• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD

Cara memotong rantai penularan penyakit DBD masih dengan cara membasmi vektor karena belum ditemukannya vaksin atau obat yang dapat membunuh virus dengue. Cara yang tepat guna adalah dengan membasmi jentik nyamuk yang ada di tempat perkembangbiakannya (Nadesul, 2004).

Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor yang telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu manajemen lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan. 2.4.1 Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan

baik jika dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan, dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan (Sukowati, 2010).

WHO pada tahun 1982 telah menetapkan 3 jenis Manajemen Lingkungan yaitu :

a) Modifikasi Lingkungan, yaitu pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama. b) Manipulasi Lingkungan, yaitu pengubahan sementara habitat vektor yang

memerlukan pengaturan wadah yang penting dan tidak penting serta manajemen atau pemusnahan tempat perkembangbiakan alami nyamuk.

c) Perubahan Habitasi atau perilaku vektor, yaitu upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dan vektor.

Program pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di Kuba dan Panama di awal abad ke-20 didasarkan terutama pada manajemen lingkungan. Aktivitas semacam itu tetap dapat diterapkan pada tempat dengan penyakit dengue bersifat endemik (WHO, 2004).

Aspek manajemen lingkungan menyangkut empat bidang yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling. Dalam penelitian Widiyanto (2007) di Kabupaten Banyumas, keempat bidang tersebut direduksi menjadi 3 bagian yaitu program (pembentukan dan pelaksanaan program kerja); regulasi; dan teknis operasional yang terdiri dari pemeriksaan jentik berkala (PJB), penyuluhan, fogging, penyelidikan epidemiologi, dan abatisasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa masih ditemukannya warga yang positif mengalami DBD disebabkan karena kegiatan berupa sosialisasi dan advokasi program kesehatan masih pada tingkat

Propinsi dan Kabupaten/Kota, sementara di tingkat Puskesmas masih belum efektif. Padahal Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program kesehatan masyarakat.

2.4.2 Pengendalian Biologis

Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok predator, seperti bakteri, cyclop (Copepoda), dan ikan pemakan jentik (Sukowati, 2010).

Bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt.H-14) dinilai efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bakteri tersebut tidak memengaruhi sepesies lain. Bt.H-14 didapati sangat efektif terhadap Anopheles stephensi dan Aedes aegypti. Terdapat berbagai formula produk Bt.H-14 yang diproduksi oleh beberapa perusahaan besar untuk mengendalikan vektor nyamuk. Produk tersebut meliputi bubuk yang dilarutkan dan berbagai formula yang bereaksi lambat seperti briket, tablet, dan butiran. Saat ini diharapkan adanya perkembangan lebih lanjut dari formula yang lambat reaksinya. Bt.H-14 memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia dan mulai dikembangkan sebagai bahan pengendali nyamuk dalam wadah penampungan air di rumah (Suroso dalam Sukamto, 2007).

Catatan tentang peranan pemangsa jenis Copepod cruistaceans (sejenis ketam laut) dibuat antara tahun 1930-1950. Namun, evaluasi ilmiahnya dilakukan hanya di tahun 1980 di Tahiti, French Polynesia, ditemukan bahwa Mesocyclops aspericornis

dapat memengaruhi 99,3% tingkat kematian larva Aedes (stegommyia) dan 1,9 % terhadap larva Culex quinquefasciatus dan Toxorhynchities amboinensis. Pelepasan predator ini di Queensland bagian Utara dan Selatan, serta Thailand menunjukkan hasil yang beragam. Namun, di Vietnam hasilnya lebih sukses karena mampu memberantas Aedes aegypti di satu desa. Walaupun faktor kelangkaan bahan pangan serta melakukan pembersihan wadah secara teratur dapat mencegah kelangsungan hidup Copepods. Mereka cocok untuk wadah besar yang tidak dibersihkan secara teratur seperti tangki beton, drum besar, atau ban. Mereka juga dapat digunakan bersamaan dengan Bt.H-14. Copepods berperan dalam pengendalian vektor dengue, akan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap kemungkinan penggunannya (WHO, 2004).

Ikan Larvivorus (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata) telah banyak digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti di tempat penyimpanan air yang besar di banyak negara di Asia Tenggara. Kemampuan dan efisiensi dari tindakan pengendalian ini tergantung pada jenis penampungan airnya (Suroso dalam Sukamto, 2007).

2.4.3 Pengendalian Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Jika insektisida digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu

dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran (Sukowati, 2010).

Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara terus menerus akan menimbulkan resistensi vektor. Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas (WHO, 2004).

2.4.4 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M Plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD. Namun, karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman, dan latar belakang, kegiatan ini belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya (Sukowati, 2010).

Mengingat kenyataan tersebut maka penyuluhan tentang vektor dan metode

pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara

berkesinambungan. Penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dan lain-lain. Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program pemberdayaan peran serta masyarakat.

2.4.5 Perlindungan Individu

Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan secara individu dengan menggunakan repellent dan menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk. Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk, di dalam keluarga bisa memasang kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk (Sukowati, 2010).

Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol, obat nyamuk bakar, vaporize mats (VP), dan repellent oles bisa digunakan oleh individu. Pada 12 tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticide treated nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk (WHO, 2004).

2.4.6 Peraturan Perundangan

Peraturan perundangan diperlukan untuk memberikan payung hukum dan melindungi masyarakat dari risiko penularan DBD. Seperti telah dipaparkan di atas bahwa DBD termasuk salah satu penyakit yang berbasis lingkungan sehingga pengendaliannya tidak mungkin hanya dilakukan oleh sektor kesehatan. Seluruh negara seharusnya mempunyai undang-undang tentang pengawasan penyakit yang berpotensi wabah seperti DBD dengan memberikan kewenangan kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan atau kebijakan untuk mengendalikannya (Sukowati, 2010).

Salah satu negara yang mempunyai undang-undang dan peraturan tentang vektor DBD adalah Singapura yang mengharuskan masyarakat untuk menjaga lingkungannya agar bebas dari investasi larva Aedes. Adanya peraturan dan pelaksanaan aturan tersebut menyebabkan epidemi DBD di negara tersebut dapat dikendalikan (Sukowati, 2010).

Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sudah mempunyai peraturan serupa tetapi penerapannya masih belum dapat dijalankan. Untuk itu, perlu dilakukan sosialisasi peraturan daerah dan penyuluhan tentang memelihara lingkungan yang bebas dari larva nyamuk secara bertahap. Hal ini mengingat pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. UUD 1945 mengamanatkan bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia dan dinyatakan juga bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat (Sukowati, 2010).

Dokumen terkait