• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA …

2.5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB, prinsip dan regimen obatnya sama dengan tuberkulosis paru. Kemoterapi adalah dasar penatalaksanaan. Pada kasus-kasus yang terbukti atau sangat condong sutu limfadenitis TB, pengobatan harus tepat dan sedini mungkin. Perlu diperhatikan bahwa kita tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi pada kelenjar limfe ketika kita mengobatinya. 1

Sekitar 25% penderita kelenjarnya makin membesar selama pengobatan, bahkan bisa timbul kelenjar baru dan sekitar 20% timbul abses dan kadang-kadang membentuk sinus. Bila ini terjadi, janganlah mengubah pengobatan, karena kelenjar akan mengecil jika pengobatan masih kita lanjutkan. Sekitar 5-10% penderita masih akan teraba kelenjarnya pada akhir pengobatan, tetapi biasanya tidak membuat masalah lebih lanjut. Tidak perlu pemberian kortikosteroid, tetapi

bila terjadi fluktuasi abses yang luas, kortikosteroid dapat mencegah timbulnya sinus dan membantu memperkecil abses tanpa memerlukan tindakan bedah. 1

Berdasarkan beberapa pedoman pengobatan TB, terdapat perbedaan pemberian regimen. Pedoman internasional dan nasional menurut WHO memasukan limfadenitis TB dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan dengan regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau 2HRZ/6HE. American Thoracic society (ATS) merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan sedangkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke dalam TB diluar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH. 1,5,31,41

Menurut WHO pengobatan TB dengan HIV positif sama saja dengan pengobatan TB pada umumnya, penderita dengan HIV positif kecuali tidak boleh diberikan thiacetazon pada penderita TB dengan HIV positif. Sejumlah peneliti menganjurkan terapi yang lebih lama, yaitu 9 bulan, pada penderita dengan HIV walaupun respon pengobatan awal baik. Communicable Disease Control (CDC) dan ATS menganjurkan pengobatan 6 bulan untuk TB dengan HIV, namun pengobatan lebih lama pada penderita dengan respon klinik dan bakteriologik yang lambat. Untuk pengobatan diluar paru selama 12 bulan. Bila pirazinamid tidak dapat diberikan, maka terapi dengan INH, Rifampisin, Ethambutol diberikan selama 9 bulan. Resistensi terhadap OAT merupakan hal yang perlu dipertimbangkan pada penderita TB dengan HIV. Resiko resistensi OAT lebih

tinggi pada penderita dengan HIV baik tunggal maupun ganda (Multidrug Resistance=MDR). 1,2,5,31,41

Penelitian di Zaire menunjukkan angka relaps pada penderita TB dengan infeksi HIV dua kali lebih banyak dibandingkan penderita TB tanpa HIV. Perriens et al, menganjurkan perpanjangan terapi dari 6 bulan menjadi 12 bulan karena dapat mengurangi angka kekambuhan walau tak memperbaiki lamanya ketahanan hidup penderita. Namun penelitian Sterling et al, menunjukan tak ada perbedaan yang bermakna antara relaps pada penderita TB dengan HIV seropositif dan HIV seronegatif oleh karena itu Sterling menganjurkan bahwa terapi pada penderita TB dengan HIV positif sama dengan HIV negatif dalam menyelesaikan pengobatan. Bila infeksi TB timbul kembali maka ada 2 kemungkinan yaitu kambuh atau infeksi baru. 1

Van Loenhout-Rooyackers et al, membandingkan beberapa penelitian yang menggunakan paduan obat yang berbeda, yang diambil dari database Medline sejak tahun 1978-1997 dan mendapatkan bukti bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna diantara beberapa paduan obat tersebut. 1

Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa kesembuhan penderita dipengaruhi oleh kepatuhan, dana, edukasi dan kesabaran dalam mengkonsumsi obat, serta dengan pengobatan yang efektifpun respon penyakit ini lebih lambat daripada TB paru. 1

Obat anti retroviral yang banyak dipakai sampai saat ini ialah protease inhibitors seperti saquinavir, indiavir, ritonavir dan nelfinafir dan dari jenis non-nucleoside reverse transcriptase inhibuitors (NNRTIs) seperti neviravine,

delavirdine dan efavirenz. Telah diketahui protease inhibitors dan NNRTIs berinteraksi dengan rifamycin seperti rifampin, rifabutin dan rifapentine yang biasanya dipakai sebagai tuberkulostatika. 2

Interaksi ini disebabkan oleh karena terjadi perubahan metabolisme dari anti retroviral dan rifamycin karena yang dikenal sebagai CYP450. Rifamycin akan meningatkan CYP450 sehingga obat-obatan yang metabolismenya dilakukan oleh CYP450 akan menurun kadarnya dalam plasma darah. Dan anti retroviral golongan protease inhibitor termasuk yang dimetabolisme oleh CYP450, akibatnya kadar anti retroviral ini akan menurun dalam plasma, sehingga aktivitasnya sebagai anti retroviral akan berkurang. 2

Sebaliknya bila ritonavir yang merupakan inhibitor kuat CYP450 diberikan bersamaan dengan rifabutin, maka kadar rifabutin dalam darah akan meningkat tinggi, akibatnya kemungkinan akan terjadinya keracunan terhadap rifabutin akan meningkat pula. Diantara golongan rifamycin, rifampin adalah perangsang yang paling kuat dari CYP450, sedangkan rifabutin yang paling lemah dan rifapentine berada diantaranya. 2

Protease inhibitor merupakan penghambat CYP450, dimana ritonavir yang paling kuat dan saquinavir yang paling lemah, yang lain berada diantaranya. 2

Dari tiga obat golongan NNRTIs yang sudah disetujui mempunyai efek yang berbeda-beda terhadap CYP450, dimana nevirapine adalah perangsang CYP450, delavirdine merupakan penghambat dan efavirenz merupakan gabungan sebagai penghambat dan perangsang CYP450. 2

Golongan anti retroviral lainnya yang disebut nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) seperti zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine dan lamivudine dimetabolisme tidak melalui sistem CYP450, karena itu golongan NRTIs ini dapat diberikan bersama dengan rifamycin.2

Tuberkulostatika lainnya seperti INH, pyrazinamide, ethambutol, streptomycin dimetabolisme juga tidak melalui sistem CYP450, karena itu dapat diberikan bersamaan dengan obat anti retoviral. 2

Penggunaan rifampin untuk pengobatan standard TB tidak dianjurkan pada penderita yang terinfeksi HIV dan sedang dalam pengobatan dengan anti retroviral golongan protease inhibitors dan atau NNRTIs. Sebagai gantinya untuk penderita tersebut dapat dipakai ributin atau tuberkulostatika yang tanpa rifamycin. Rifampin dapat digunakan pada penderita menggunakan anti retroviral yang tidak memakai golongan protease inhibitors maupun NNRTIs, yaitu memakai NRTIs saja. 2

Pembedahan pada limfadenitis TB saat ini tidak perlu lagi, karena dengan kemoterapi bisa mengobati penyakit ini. Satu-satunya alasan untuk melakukan pembedahan adalah bila diagnosanya sangat meragukan. Untuk alasan kosmetik, pembedahan bisa dipertimbangkan, tetapi dilakukan minimal setelah 1 atau 2 minggu dimulainya pengobatan. 2

Walaupun pengobatan penderita TB aktif merupakan prioritas utama dalam pemberantasan penyait TB, pencegahan TB pada penderita HIV juga perlu dilakukan, terutama penderita HIV yang juga mengidap infeksi laten dengan

kuman TB. Untuk itu biasanya digunakan INH setiap hari selama 9-12 bulan dengan dosis minimal 270 dosis. 2

Dokumen terkait