• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencantuman klausul keadaan memaksa (force majeure) sebagai klausulbaku Ketentuan keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit bank

DAFTAR KLAUSUL FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN KREDITBANK

2. Pencantuman klausul keadaan memaksa (force majeure) sebagai klausulbaku Ketentuan keadaan memaksa (force majeure) dalam perjanjian kredit bank

dituangkan secara baku dalam bentuk klausul keadaan memaksa,force majeure atau keadaan kahar. Pencantuman klausultersebut dalam perjanjian kredit bank secara baku mengakibatkan pengertian dan definisi serta kriteria keadaan memaksa dalam perjanjian kredit bank dapat berbeda-beda, sehingga penafsirannya pun dapat mengakibatkan arti yang berbeda pula. Hal ini juga menimbulkan persoalan tersendiri jika dalam perjanjian kredit bank tidak mencantumkan ketentuan keadaan memaksa.

Putusan Mahkamah AgungRepublik Indonesia Nomor 2305 K/Pdt/2005, dalam perkara HajjahMasni Hasibuan (untuk dan atas nama CV Nanda Raya Timber), selaku Pemohon kasasi dahulu Penggugat-Pembanding v Bank Pembanguan Daerah Sumatera Barat, dan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Kantor Wilayah I DJPLN Medan, Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara Pekanbaru, selaku Para termohon Kasasi dahulu para tergugat-para terbanding.

Dalam pokoknya atas dalil-dalil, penggugat telah memperoleh fasilitas kredit dari tergugat berdasarkan surat persetujuan membuka kredit berikut addendumnya sebagai berikut: kredit investasi persetujuan membuka kredit Nomor: 035/PER/KI- EBJVI/0599/0504 tanggal 31 Mei 1999 dan addendum Nomor: PK/001- 035/PB/ADD-I/KI-ABJVI/03-2001/05-2004 dengan plafon maksimum sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah); kredit modal kerja persetujuan membuka kredit nomor: 027/PER/MK-EBJVI/0599/0504 tanggal 31 Mei 1999 dan addendum nomor: PK/003-027/PB/ADD/MK-AJBVI/03-2001/05-2004 dengan plafon sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah). Kredit investasi

dan kredit modal kerja yang diterima penggugat tersebut di atas berikut bunga dan biaya lain-lain yang timbul sehubungan dengan persetujuan tersebut harus dibayar kembali paling lambat 31 Mei 2004.Dalam masa persetujuan membuka kredit berjalan tanggal 6 Juli 2001 tempat usaha penggugat (obyek investasi dan modal kerja) mengalami kebakaran sehingga penggugat tidak dapat lagi menjalankan usahanya dan seterusnya kesulitan dalam mengembalikan pinjaman kepada tergugat I (Bank). Selanjutnya tergugat I menyerahkan penanganan kredit macet penggugat ke pada tergugat II (Kantor Lelang Negara) melalui surat tergugat I No.S/319/PB/UM/08-2002 tanggal 29 Agustus 2002. Dalam gugatannya penggugat menyatakan antara lain bahwa kejadian kebakaran tersebut secara hukum adalah

force majeure “keadaan memaksa” yang bersifat absolut yang diatur dalam Buku III

Titel I Afdeling 4 Pasal 1244 jo 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; bahwa keadaan force majeure secara hukum juga mengakibatkan penghalang terhadap pemenuhan dari perikatan serta membebaskan penggugat dari kewajiban untuk membayar kewajiban-kewajiban yang timbul dalam persetujuan membuka kredit; bahwa oleh karena itu penggugat secara hukum harus dibebaskan dari kewajiban membayar pengembalian kredit berikut dengan bunga dan biaya lainnya yang timbul sehubungan persetujuan membuka kredit tersebut di atas. Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru menolak gugatan penggugat seluruhnya. Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan penggugat-pembanding telah dikuatkan Pengadilan Tinggi Riau. Mahkamah Agung, menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, yang dalam pertimbangannya keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Judex

Facti tidak salah menerapkan hukum. Bahwa Kebakaran unit usaha tidak merupakan force majeure atas pengembalian kredit bila tidak diperjanjikan dalam perjanjian

kredit.

Putusan hakim Mahkamah Agung di atas menunjukkan bahwa dalam perjanjian kredit, hakim tidak berusaha untuk menggunakan interpretasi bahwa telah menjadi pendapat umum,kebakaran adalah merupakan peristiwa force majeure yang tidak dapat diduga oleh siapapun, sehingga terhadap hal berlaku asas umumyang terdapat dalam pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, sehingga debitur dibebaskan dari tanggung jawab atas kewajibannya.

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu pihak dalam kontrak akan mengharapkan bahwa salah satu pihak akan memenuhi kewajiban perjanjian mereka, tetapi dalam kondisi yang luar biasa pengadilan dapat memberikan keringanan atau pembebasan dari kewajiban dalam kontrak mereka. Jika ada kontrak yang sudah

dibuat tetapi kemampuan salah satu pihak untuk melaksanakan ternyata tidak bisa dilakukan tanpa kesalahan dia karena ada peristiwa/kejadian waktu kontraknya ditulis/dibuat dalam asumsi yang kejadian itu tidak akan terjadi, maka kewajiban dia untuk melaksanakan kontrak tidak harus dilakukan (hal ini disebut perbuatan absolut /absolute performance). Kecuali ada kata-kata dalam kontrak atau sebenarnya

kondisinya seharusnya bisa dilakukan.273

Prinsip force majeure dalam Uniform Commercial Code (U.C.C) 2-615 Kontrak yang menjanjikan perbuatan absolut (absolute performance) itu tergantung di atas asumsi yang pihaknya mempunyai waktu kontraknya dibuat tentang apa yang terjadi di waktu depan.

274

Kejadian-kejadian yang dinyatakan dalam kontrak itu dianggap eksklusif, jadi daripada menyatakan kontrak sembarangan mungkin lebih baik untuk tidak menyatakan apa-apa mengenai force majeure dan membolehkan asas tersebut untuk menentukan dalam kontrak. Kalau dinyatakan dalam kontrak, maka kejadian-kejadian yang di luar kontrak tidak dapat dilindungi atau merupakan force majeure. Berikut ini contoh klausulforce majeure tersebut:

berlaku sebagai asas (berlaku umum) dan force majeure itu menjadi aturan kalau tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang kondisi yang tidak dapat diduga. Pihak bisa menyatakan asumsi mereka kejadian yang mungkin akan menjadikan alasan mereka tidak dapat menjalankan kontrak. Klausul yang mengatakan kondisi yang akan membebaskan ketidakpelaksanaan disebut force majeure, vij majeure, atau klausula Act of God.

273

Scott J. Burnham, The Contract ..., Op.Cit., Drafting Guidebo, p. 209.

274

Uniform Commercial Code (UCC) adalah standar hukum bisnis yang mengatur kontrak

keuangan dan transaksi komersial. UCC telah diadopsi oleh sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat dan Code itu sendiri memiliki sembilan artikel terpisah.

1. Pesanan yang tidak ditentukan oleh pihak mana saja kalau ada Act of God, perang, bentrokan, peledakan, banjir, pemogokan, larangan bekerja, perintah, ketidakmampuan untuk mendapat bahan bakar, listrik, materi dasar/kebutuhan pokok,buruh, fasilitas transportasi, kecelakaan, alat-alat rusak, kepentingan/pengamanan negara, atau penyebab di luar kendali/kontrol pihaknya yang menghalangi produksi kiriman penerimaan atau konsumsi kiriman barang atau barang yang pabrik yang pabrik perlukan untuk barangnya.

2. Pihak tidak akan bertanggung jawab kalau pelaksanaan dalam kontrak terlambat

atau terhalang oleh revolusi atau kekacauan yang lain, perang, pelaku musuh, mogok, kebakaran banjir, Act of God atau tanpa membatasi/mengabaikan ketentuan di atas dengan penyebab yang lain di luar kontrol pihak yang pelakunya akan diganggu dan kapan mereka tidak bisa memberhentikan gangguan itu walaupun sudah berusaha untuk itu dan pihak tidak dapat

menghentikannya, meskipun jenis penyebabnya tertulis atau tidak tertulis.275

Dari hal tersebut di atas, dapat dilihat bahwa klausulforce majeure harus memutuskan bagaimana para pihak akan menyatakan atau menuliskan klausulforce

majeure itu secara umum (general) atau secara spesifik. Ini perlu kesimbangan

kejadian-kejadian yang tertulis dan bahasa yang umum (atau penyebab lain yang di luar kontrol pihak).

Arthur Lewis, mengatakan bahwa setiap kontrak memuat syarat atau ketentuan. Biasanya syarat dan ketentuan di dalam kontrak dinyatakan secara tegas. Namun, terkadang ketentuan hanya tersiratkan menjadi kontrak. Ketentuan demikian

275

tersirat melalui fakta, hukum, atau kebiasaan. Ketentuan yang tersirat melalui fakta adalah ketentuan yang oleh pengadilan diputuskan wajib diniatkan para sekutu untuk dimasukkan. Dahulu ujinya ialah “would an offcious bycious bystander have assumed

that the parties would have intended to include some term”. Sekarang pengadilan

menegaskan bahwa aplikasi harus nyata bagi kedua belah pihak. Contoh terbaik syarat-syarat melalui hukum adalah persiapan Sale of Good Act 1979. Act ini menyiratkan ketentuan-ketentuan dalam semua kontrak penjualan barang, terutama ketentuan bahwa barang tidak boleh rusak atau cacat. Ketentuan yang tersirat melalui kebiasaan, para pihak yang telah menjalankan kegiatan usaha di pasar tertentu selama periode waktu tertentu diasumsikan telah menyesuaikan diri dan menganut kebiasaan

umum di pasar tersebut.276

Berkaitan dengan syarat dan ketentuan di dalam kontrak dinyatakan secara tegas, di Amerika Serikat secara umum kontrak lebih rumit dan panjang, mereka mencoba untuk menulis semua kemungkinan. Tetapi sebaliknya orang di Inggris lebih suka jika kontrak mereka singkat, jelas dan menulis point-point yang penting saja dan utama. Orang Amerika Serikat tidak suka kalau ada kemungkinan yang tidak tertulis. Kebanyakan negara di dunia mengikuti style/gaya Inggris, perbedaan ini mungkin karena kerumitan (kompleks) struktur industri di Amerika Serikat dan peran besar dari pengacara di Amerika Serikat. Kalau dipertanyakan mana yang lebih baik, maka secara idealnya kontrak yang jelas dan singkat tanpa pengacara punya daya tarik, biasanya kemungkinan kejadian yang tertulis tidak akan terjadi, dan jika itu terjadi, maka kebaikan manusia dapat menyelesaikannya, kita saling percaya juga

276

kalau kita mencoba menulis semua kemungkinan, maka ongkos legal lebih tinggi dan ini pandangan orang Eropa tadi, tetapi orang Amerika Serikat mengatakan apa yang dikerjakan harus dikerjakan dengan baik, meskipun kadang-kadang sanggat panjang dan rumit. Kontrak Amerika Serikat secara umum lebih bagus dan bernuansa serta

berpengalaman.277

Klausul-klausul dalam kontrak bentuk standar dapat mengarah kepada tuduhan bahwa klausul-klausul tersebut dibebankan sebagai bagian dari paket “take it

or leave it” (ambillah, kalau tidak mau, ya sudah) oleh pihak yang punya posisi bargaining (tawar menawar) lebih kuat; ini adalah istilah altrenatif dari “contracts of adhesion” (kontrak-kontrak pelekatan). Efek dari kontrak-kontrak bentuk standar

seringkali bahwa pihak yang dikenakan ketentuan ini tidak tahu bahwa itu adalah sebuah ketentuan kontrak. Dalam situasi-situasi seperti itu, tidak mengagetkan lagi, jika keadilan atas ketentuan pengecualian dipertanyakan, khususnya ketika debitur sedang berusaha terhadap ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh kreditur.

Di negara Common Law seperti Amerika Serikat dikenal adanya Unifair

Contract Terms Act Tahun 1977 (Undang-Undang Ketentuan Ketidakadilan Dalam

Kontrak). Beberapa kasus hukum di Amerika Serikat berkaitan dengan ketentuan- ketentuan pengecualian harus dipandang secara hati-hati sekarang. Keberadaaan UCTA 1977 berarti alat-alat yang dikembangkan oleh Common law untuk berurusan dengan ketentuan pengecualian sekarang dapat digunakan dengan lebih hati-hati oleh pengadilan-pengadilan. UCTA 1977 mempunyai keuntungan bahwa undang-undang ini sering kali mengijinkan pengadilan secara terbuka untuk menimbang faktor-faktor

277

untuk mengetahui apakah sebuah klausul/ketentuan itu “masuk akal.” Perhitungan- perhitungan ke masukakalan pasti telah mempengaruhi pendekatan pengadilan dalam penggunaan mereka akan alat-alat common law, tetapi hal itu sekarang seringkali dapat dipertimbangkan secara terbuka, dengan argumen-argumen dari kedua sisi yang secara spesifik diarahkan kepada itu. Bagaimanapun juga, haruslah diingat bahwa tidak semua tipe kontrak dapat mempengaruhi oleh UCTA 1977 dan pengadilan- pengadilan bisa saja lebih tertarik menggunakan alat-alat common lawketika

berhadapan dengan sebuah kontrak yang tidak termasuk kepada UCTA.278

278

Laurence Koffman, Elizabeth Macdonald, The Law Contract, Six Edition, (New York: Oxford University Press, 2007), p. 163.

Namun tidak boleh diasumsikan bahwa kontrak-kontrak bentuk standar, dengan ketentuan- ketentuan pengecualian mereka adalah selalu merupakan alat-alat yang bisa dipakai untuk menyalahgunakan kekuasaan oleh pihak yang posisibargaining-nya lebih kuat. Pada keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan dari penggunaan kontrak bentuk standar. Sebuah kontrak bentuk standar dapat dipergunakan untuk mempercepat proses kontrak dan mengurangi biaya-biaya. Hal ini tidak perlu diprotes yaitu jika kontrak bentuk standar adalah sebuah alokasi risiko yang bagus. Bentuk standar tersebut mungkin adalah yang digunakan selalu pada sebuah perdagangan tertentu, yang muncul karena negoisasi, dalam ketentuan yang adil, diantara perwakilan- perwakilan mereka yang menggunakannya pada kedua sisi (contoh: pembeli-pembeli dan penjual-penjual sebuah komoditas tertentu, atau penyewa-penyewa dan yang menyewakan sebuah jenis peralatan). Di bawah keadaan-keadaan seperti itu, ketentuan pengecualian dapat semata-mata merepresentasikan sebuah alokasi risiko

terhadap orang yang paling layak untuk diasuransikan untuk hal itu. Pembatas risiko

dapat disertai oleh rendahnya ongkos bagi pihak lain tersebut.279

Proses penafsiran kontrak, dengan pencariannya terhadap “maksud para pihak” adalah suatu hal yang mengijinkan pengadilan-pengadilan, yang merupakan fleksibilitas memadai bagi daya tarik hasil akhir untuk memainkan sebuah bagian di dalam kesimpulan yang telah dicapai. Sebelum perundangan kontrol-kontrol yang dibebankan terhadap ketentuan-ketentuan pengecualian oleh UCTA 1977, pengadilan-pengadilan menggunakan peraturan-peraturan konstruksi/pembentukan hukum secara kreatif dalam rangka meringankan akibat-akibat ketentuan-ketentuan tersebut. Ini digambarkan oleh Lord Denning MR dalam Pengadilan Banding dalam perkara Geoege Mitchell (Chesterhall) Ltd v Finney Seed Ltd (1983) QB 284 at 297: Dihadapan kepada penyalahgunaan kekuasaan-oleh yang kuat melawan yang lemah- oleh penggunaan detail-detail persyaratan-para hakim melakukan apa yang bisa mereka lakukan untuk meletakkan sebuah kontrol atas itu. Para hakim masih menjunjung idola “kebebasan berkontrak” (freedom of contract). Mereka masih berlutut dan mnyembahnya, tetapi mereka menyembunyikan sebuah senjata rahasia di balik jubah mereka. Mereka memakai senjata tersebut untuk menikam idola mereka dari belakang. Senjata ini dinamakan “pembentukan/kontruksi hukum” (the

construction of the contract). Mereka memakainya dengan skill yang tinggi dan

kecerdikan. Mereka memakainya sehingga keluar dari makna alami kata-kata

279 Ibid.

ketentuan pengecualian dan meletakkan di depan mereka sebuah bentuk yang tegang

dan tidak alami”.280

Dalam perkara General of Fair Trading v First National Bank(2002),

bersangkut kepada salah satu ketentuan-ketentuan kontrak standar First National

Bank untuk meminjamkan uang kepada para peminjam melalui kesepakatan-

kesepakatan teregulasi di bawah Consumer Credit Act 1974. Ketentuan tersebut mengijinkan keberlanjutan tingkat bunga kontraktual setelah hasil pengadilan yang menyatakan “default” (gagal secara hukum untuk membayar utang) Signifikan ketentuan tersebut adalah bahwa, tanpa ketentuan itu First Nationaltadinya bisa saja akan kehilangan hak atas bunga atas jumlah uang yang masih belum dilunasi ketika hasil pengadilan telah keluar. Tanpa sebuah ketentuan yang demikian, hak kontraktual terhadap bunga tadinya akan “melebur” dengan hasil pengadilan dan, karena putusan pengadilan harus diusahakan di Pengadilan Tingkat Pertama (County

Court), tidak ada bunga yang dapat diberikan karena apa yang menjadi pertanyaan

adalah sebuah kesepakatan yang teregulasi/telah diatur. Pengadilan mempunyai kuasa untuk memerintahkan pembayaran dengan cara angsuran, tetapi tidak termasuk bunga di masa depan untruk menutupi waktu yang lebih lama yang diambil untuk melunasi pinjaman. Pengadilan juga mempunyai kuasa di bawah bagian 136 Consumer Credit

Act 1974, ketika membuat ‘perintah waktu’ untuk mengijinkan pelunasan di

sepanjang sebuah periode waktu, untuk mengamandemenkan ketentuan apapun dari kesepakatan. Namun, yang menyebabkan permasalahan dibawah ke depan pengadilan dalam kasus ini adalah bahwa County Court akan memberikan hasil pengadilan bagi First National bank “consumer’s default” (ketidakmampuan nasabah secara hukum untuk melunasi utang-utangnya), dan membuat sebuah perintah yang mengijinkan pembayaran dengan cara angsuran. Nasabah akan mau melakukan angsuran pembayaran tersebut dan kemudian terkejut mengetahui bahwa jumlah yang besar masih menjadi utangnya karena, di bawah ketentuan kontrak yang ada, tingkat suku bunga kontraktual telah berkanjut harus dibayarkan setelah putusan pengadilan. Bunga tersebut tidak dapat ditutupi oleh pembayaran-pembayaranyang diperintahkan oleh pengadilan dan pengadilan, ketika membuat keputusan belum mempertimbangkan apakah akan menyediakan bantuan utuk itu. Nasabah belum mengerti interaksi ketentuan perundang-undangan. Ada 2 (dua) argumen dasar yang dipertimbangkan pengadilan. Pertama, ketentuan yang dipertanyakan adalah yang paling esensial dan yang tidak ditudungi oleh test keadilan/kejujuran, dan yang kedua, ketentuan tersebut di luar dari semua permasalahan, adalah adil. Pengadilan Tinggi, Pengadilan Kasasi, dan House of Lords menemukan ketentuan tersebut bukanlah yang paling esensial, tetapi hanya Pengadilan Kasasi yang menganggapnya

sebagai tidak adil.281

280

Ibid., p. 187-188. 281

Aspek dari kasus yang berkaitan dengan penerapan test kejujuran/keadilan akan dikembalikan ke bawah. Apa yang berasal dari kepentingan di sini adalah pendekatan yang diambil berdasarkan jangkauan dari pengecualian inti.

Unifair Contract Terms Act Tahun 1977 (Undang-Undang Ketentuan

Ketidakadilan Dalam Kontrak) menundukkan klausul-klausul ‘kebutuhan akan kemasuk-akalan’. Di dalam hubungan kepada kepada kontrak-kontrak antarakonsumer dan penjual atau penyuplai, peraturan-peraturan ketentuan-ketentuan tidak adil dalam kontrak –kontrak (Unfair Terms in Consumer Contracts Regulation

/UTCCR 1999) menundukkan ketentuan-ketentuan secara non-individual lebih secara

umum kepada test ‘kejujuran’. Hal ini menerima beberapa penjelasan pada UTCCR 1999, reg 5 (1) sebuah ketentuan dianggap tidak adil/jujur, jika: ‘ berlawanan denganebutuhan akan itikad baik, hal itu mengakibatkan sebuah ketidak seimbangan signifikan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak yang muncul di bawah kontrak yang dapat membahayakan konsumer/pelanggan’. Secara dasar ada dua elemen di sini:

1. Ketidakseimbangan signifikan pada hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak

yang dapat membahayakan konsumer/pelanggan;

2. Kebutuhan akan itikad baik.

Untuk sebuah ketentuan yang tidak adil menghasilkan ‘ketidakseimbangan signifikan’, pasti merupakan sesuatu yang berlawanan dengan pentingnya ‘itikad baik’. Kecenderungan terhadap itikad baik bukanlah sesuatu yang familiar bagi pengacara-pengacara di Inggris dan Wales, walaupun hal itu pasti sekarang menjadi lebih lagi, dengan peran penting itikad baik itu sendiri pada peraturan ketentuan-

ketentuan Tidak Adil sejak 1994. Itikad baik sudah lama menjadi lebih familiar pada sistem-sietem hukum perdata, dalam hubungan di mana efeknya telah dikatakan sebagai yang paling layak dikomunikasikan oleh bahasa sehari-hari sebagai ‘bermain jujur’, ‘bermain bersih’ atau ‘memperlihatkan kartu seseorang di atas meja’. Tetapi arahan signifikan telah diberikan oleh House of Lords di Director General of Fair

Trading v First National Bank (2002). Fakta-fakta Director General of Fair Trading v First National Bank (2002), catatan yang merupakan komentar-komentar untuk

‘good faith’, Lord Bingham mengatakan:282

‘kebutuhan akan itikad baik pada konteks ini adalah salah satu tindakan bisnis yang jujur dan terbuka. Keterbukaan memerlukan bahwa ketentuan-ketentuannya harus diungkapkan/dituliskan secara lengkap, jelas dan bisa dibaca, tidak mengandung lubang-lubang atau perangkap-perangkap tersembunyi. Keutamaan yang pantas harus diberikan kepada ketentuan-ketentuan yang dapat bekerja secaramerugikan bagi pelanggan. Tindakan bisnis yang jujur memerlukan bahwa seorang pemasok tidak boleh, entahkan secara sengaja ataupun tidak, mengambil keuntungan atas kepentingan, kemiskinan, kurangnya pengalaman, ketidaktahuan akan hal subyek kontrak, possisi bargaining yang lemah atau faktor lain apapun dari konsumer yang terdaftar pada schedule-schedule peraturan-peraturan’.

Secara mirip, Lorn Steyn melihat itikad baik sebagai masukan ‘ide akan tindakan bisnis terbuka dan jujur’. Secara jelas, hal ini bergantung kepada keadaan- keadaan standarisasi dan, secara lebih luas lagi. Lord Bingham juga mengenali bahwa itikad baik ‘melihat pada standar-standar moralitas dan praktik sosial yang baik’ dan, mirip juga Lord Styen melihat ‘tujuan adanya itikad baik dan tindakan bisnis yang jujur’ sebagai sedang ‘menegakkan standar-standarmasyarakat akan kejujuran dan kemasuk-akalan’. Dalam pandangan iniitikad baik secara luas menjelmakan ‘standar- standar’ tindakan bisnis tertentu kepada dua aspek itikad baik-tindakan bisnis yang

282

terbuka dan tindakan bisnis yang jujur-yang pada akhirnya mengandung ide-ide tentang ketercukupan pemberitahuan ketentuan-ketentuan (termasuk kejelasan rancangan ketentuan-ketentuan tersebut) dan tentang keadaandi mana suatu keuntungan tidak akan diambil oleh pihak yang lebih kuat, penjual maupun

penyuplai.283

Hak-hak dan kewajiban-kewajiban di bawah sebuah kontrak tidak bisa dianggap berimbang secara merata, kecuali jika kedua belah pihak secara merata terikat oleh kewajiban-kewajiban mereka di bawah kontrak dan hukum umum. Kecurigaan akan ketidakadilan muncul pada setiap ketentuan yang merongrong nilai kewajiban-kewajiban tersebut dengan cara mencegah atau menghalangi konsumer mendapatkan kompensasi dari seorang pemasok yang tidak patuh kepada kewajiban- kewajiban tersebut.

Jika jangkauan kesepakatan masih berada di dalam sengketa, pengadilan harus pertama kali memutuskan pernyataan-pernyataan apakah yang sebenarnya dibuat oleh para pihak entahkah secara lisan atupun tertulis. Di dalam situasi-situasi khusus, hukum Inggris membutuhkan sebuah tingkat formalitas entahkah sebagai kebutuhan substantif ataupun sebagai sebuah kebutuhan prosedural kontrak. Namun, sebagai sebuah peraturan umum, tidak ada formalitas yang dibutuhkan. Sebuah kontrak dapat dibuat secara lengkap dengan perkataan mulut, atau secara lengkap dengan cara terulis. Jika kontrak secara lengkap dibuat dengan perkataan mulut, konten-kontennya adalah sebuah bentuk bukti yang secara normal diberikan kepada seorang hakim yang duduk sebagai seorang juri. Haruslah ditemukan sebagai sebuah fakta apa yang

283 Ibid.

benar-benar dikatakan oleh para pihak. Jika kontrak dibuat secara lengkap dengan cara tertulis, apa yang telah tertulis biasanya tidak akan menimbulkan kesulitan, dan interpretasinya adalah suatu hal yang secara eksklusif merupakan di dalam kekuasaan

hakim.284

Dalam kasus Hawrish v Bank Montreal, seorang pengacara, bekerja untuk sebuah perusahaan, menandatangani sebuah formulir yang ditawarkan oleh bank perusahaan tersebut, di mana si pengacara secara personal memberikan sebuah ‘jaminan berkelanjutan’ sampai dengan $ 6000 ‘untuk semua utang-utang terkini dan nanti’ dari perusahaan tersebut. Ia hendak memberikan bukti jaminan tersebut dimaksudkan untuk hanya menjadi hanya sebuah overdarf (ketentuan tentang jumlah