• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

Dalam dokumen Volume XVI, No.4 April 2022 ISSN (Halaman 34-38)

Pendidikan yang berkualitas merupakan hak asasi manusia dan merupakan investasi terbaik untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development goals). Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, setidaknya terdapat empat aspek yang harus dipenuhi, diantaranya yakni availability (ketersediaan), accessibility (aksesibilitas), acceptability (kelayakan), dan adaptability (adaptabilitas/sesuai konteks) (Tomasevski, 2001).

Indonesia saat ini belum mampu memenuhi keempat aspek di atas.

Kondisi tersebut salah satunya tercermin dari masih banyaknya anak yang putus sekolah, yang diantaranya dikarenakan belum terpenuhinya aspek availability (ketersediaan) dan accessibility (aksesibilitas) dari satuan pendidikan. Namun, tulisan ini hanya akan membahas poin acceptability (kelayakan) pendidikan di Indonesia saja. Beberapa syarat bagi satuan pendidikan untuk dapat dikatakan layak diantaranya memiliki penegakan standar minimal untuk mewujudkan lingkungan yang aman, serta memiliki aturan dan metode pengawasan mengenai penghormatan akan keberagaman dan hak para pelajar.

Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan di Indonesia mencerminkan bahwa fasilitas/layanan tersebut belum menjadi tempat yang aman bagi pelajar. Banyaknya kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan, yang kebanyakan korbannya adalah perempuan, juga menunjukkan bahwa aktor pendidikan yang menjadi pelaku kekerasan tidak menghormati keberagaman gender dan hak pelajar perempuan untuk belajar dengan aman.

Temuan Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA, 2018) menunjukkan bahwa tiga teratas lokasi yang paling banyak terjadi pelecehan adalah jalanan umum (33 persen), transportasi umum (19 persen), dan sekolah/ kampus (15 persen). Sementara, riset Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek, 2020) menunjukkan bahwa 77 persen dosen di 79 kampus menyatakan pernah terjadi perundungan seksual di kampus

masing-masing. Ironisnya, 63 persen dari kasus tersebut tidak pernah dilaporkan.

Data serupa dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menunjukkan bahwa di tahun 2020 masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan, baik itu lembaga pendidikan umum maupun berbasis agama. Selain itu, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan tinggi (Komnas Perempuan, 2020).

Kebanyakan pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan adalah orang yang dikenal baik oleh korban, seperti pacar, senior dalam organisasi, dosen, dan keluarga/ pengurus lembaga pendidikan (Komnas Perempuan, 2021). Hal tersebut menunjukkan bahwa satuan pendidikan belum memenuhi unsur acceptability (kelayakan) bagi pelajar maupun aktor penyelenggara pendidikan lainnya. Kondisi tersebut tentu menjadi hambatan bagi pencapaian pendidikan yang merata dan berkualitas di Indonesia.

Peraturan dan Implementasinya

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) pada Rapat Paripurna 12 April 2022. Komitmen DPR tersebut perlu diapresiasi dan penerapan Undang-Undang TPKS perlu dikawal agar sesuai dengan tujuan awal pembentukan undang-undang tersebut.

Beberapa pasal dalam draf RUU TPKS telah mengakomodir pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan, seperti Pasal 79 ayat (4) huruf b RUU TPKS, yang menyebutkan bahwa pencegahan tindak pidana kekerasan seksual salah satunya dilakukan pada satuan pendidikan. Dalam Pasal 79 ayat (2) huruf a rancangan undang-undang tersebut juga disebutkan bahwa penyelenggaraan pencegahan tindak pidana kekerasan seksual salah satunya dilakukan melalui bidang pendidikan. Aturan tersebut kini telah dapat menjadi landasan bagi penyelenggara pendidikan untuk melakukan pencegahan tindak kekerasan seksual di satuan pendidikan.

Selain RUU TPKS yang telah sah menjadi undang-undang, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi juga menjadi salah satu dasar pelaksanaan pencegahan tindak

kekerasan seksual di perguruan tinggi. Menurut Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Kemendikbud Ristek, Nizam, sejak rilisnya Permendikbud PPKS, terdapat peningkatan laporan mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi (cnnindonesia.com, 20/11/2021).

Sayangnya, belum semua perguruan tinggi melaksanakan Permendikbud PPKS dengan baik. Contohnya, seperti yang terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Laporan pers perguruan tinggi tersebut mencatat terdapat 32 orang yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual di sana. Sementara, terduga pelaku sebanyak 14 orang (tempo.co, 07/04/2022). Kasus tersebut terjadi sejak tahun 2015 hingga 2021. Namun, salah satu pejabat perguruan tinggi tersebut justru membungkam mahasiswa untuk melaporkan kekerasan tersebut. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa Permendikbud PPKS belum diimplementasikan oleh semua perguruan tinggi.

Lebih lanjut, masih banyaknya kasus kekerasan seksual di tingkat sekolah dasar dan menengah menunjukkan bahwa Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan belum diterapkan secara optimal. Permendikbud tersebut juga belum memasukkan aspek kesetaraan gender dalam upaya pencegahan terjadinya kekerasan seksual. Padahal, salah satu akar tindakan tersebut adalah adanya relasi yang dianggap timpang antara pelaku dengan korban di beberapa hal, seperti anggapan bahwa perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.

Rekomendasi

Berdasar analisis di atas, beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya, pertama, Kemendikbud Ristek, Dinas Pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan berbagai pemangku kepentingan lain di dunia pendidikan perlu segera melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual yang tertuang dalam UU TPKS. Para pemangku kepentingan tersebut perlu membuat aturan turunan untuk mengimplementasikan upaya pencegahan kekerasan seksual di masing-masing satuan pendidikan.

Kedua, seluruh perguruan tinggi di Indonesia perlu membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai penerapan Permendikbud PPKS. Kemendikbud Ristek juga perlu melakukan pemantauan terkait implementasi dari peraturan tersebut.

Ketiga, Kemendikbud Ristek perlu memasukkan unsur kesetaraan gender di dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Dinas Pendidikan juga dapat bekerja sama dengan satuan pendidikan untuk menanamkan prinsip-prinsip kesetaraan gender kepada guru, tenaga kependidikan, maupun pelajar untuk meningkatkan kesadaran gender.

Langkah-langkah tersebut penting untuk dilakukan agar satuan pendidikan menjadi tempat yang layak dan aman, baik itu bagi pelajar, guru, dosen, maupun tenaga kependidikan untuk menjalankan proses pembelajaran. Satuan pendidikan yang layak (aspek acceptability) akan menjadi salah satu aspek penting untuk mendukung pendidikan yang berkualitas.

Nisaaul Muthiah

-Pemerintah,

satuan pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya perlu memperkuat pencegahan tindak kekerasan seksual agar satuan pendidikan dapat menjadi tempat yang layak dan aman bagi proses pembelajaran.

Dalam dokumen Volume XVI, No.4 April 2022 ISSN (Halaman 34-38)

Dokumen terkait