BAB IV
NAVIGASI MAPALSA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Menghitung Deklinasi Kompas
Dalam melakukan navigasi memahami peta dan kompas sangatlah penting, dikarenakan penggunakan kompas tidaklah tinggal melakukan bidikan dan bisa begitu saji di terapkan di peta karena adanya variasi magnet bumi, yaitu yang disebut deklinasi, setiap daerah mempunyai perubahan deklinasi pada setiap thaunnya dengan satuan yang berbeda-beda.
Perubahan deklinasi ini ada dua macam yaitu decrese ataupun increase, dapat dikatakan decrease apabila perubahan yang dialami berkurang pada setiap tahunnya, dan dapat dikatakan increase apabila perbahan yang dialami bertambah pada setiap tahunnya, dan yang bersangkutan tentang deklinasi ini sudah di jelaskan di peta topografi yang biasa digunakan oleh anggota Mapalsa.
Selain itu tahun pembuatan peta juga akan berpengaruh pada tahun penggunaan, pengaruh tersebut dapat mempengaruhi akan besarnya sudut bidikan kompas saat akan di terapkan dipeta, pengaruh tersebut dikarenakan adanya deklinasi yaitu pergeseran magnet bumi, yang menyebabkan utara kompas tidak sama dengan utara yang ada dipeta, maka sudut kompas harus dikurangi sesuai dengan panduan deklinasi yang sudah ada pada peta, karena setiap daerah mempunyai deklinasi yang berbeda-beda, ada yang bertambah dan ada pula yang berkurang, seperti halnya peta
55
gunung Arjuno dengan tahun pembuatan 2000 dan digunakan sebagai pedoman di tahun 2015, maka sudut kompas harus di deklinasi sesuai dengan pedoman yang ada dipeta.
Contoh informasi deklinasi yang ada di peta topografi gunung Arjuno:
UP US UM
Keterangan: UP adalah Utara Peta
US adalah Utara Sebenarnya UM adalah Utara Magnetis
Diketahui bahwa daerah peta mengalami decrease 1‟ setiap tahunnya jadi cara untuk menghitung deklinasi yang ada pada peta gunung Arjuno ini adalah:
UP-UM = 34‟
Tahun penggunaan peta- tahun pembuatan peta= 2015-2000=15 Jumlah pengurangan tahun dikalikan dengan decrease jadi 15x1‟=15‟ jadi untuk mengetahui jumlah deklinasi antara utara magnet ke utara peta maka jarak utara peta sampai utara magnet dikurangi (karena
56
decreas) dengan selisih tahun jadi 34‟-15-=19‟ jadi setiap bidikan kompas yang akan di terapkan pada peta harus di kurangi 19‟, misalkan dibikan kompas 30 º maka untuk penerapan yang ada di peta adalah 30 º - 19‟ = 29 º 41‟.
Dengan begitu deklnasi kompas perlu dipahami oleh navigator, karena sangat berpengaruh pada perhitungan bidikan kompas dengan penerapannya di peta nantinya, apabila navigator tidak menggunakan deklinasi ini maka mustahil akan mendapatkan titik koordinat yang benar.
Menurut pendapat penulis menghitung deklinasi keika melakukan pendakian gunung perlu dilakukan karena menghitung deklinasi sangat diperlukan untuk menentukan arah kiblat, dengan demikian apabila ditinjau menurut hukum islam berdasar madzhab Syafi‟i terdapat dua pendapat tentang masalah arah kiblat pertama, menghadap ke bangunan Ka‟bah („ain al-ka‟bah), dan kedua, menghadap ke arah Ka‟bah (jihat al-ka‟bah).
Sebagian madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa orang yang dekat ataupun jauh dari Ka‟bah diwajibkan menghadap „ain Ka‟bah (bangunan Ka‟bah) atau udaranya yang bersambung (lurus) dengannya. Akan tetapi bagi yang dekat diwajibkan untuk menghadap „ain Ka‟bah atau udaranya itu dengan yakin, misalnya dengan cara melihat atau menyentuhnya dan lain sebagainya yang dapat memberikan suatu keyakinan. Sedangkan yang jauh dari Ka‟bah maka
57
hendaknya ia menghadap „ain Ka‟bah secara dzan (dugaan kuat), bukan hanya sekedar menghadap ke arahnya, berdasarkan pendapat yang mu‟tamad (kuat).1
Menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah apabila terjadi kekeliruan dalam arah kiblat yang diketahui pada saat sedang salat maka salatnya harus dibatalkan dan diulangi lagi dengan menghadap ke arah kiblat yang diyakini kebenarannya. Demikian juga apabila kekeliruan itu baru diketahui setelah salat selesai dikerjakan. Salat tersebut harus diulangi kembali (I‟âdah). Mereka menganggap orang tersebut seperti seorang hakim yang telah memutus perkara yang ternyata bertentangan dengan nash. Maka, hakim tersebut harus meralat putusannya karena bertentangan dengan nash.
B. Menentukan Titik Koordinat Keberadaan
Selain pentingnya mengetahui titik koordinat sebagai perencanaan perjalanan ketika melakukan pendakian mengetahui titik koordinat keberadaan juga sangat penting dalam menentukan arah kiblat yang menggunakan navigasi, dengan itu untuk mengetahui koordinat keberadaan haruslah mengetahui titik koordinat posisi lintang dan bujur, karena mengetahui posisi lintang dan bujur termasuk langkah dalam menentukan arah kiblat.
Langkah yang digunakan untuk menentukan titik koordinat keberadaan adalah dengan cara melakukan resection, yaitu menentukan kedudukan atau posisi di peta
dengan menggunakan dua atau lebih tanda medan yang dikenali. Teknik resection
1
58
membutuhkan bentang alam yang terbuka untuk dapat membidik tanda medan. Tidak selalu tanda medan harus selalu dibidik, jika kita berada di tepi sungai, sepanjang jalan, atau sepanjang suatu punggungan, maka hanya perlu satu tanda medan lainnya yang dibidik.
Langkah-langkah resection adalah melakukan orientasi peta, mencari tanda medan yang mudah dikenali dilapangan dan di peta, minimal dua buah, dengan penggaris tarik garis lurus sumbu pada pusat tanda-tanda medan itu, membidik dengan kompas tanda-tanda medan itu dari posisi kita,sudut bidikan dari kompas itu disebut azimuth, memindahkan sudut bidikan menjadi back azimuth yang didapat kemudian diteraapkan ke peta, dan hitung sudut lurusnya, perpotongan garis yang ditarik dari sudut-sudut pelurus tersebut adalah posisi di peta.
Langkah selanjutnya menentukan keberadaan titik koordinat lintang dan bujur, degan cara menghitung antara lintang dan buju terdekat yang sudah ditentukan oleh peta, pada setiap karvaknya terdapat 37mm berbanding dengan 30 detik maka untuk mengetahui berapa satuan detik dari setiap milimeternya maka harus dilakukan perhitungan pembagian dari detik dibagi millimeter, jadi pembagiannya adalah 30/37 dan ditemukan 0,81 detik untuk setiap milimeternya, kemudian melakukan pengukuran dari lokasi yang sudah ditemukan di peta dengan titik bujur maupun lintang terdekat
Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa menentukan titik koordinat posisi atau keberadaan sangat berguna dalam ilmu navigasi, yaitu sebagai perencanaan untuk melakukan perjalanan pendakian bisa juga bermanfaat untuk
59
mengevaluasi perjalanan yang sudah dilalui agar tetap pada jalur pendakian, dan juga bisa sebagai langkah awal untuk melakukan penentuan arah kiblat, karena arah kiblat merupakan syarat wajib dalam menjalankan ibadah shalat sedangkan penentuannya harus sesuai dengan keilmuan.
Menurut madzhab Hanafi orang yang shalat tidak lepas dari dua keadaan, pertama, mampu untuk melakukan shalat dengan menghadap kiblat, kedua, melakukan shalat tetapi tidak mampu untuk menghadap kiblat. Jika ia mampu melakukannya, maka ia wajib shalat dengan menghadap kiblat. Jika ia termasuk orang yang dapat melihat Ka‟bah, maka kiblatnya adalah bangunan Ka‟bah ( „ain al-ka‟bah) tersebut, yaitu dari arah mana saja ia melihatnya. Sehingga, seandainya ia melenceng dari bangunan Ka‟bah, tanpa menghadap pada salah satu bagian banguann Ka‟bah, maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
Artinya: “...Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu
ke arah Ka‟bah…” (Q.S Al Baqarah/2 : 150)2
Jika ia tidak melihat Ka‟bah, maka ia wajib menghadap ke arahnya ( jihat alka‟bah), yakni kepada dinding-dinding mihrab (tempat shalatnya) yang dibangun dengan tanda-tanda yang menunjuk pada arah Ka‟bah, bukan menghadap kepada
60
bangunan Ka‟bah. Dengan demikian, kiblatnya ada lah arah Ka‟bah bukan bangunan Ka‟bah.3
C. Menentukan Arah Kiblat
Dalam penentuan arah kiblat dengan menggunakan navigasi ini hanyalah digunakan ketika anggota mapalsa sedang melakukan pendakian, karena saat berada di gunung maupun di hutan tidaklah ditemukan Masjid atau Mushollah, maka dalam menentukan arah kiblat diperlukan metode untuk mengetahuinya, dan sedangkan penguasaan arah yang di gunakan anggota Mapalsa adalah navigasi, maka navigasi inilah yang di gunakan untuk menentukan arah kiblat, adapun langkahnya adalah menggunakan selisih antara koordinat bujur dan lintang ka‟bah dengan koordinat bujur dan lintang keberadaan atau posisi, setelah diketahui dilakukan perhitungan
dengan rumus sudut pitagoras α = arc tan kemudian 360 dikurangi dengan hasil
perhitungan yang menggunakan rumus sudut pitgoras tadi dan itulah sudut azimuth ka‟bah.
Berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukan menggunakan rumus diatas, arah kiblat yang didapat ketika melakukan pendakian di gunung arjuno menghasilkan sudut bidik azimuth kearah ka‟bah dengan sudut bidikan 290.1107938º
sedangkan pada literatur yang penulis dapatkan pada buku yang berjudul kontoversi
3 Ali Mustafa Yaqub, Kiblat Antara Bangunan dan Arah Ka‟bah, (Jakarta: Pustaka Darus-
61
arah kiblat4 untuk arah kiblat didaerah Malang 294º 13‟ dengan rentang 293º 48‟ sampai dengan 294º 37‟ maka dari itu dapat disimpulkan bahwa akurasi navigasi dalam penentuan arah kiblat yang dilakukan Mapalsa masih kurang akurat.
Oleh karena itu, dalam menentukan arah kiblat harus dilakukan dengan metode mengerahkan segala kemampuan (ilmu pengetahuan) semaksimal mungkin sebagaimana layaknya sebuah ijtihad. Atas dasar itu, Imam Syafi‟I dalam kitabnya “al-Risâlah” memberikan contoh aktifitas ijtihad adalah menentukan arah kiblat. Akibatnya, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus oleh ahlinya sehingga menghasilkan arah kiblat yang akurat yang dapat dipertanggung jawabkan secara keilmuan.
4 Nur Kholis Majid,2014, Kontroversi Arah Kiblat , (Surabaya : Uin Sunan Ampel Press)hal. lampiran