• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

D. Penatalaksanaan Ketergantungan Napza

2. Penatalaksanaan Untuk Ketergantungan Napza

Terapi atau pengobatan terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan napza haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, sosial, dan agama. Terapi terdiri dari dua tahapan, yaitu detoksifikasi dan pasca detoksifikasi (pemantapan) yang mencakup komponen-komponen sebagai berikut :

a. Terapi Detoksifikasi

Terapi detoksifikasi adalah bentuk terapi untuk menghilangkan racun (toksin) napza dari dalam tubuh klien penyalahguna dan ketergantungan napza. Metode detoksifikasi ini tidak hanya berlaku untuk napza jenis opiat (heroin) saja melainkan berlaku juga untuk napza jenis lainnya seperti ganja, kokain, alkohol, amphetamine, dan zat adiktif lainnya (Hawari, 2001).

Dalam terapi detoksifikasi ini digunakan jenis obat-obatan golongan

susunan saraf pusat (otak). Pemikiran rasional penggunaan obat golongan major transquilizer ini adalah bahwa gangguan mental dan perilaku yang dikategorikan dalam gangguan mental organik yang ditandai dengan gejala-gejala gangguan jiwa (psikosis organik). Kategori psikosis ini dapat dilihat dengan adanya gangguan pada daya nilai realitas (reality testing ability/RTA) yang buruk serta pemahaman diri (insight) yang buruk pula pada klien penyalahguna atau ketergantungan napza (Hawari, 2001).

Metode detoksifikasi yang digunakan oleh Hawari pada pasien ketergantungan di panti rehabilitasinya adalah menggunakan sistem blok total (abstinentia totalis), artinya klien penyalahguna atau ketergantungan napza tidak boleh lagi menggunakan napza atau turunannya (derivates), dan juga tidak menggunakan obat-obatan sebagai pengganti atau substitusi (substitution) (Hawari, 2001).

Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai dengan kondisi pasien dan keluarganya, yaitu :

1) Detoksifikasi tanpa anestesi

a. Detoksifikasi dengan pemutusan segera

Merupakan cara yang paling klasik, program ini dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Caranya yaitu pasien dihentikan secara total dari opioid (putaw) dan membiarkan pasien mengalami gejala-gejala putus zat (tanpa diberikan obat penawar atau obat pengganti). Gejala putus zat ini akan muncul pada hari kedua atau ketiga. Bila perlu pasien diisolasi ketat dari lingkungannya selama 7 – 10 hari, yaitu saat proses detoksifikasi telah dilalui (Asikin, 2002).

b. Detoksifikasi simptomatik

Jenis detoksifikasi ini juga dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Caranya sama dengan detoksifikasi pemutusan segera, perbedaannya pada pemberian obat untuk mengatasi gejala putus zat saja (Asikin, 2002).

Gejala-gejala yang diduga akan muncul diberikan penawarnya :

1. rasa nyeri : diatasi dengan berbagai analgetik seperti parasetamol, asam mefenamat, tramadol, injeksi toradol. Dosis yang diberikan kadang lebih tinggi dari dosis penghilang nyeri pada umumnya.

2. Insomnia : dapat diberikan golongan benzodiazepin (hipnotik-sedativ) seperti estazolam, triazolam, nitrazepam, atau injeksi midazolam. 3. Depresi : diberikan anti depresan

4. Ansietas : dapat diberikan derivat benzodiazepin (clobazam) dan non benzodiazepin (buspiron).

5. Diare : terutama diare berat (lebih dari lima kali sehari) atau yang disertai dengan kesulitan makan atau minum, dapat diberikan loperamid

6. Mual atau muntah : dapat digunakan motor regulator (sulpirid) dengan dosis 20 – 50 mg diberikan tiga kali sehari.

Proses detoksifkasi dilakukan selama 7 – 10 hari, pasien perlu didampingi dalam melakukan proses detoksifkasi ini ( Asikin, 2002).

c. terapi subtisusi

berbagai subtitusi yang dapat dipilih : 1. metadon

2. klonidin 3. buprenorfin 4. pentazocin 5. kodein

2) Detoksifikasi cepat dengan anestesi (Asikin, 2002). b. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikofarmaka)

Gangguan mental dan perilaku ini masih berlanjut meskipun napza sudah hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Proses mental adiktif masih berjalan, artinya rasa ingin (craving) masih belum hilang sehingga kekambuhan dapat terulang kembali (Hawari, 2001).

Untuk mengatasi gangguan di atas, maka digunakan obat-obat yang berkhasiat mengatasi gangguan dan memulihkan fungsi neuro-transmiter pada susunan saraf pusat (otak), dengan psikofarmaka. Dengan terapi psikofarmaka gangguan mental dan perilaku dapat diatasi (Hawari, 2001).

Obat-obat yang digunakan dalam terapi psikofarmaka adalah sebagai berikut:

1) Obat Antipsikosis

Obat antipsikosis mempunyai sinonim, antara lain neuroleptik, major tranquilizer, ataractics. Obat yang paling sering digunakan dalam golongan obat antipsikosis ini adalah Chlorpromazine (CPZ) (Maslim, 2001).

Istilah lain yang digunakan untuk menyebut antipsikosis berdasarkan efek terapi yang ditimbulkan adalah antipsikosis konvensional atau tradisional atau tipikal (Typical Anti Psychotics) dan antipsikosis generasi baru atau yang biasa disebut antipsikosis atipikal (Atypical Anti Psychotics) (Maslim, 2001).

a. Antipsikosis Tipikal

Terutama efektif mengatasi simptom positif, pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok berikut:

1. derivat fenotiazine: klorpromazine, levomepromazine, dan triflupromazine (siquil)-thioridazine dan periciazine-perfenazine dan flufenazine-perazine (taxilan), trifluoperazine, proklorperazine (stemetil), dan thietilperazine (Torecan)

2. derivat thioxanthin: klorprotixen (Truxal) dan zuklopentixol (cisordinol)

3. derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan droperidol

4. derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol b. Antipsikosis Atipikal

Obat-obatan atipikal ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan quentizapin (seroquil) bekerja efektif melawan simptom-simptom negatif, yang praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda (Rahardja, 2002).

Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah mem-blokade dopamine pada reseptor pasca-sinaptikneuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem

ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist). Sedangkan obat antipsikosis yang baru (atipikal) selain berafinitas terhadap “Dopamine D2 receptors”, juga terhadap “serotonin 5 HT2 receptors” (serotonin-dopamine antagonists) (Maslim, 2001).

Profil efek samping obat antipsikosis yang sering terjadi adalah :

(1).Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa ngantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).

(2).Gangguan otonomik (hipotensi, mulut kering, kesulitan miksi dan defaksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

(3).Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas).

(4).Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik

(jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya untuk

pemakaian jangka panjang.

Efek samping ini ada yang cepat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat, dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk meringankan penderitaan pasien.

Efek samping yang irreversible adalah tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian

jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis antipsikosis (non-dose related) (Maslim, 2001).

Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek promer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, peranan utamanya pada efek sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).

Obat-obat antipsikosis yang biasa digunakan dalam detoksifikasi ketergantungan napza adalah:

(a) Klorpromazine (CPZ)

Klorpromazine dapat menimbulkan efek sedasi dengan disertai sikap acuh terhadap rangsangan dari lingkungan. Pada pemakaian dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan toleransi terhadap efek sedasi, tergantung dari status emosional pasien (Ganiswarna, 1995)

(b) Haloperidol (HLP)

Haloperidol adalah golongan butirofenon yang paling umum digunakan. Berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazine (Ganiswarna, 1995). Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazine, tetapi memperlihatkan banyak sifat fenotiazine. Pada orang biasa efek haloperidol mirip dengan CPZ. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami ekstasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibandingkan dengan CPZ (Santoso, 1995).

2) Obat Anti-Depresan

Obat anti depresan adalah obat yang mampu memperbaiki suasana jiwa

obat anti depresan disebut dengan thymoleptika (Yun. Thymos = suasana jiwa;

analepsis = stimulasi) (Tjay, 2002).

Teori monoamin menyatakan bahwa depresi diakibatkan karena terganggunya keseimbangan antara neuro-transmiter di dalam otak. Khususnya terutama karena kekurangan serotonin (dan atau noradrenalin) di saraf-saraf otak (Tjay, 2002).

Obat-obat anti depresan dibagi menjadi empat kelompok, yakni : a) Anti depresan klasik

Obat-obat ini menghambat reabsorbsi serotonin dan ujung nor adrenalin dari sela sinapsis di ujung-ujung saraf. Anti depresan klasik ini dibagi lagi menjadi 2, yaitu:

1. zat-zat trisiklik: amitriptilin, doksepin, dan dosulepin, imipramin, desipramin, klomipramin. Obat-obat ini mempunyai struktrur dasar cincin tiga.

2. zat-zat tetrasiklis: maprotilin, mianserin (dan mirtazapin), dengan struktur tetrasiklis.

b) Obat-obat generasi kedua

Dengan struktur kimia lain, yang menimbulkan lebih sedikit efek samping khususnya berkurangnya efek pada jantung dan antikolinergis, maka lebih aman pada overdosis dan pada lansia. Obat-obat generasi kedua ini juga dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1.SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake Inhibitor): fluvoxamine, fluoxetin, paroxetin, sertralin, dan citalopram. Trazodon juga mengahambat serotonin, tetapi juga bekerja sebagai anti serotonin. 2.NaSA (Noradrenalin and Serotonin Antidepresant): mirtazapin,

dan venlafxin. Obat-obat ini tidak berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari baik serotonin maupun noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat ini lebih efektif daripada obat-obat SSRI (Tjay, 2002).

c) MAO-blockers

Fenelzin dan tranylcypromin (parnate). Obat ini menghambat enzim mono-amino-oksidase (MAO). MAO terdapat dalam dua bentuk: MAO-A dan MAO-B. Kedua obat di atas menghambat kedua bentuk enzim mono-amin-oksidase secara irreversibel. Sedangkan obat baru moclobemida mengahambat terutama MAO-A secara reversible tetapi pada overdosis, selektivitasnya hilang (Tjay, 2002).

d) Lain-lain

Contoh obat pada golongan lainnya seperti: tryptofan, okstriptan dan piridoksin (Tjay, 2002).

Mekanisme kerjanya dengan jalan menghambat re-uptake serotonin dan noradrenalin di ujung-ujung saraf otak dan dengan demikian memperpanjang waktu tersedianya neurotransmiter tersebut (Rahardja, 2002).

Secara umum dikatakan mekanisme kerja dari MAO blocker adalah dengan :

1. menghambat “re-uptake aminergik neurotransmiter”

2. menghambat penghancuran oleh enzim “monoamine Oxidase”

sehingga terjadi peningkatan jumlah “aminergic neurotransmitter” pada sinaps neuron di susunan saraf pusat (Maslim, 2002).

Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat anti depresan berupa:

1. sedasi (rasa kantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun, dll)

2. efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin, pengelihatan kabur, konstipasi, sinus takikardia, dll)

3. efek anti adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi) 4. efek neurotaksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)

Efek samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari pasien), biasanya berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberikan dengan yang sama.

Pada keadaan overdosis dapat timbul “atropine toxic syndrome”dengan gejala eksitasi susunan saraf pusat, hipertensi, hipereksia, konvulsi, toxic konvusional state (confusion, dellirium, disorientation) (Maslim, 2001).

Pada dasarnya semua obat antipsikosis mempunyai efek primer yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping) (Maslim, 2001).

3) Obat Antianxietas

Antianxietas adalah obat yang digunakan untuk pengobatan simptomatik penyakit psikoneurisis dan sebagai obat tambahan terapi somatik yang didasari

ansietas (perasaan cemas) dan ketegangan mental. Penggunaan antianxietas dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik (Ganiswarna, 1998).

Obat antianxietas digolongkan menjadi dua golongan, yaitu: a) Golongan benzodiazepin

Benzodiazepin adalah kelompok obat yang paling banyak dideskripsikan sebagai transquilizer dan antianksiolitik, dengan efek yaitu menghalau kecemasan, frustasi, ketegangan dan stress yang banyak terdapat dalam masyarakat maju (Rahardja, 2002)

Benzodiazepin yang dianjurkan sebagai anti anxietas adalah: klordiazepoksid, diazepam, oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam, dan halozepam (Ganiswarna, 1995).

Diazepam digunakan untuk menimbulkan sedasi, menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang berhubungan dengan rasa cemas. Pada dosis layak diazepam menimbulkan depresi pada susunan saraf pusat berupa rasa kantuk (Santoso, 1995)

b) Golongan non-benzodiazepin

Golongan non-benzodiazepin adalah obat-obat anti anxietas yang tidak termasuk dalam golongan benzodiazepin, seperti:

(1). Buspiron

Buspiron merupakan contoh dari golongan azaspirodekandion yang potensial berguna dalam pengobatan anxietas.

(2). Meprobamat

Menurut Mutschler (1999), meprobamat adalah muskel relaksan. Pemberian biasanya secara oral dan diabsorbsi secara cepat dan sempurna.

(3). Valepotriat

Valepotriat mempunyai kemampuan menghilangkan rasa takut dan ketegangan, namun tidak memperkuat kerja sedatif maupun alkohol. Valepotriat mempunyai indikasi pada sindrom ketakutan, disregulasi vegetatif, kelemahan untuk berkontak, gangguan sikap, dan penyesuaian diri pada usia lanjut (Mutschler, 1999).

Efek samping yang terjadi pada pemakaian anti anxietas adalah seperti: a. Sedasi (rasa kantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor

menurun, kemampuan kognitif lemah)

b. Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah, dan lain-lain)

c. Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus obat (rebound phenomena): pasien menjadi iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi, dll (Maslim, 2001).

4) Obat Anti parkinson

Obat-obat parkinson pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni :

a) antikolinergika : triheksipenidil, biperiden, orfenadrin, prosiklidin, dan deksetimida (Tremblex). Obat-obat pengganti sintetis ini dari alkaloida

belladona terutama efektif terhadap semua bentuk Parkinsonisme dengan gejala tremor, kekakuan ringan, dan salivasi, tetapi untuk hipokinesia kurang ampuh. Obat ini bekerja langsung di susunan saraf pusat. Untuk bentuk penyakit yang lebih serius, perlu dikombinasikan dengan levodopa.

b) dopaminergika : levodopa, amantadin, bromokriptin, lisurida, pergolida, dan selegelin. Obat-obat golongan ini meningkatkan kadar DA di otak dan dengan demikian maka berdaya meringakan hipokinesia dan kekakuan, tetapi jarang sekali mengurangi tremor. Dopaminergik digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan antikolinergik (Rahardja, 2002).

Efek samping yang dapat terjadi dalam penggunaan anti Parkinson tergantung dari golongannya, yaitu:

a) antikolinergik

Efek sampingnya terutama diakibatkan oleh blokade kolinergik dan berupa efek primer umum seperti mulut kering, retensi urin, takikardi, mual, muntah, dan sembelit. Begitu pula efek sentral seperti kekacauan, agitasi, halusinasi, gangguan daya ingat, dan konsentrasi, terlebih-lebih pada manula (Rahardja, 2002).

b) dopaminergik

Dapat menimbulkan kesulitan tidur akibat eksitasi, efek kejiwaan dapat terjadi juga seperti rasa takut, depresi, dan gejala psikose pada overdose

c. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikoterapi)

Pada pasien penyalahguna atau ketergantungan napza selain terapi dengan obat (psikofarmaka) juga diberikan terapi kejiwaan (psikologik) yang dinamakan psikoterapi.

d. Terapi Medik-Somatik

Yang dimaksud dengan terapi medik somatik adalah penggunaan obat-obatan yang berkhasiat terhadap kelainan-kelainan fisik baik sebagai akibat dilepaskannya napza dari tubuh yaitu gejala putus obat (withdrawal syndrom) maupun koplikasi medik berupa kelainan tubuh akibat penggunaan dan ketergantungan napza (Hawari, 2001).

e. Terapi Psikososial

Yang dimaksud dengan terapi psikososial adalah upaya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi penyalahguna atau ketergantungan napza ke dalam lingkungannya sehari-hari. Dengan terapi psikososial ini diharapkan perilaku antisosial tersebut dapat berubah menjadi perilaku yang secara sosial dapat diterima (adaptive behavior) (Hawari, 2001).

f. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap para pasien penyalahguna atau ketergantungan napza ternyata memegang peranan penting, baik dari segi pencegahan (prevensi), terapi maupun rehabilitasi (Hawari, 2001).

g. Rehabilitasi

Setelah pasien penyalahguna atau ketergantungan napza menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama satu minggu dan

dilanjutkan dengan program pemantapan selama dua minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2001).

Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah upaya untuk memulihkan dan mengembalikan kondisi para mantan penyalahguna atau ketergantungan napza kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, spiritual (keimanan). Dengan kondisi sehat tersebut secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di lingkungan, di kampus, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya (Hawari, 2001).

Dokumen terkait