• Tidak ada hasil yang ditemukan

perkawinan, masih harus diperlakukan sebagai hak waris orangtua dari orangtua si anak, juga memperhitungkan ikatan perkawinan yang sah, demikian seterusnya. Bagi anak, untuk bisa mengklaim hak warisnya, harus dibuktikan bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk memberikan pernyataan yang sah tentang ini, pencatatan sipil mencakupi pula catatan kematian. Perlindungan terhadap hak-hak keperdataan si anak selaku ahli waris selanjutnya diwujudkan dengan pengembangan suatu institusi yang secara khusus didesain untuk memelihara harta waris yang disebut Balai Harta Peninggalan (Belanda: Weeskamer).82

3. Pencatatan Perkawinan Untuk Perkawinan Campuran

Jadi yang dimaksud dengan akta perkawinan catatan sipil adalah suatu surat atau catatan resmi mengenai peristiwa perkawinan yang dicatat oleh pejabat negara yakni pejabat kantor catatan sipil. Peristiwa perkawinan yang terjadi didafarkan dan dibuktikan pada Kantor Catatan Sipil. Seluruh akta yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil mempunyai kekuatan hukum apabila telah ditandatangani oleh Pejabat Kantor Catatan Sipil.

Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk legislatif mengenai atau berhubungan dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-undangan itu adalah sebagai berikut:83

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);

82 Konsorsium Catatan Sipil, Op.Cit, hlm. 13.

83 Mohammad Idris Romulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) Staatsblad nomor 74 tahun 1933;

c. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijke)

Staatsblad nomor 158 tahun 1898.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk legislatif ini setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan sebagaimana diketahui antara lain yang merupakan prinsip umum dalam perundang-undangan bahwa peraturan perundang- undangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan sederajat mendahuluinya.84

Pencatatan perkawinan untuk perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan (Kutipan Buku Nikah) oleh pegawai yang berwenang. Bagi yang beragama Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,

Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut undang-undang tersebut yaitu:

“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia."

Talak, Cerai, dan Rujuk. Sedang bagi yang non-Islam, pencatatan dilakukan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil.85

1. Perkawinan campuran dicatat oleh Pegawai Pencatat yang berwenang.

Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang diatur lebih lanjut pada PP No. 9/1975, dan syarat yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan tempat perkawinan akan dilangsungkan. Perkawinan yang sah harus dicatatkan, hal ini berlaku bagi pasangan mempelai yang keduanya berkewarganegaraan Republik Indonesia dan juga berlaku bagi pasangan perkawinan campuran.

Setiap perkawinan campuran yang sah harus dicatatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:

2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang- Undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia

mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Perkawinan yang telah dicatatkan akan mempunyai akibat hukum bagi perkawinan tersebut.

Pencatatan perkawinan ditegaskan pula dalam Pasal (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yaitu bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat (dalam hal ini Kantor Urusan Agama), dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Aturan mengenai pelaporan dan pencatatan perkawinan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ketentuan Pasal 34 menyebutkan bahwa:

1. Penduduk yang bukan beragama Islam wajib melaporkan perkawinannya kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Berdasarkan laporan tersebut Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan yang kemudian Kutipan Akta Perkawinan masing- masing diberikan kepada suami dan isteri.

2. Pelaporan perkawinan bagi penduduk yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.

Pencatatan perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 juga berlaku bagi Warga Negara Asing yang melangsungkan perkawinan di Indonesia.

Warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan perkawinan di luar Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, agar perkawinan tersebut mempunyai akibat hukum maka dalam waktu 1 (satu) tahun setelah pasangan tersebut kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus di daftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Ketentuan ini berlaku bagi 2 (dua) orang warga negara Indonesia atau Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang melangsungkan perkawinan di luar negeri.

Didaftarkannya surat bukti perkawinan dari pasangan perkawinan campuran yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, maka perkawinan tersebut mempunyai akibat hukum di Indonesia dan status kewarganegaraan ganda secara terbatas pada anak-anak perkawinan campuran menjadi jelas dan nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya.

Jika status anak-anak tersebut tidak diketahui, nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apapun yang menyangkut hal- hal yang dibatasi untuk orang asing.86

1. Perkawinan Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar Pelaksanaan perkawinan bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam di luar negeri, dilaksanakan sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 589 Tahun 1999 Nomor 182/OT/X/99/01 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia Di Luar Negeri.

Aturan mengenai pelaporan dan pencatatan perkawinan bagi warga negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia juga terdapat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan. Ketentuan Pasal 37 menyebutkan bahwa:

wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.

2. Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan dilakukan pada Pewakilan Republik Indonesia setempat.

86 Budiman, Buku Pedoman Pengurusan Surat Perkawinan (Hukum Perkawinan Indonesia

untuk Perkawinan selain agama Islam),

3. Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencatat peristiwa perkawinan dalam dalam Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.

4. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar negeri dan telah melakukan pencatatan perkawinan berkewajiban untuk melaporkannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

Terdapat perbedaan batas waktu kewajiban pelaporan pencatatan perkawinan yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang Perkawinan mengenai Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Undang-Undang Perkawinan Pasal 56 ayat (2) menyebutkan kewajiban pelaporan paling lambat adalah 1 (satu) tahun setelah suami istri kembali ke wilayah Indonesia, sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 37 ayat (4) menyebutkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan ke Indonesia.

C. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Perkawinan

Dokumen terkait