• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Patofisiologi Hepatitis B

8. Penatalaksanaan terapi

Penatalaksanaan terapi pada penyakit hepatitis B dapat diuraikan sebagai berikut:

a. tujuan terapi

Tujuan terapi hepatitis B adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi virus hepatitis B (HBV) dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensi menjadi gagal hati dan mencegah karsinoma hepatoseluler pada saat pengobatan, serta mencegah terjadinya komplikasi setelah menjalani prosedur terapi (Suharjo dan Cahyono, 2006). Terapi yang dilakukan diharapkan juga dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

b. sasaran terapi

Pada penatalaksanaan terapi hepatitis B, yang menjadi sasaran terapi adalah nilai atau kadar HBV DNA serta kadar bilirubin dan SGOT/SGPT dalam darah. Terapi dilakukan untuk sedapat mungkin menurunkan kadar HBV DNA serendah mungkin, serokonversi HBeAg, dan normalisasi kadar ALT (bilirubin dan SGOT/SGPT dalam darah). Sasaran sebenarnya adalah

21

menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga sasaran tersebut tidak digunakan (Suharjo dan Cahyono, 2006).

c. strategi terapi

Strategi terapi pada pasien hepatitis B meliputi terapi farmakologis dan terapi non-farmakologis.

1). terapi farmakologis

Terapi farmakologi untuk hepatitis B bertujuan untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi virus hepatitis B (HBV) dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensi menjadi gagal hati dan mencegah karsinoma hepatoseluler (Suharjo dan Cahyono, 2006). Hal ini yang harus menjadi perhatian dokter dalam meresepkan (memilih) obat yang rasional (artinya: mempertimbangkan keamanan jangka panjang, efikasi, dan biaya) agar tujuan terapi dapat tercapai, efek samping dapat dihindari, serta pasien tetap dapat melanjutkan pengobatan sesuai dengan target yang diharapkan.

Prinsip umum pemilihan obat pada pasien hepatitis B adalah:

a). sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasinya terutama melalui ekskresi ginjal.

b). hindarkan penggunaan: obat-obat yang mendepresi susunan syaraf pusat (terutama morfin), diuretik tiazid dan diuretik kuat, obat-obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, dan obat-obat hepatotoksik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

c). gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama obat-obat yang eliminasi utamanya melalui metabolisme hati.

Tabel II. Rekomendasi The American Association For The Study of Liver Disease untuk terapi farmakologi untuk hepatitis B kronik (Suharjo dan Cahyono, 2006).

HBeAg HBV DNA (>105 copies/ml)

ALT Strategi Pengobatan + + ≤ 2 x BANN Efikasi terhadap terapi rendah

Observasi, terapi bila ALT meningkat. + + > 2 x BANN Mulai terapi dengan: interferon alfa,

lamivudin, atau adefovir.

End point terapi: serokonversi HBeAg dan timbulnya anti HBe.

Durasi terapi:

♦ Interferon selama 16 minggu

♦ Lamivudin minimal 1 tahun, lanjutkan 3-6 bulan setelah terjadi serokonversi HBeAg.

♦ Adefovir minimal 1 tahun.

Bila tidak memberikan respon atau ada kontraindikasi, interferon diganti lamivudin atau adefovir.

Bila resisten terhadap lamivudin,berikan adefovir.

- + > 2 x BANN Mulai terapi dengan: interferon alfa, lamivudin, atau adefovir. Interveron atau adefovir dipilih mengingat kebutuhan perlunya terapi jangka panjang.

End point terapi: normalisasi kadar ALT dan HBV DNA (pemeriksaan PCR) tidak terdeteksi.

Durasi terapi:

♦ Interferon selama 1 tahun. ♦ Lamivudin selama > 1 tahun. ♦ Adefovir selama > 1 tahun.

Bila tidak memberikan respon atau ada kontraindikasi interferon diganti lamivudin atau adefovir.

Bila resisten terhadap lamivudin, berikan adefovir.

- - ≤ 2 x BANN Tidak perlu terapi

± + Sirosis hati Terkompensasi: lamivudin atau adefovir Dekompensasi: lamivudin (atau adefovir), interferon kontraindikasi, transplantasi hati. ± - Sirosis hati Terkompensasi: observasi

Dekompensasi: rujuk ke pusat transplantasi hati.

23

Saat ini, di Indonesia ada 5 jenis obat yang telah disetujui (direkomendasikan) untuk terapi hepatitis B kronis yaitu interferon alfa-2b, lamivudin, adefovir dipivoxil, peginterferon alfa-2a, dan entecavir (analog nukleosid) (Suharjo dan Cahyono, 2006).

(1). Interferon alfa-2b (Intron-A)

Interferon tidak memiliki khasiat antivirus langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antivirus. Salah satu kekurangan interferon adalah efek samping (antara lain: gejala flu, depresi dan sakit kepala) dan pemberian secara injeksi. Dosis interferon 5-10 juta MU, 3 kali/minggu selama 16 minggu.

(2). Lamivudin

Lamivudin merupakan antivirus melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi virus hepatitis B. Pemberian lamivudin 100 mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg, dan mengurangi progresi fibrosis secara bermakna dibandingkan plasebo. Namun lamivudin memicu resistensi. Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari 32% setelah terapi selama 1 tahun, dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun. Resiko resistensi terhadap lamivudin meningkat dengan semakin lamanya pemberian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

(3). Adefovir dipivoxil (Hepsera)

Adefovir merupakan analog asiklik dari deoxyadenosine monophosphate (dAMP), yang telah disetujui FDA untuk digunakan sebagai antivirus terhadap hepatitis B kronik. Cara kerjanya adalah dengan menghambat amplifikasi dari cccDNA virus. Dosis yang direkomendasaikan untuk dewasa adalah 10mg/hari oral paling tidak selama 1 tahun. Adefovir memberikan hasil yang lebih baik secara signifikan (p<0,001) dalam hal respon histologi, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg, dan penurunan kadar HBV DNA. Kelebihan adefovir dibandingkan lamivudin disamping resiko resistennya lebih kecil, adefovir juga dapat menekan YMDD mutant yang resisten terhadap lamivudin.

(4). Peginterferon alfa-2a (Pegasys)

Peginterferon alfa-2a (pegasys) diberikan dalam bentuk injeksi. Untuk terapi tunggal dosisnya 180 mcg 1 kali seminggu, sedangkan untuk terapi kombinasi dosisnya 180 mcg 1 kali seminggu dalam kombinasi dengan ribavirin. Terapi biasanya dilakukan untuk 6 bulan hingga setahun. Obat ini dapat menyebabkan atau memiliki efek samping gejala seperti flu, insomnia, mudah marah, depresi, gangguan konsentrasi, dan cemas. Peginterferon dapat pula dikombinasikan dengan lamivudin. Kombinasi peginterferon dengan lamivudin akan menghasilkan serokonversi dengan HBeAg, normalisasi ALT, penurunan HBV DNA,

25

dan supresi HBsAg. Peginterferon memberikan hasil lebih baik dibandingkan lamivudin.

(5). Entecavir

Adalah obat yang diminum sehari sekali, dengan hampir tidak ada efek samping selama 1 tahun. Dipertimbangkan sebagai obat antivirus oral yang paling poten untuk hepatitis B kronik hingga kini (Anonim, 2005).

2). terapi non farmakologis

Terapi non-farmakologis dapat diartikan terapi dengan tidak menggunakan obat, atau lebih menitikberatkan kepada peningkatan daya tahan tubuh pasien. Karena pada dasarnya penyakit hepatitis B sekitar 90% dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting disease) dengan daya tahan tubuh yang baik. Untuk dapat meningkatkan daya tahan tubuh, hal yang dapat dilakukan oleh pasien hepatitis B antara lain dengan jalan mengurangi aktivitas (kegiatan) fisik yang berlebihan (tidak memforsir tubuh), cukup istirahat, mengkonsumsi makanan yang seimbang dan bergizi, mengkonsumsi buah-buahan yang disamping mengandung banyak vitamin juga sekaligus mempunyai manfaat sebagai hepatoprotektor, diet sesuai dengan kebutuhan, serta menjaga kebersihan lingkungan (perbaikan hygiene sanitasi lingkungan).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dokumen terkait