot esculenta Crantz) secara in vitro pada berbagai konsentrasi benzil adenin. J. Agrotopika 14(1) : 19-22
Armini, N. M., G. A. Wattimena, L. W. Gunawan. 1992. Perbanyakan Tanaman: Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB, Bogor: 309 hal.
Badan Pusat Statistik Lampung. 2011. Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Ubi Kayu Provinsi Lampung. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn
Balai Iinformasi Pertanian Irian Jaya. 1995. Budidaya ubi kayu. Lembar Informasi Pertanian, BIP Irian Jaya. http://pustaka-deptan.go.id
Beyl, C.A. 2005. Getting started with tissue culture: media preparation, sterile technique, and laboratory equipment, p 19-37. In R.J. Trigiano and D.J.Gray (Eds.). Plant Development and Biotechnology. CRC Press: Florida.
Davies, P. J. 2004. Plant Hormones: Biosyntesis, Signal Transduction, Action!. Kluwer Academic Publisher. London.
Dewi, T.N.S. 2010. Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Benzilamino (BAP) dan Naphtaleneaceticacid (NAA) Untuk Peningkatan Produksi Campuran Triterpenoid dari Tanaman Centela Asiatica secara In Vitro(Skripsi). Universitas Andalas. Padang
Gaba, V. B. 2005. Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture and
Development. In : R.J. Trigiano and D.J. Gray (Eds.). Plant Development and Bioechnology. CRC Press. London.
26
George, E. F. 1996. Plant Propagation by Tissue Culture In Practice. 2nd editio Exegetics. England.
Gunawan, L.W. l988. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor . 303 hal.
Gunawan, L.W. 1992. Bioteknologi Tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU Bioteknologi IPB. Bogor. 309 hal.
Harjadi, S.S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya. Jakarta. 76 hal. Hartmann, H. T. dan D. E. Kester. 1983. Plant propagation, principles, and
practice, p. 523-280. In Englewood Cliffs (Ed.). Prentice-Hall inc, New Jersey.
Hendaryono, Daisy P dan Wijayani, A., 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Secara Vegetatif Modern. Kanisius. Yogyakarta.
Iflahah, Yunia. 2010. Pengaruh Pemberian Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh BA dan 2,4 – D Terhadap Pembentukan Tunas Pada Eksplan Batang Lilium longiflorum Thunb Secara In Vitro (Skripsi). Universitas Airlangga. Surabaya
Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, DKI Jakarta. 1996. Pakan ayam buras. 19 hal. http://www.pustakadeptan.
go.id/agritek/dkij0110.pdf. [19 Januari 2010]
Lingga, P., Sarwono, IF. Rahardi., P. C. Raharja., J. J . Afriastini., R. Wudianto., dan W. H. Apriaji. 1986. Bertanam Ubi-ubian. Penebar Swadaya: Jakarta. 285 hal.
Murashige, T., and F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassays with Tobacco Tissue. Pev. Plant Physiol. 15 :473-497.
Murashige, T. 1974. Plant Propagation Through Tissue Cultures. Ann. Rev. Plant Physiol. 25:135-166
Night Elf. 2008. Ubi kayu: bahan pangan nomor dua, bahan bakar nomor satu. http://prapanca21.wordpress.com. [19 Januari2010]
Nweke, FI., Spencer, SCD., Lynam, KJ. 2002. The Cassava Transformation. Africa Best Kept Secret. Michigan State University Press, East Lansing:Michigan. 273p.
27
Panjaitan, E. 2005. Respon Pertumbuhan Tanaman Anggrek Dendrobium sp terhadap permberian BA dan NAA secara In Vitro. Jurnal Hort. 52-26
Park, S.Y., H. N. Murthy, dan K-Y. Paek. 2002. Rapid propagation of
Phalaenopsis from floral stalk-derived leaves. In Vitro Cell. Dev. Biol., -Plant 38 : 168-172
Pierik, R. L. M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ., Netherlands. 344 p
Prihardana, R., E., Hambali, S. Mujdalipah, dan R. Hendrok. 2007. Bioetanol Ubikayu : Bahan Bakar Masa Depan.Agromedia Pustaka: Jakarta. 194 hal.
Purwono dan H. Purnamawati. 2007. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar Swadaya: Jakarta. 139 hal.
Roca,WM., Henry G., Angel F., Sarria R. 1992. Biotechnology Research Applied to Cassava Improvement at The International Center of Tropical
Agriculture (CIAT).
Salisbury, F.B. dan C.W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Dr. Diah R. Lukman, IR. Sumaryono, M.Sc. Jilid 3. ITB. Bandung
Santoso, U, dan Nursandi, F., 2004. Kultur Jaringan Tanaman. UMM Pres. Univ. Muhammadiyah Malang.
Simatupang, S, 1991. Pengaruh Pemberian Benzyl Aminopurine dan Lama Penggelapan Terhadap Pertumbuhan Stek In Vitro. Hort. 1 (2): 38-40.
Sitepu, Hendri Gunawan. 2007. Mikropropagasi Tunas Stroberi dengan Pemberian NAA dan BAP pada Media MS. Skripsi. Program Studi
Pemuliaan Tanaman. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 95 hlm.
Soetanto, N.E. 2008. Tepung Kasava dan Olahannya. Kanisius:Yogyakarta.81 hal.
Stellent. 2005. Production Progrecesses. http:// www.dft.gov.uk.
Sukawan, I. K. 2000. Perbanyakan Tanaman Nenas Varietas Veriegata (Ananas comosus ”veriegatus”) secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal.
28
Syahid, S.F., Natalini, N.K., Deliah,S. 2010. Pengaruh Komposisi Media
Terhadap Pertumbuhan Kalus Dan Kadar Tannin Dari Daun Jati Belanda (Guazuma Ulmifolia Lamk) Secara In Vitro. Balai Peneltian Tanaman Obat dan Aromatik. Bogor
Utama, Yoga. 2011. Pengaruh Benzil Adenin dan Napthaleneacetic acid terhadap pertumbuhan bibit anggerek Dendrobium Hibrida (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung
Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor
Wattimena, G. A. 1989. Zat pengatur tumbuh : peran fisiologis dan dasar-dasar pemakaian. Bul. Agron.(edisi khusus November): 28-49.
Wattimena, G. A . 1992. Bioteknologi Tanaman Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.
Wetherell, DF. 1982. Introduction to In Vitro Propagation Wayne. A very Publishing Group. New Jersey
Wetter, L. R. and F.Constabel. 1982. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Mathilda B. Widodo (Penerjemah). Penerbit ITB, Bandung. Wightman, F., E. A. Scheneider, and K. V. Thimann. 1980. Hormonal
Wilkins, M.B., 1989. Fisiologi Tanaman. Cetakan Kedua. Bina Aksara. Jakarta
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan. Agromedia Pustaka. Jakarta