PEMILIHAN, EFEK SAMPING, DAN GAMBARAN EFEK KOMBINASI PSIKOTROPIKA DALAM USAHA DETOKSIFIKASI KETERGANTUNGAN NAPZA DI PANTI REHABILITASI PURI NURANI
PERIODE SEPTEMBER – DESEMBER 2003
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan Oleh:
MARTINUS HADIBOWO NIM : 998114216 NIRM : 990051122004120187
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Pengesahan Skripsi Berjudul
PEMILIHAN, EFEK SAMPING, DAN GAMBARAN EFEK KOMBINASI PSIKOTROPIKA DALAM USAHA DETOKSIFIKASI KETERGANTUNGAN NAPZA DI PANTI REHABILITASI PURI NURANI
PERIODE SEPTEMBER – DESEMBER 2003
Oleh:
MARTINUS HADIBOWO NIM: 998114216 NIRM: 990051122004120187
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Pada Tanggal : 26 Desember 2007
Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Dekan
Rita Suhadi, M.Si., Apt
Dosen Pembimbing:
Dra. A. M. Wara Kusharwanti, Apt.
Panitia Penguji:
1. Aris Widayati M,Si., Apt ...
2. Dra. A. M. Wara Kusharwanti, Apt. ...
3. Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt ...
A
A
d
d
M
M
a
a
i
i
o
o
r
r
e
e
m
m
D
D
e
e
i
i
G
G
l
l
o
o
r
r
i
i
a
a
m
m
Skripsi ini tersembahkan kepada
:1. Tuhan yang Maha Esa sebagai bentuk pelayanan nyata.
2. Orangtua sebagai ungkapan rasa hormat terima kasih, dan bakti yang tak terhingga.
3. kepada Almamaterku, Rekan-rekan
pemakai, dunia Farmasi.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, September 2007 Penulis,
Martinus Hadibowo
INTISARI
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penyalahgunaan napza menjadi masalah yang sangat besar. Fenomena napza bagaikan gunung es. Tidak disangkal bahwa peredaran napza tersebut sangat meresahkan masyarakat karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan.
Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif kwalitatif. Langkah penelitian yang dilakukan meliputi tahap perencanaan, tahap pengambilan data, dan tahap pengolahan data. Instrumen yang digunakan adalah tabel isian pemakaian obat-obatan yang digunakan dalam satu hari selama periode September sampai dengan Desember 2003, hasil wawancara dengan dokter dan standart pengobatan panti rehabilitasi Puri Nurani Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 orang pasien ketergantungan napza yang dirawat di panti rehabilitasi Puri Nurani selama periode September-Desember 2003 adalah pasien berjenis kelamin laki-laki lebih besar yaitu 90% dan perempuan sebesar 10%. Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan hasil yaitu 1 pasien mendapatkan kombinasi obat siang terdiri dari Triheksifenidil 2 mg dan Haloperidol 5 mg (kombinasi A); 2 pasien mendapatkan kombinasi obat siang yang terdiri dari Haloperidol 5 mg, Trihexypenidil 2 mg, dan Klorpromazin 100 mg (kombinasi B); serta 7 pasien mendapatkan kombinasi obat siang terdiri dari Untuk hari 1 – 7: Codein 60 mg, Haloperidol 2,5 mg, THP 2 mg, Tramadol 50 mg, CTM 4 mg, Papaverin 40 mg; dan Untuk hari 8 – 10 : Haloperidol 2,5 mg dan
THP 2 mg (kombinasi C). Semua pasien mendapatkan kombinasi yang sama untuk obat malam, yaitu klorpromazine 200 mg, 125 mg, 100 mg, 50 mg dan diazepam 5 mg. Kombinasi C merupakan kombinasi yang paling mendekati standar kombinasi yang ada di Puri Nurani, tetapi semua kombinasi obat tidak dapat dikatakan tidak rasional karena kombinasi obat diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Efek samping kombinasi obat terbagi dalam dua kategori yaitu efek samping yang membantu terapi detoksifikasi (misalnya mengantuk dan lemas), dan efek samping yang mengganggu terapi detoksifikasi (misalnya parkinson dan lidah kaku). Dari kombinasi obat yang diberikan pada pasien, untuk obat siang yang paling baik memberikan gambaran efeknya adalah kombinasi B dengan waktu onset sebesar 1,67 jam dan waktu durasi 5,34 jam, serta dapat mencegah timbulnya gejala tambahan yang mungkin timbul. Kombinasi obat malam memberikan waktu onset sebesar 0,94 jam dan waktu durasi sebesar 5,24 jam.
Kata kunci : Napza, detoksifikasi, kerasionalan, efek samping, gambaran efek kombinasi obat, kombinasi obat.
ABSTRACT
In the last few years the, abuse of napza become very big problem. Phenomenon napza as ices mount. Is not denied that circulation of napza hardly fret public by many the generated negativities impacts.
Research taken is type of research of non-experimental with qualitative descriptive research device. Step of research which done cover planning stage, phase of intake of data, and phase is data-processing. Instrument which applied is tables of stuffing of usage of drugs which applied in one day during periods Septembers up to Decembers 2003, interview result with doctor and standard medication of Puri Nurani rehabilitation center Jakarta.
Research result indicate that out of 10 patient people of dependence of napza which taken care of in Puri Nurani rehabilitation center during period September-Desember 2003 is bigger men gender patient that is 90% and woman equal to 10%. From observation which got by done is result that is 1 patient get drugs combination noon consisting of Triheksifenidil 2 mg and Haloperidol 5 mg (combination A); 2 patient get noon drug combination consisting of Haloperidol 5 mg, Trihexypenidil 2 mg, and Klorpromazin 100 mg (combination B); and also 7 patient get noon drug combination consist of day 1st - 7 th: Codein 60 mg, Haloperidol 2,5 mg, THP 2 mg, Tramadol 50 mg, CTM 4 mg, Papaverin 40 mg; and for day 8th - 10 th : Haloperidol 2,5 mg and THP 2 mg (combination C). All patients get same drugs combination for night’s medication that is klorpromazine 200 mg, 125 mg, 100 mg, 50 mg and 5 mg diazepam. Combination C is nearest combination of the combination standard in Puri, Nurani, but all drugs combinations cannot irrational told by drugs combinations are given as according to requirement and condition of patients. Drug combination side effects divided in two category that is side effects assisting detoxification therapy (for example is sleepy and weakened), and side effects bothering detoxification therapy (for example Parkinson and stiff tongue).
From passed by drug combination is patient, for best noon drug give image of the effect is combination B with onset time equal to 1,67 hour and duration time of 5,34 hour, and also can prevent incidence of addition symptom which possibly arising. Night drug combination give onset time equal to 0,94 hour and duration time equal to 5,24 hour.
Keyword : Napza, detoxification, rational, side effects, image of effect drug combination, drugs combination.
PRAKATA
Puji syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul
PEMILIHAN, EFEK SAMPING, DAN GAMBARAN EFEK KOMBINASI
PSIKOTROPIKA DALAM USAHA DETOKSIFIKASI KETERGANTUNGAN NAPZA DI PANTI REHABILITASI PURI NURANI
PERIODE SEPTEMBER – DESEMBER 2003 dapat terselesaikan.
Penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
untuk menambah wawasan di dunia farmasi. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dra. A. M. Wara Kusharwanti, Apt, selaku dosen pembimbing dan
penguji yang telah dengan sabar membantu dan membimbing dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Edi Joko Santoso, S.Si., Apt, yang juga telah membimbing dan
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Orang tua saya yang telah memberikan dorongan dan bantuan secara moril
maupun materiil dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Wakil Direktur I Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Herdjan, yang
telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
5. Bapak Dr. Antonius S. SpKj, yang telah memberikan
keterangan-keterangan yang diperlukan penulis dalam penelitian ini.
6. Bapak Dr. R. Surya Widya, SpKj, selaku penanggung jawab ruang panti
rehabilitasi Puri Nurani yang telah memberi ijin dan mendampingi dalam
melakukan penelitian ini.
7. Seluruh perawat yang bertugas di ruang panti rehabilitasi Puri Nurani,
yang telah membantu dalam melakukan penelitian ini.
8. Para pasien atau klien yang dirawat di panti rehabilitasi Puri Nurani atas
kerja sama dan penerimaannya dalam penelitian ini.
9. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
10.Ibu Aris Widayati M,Si., Apt, selaku Dosen Penguji
11.Bapak Yosef Wijoyo, M.Si.,Apt, selaku Dosen Penguji
12.Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Farmasi Sanata Dharma yang selalu
mendorong semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
13.Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Tak ada gading yang tak retak demikian pula dengan apa yang tertuang
dalam skripsi ini yang masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu berbagai
saran dan kritik yang membangun saya harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi pembaca
dan bagi dunia farmasi pada khususnya.
Yogayakarta, September 2007
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN ... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... INTISARI ... ABSTRACT ...
PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I. PENDAHULUAN...
A. Latar Belakang ...
1. Rumusan Permasalahan ...
2. Keaslian Penelitian...
3. Manfaat Penelitian ...
B. Tujuan Penelitian...
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ...
A. Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif ...
1. Definisi Narkotika dan Penggolongannya ...
2. Definisi Psikotropika dan Penggolongannya... 9
12
12
14
14
16
19
19
20
21
23
24
24
25
26
27
29
31
31
34
34 3. Zat Adiktif ...
B. Penyalahgunaan Napza ...
1. Ciri-Ciri Penyalahguna Napza ...
2. Tingkatan Ketergatungan Napza ...
3. Mekanisme Terjadinya Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Napza...
C. Zat yang Biasa Disalahgunakan, Gejala, Resiko,
dan Cara Pemakaian ...
1. Narkotika ...
a. Golongan Opiat...
b. Ganja...
c. Kokain...
2. Psikotropika ...
a. Stimulansia ...
b. Amfetamin ...
c. Methamphetamine ...
d. Sedativa Hipnotika...
3. Zat Adiktif ...
D. Penatalaksanaan Ketergantungan Napza ...
1. Konsep Dasar Penatalaksanaan...
2. Penatalaksanaan Untuk Ketergantungan Napza ...
a. Terapi Detoksifikasi ...
b. Terapi Medik Psikiatrik (Psikofarmaka) ... 37
47
47
47
47
47
48
49
50
53
54
54
54
57
57
58
58
58
58
59
59 c. Terapi Medik Psikiatrik (Psikoterapi) ...
d. Terapi Medik – Somatik ...
e. Terapi Psikosal...
f. Terapi Religius...
g. Rehabilitasi ...
3. Prinsip Pengobatan Ketergantungan Napza
yang efektif ...
E. Kerasionalan Penggunaan Obat ...
F. Standart Pengobatan atau Rehabilitasi Detoksifikasi
Panti Rehabilitasi Puri Nurani ...
G. Keterangan Empiris ...
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ...
B. Definisi Operasional ...
C. Instrumentasi Penelitian...
D. Lokasi Penelitian...
E. Jalannya Penelitian...
1. Tahap Persiapan...
2. Tahap Pengambilan Data ...
3. Proses Pengolahan Data...
F. Kelemahan Penelitian ...
G. Subyek Penelitian...
H. Tata Cara Analisis Hasil ... 59
60
60
61
67
71
80
80
81
84
87
139
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
A. Gambaran Umum Pasien Rawat Inap (Detoksifikasi)
Panti Rehabilitasi Puri Nurani Selama Bulan
September – Desember 2003...
B. Kerasionalan Penggunaan Kombinasi Obat Yang Diberikan
Kepada Pasien Selama Menjalani Terapi Detoksifikasi
Di Panti Rehabilitasi Puri Nurani ...
C. Efek Samping Yang Terjadi Dari Penggunaan
Kombinasi Obat Yang Digunakan Pasien Dalam Menjalani
Terapi Detoksifikasi ...
D. Efektivitas Penggunaan Kombinasi Obat
Yang Diberikan Pada Pasien Selama Terapi Detoksifikasi
Di Panti Rehabilitasi Puri Nurani ...
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...
A. Kesimpulan ...
B. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA... Lampiran ... Biografi Penulis ...
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Standart Kombinasi Obat yang Dipakai Pada Siang Hari DI Panti
Rehabilitasi Puri Nurani ...
Tabel 2. Standart Kombinasi Obat yang Dipakai Pada Siang Malam
di Panti Rehabilitasi Puri Nurani ...
Tabel 3. Data Gambaran Umum Pasien Rawat Inap Panti Rehabilitasi Puri
Nurani September-Desember 2003 ...
Tabel 4. Gambaran efek obat dan gejala tambahan yang terjadi pada
penggunaan masing-masing kombinasi obat...
Tabel 5. Gambaran waktu efek obat malam yang diberikan selama
terapi detoksifikasi ... 51
52
61
73
73
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema terjadinya penyalahgunaan
19 dan ketergantungan napza ...
DAFTAR LAMPIRAN
87
88
89
90
91
135 Lampiran 1. Surat ijin penelitian Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ...
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian Rumah Sakit Dr. Soeharto Herdjan
Jakarta ...
Lampiran 3. STANDART DETOKSIFIKASI NAPZA
“PURI NURANI” ...
Lampiran 4. Tabel Isian Penggunaan Obat Sehari-hari
Pasien Rawat Inap di Panti Rehabilitasi Puri Nurani...
Lampiran 5. Data Pola Penggunaan Obat Dalam Terapi Detoksifikasi
Gejala Putus Obat (Withdrawal Syndrome)
Pada Pasien Rawat Inap Penyalahgunaan
Dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika,
Dan Zat Adiktif Di Panti Rehabilitasi Puri Nurani
Periode September-Desember 2003...
Lampiran 6. Hasil Wawancara Dengan Dokter
Yang Bertanggungjawab Terhadap Klien atau Pasien
Rehabilitasi ketergantungan Napza di Puri Nurani...
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penyalahgunaan napza (narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif) menjadi masalah yang sangat besar bagi dunia
internasional dan terutama bagi bangsa Indonesia yang disebut termasuk dalam
segitiga emas dalam peredaran napza. Tidak disangkal bahwa peredaran napza
tersebut sangat meresahkan masyarakat karena banyak dampak negatif yang
ditimbulkan. Jika pada dekade lalu peredaran napza hanya terfokus pada kaum
muda dan usia-usia produktif, belakangan ini napza mulai menyusup kedalam
kalangan yang lebih luas mulai dari kalangan elit, selebritis, kalangan menengah,
dan kalangan bawah, mulai dari usia anak-anak sampai dengan lansia.
Fenomena napza bagaikan gunung es (ice berg), artinya yang nampak di
permukaan lebih kecil daripada yang tidak kelihatan (di bawah permukaan laut).
Pemerintah menyebutkan angka resmi penyalahgunaan napza 0,065% dari dua
ratus juta jiwa atau sama dengan seratus tiga puluh jiwa. Penelitian yang
dilakukan oleh Hawari dan kawan-kawan pada tahun 1998 menyebutkan bahwa
angka sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari angka resmi (dark number=10),
atau dengan kata lain bila ditemukan satu orang penyalahguna atau
ketergantungan napza artinya ada sepuluh orang lainnya yang tidak terdaftar
resmi.(Hawari, 2001)
Diasumsikan bahwa bila data pemerintah itu benar, maka paling sedikit
jumlah penyalahguna atau ketergantungan napza di Indonesia berjumlah satu
koma tiga juta jiwa. Bila diasumsikan setiap penyalahguna atau ketergantungan
napza mengeluarkan uang paling sedikit seratus ribu rupiah dalam sehari untuk
mengkonsumsi napza, maka biaya yang dikeluarkan minimal seratus tiga puluh
milyar per hari (Hawari, 2001).
Penelitian yang diakukan oleh Hawari dan kawan-kawan tahun 1998, dari
pasien penyalahguna atau ketergantungan napza jenis opiat (heroin) ditemukan
angka kematian (mortality rate) mencapai angka 12,16%. Mereka yang
mengalami komplikasi medik berupa kelainan paru-paru sebesar 53,73%,
gangguan fungsi hati 55,10% dan hepatitis C sebesar 56,53%, sedangkan yang
terinfeksi HIV sebesar 33,33% (Hawari,2001).
Studi kepustakaan menunjukkan angka kekambuhan cukup tinggi yaitu
43,9%. Metode terapi dan rehabilitasi yang ditentukan oleh Hawari dapat
menekan angka kekambuhan hingga 12,21% dan apabila yang bersangkutan taat
beribadah maka angka kekambuhan dapat diperkecil lagi yaitu 6,83% (Hawari,
2001).
Dari mereka yang mengalami kekambuhan ternyata ada tiga faktor utama
sebagai penyebab yaitu faktor teman 58,3%, faktor sugesti (craving) 23,21%, dan
faktor frustrasi atau stress 18,43% (Hawari, 2001).
Penyalahgunaan dan ketergantungan napza merupakan penyakit endemik
dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulang kali kambuh dan
merupakan gangguan mental adiktif (Hawari, 2001).
Sebelum tahun 1990 jarang sekali terdengar pusat rehabilitasi napza di
menjamur. Pada bulan Desember tahun 2000, di Jakarta dan sekitarnya sudah
terdaftar sekitar seratus pusat penanggulangan napza. Dengan motivasi, dasar
pemikiran, metode, sasaran dan program-programnya yang sangat bervariasi
(Somar, 2001).
Pada awal tahun 2001, pemerintah Indonesia bertekad mengurangi
penyalahgunaan napza secara lebih konfrontatif dan terbuka, dan telah dibentuk
suatu badan nasional yang berkoordinasi dengan menteri negara masalah
kemasyarakatan, yang disebut BKNN (Badan Koordinasi Narkotika Nasional).
Sejalan dengan upaya pemerintah mengatasi penyalahgunaan napza yang semakin
meningkat, Departemen Kesehatan mengeluarkan kebijakan agar setiap rumah
sakit tipe A dan B menyediakan unit pelayanan rehabilitasi napza (Anonim,
2001).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Rumah Sakit Jiwa Soeharto
Herdjan yang bertindak sebagai rumah sakit jiwa pusat nasional menyediakan unit
pelayanan kesehatan untuk pasien penyalahgunaan napza di bagian Puri Nurani,
baik dalam upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Puri Nurani
merupakan panti rehabilitasi napza yang terdapat di rumah sakit jiwa Soeharto
Herdjan Jakarta (Anonim, 2000).
Dalam programnya pusat-pusat rehabilitasi menggunakan berbagai
macam metode pendekatan pula, salah satunya adalah terapi detoksifikasi dengan
menggunakan obat. Dalam pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan napza tersebut
psikiater, psikolog, sosiolog, rohaniwan, tokoh agama, dan ahli dalam bidang
terapi serta pekerja sosial.
Terapi (pengobatan) terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan napza
terdiri atas dua tahapan yaitu detoksifikasi dan pasca-detoksifikasi (pemantapan)
(Hawari,2001). Terdapat berbagai macam cara detoksifikasi yang dapat dipilih
sesuai dengan kondisi pasien dan keluarganya, yaitu :
a.) detoksifikasi tanpa anestesi
1.) detoksifikasi dengan pemutusan segera (abrupt withdrawal
atau cold turkey)
2.) detoksifikasi simptomatik
3.) detoksifikasi subtitusi
b.) detoksifikasi dengan anestesi
Detoksifikasi Opiat Cepat dengan Anestesi (D.O.C.A)
Peranan seorang apoteker jarang sekali tampak dalam pelayanan
rehabilitasi tersebut, sementara obat-obatan yang dipakai dalam rehabilitasi napza
menggunakan obat-obat keras yang termasuk dalam golongan psikotropika.
Penggunaan psikotropika sebagai sarana pengobatan dalam rehabilitasi
selayaknya diawasi oleh seorang ahli dalam bidang obat-obatan yaitu apoteker,
mengingat efek yang tidak diharapkan sangat berbahaya, maka seorang apoteker
sebaiknya memberikan pertimbangan atau usulan kepada dokter dalam memilih
psikotropika yang akan dipakai dengan dosis yang sesuai.
Hal ini sering disebabkan oleh karena seorang apoteker jarang sekali
sangat terkait dengan bidang ilmu yang dimiliki oleh seorang apoteker, sementara
fungsinya sebagai pusat informasi penggunaan obat sering kali dirangkap oleh
seorang dokter.
1. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana pemilihan kombinasi obat yang diberikan kepada pasien dalam
menjalani terapi detoksifikasi di panti rehabilitasi Puri Nurani ?
2. Bagaimana efek samping yang terjadi dalam terapi detoksifikasi yang
diberikan dengan menggunakan psikotropika ?
3. Bagaimana gambaran efek penggunaan psikotropika yang dipakai dalam
terapi detoksifikasi di panti rehabilitasi Puri Nurani ?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh yang diketahui peneliti, penelitian yang mempelajari tentang
pemilihan psikotropika dalam rangka rehabilitasi ketergantungan napza di panti
rehabilitasi Puri Nurani belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang
pernah dilakukan tentang penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif dengan judul “Profil Penyalahgunaan Psikotropika di
Kalangan Mahasiswa Angkatan tahun 1996-2000 Kampus III Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta” (Astinigsingsih, 2001) dan “Pola Pengobatan Terapi Putus
Obat (Withdrawal Syndrome) Pada Pasien Rawat Inap Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Aditif di RS DR. Sardjito
Yogyakarta” (Budiarti, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya adalah
ketergantungan napza. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yang lebih menekankan pada analisis kerasionalan penggunaan kombinasi
obat, keefektifan kombinasi obat, dan efek samping obat yang digunakan dalam
terapi detoksifikasi pasien ketergantungan napza.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat dipergunakan untuk mengembangkan konsep
pelayanan farmasi klinik khususnya dalam mengevaluasi pemberian obat
pada pasien di panti rehabilitasi.
b. Manfaat praktis :
1) Memberikan gambaran mengenai penatalaksanaan rejimen terapetik
pada pasien ketergantungan napza di panti rehabilitasi Puri Nurani.
2) Informasi yang diperoleh diharapkan dapat meningkatkan mutu
pelayanan dalam rangka rehabilitasi ketergantungan napza, terutama
dalam kerasionalan penggunaan psikotropika yang digunakan.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum :
Dapat memberikan informasi yang jelas dan lengkap mengenai
kerasionalan pemakaian psikotropika dalam rangka meningkatkan mutu
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pemilihan kombinasi obat yang diberikan pada pasien
detoksifikasi ketergantungan napza.
b. Mengetahui efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan
psikotropika tersebut.
c. Mengetahui gambaran efek kombinasi obat agar didapatkan efek yang
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif 1. Definisi Narkotika Dan Penggolongannya
Narkotika adalah obat atau zat aktif yang bekerja menekan susunan saraf
pusat, efek terutama yang ditimbulkan narkotika adalah penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, dan mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri serta memberikan efek ketergantungan atau adiksi. Digunakan sebagai
analgesik, antitusif, antispasmodik, dan premedikasi anestesi dalam praktek
kedokteran (Maslim, 2001).
Menurut undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang narkotika, yang
dinamakan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menurunkan,
menghilangkan, dan mengurangi rasa nyeri, serta dapat dapat menimbulkan
ketergantungan. Yang tergolong narkotika misalnya : opioid, kokain, ganja,
morphin, codein, petidin, papaverin .
Narkotika terbagi atas tiga golongan,yaitu:
a. Narkotika golongan I : Narkotika yang hanya digunakan untuk ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan untuk tujuan pengobatan karena mempunyai
potensi yang sangat kuat menimbulkan ketergantungan. Contoh : heroin,
ganja, dan kokain.
b. Narkotika golongan II : Narkotika yang digunakan sebagai pilihan terakhir
untuk pengobatan dan dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi yang kuat menimbulkan sindroma ketergantungan obat.
Contoh : morphin, metadon dan opium.
c. Narkotika golongan III : Narkotika yang banyak digunakan dalam pengobatan
dan tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menimkan
sindrom ketergantungan obat. Contoh : codein (Asikin, 2002).
2. Definisi Psikotropika dan Penggolongannya
Psikotropika adalah zat atau obat yang kerjanya mempengaruhi fungsi
otak, fungsi psikiatrik, kelakuan atau pengalaman. Psikotropika bekerja secara
selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku (mind and behaviour altering drug), digunakan
dalam terapi psikiatrik (Maslim, 2001).
Sebenarnya psikotropika baru dikenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu
farmakologi yaitu psikofarmaka yang khusus mempelajari psikotropika.
Psikotropika mulai berkembang pesat setelah ditemukannya Alkaloid Raulwolfia
dan Chlorpromazine yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik
(Santoso, 1995).
Berdasarkan penggunaan klinik, psikotropika dibagi menjadi empat
golongan, yaitu antipsikosis, anti ansietas, antidepresan, dan psikotogenik.
Neuroleptik berguna untuk terapi psikosis akut maupun kronik. Antipsikosis ini
pasien psikosis. Contoh psikotropika adalah klorpromazin, mepazin,
asetofenazin, klorprotiksen, haloperidol (Santoso, 1995).
Antiansietas terutama berguna untuk pengobatan simptomatik penyakit
psikoneurisis dan berguna sebagai obat tambahan pada terapi penyakit yang
didasari ansietas atau perasaan cemas dan ketegangan mental. Contoh psikotropik
golongan ini adalah klordiazepoksid, diazepam, klorazepat, lorazepam,
halozepam (Santoso, 1995).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk terapi mengatasi tekanan
mental (depresi mental). Obat ini terbukti dapat menghilangkan atau mengurangi
depresi yang timbul pada beberapa jenis skizofrenia. Perbaikan depresi ditandai
dengan perbaikan alam kesadaran, bertambahnya aktivitas fisik, dan
kewaspadaan mental, nafsu makan dan pola tidur yang baik dan berkurangnya
pikiran morbid. Contoh psikotropik jenis ini adalah imipramine, amoxapine,
meclobemide, citalopram, trazodone (Santoso dan wiria, 1998).
Psikotogenik ialah obat yang menimbulkan kelainan tingkah laku, disertai
halusinasi, ilusi, gangguan cara berfikir dan perubahan alam perasaan, jadi dapat
menimbulkan psikosis. Psikosis toksik memang dapat timbul setelah pemberian
berbagai jenis obat, tetapi obat baru digolongkan psikotogenik jika dapat
menimbulkan keadaan psikotik tanpa delirium dan disorientasi. Contoh
psikotropika jenis ini adalah meskalin dietilamid asam lisergad (Santoso, 1995).
Menurut undang-undang psikotropika no.5 tahun 1997, psikotropika
a. Psikotropika golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan
dan tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
menimbulkan sindroma ketergantungan.
Contoh : 3,4 methylenedioxy methamphenthamine (mdma), dietilamid asam
lisergad (lsd).
b. Psikotopika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : amphetamine, fenisiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfemidad
(ritalin).
c. Psikotropika golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : fenobarbital, dan flunitrazepam
d. Psikotropika golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : diazepam, klobazepam, bromazepam, klonazepam, klordiazepoksid,
3. Zat Adiktif
Zat adiktif adalah zat atau bahan yang dapat menimbulkan gejala
ketagihan atau adiksi (addiction) dan ketergantungan atau dependensi
(dependention). Zat adiktif terbagi atas beberapa jenis dan pembagiannya
berdasarkan cara pemakaian bahan tersebut seperti diminum (alkohol), dihirup
(solvent), dimakan (magic mushrooms) (Sudirman, 2000).
B. Penyalahgunaan Napza
Penyalahgunaan napza menurut organisasi kesehatan dunia adalah
pemakaian napza yang berlebihan, secara terus-menerus atau berkala di luar
maksud medis atau pengobatan. Menurut Depkes RI, penyalahgunaan napza
adalah pemakaian zat terus-menerus atau berkali-kali secara berlebihan dan tidak
menurut petunjuk dokter. Penyalahgunaan napza dapat menimbulkan gangguan
tertentu pada seseorang baik fisik maupun psikologik yang diikuti bahaya yang
tidak diinginkan (Hawari, 2000).
Manifestasi penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai
berikut yaitu, terdapat tanda-tanda pemakai obat (penyalahgunaan obat),
terjadinya keadaan putus obat (withdrawal syndrome atau sindroma abstinentia),
terjadinya kelebihan dosis akut, adanya komplikasi medik (penyulit kedokteran),
dan komplikasi lainnya (sosial dan legal) (Asikin,2002).
Asas manfaat dan resiko penggunaan psikotropika adalah, penggunaan
memberikan peluang untuk integrasi biologis dan sosial terapi psikososial
akhirnya pemulihan dari keadaan sakit (Asikin,2002 ).
Penggunaan psikotropika yang tidak rasional akan mengakibatkan
ketergantungan obat dan disintegrasi biologis psikologis dan sosial terjadi
disabilitas akhirnya cacat yang makin lama makin berat (Maslim, 2000).
Ketagihan napza adalah keadaan dimana seseorang secara psikologis
merasa ingin untuk menggunakan atau memakai kembali napza (Rahardja, 2002).
Ketergantungan napza adalah keadaan ketergantungan fisik maupun
psikologik, yang ditandai oleh adanya toleransi dan gejala-gejala putus obat
(Rahardja, 2002).
Tidak semua zat atau obat dapat menimbulkan ketagihan dan
ketergantungan pada pemakainya. Zat atau bahan yang dapat menimbulkan
ketagihan atau ketergantungan mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut :
a. keinginan yang tak tertahankan (unpowering desire) terhadap zat yang
dimaksud, dan jika perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.
b. kecenderungan untuk menambah takarannya (dosis) sesuai dengan toleransi
tubuh.
c. ketergantungan psikik (psychological dependence), apabila pemakaian zat
dihentikan akan timbul kecemasan, kegelisahan, depresi, dan lain-lain gejala
psikik.
d. ketergantungan fisik (physical dependence), apabila pemakaian zat ini
dihetikan, akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus obat
1. Ciri-ciri penyalahguna napza
Ciri-ciri remaja atau anak yang mempunyai kemungkinan besar mengalami
gangguan atau ketergantungan terhadap napza, adalah sebagai berikut:
a. sifat mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan destruktif.
b. perasaan rendah diri (low self-esteem).
c. tidak bisa menunggu atau bersabar yang berlebihan.
d. suka mencari sensasi, melakukan hal-hal yang mengandung resiko
berbahaya berlebihan.
e. cepat bosan dan merasa tertekan, murung dan merasa tidak sanggup
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
f. hambatan atau penyimpangan psikoseksual dengan akibat kegagalan.
g. keterbelakangan mental.
h. cenderung mengalami gangguan kejiwaan, seperti kecemasan, obsesi,
apatis, menarik diri dalam pergaulan, depresi, kurang mampu menghadapi
stress atau sebaliknya hiperaktif.
i. kurangnya motivasi untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan atau
pekerjaan atau bidang lapangan lainnya (Alatas, 2001).
2. Tingkatan ketergantungaan napza
Secara umum ketergantungaan terhadap napza dapat dibagi menjadi tiga
golongan besar, yaitu sebagai berikut :
a. Ketergantungan primer,
ketergantungan primer ditandai dengan adanya kecemasan dan depresi, yang
b. Ketergantungan simptomatis,
Ketergantungan simptomatis adalah penyalahgunaan napza sebagai salah satu
gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya umumnya terjadi pada orang
dengan kepribadian psikopatik (anti-sosial), kriminal, dan pemakaian napza
untuk kesenangan semata.
c. Ketergantungan reaktif,
Ketergantungan reaktif adalah terutama terdapat pada remaja karena dorongan
ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan teman kelompok sebaya (peer
group pressure) (Hawari,1999).
Dilihat dari kebutuhan pemakaiannya, penyalahgunaan napza dapat
digolongkan menjadi:
a. pemakaian coba-coba (experimental use) yang bertujuan hanya ingin
mencoba memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti
menggunakan dan sebagian lain meneruskan pemakaian.
b. pemakaian sosial (social use) yang bertujuan hanya untuk bersenang-senang
(saat rekreasi atau santai). Sebagian pemakai tetap bertahan pada tahap ini,
sebagian lagi meningkat ke tahap selanjutnya.
c. pemakaian situasional (situational use), pemakaian pada saat mengalami
keadaan tertentu (ketegangan, kesedihan, kekecewaan) dengan maksud
menghilangkan perasaan tersebut.
d. Penyalahgunaan (abuse), pemakaian sebagai salah satu pola penggunaan
yang bersifat patologik atau klinis (menyimpang), minimal satu bulan
e. ketergantungan (dependence), telah terjadi toleransi dan gejala putus zat,
bila pemakaian zat dihentikan atau dikurangi atau tidak ditambah dosisnya
(Asikin, 2002).
3. Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan napza
Mekanisme terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan napza dapat
diterangkan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan organobiologik,
psikodinamik, dan psikososial (Hawari, 2000).
a. Pendekatan organobiologik
Dari sudut pandang organobiologik (susunan saraf pusat) mekanisme
terjadinya adiksi (ketagihan) hingga depedensi (ketergantungan) napza dikenal
dengan dua istilah, yaitu gangguan mental organik akibat napza atau sindrom otak
organik akibat napza, dan gangguan penggunaan napza termasuk didalamnya
pengertian penyalahgunaan napza atau ketergantngan napza, yang lebih banyak
menyoroti berbagai kelainan perilaku (behavior disorder) yang berkaitan dengan
penggunaan napza yang mempengaruhi susunan saraf pusat (Hawari, 2000).
Teori yang mengemukakan tentang proses terjadinya adiksi (ketagihan)
dan depedensi (ketergantungan) pada penyalahgunaan napza, antara lain sebagai
berikut :
1) Conditioning theory berpendapat bahwa seseorang akan menjadi
ketergantungan terhadap napza apabila ia terus menerus diberi napza tersebut.
Hal ini sesuai dengan teori adaptasi seluler (neuro-adaptation), tubuh
beradaptasi dengan menambah jumlah reseptor dan sel-sel saraf bekerja keras.
keausan, yang dari luar nampak sebagai gejala-gejala putus napza. Gejala ini
memaksa orang untuk mengulangi pemakaian napza tersebut, demikianlah
seterusnya (Hawari, 1999).
2) Kebanyakan napza berinteraksi dengan cara yang khas pada tempat sasaran
dalam suatu sistem biologik di otak. Tempat itu dalam farmakologi disebut
sebagai reseptor. Interaksi napza dengan reseptor biasanya bukan merupakan
ikatan kovalen kimiawi, melainkan suatu interaksi yang lebih lemah (Hawari,
1999).
3) Gen berperan dalam ketergantungan terhadap alkohol, tetapi untuk jenis-jenis
lainnya faktor gen sebagai etiologis masih lemah. Dalam hubungan dengan
hal ini , secara umum contoh orang tua (parenteral example) lebih penting
dari pada gen (sifat turunan) orang tua (parental genes) (Hawari, 1999).
b. Psikodinamik
Hasil penelitian Hawari pada tahun 1998 tentang penyalahgunaan napza
menyatakan bahwa seseorang akan terlibat penyalahgunaan napza dan dapat
sampai pada ketergantungan napza, apabila pada itu sudah ada faktor predisposisi,
yaitu faktor yang membuat seseorang cenderung menyalahgunakan napza(Hawari,
2000 ).
Adanya faktor predisposisi ini belum cukup sehingga diperlukan faktor
lain yang berperan serta dalam penyaahgunaan dan ketergantungan napza, yang
Bila faktor predisposisi dan faktor kontribusi ini sudah ada, maka
diperlukan lagi faktor yang mendorong terjadinya penyalahgunaan dan
ketergantungan napza, yaitu faktor pencetus (Hawari, 2001 ).
Dalam penelitian lebih lanjut disebutkan bahwa yang termasuk faktor
predisposisi adalah gangguan kejiwaan yaitu gangguan kepribaian (anti-sosial),
kecemasan, dan depresi. Sedangkan yang termasuk faktor kontribusi adalah
kondisi keluarga yang terdiri dari tiga komponen yaitu keutuhan keluarga,
kesibukan orangtua, hubungan interpersonal antar keluarga. Yang termasuk faktor
pencetus adalah pengaruh teman sebaya dan napza itu sendiri (Hawari, 2001).
Proses terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan napza adalah hasil
dari interaksi antara faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor pencetus
yang dapat dilihat dalam bagan berikut (Hawari, 2001).
gambar 1. Skema terjadinya penyalahgunaan dan ketergantungan napza (Hawari, 2001)
C. Zat Yang Biasa Disalahgunakan, Gejala, Resiko, Dan Cara Pemakaian 1. Narkotika
Penyalahgunaan obat yang termasuk narkotika biasanya dilakukan oleh
pengguna (user) yang telah lama melakukan penyalahgunaan obat. Gejala
kelebihan dosis obat yang termasuk dalam golongan narkotika secara umum di
tunjukkan dengan tiga gejala klasik, yaitu terjadinya pinpoin (pupil mata
mengecil), pernapasan satu-satu dan koma. Sedangkan gejala-gejala kondisi putus
Faktor predisposisi
1. gangguan kepribadian (antisosial)
2. kecemasan 3. depresi.
Faktor kontribusi
4. kondisi keluarga 4.1 keutuhan keluarga 4.2 kesibukan orang tua 4.3 hubungan interpersonal
Faktor pencetus
Teman kelompok(+NAPZA)
Penyalahgunaan NAPZA Penyalahgunaan NAPZA Ketergantungan NAPZA
obat ditandai dengan timbulnya agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, dan nyeri
kepala. Bila pemakaiannya sangat banyak atau dalam dosis sangat tinggi maka
akan terjadi konvulsi (kejang) dan koma. Keluar airmata (lacrimasi), keluar air
dari hidung (rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkay, pupil yang berdilatasi,
tekanan darah yang meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh
yang sangat tinggi), gelisah, cemas, tremor, dan kadang-kadang psikosis toksik
juga sering kali terjadi (Wresniwiro, 2000).
a. Golongan Opiat.
Sumber utama narkotik alami, berasal dari tumbuh-tumbuhan tahunan,
berupa tumbuhan jenis terna di antaranya yang paling ternama adalah Asian
poppy. Opioid adalah segolongan zat baik yang alamiah, semi sintetik, maupun
sintetik yang kasiatnya dalam bidang kedokteran adalah sebagai analgetika
(Yanny,2001). Ada juga yang menyatakan, opioid atau opiat merupakan hasil
eksudat dan resin tanaman papaver putih (whitepoppy). Efek klinis lainnya adalah
dapat menurunkan susunan saraf pusat, menurunkan sensasi nyeri, menunkan
emosi, nyeri penurunan respirasi, sedasi, menimbulkan rasa lemah, miosis, mual
atau muntah, konstipasi, pucat, euforia,pusing, drowsiness. Biasanya obat-obatan
ini secara umum digunakan dengan cara dihisap, injeksi, peroral. (Suwarso,
2002).
Opium adalah getah berwarna putih susu yang keluar dari kotak biji
tanaman Papaver somniferum (candu) yang belum masak. Dulu opium banyak
digunakan untuk menghentikan diare, namun sekarang lebih banyak diolah untuk
Opioid semisintetik adalah opioid yang diperoleh dari opioid alamiah
dengan perubahan sedikit kimiawi. Salah satu opioid semi sintetik yang paling
dikenal adalah heroin. Heroin atau diamorphine adalah candu yang berasal dari
opium poppy (Papaver somniferum). Candu merupakan zat kebal tubuh yang
efektif dengan pengaruh penenang diri (sedatif), dengan menekan sistem saraf
termasuk berpengaruh dalam memperlambat pernafasan dan memperlambat detak
jantung, juga dapat memperbesar pembuluh darah tertentu, menciptakan perasaan
hangat dan mengurangi diare. Ciri khusus pada pengguna candu adalah
tertariknya atau terbatasnya bola mata (miosis). Beberapa zat turunan yang
tergolong dalam kelompok ini adalah dilaudid, perkodan, etorfin (Yanny,2001).
Opioid sintetik bekerja dengan mekanisme kerja yang sama dengan
morfin, meski begitu opioid sintetis tidak memiliki hubungan secara struktural
dengan morfin. Zat-zat yang tergolong dalam kelompok opioid sintetik adalah
meperidin (Demerol, Petidin), propoksifen (Darvon) (Yanny, 2001).
b. Ganja (Cannabis).
Nama yang sering digunakan adalah : grass, cimeng, ganja, dan gelek.
Penggunaan napza jenis ini dengan dihisap, dengan cara dipadatkan lalu digulung
menyerupai rokok atau bisa juga dengan menggunakan pipa rokok (Sudirman,
2000).
Ada beberapa jenis tanaman ini yang mempunyai efek sama tergantung
pada iklim, keadaan tanah tempat cannabis itu ditanam dan kapan cannabis itu
ada beberapa negara yang tidak melarang adanya pertumbuhan tanaman sejenis
ini (Sudirman, 2000).
Efek dari ganja tergolong sangat cepat, efek yang ditimbulkan oleh ganja
adalah : cenderung merasa lebih santai, euforia atau rasa gembira yang berlebihan
(mudah tertawa), perasaan waktu berlalu lambat, sering berfantasi, aktif
berkomunikasi, mempunyai selera makan yang tinggi, lebih sensitif pada suatu hal
yang sedang mereka hadapi, denyut nadi bertambah cepat, suhu badan naik,
kering pada mulut dan tenggorokan (Sudirman, 2000)
Ciri-ciri yang mencolok pada orang yang keracunan ganja terdapat pada
mata yang memerah dan bola mata yang turun. Pada pemakaian yang berlebihan
cenderung akan membuat mereka merasa lemas, paranoia, perasaan gelisah yang
berlebihan, rasa cemas, curiga yang tidak wajar, mengalami gangguan persepsi
serta halusinasi dan konsentrasi terganggu. Tidak jarang juga dijumpai adanya
flash back pada pemakai dengan intensitas pemakaian tinggi. Tetapi tidak jarang
pada pemakaian cukupan atau banyak sudah mengalami gangguan persepsi serta
gangguan mental lainnya (Sudirman, 2000).
Bahaya yang ditimbulkan pada pemakaian napza jenis ini adalah : sesak
nafas, bronkhitis dan kanker paru-paru. Efek samping ini timbul karena kadar tar
yang sangat tinggi melebihi kadar tar yang ada pada tembakau. Tidak dapat
disangkal bahwa hampir setiap orang yang terlibat napza jenis yang lebih berat,
seperti heroin hingga pada taraf ketergantungan berawal dari penggunaan ganja
c. Kokain
Nama populer dari kokain adalah putih, koka, coke, charlie, srepet, salju.
Bentuk dari jenis ini berupa bubuk putih. Cara pemakaiannya adalah dengan
membagi setumpuk kokain menjadi beberapa bagian berbaris lurus diatas
permukaan kaca atau benda-benda yang memiliki permukaan yang rata, kemudian
dihirup dengan menggunakan alat penyedot, seperti sedotan atau dengan cara
dibakar dengan tembakau, yang sering disebut dengan cocopuff. Ada juga yang
melalui suatu proses menjadi bentuk padat untuk dihirup asapnya, yang populer
disebut dengan freebasing (Sudirman, 2000).
Penggunaan dengan cara dihirup akan beresiko kering dan luka pada
sekitar lubang hidung bagian dalam. Efek rasa dari pemakaian kokain ini
mambuat si pemakai merasa segar, kehilangan nafsu makan, menambah rasa
percaya diri juga dapat menghilangkan rasa sakit dan lelah (Sudirman, 2000).
Bagi yang menggunakan jenis ini secara terus menerus dan sudah
mencapai taraf kecanduan, si pemakai akan susah mengontrol banyaknya dosis
yang mereka konsumsi dan pada saat mereka berhenti memakai secara sengaja
atau tidak sengaja ia akan menjadi lemas, tidak bergairah, lupa ingatan dan
turunnya berat badan secara drastis. Juga menyebabkan si pemakai merasa
gelisah, ketakutan berlebihan (paranoia), rasa cemas yang berlebihan dan susah
tidur. Biasanya si pemakai jenis ini akan sulit untuk dapat menolong dirinya
sendiri, karena penggunaan kokain akan menimbulkan rasa percaya diri yang
Cara kerja kokain yaitu dengan mempengaruhi susunan saraf pusat,
menimbulkan gangguan pada otak, timbul pengaruh pada kesadaran, akan timbul
waspada berlebihan, perubahan elektrisitas atau listrik di otak. Timbul semacam
reaksi pada hormon yang akan mengakibatkan ada kelainan pada manusia,
kemudian menimbulkan euforia (Sudirman, 2000).
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
a. Stimulansia
Dalam dosis rendah stimulantia menimbulkan peninggian kewaspadaan
(increased alertness), perasaan segar-nyaman (well being), dan penekanan nafsu
makan (anorexic). Toleransi terhadap efek-efeknya yang timbul cepat
menyebabkan ketergantungan efeknya juga timbul dengan cepat, dan tidak jarang
menimbulkan episode psikotik sesudah pemakaian dosis tinggi yang lama. Dalam
bidang kedokteran digunakan dalam pengobatan narkolepsi, obesitas (karena efek
penekanan nafsu makan), dan pengobatan keadaan depresi (Sudirman, 2000).
Gejala kelebihan dosis ditunjukkan dengan adanya perasaan panik,
delirium, agitasi, euforia, dan sibuk seperti ingin perang. Bila belum ada toleransi
dapat terjadi pula hyperpyrexia, arrhytmia, hipertensi, dan pelebaran pupil. Pada
klien-klien dengan riwayat pemakaian yang lama dan dosis tinggi, tidak jarang
terjadi halusinasi dan kecurigaan (paranoid idenation). Pemakaian secara
biasanya dapat menimbulkan kejang-kejang, kolaps sirkulatoir, perdarahan otak
dan koma, juga dapat berakibat kematian.
Gejala putus obat ditunjukkan dengan terjadinya keadaan depresi yang
berat sesudah toksik akut, berkurangnya nafsu makan, combativeness,
kecenderungan suicidal dan tidur untuk waktu yang lama (Wresniwiro, 2000).
b. Amfetamin
Nama lain dari zat adiktif ini adalah : speed, uppers, whizz, billy dan
sulphate. Jenis ini merangsang rasa gelisah dan membuat si pemakai susah tidur,
bernafas cepat seperti habis lari dan jantung berdebar-debar. Juga membuat si
pemakai merasa sangat energik terkadang membuat rasa kelelahan yang
berlebihan dan menimbulkan rasa percaya diri. Pemakaian dalam dosis kecil jenis
ini dapat mempengaruhi suasana hati secara drastis, apatis, temperamental,
mengakibatkan iritasi pada kulit dan tidak dapat beristirahat dengan tenang,
karena jenis ini memberikan energi ekstra yang sesaat tetapi pada hari berikutnya
setelah efek rasanya hilang si pemakai akan mengalami gangguan daya ingat
untuk sementara waktu (Sudirman, 2000).
Ciri-ciri orang yang keracunan zat ini, seperti: rasa gembira, rasa harga
diri meningkat, banyak bicara, waspada berlebihan, denyut jantung cepat, pupil
mata melebar, tekanan darah naik, berkeringat atau rasa dingin, mual hingga
muntah, emosi yang tidak stabil, gangguan daya nilai realita (Sudirman,2000)
Pemakaian terus-menerus dalam jangka yang panjang akan menyebabkan
si pemakai insomnia, timbul rasa ketakutan yang berlebihan dan gangguan ringan
tidur dan kurang makan, pemakaian yang sangat berat akan menimbulkan depresi.
Ada yang berbentuk bubuk berwarna putih dan keabu-abuan, digunakan dengan
cara dihirup atau disuntikkan. Sedangkan yang berbentuk tablet diminum dengan
air. Penggunaan dengan cara menyuntik jika jarum suntiknya digunakan secara
bersama-sama akan mengakibatkan tertularnya virus HIV, Hepatitis A, B, C dan
infeksi lainnya. Efek yang timbul karena zat ini menyerang saraf pusat dan juga
dapat menyerang jantung, mengakibatkan rasa berdebar dan nyeri di dada juga
pada pernafasan akan menimbulkangangguan pada pencernaan, seperti kram perut
dan rasa mual (Sudirman, 2000).
Pada fase pemutusan obat si pemakai akan mengalami suatu kondisi yang
sangat mengganggu karena keinginan yang kuat akan pemakaian obat tersebut.
Pada saat ini perlu ada dukungan yang kuat atau treatment dalam bentuk
psikoterapi (terapi kejiwaan), diperlukan suatu bimbingan yang cukup panjang
agar si pemakai tidak memakai kembali (Sudirman, 2000).
c. Metamfetamine
Metamphetamine atau lebih dikenal dengan nama shabu-shabu menyerang
saraf dan menimbulkan efek rasa gelisah, sulit tidur pernafasan pendek, jantung
berdebar, si pemakai akan merasa enerjik dan kehilangan nafsu makan (Sudirman,
2000).
Efek farmakodinamik metamfetamin serupa dengan amfetamin, bedenya
d. Sedativa Hipnotika
Di dunia kedokteran terdapat jenis obat yang berkhasiat sebagi obat tidur
(sedativa/hipnotika) yang mengandung zat aktif nitrazepam atau barbiturat atau
senyawa lain yang khasiatnya sama. Golongan ini tidak termasuk narkotika
melainkan termasuk psikotropika golongan IV (Hawari, 2001).
Golongan sedativa/hipnotika ini sangat membantu bagi pengobatan
mereka (klien) yang menderita stress dengan gejala-gejala kecemasan dan
gangguan tidur (insomnia). Penggunaan obat jenis ini harus di bawah pengawasan
dokter dan hanya dibeli dengan resep dokter di apotik (golongan daftar G)
(Hawari, 2001).
Penggunaan sedativa/hipnotika izin yang seharusnya sebagai pengobatan
(medicine) bila disalahgunakan dapat juga menimbulkan adiksi (ketagihan) dan
dependensi (ketergantungan), apalagi bila dosisnya melampaui batas (overdosis)
(Hawari, 2001).
Penyalahgunaan napza jenis ini dapat menimbulkan gangguan mental bagi
pemakainya dengan gejala-gejala sebagai berikut :
1) Gejala Psikologik:
Emosi labil, hilangnya hambatan dorongan atau impulse seksual dan
agresif. Yang bersangkutan kehilangan pengendalian diri sehinggan sering terlibat
tindak kekerasan dan hubungan seks bebas sampai pada pemerkosaan. mudah
2) Gejala Neurologik (saraf) :
Pembicaraan cadel (slurred speech), gangguan koordinasi, cara jalan yang
tidak mantap, dan gangguan perhatian dan daya ingat.
3) Efek perilaku maladaptif
Perilaku maladaptif adalah perilaku tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya gangguan daya nilai realitas, perkelahian,
halangan/hendaya (impairment) dalam fungsi sosial atau pekerjaannya dan gagal
bertanggungjawab (Hawari, 2001).
Bagi mereka yang sudah ketagihan napza jenis ini, bila pemakaiannya
dihentikan akan timbul gejala putus sedativa/hipnotika yaitu berupa
gejala-gejala ketagihan dan ketergantungan sebagai berikut : mual dan muntah, kelelahan
umum atau keletihan, hiperaktivitas saraf otonom, misalnya berdebar-debar,
tekanan darah naik dan berkeringat, kecemasan (rasa takut dan gelisah), gangguan
alam perasaan (afektif/mood) atau iritabilitas, misalnya murung, sedih atau mudah
tersinggung dan marah, hipotensi ortostatik (tekanan darah rendah bila yang
bersangkutan berdiri), dan tremor kasar (gemetar) pada tangan, lidah dan kelopak
mata (Hawari, 2001)
Sindrom putus sedativa/hipnotika merupakan gejala yang tidak
mengenakkan baik secara psikis maupun fisik, untuk mengatasinya yang
bersangkutan harus menelan tablet sedativa/hipnotika dengan dosis semakin
3. Zat Adiktif
Solvents atau yang sering disebut dengan uap gas biasa digunakan dengan
cara dihirup, merupakan jenis zat adiktif yang dapat diperoleh di mana saja. Dan
biasanya yang memakai zat ini adalah orang yang hanya mau mencoba dari
kalangan bawah dan sering ditemukan pada usia di bawah umur (Sudirman,
2000).
Inhalant atau solvents merupakan peralatan rumah tangga atau hasil
produksi industri, jika dihirup melalui melalui hidung atau dihisap melalui mulut,
dapat dengan cepat mengakibatkan keracunan zat (mabuk) (Anonim, 1999).
Penggunaan solvents dalam jangka waktu yang panjang dapat
mengakibatkan kerusakan organ secara permanen (seperti kerusakan hati, sumsum
tulang, jantung). Ketergantungan solvents yang cukup berat pada masa kehamilan
dapat berakibat serius terhadap janin dan hampir sama dengan sindrom keracunan
alkohol (seperti kerusakan otak, kerusakan wajah, dan pertumbuhan terhambat).
Resiko untuk cidera maupun kematian cukup besar dapat terjadi pada orang
menyalahgunakan solvents. Jika anak-anak atau remaja yang kurang
berpengalaman mengalami keracunan solvents akan melakukan tindakan yang
berbahaya maupun tindakan yang gegabah. Kematian juga dapat terjadi sebagai
akibat serangan jantung, kejang dan muntah-muntah karena sakit kepala yang
hebat (Anonim a, 1999).
Ciri-ciri orang yang keracunan karena pemakaian solvents antara lain :
gangguan daya ingat, halusinasi ringan, bicara cadel, kekurangan zat asam
sehingga kulit membiru, pusing (Sudirman, 2000).
Contoh dari solvents antara lain : amyl nitrite atau butyl nitrite (pada
pembersih head video), benzene (pada bensin), butane atau propane (pada isi
korek gas dan hair spray atau cat pilox), freon (pada lemari es), methylene
chloride (pada penghapus cat), nitrous oxyde, toluene (pada penghapus cat,
bensin, tipe-ex), trichlorethylene (Leshner, 2000).
Walaupun solvents dapat ditemukan di tempat umum dan dijual bebas
tetapi akan sangat berbahaya jika disalahgunakan, reaksi jenis ini sangat cepat dan
hilangnya reaksi juga sangat cepat. Solvents dapat menyebabkan si pemakai
pusing, kepala berputar-putar, halusinasi ringan, penglihatan berputar-putar, mual,
muntah dan pada akhir dari semua efek tersebut, si pemakai dapat merasakan
pusing yang berkepanjangan dan dapat mengganggu fungsi jantung (Sudirman,
2000).
Solvents bekerja dengan mempengaruhi susunan saraf pusat atau otak.
Pertama ia akan mempengaruhi pada bagian luar otak dan kemudian
mempengaruhi pada bagian batang otak. Cara kerja yang persis dalam hal
biokimia belum diketahui dengan jelas tetapi perlu diketahui bahwa efeknya
hampir sama dengan anastesi gas (sejenis gas yang digunakan untuk anastesi),
karena dia mempunyai sifat menekan otak. Kemungkinan efek keracunan pada
otak adalah terjadinya hipoksia (kurang oksigen di dalam otak) yang dapat
menimbulkan kematian mendadak karena dosis yang tidak jelas dan perbedaan
ketidakteraturan kerja jantung dan tertekannya sistem pernafasan (Sudirman,
2000).
Tidak ada gejala-gejala yang khas pada penggunaan solvents, kita bisa
mengetahui dari riwayat pemakaian zat ini dan adanya bau yang spesifik dari
pernafasan. Pengguna mengeluh adanya perasaan berdebar-debar, pusing, ada
gangguan pada pernafasan, mata merah, bau dari pernafasan, kerusakan pada
saraf, dan jika diperiksa fungsi liver akan ada gangguan (Sudirman, 2000).
D. Penatalaksanaan Ketergantungan Napza
1. Konsep dasar penatalaksanaan
Dalam bidang kedokteran, penatalaksanaan bermakna terapi dan
tindakan – tindakan yang terkait dengannya. Umumnya tujuan terapi
ketergantungan napza adalah sebagai berikut :
a. Abstinensia
Abstinensia atau penghentian total pengguna napza. Tujuan terapi ini
tergolong sangat ideal, namun sebagian besar pasien tidak mampu atau tidak
bermotivasi untuk mencapai sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal.
b. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps
Tujuan utamanya adalah mencegah relaps, bila pasien pernah
menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut “slip”. Bila ia
menyadari kesalahannya, dan ia telah dibekali keterampilan untuk mencegah
pengulangan penggunaan kembali, pasien akan mencoba bertahan untuk selalu
program), terapi perilaku kognitif (cognitive behavior therapy), opiate antagonist
maintenance therapy dengan naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk
mencapai tujuan ini.
c. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi sosial
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi
rumatan metadon, syringe exchange program merupakan pilihan untuk mencapai
tujuan terapi jenis ini. Terapi medik ketergantungan napza meruoakan kombinasi
psikofarmakoterapi dan terapi perilaku. Meskipun telah dipahami bahwa banyak
faktor yang terlibat dalam terapi ketergantungan napza, namun upaya
penyembuhan ketergantungan napza dalam konteks medik tetap selalu
diupayakan (Husin, 2002).
Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas dua fase
sebagai berikut :
1) Detoksifikasi
Detoksifikasi merupakan langkah awal proses terapi ketergantungan
opioida dan merupakan intervensi medik jangka singkat. Bila terapi detoksifikasi
diselenggarakan secara tunggal, misalnya hanya berobat jalan saja, maka
kemungkinan relaps lebih besar dari 90 %.
Tujuan terapi detoksifikasi opioida adalah :
a) Untuk mengurangi, meringankan, atau untuk meredakan keparahan
gejala-gejala putus zat.
b) Untuk mengurangi keinginan, tuntutan dan kebutuhan pasien untuk
c) Mempersiapkan proses lanjutan yang dikaitkan dengan modalitas
terapi rumatan.
Berdasarkan lamanya proses berlangsung, terapi detoksifikasi
dibagi atas :
a) Detoksifikasi jangka panjang (3 – 4 minggu) seperti dengan
menggunakan metadon.
b) Detoksifikasi jangka sedang (3 – 5 hari) : naltrexone, midazolam,
klonidin.
c) Detosifikasi cepat (6 jam sampai 2 hari) : rapid detox
Variasi dan pilihan terapi detoksifikasi napza cukup banyak. Di Indonesia,
sebagian dokter/psikiater masih menggunakan terapi detoksifikasi konservatif
seperti penggunaan obat simptomatik (analgetika, anti insomnia, dan lainnya),
bahkan beberapa psikiater masih menggunakan berbagai bentuk neuroleptika
dosis tinggi, yang di negara maju sudah ditinggalkan (Husin, 2002).
2) Rumatan (perawatan).
Terapi rumatan ketergantungan opioida bertujuan antara lain untuk :
a) Mencegah atau mengurangi terjadinya craving terhadap opioida
b) Mencegah relaps (menggunakan zat adiktif kembali).
c) Memperbaiki fungsi fisiologi organ yang telah rusak akibat
penggunaan opioida.
d) Rekonstruksi kepribadian
a) Menambah holding power untuk pasien yang berobat jalan sehingga
menekan biaya pengobatan.
b) Menciptakan suatu window of opportunity sehingga pasien dapat
menerima intervensi psikosal selama terapi rumatan dan mengurangi
resiko.
c) Mempersiapkan kehidupan yang produktif selama menggunakan terapi
rumatan.
Kedua bentuk fase terapi ini merupakan suatu proses berkesinambungan,
runtut, dan tidak dapat berdiri sendiri (Husin, 2002).
2. Penatalaksanaan untuk ketergantungan napza
Terapi atau pengobatan terhadap penyalahgunaan dan ketergantungan
napza haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik,
psikiatrik, sosial, dan agama. Terapi terdiri dari dua tahapan, yaitu detoksifikasi
dan pasca detoksifikasi (pemantapan) yang mencakup komponen-komponen
sebagai berikut :
a. Terapi Detoksifikasi
Terapi detoksifikasi adalah bentuk terapi untuk menghilangkan racun
(toksin) napza dari dalam tubuh klien penyalahguna dan ketergantungan napza.
Metode detoksifikasi ini tidak hanya berlaku untuk napza jenis opiat (heroin) saja
melainkan berlaku juga untuk napza jenis lainnya seperti ganja, kokain, alkohol,
amphetamine, dan zat adiktif lainnya (Hawari, 2001).
Dalam terapi detoksifikasi ini digunakan jenis obat-obatan golongan
susunan saraf pusat (otak). Pemikiran rasional penggunaan obat golongan major
transquilizer ini adalah bahwa gangguan mental dan perilaku yang dikategorikan
dalam gangguan mental organik yang ditandai dengan gejala-gejala gangguan
jiwa (psikosis organik). Kategori psikosis ini dapat dilihat dengan adanya
gangguan pada daya nilai realitas (reality testing ability/RTA) yang buruk serta
pemahaman diri (insight) yang buruk pula pada klien penyalahguna atau
ketergantungan napza (Hawari, 2001).
Metode detoksifikasi yang digunakan oleh Hawari pada pasien
ketergantungan di panti rehabilitasinya adalah menggunakan sistem blok total
(abstinentia totalis), artinya klien penyalahguna atau ketergantungan napza tidak
boleh lagi menggunakan napza atau turunannya (derivates), dan juga tidak
menggunakan obat-obatan sebagai pengganti atau substitusi (substitution)
(Hawari, 2001).
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai
dengan kondisi pasien dan keluarganya, yaitu :
1) Detoksifikasi tanpa anestesi
a. Detoksifikasi dengan pemutusan segera
Merupakan cara yang paling klasik, program ini dapat dilakukan di rumah
atau di rumah sakit. Caranya yaitu pasien dihentikan secara total dari opioid
(putaw) dan membiarkan pasien mengalami gejala-gejala putus zat (tanpa
diberikan obat penawar atau obat pengganti). Gejala putus zat ini akan muncul
pada hari kedua atau ketiga. Bila perlu pasien diisolasi ketat dari lingkungannya
b. Detoksifikasi simptomatik
Jenis detoksifikasi ini juga dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit.
Caranya sama dengan detoksifikasi pemutusan segera, perbedaannya pada
pemberian obat untuk mengatasi gejala putus zat saja (Asikin, 2002).
Gejala-gejala yang diduga akan muncul diberikan penawarnya :
1. rasa nyeri : diatasi dengan berbagai analgetik seperti parasetamol,
asam mefenamat, tramadol, injeksi toradol. Dosis yang diberikan
kadang lebih tinggi dari dosis penghilang nyeri pada umumnya.
2. Insomnia : dapat diberikan golongan benzodiazepin (hipnotik-sedativ)
seperti estazolam, triazolam, nitrazepam, atau injeksi midazolam.
3. Depresi : diberikan anti depresan
4. Ansietas : dapat diberikan derivat benzodiazepin (clobazam) dan non
benzodiazepin (buspiron).
5. Diare : terutama diare berat (lebih dari lima kali sehari) atau yang
disertai dengan kesulitan makan atau minum, dapat diberikan
loperamid
6. Mual atau muntah : dapat digunakan motor regulator (sulpirid) dengan
dosis 20 – 50 mg diberikan tiga kali sehari.
Proses detoksifkasi dilakukan selama 7 – 10 hari, pasien perlu didampingi
c. terapi subtisusi
berbagai subtitusi yang dapat dipilih :
1. metadon
2. klonidin
3. buprenorfin
4. pentazocin
5. kodein
2) Detoksifikasi cepat dengan anestesi (Asikin, 2002).
b. Terapi Medik-Psikiatrik (Psikofarmaka)
Gangguan mental dan perilaku ini masih berlanjut meskipun napza sudah
hilang dari tubuh setelah menjalani terapi detoksifikasi. Proses mental adiktif
masih berjalan, artinya rasa ingin (craving) masih belum hilang sehingga
kekambuhan dapat terulang kembali (Hawari, 2001).
Untuk mengatasi gangguan di atas, maka digunakan obat-obat yang
berkhasiat mengatasi gangguan dan memulihkan fungsi neuro-transmiter pada
susunan saraf pusat (otak), dengan psikofarmaka. Dengan terapi psikofarmaka
gangguan mental dan perilaku dapat diatasi (Hawari, 2001).
Obat-obat yang digunakan dalam terapi psikofarmaka adalah sebagai
berikut:
1) Obat Antipsikosis
Obat antipsikosis mempunyai sinonim, antara lain neuroleptik, major
tranquilizer, ataractics. Obat yang paling sering digunakan dalam golongan obat
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut antipsikosis berdasarkan efek
terapi yang ditimbulkan adalah antipsikosis konvensional atau tradisional atau
tipikal (Typical Anti Psychotics) dan antipsikosis generasi baru atau yang biasa
disebut antipsikosis atipikal (Atypical Anti Psychotics) (Maslim, 2001).
a. Antipsikosis Tipikal
Terutama efektif mengatasi simptom positif, pada umumnya dibagi lagi
dalam sejumlah kelompok berikut:
1. derivat fenotiazine: klorpromazine, levomepromazine, dan
triflupromazine (siquil)-thioridazine dan periciazine-perfenazine
dan flufenazine-perazine (taxilan), trifluoperazine, proklorperazine
(stemetil), dan thietilperazine (Torecan)
2. derivat thioxanthin: klorprotixen (Truxal) dan zuklopentixol
(cisordinol)
3. derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon, dan
droperidol
4. derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen, dan penfluridol
b. Antipsikosis Atipikal
Obat-obatan atipikal ini sulpirida, klozapin, risperidon, olanzapin, dan
quentizapin (seroquil) bekerja efektif melawan simptom-simptom negatif, yang
praktis kebal terhadap obat-obat klasik. Lagi pula efek sampingnya lebih ringan,
khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda (Rahardja, 2002).
Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah mem-blokade dopamine
ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist). Sedangkan obat antipsikosis
yang baru (atipikal) selain berafinitas terhadap “Dopamine D2 receptors”, juga
terhadap “serotonin 5 HT2 receptors” (serotonin-dopamine antagonists) (Maslim,
2001).
Profil efek samping obat antipsikosis yang sering terjadi adalah :
(1).Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa ngantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun).
(2).Gangguan otonomik (hipotensi, mulut kering, kesulitan miksi dan
defaksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
(3).Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom
parkinson : tremor, bradikinesia, rigiditas).
(4).Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik
(jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya untuk
pemakaian jangka panjang.
Efek samping ini ada yang cepat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat,
dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk meringankan
penderitaan pasien.
Efek samping yang irreversible adalah tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak, dimana