• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pencegahan HIV/AIDS

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Depkes RI, 2006):

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABCD” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom), Drug

artinya tidak menjadi pengguna obat-obat terlarang ( NAPZA) terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak mengunakannya secara bersama-sama.

b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.

c. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu.

d. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.

2.5.2. Pencegahan Sekunder

Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut (Depkes, RI., 2006):

a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin.

b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalo Virus, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium Tuberculose, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dan lain-lain). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus.

Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang

dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.

2.5.3. Pencegahan Tersier

Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya (Nursalam, 2007):

Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaannya.

Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah.

Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya

Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain

Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup : pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),

persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

2.6. Perilaku

2.6.1. Definisi Perilaku

Menurut Kwick dalam Azwar (2007), perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Skiner dalam Azwar (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.6.2. Model Perilaku Kesehatan

Terdapat berbagai macam model utilisasi kesehatan yang digunakan untuk menggambarkan prilaku pemanfaatan pelayanan, model-model tersebut adalah :

1. Model Andersen

Menurut Andersen dalam Ilyas (2003), model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model prilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:

Presdisposisi

Karakter ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu memiliki kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda dilihat dari ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan.

Kemampuan

Karakteristik kemampuan merupakan suatu keadaan dan kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Berdasarkan sumbernya karakteristik kemampuan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat Kebutuhan

Andersen menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari faktor kebutuhan, penilaian kebutuhan didapatkan dari 2 sumber yaitu penilaian ndividu dan penilaian klinik.

2. Model Zshock

Menurut Zshock dalam Ilyas (2003), menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu: Status kesehatan, pendapatan dan pendidikan

Faktor konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan

Resiko sakit dan lingkungan 3. Model Andersen dan Anderson

Menurut Andersen dan Anderson dalam Ilyas (2003), menggolongkan model utilisasi kesehatan kedalam tujuh kategori berdasarkan tipe dari variabel yang digunakan sebagai faktor yang menentukan utilisasi pelayanan kesehatan. Ketujuh faktor-faktor tersebut adalah :

a. Model Demografi

Pada model ini variabel yang digunakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan besarnya keluarga. Variabel tersebut digunakan sebagai indikator yang mempengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan.

b. Model Struktur Sosial

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis. Variabel-variabel tersebut mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat dan dapat pula menggambarkan gaya hidup individu dan keluarga

c. Model Sosial Psikologis

Pada model ini variabel yang digunakan adalah, pengetahuan, sikap, dan keyakinan individu di dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Variabel tersebut mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak di dalam menggunakan pelayanan kesehatan.

d. Model Sumber Daya Keluarga

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendapatan keluarga dan cakupan mengenai pelayanan kesehatan. Variabel tersebut dapat mengukur kesanggupan dari setiap individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

e. Model Sumber Daya Masyarakat

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pelayanan kesehatan dan sumber- sumber di dalam masyarakat

f. Model Organisasi

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentuk- bentuk pelayanan kesehatan. Pada umumnya variabel yang biasa digunakan adalah: Gaya praktik pengobatan sendiri (sendiri, rekanan, kelompok)

Sifat alamiah dari pelayanan tersebut (pembayaran secara langsung atau tidak) Lokasi dari pelayanan kesehatan (pribadi, rumah sakit atau klinik)

Petugas kesehatan yang pertama kali dihubungi oleh pasien (dokter, perawat atau yang lainnya).

4. Model Becker

Menurut Becker dalam Azwar (2007), pada model ini digunakan model kepercayaan yang menjadi sebuah bentuk dari model sosiopsikologis yang menganggap bahwa prilaku kesehatan merupakan fungsi pengetahuan maupun sikap infdividu. Selain itu model kepercayaan kesehatan ini juga merupakan salah satu pengembangan dari teori lapangan dari Lewin dalam Azwar (2007), dimana dalam konsep teori lapangan dijelaskan bahwa setiap individu dalam kehidupannya akan berada pada daerah antara daerah positif dan daerah negatif

Dalam model Becker ada 4 variabel kunci yang mempengaruhi prilaku seseorang dalam bertindak untuk mencegah atau mengobati suatu penyakit, yaitu :

a. Kerentanan yang dirasa

Tindakan individu dalam mencari pengobatan atau melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit

b. Keseriusan yang dirasakan

Tindakan individu dalam mencari pengobatan dan pencegahan penyakit yang didorong oelh keseriusan penyakit itu sendiri

c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan

Tindakan yang dilakukan akibat kerentanan dari suatu penyakit tergantung dari manfaat yang dirasakan

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan kegawatan dan keuntungan diperlukan isyarat berupa faktor-faktor dari luar yang berupa pesan- pesan media massa, nasihat dari teman atau anggota keluarga yang pernah mengalaminya

5. Model Green

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi

b. Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat

c. Faktor Penguat

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturan- peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

Ada beberapa model perilaku kesehatan yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah perilaku terbentuk, diantaranya yaitu teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock. Teori ini berpendapat bahwa persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya.

Teori HBM oleh Rosenstock dalam Damayanti (2004), menyatakan ada 4 (empat) elemen yang mendasari persepsi seseorang, yaitu:

Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit

Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut

Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial

Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.

Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktor- faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004):

Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.

Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.

Persepsi Individu Faktor perubahan Tindakan

Gambar 2.1 Gambar Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sumber: Glanz et, al, 2002.

2.6.3. Domain Perilaku

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari: pengetahuan, sikap dan tindakan.

1. Pola Pengetahuan dan Perilaku terhadap Risiko HIV/AIDS

Gielen dan McDonald (1996), mengungkapkan bahwa secara umum perilaku seseorang dilandasi oleh latar belakang yang dimilikinya, termasuk pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Seseorang yang berpengetahuan HIV/AIDS lebih baik diharapkan mempunyai tingkat pemahaman dan kesadaran tentang HIV/AIDS yang

Umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian,

sosial ekonomi, pengetahuan

Menerima tindakan

Merasa terancam

penyakit tertentu Perubahan perilaku

Petunjuk aksi: − Pendidikan − Gejala − Media Informasi Merasa rentan terhadap penyakit tertentu

lebih baik, dan akhirnya diharapkan mempunyai perilaku seksual yang aman yang terhindar dari infeksi HIV. Sementara itu, Cognitive Dissonance Theori dari Festinger (1997) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilakunya. Menurut teori tersebut seseorang dapat mempunyai kesejajaran dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku. Namun demikian, bisa juga seseorang yang mempunyai pengetahuan dan sikap positif tetapi negatif di dalam perilakunya.

Paling tidak ada 4 (empat) cara yang kerap dianjurkan oleh para penyuluh kesehatan bagi kelompok berisiko dalam berperilaku seks, yaitu tidak berhubungan seks (abstinence), berhubungan seks hanya dengan satu pasangan setia (be faithful), bila tetap ingin membeli seks sebaiknya menggunakan kondom dan tidak menggunakan narkoba suntik secara bersama.

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menyebutkan bahwa 59% wanita pernah kawin dan 73% pria kawin mengatakan bahwa mereka pernah mendengar tentang AIDS. Namun demikian, pengetahuan tentang cara terpenting untuk menghindari infeksi HIV masih sangat terbatas, hanya 5% wanita dan 13% pria yang menyebutkan tentang memakai kondom, 14% wanita dan 18% pria mengatakan tentang membatasi seks pada satu pasangan dan saling setia.

Pengetahuan yang benar mengenai cara penularan HIV/AIDS dapat menjadi pedoman untuk melakukan tindak pencegahan agar tidak tertular virus tersebut. Tetapi hasil SSP 2004-2005 juga menyebutkan masih banyak responden yang mempunyai pengetahuan yang salah tentang HIV/AIDS, misalnya adalah anggapan bahwa minum

obat dapat mencegah HIV. Pada kelompok wanita pekerja seks, angkanya mencapai 42%, sedangkan pada kelompok pelaut/ABK, sopir/kernet truk yang punya anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV rata-rata di atas 30%.

Besarnya proporsi laki-laki sebagai pelanggan penjaja seks digambarkan dalam report yang diterbitkan oleh AusAID (2006) berjudul “Impact of HIV/AIDS 2005- 2025”, bahwa pemerintah Indonesia mengestimasi jumlah laki-laki pelanggan seks di Indonesia mencapai 7 sampai dengan 10 juta orang. Sedangkan menurut Utomo dan Dharmaputra (2001) bahwa separuh dari laki-laki di Indonesia mengunjungi pekerja seks setiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi jalur yang sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS melalui pelanggan penjaja seks.

Hasil SSP (survei surveilance perilaku) 2004-2005 pada kelompok pria menunjukkan bahwa sopir/kernet truk yang membeli seks dalam setahun terakhir meningkat dari 40% pada tahun 2002/2003 menjadi 59% pada tahun 2004/2005. sedangkan pelaut/ABK yang membeli seks juga meningkat dari 48% menjadi 55%, dan tukang ojek meningkat dari 28% menjadi 31% pada kurun waktu yang sama. Sementara itu perilaku selalu menggunakan kondom, hanya berkisar antara 3-11%. Disamping itu, penyakit menular seksual seperti syphilis dan gonorhoe bila dikombinasikan dengan seringnya melakukan seks yang tidak aman dengan laki-laki yang sering mobile akan menambah kerentanan penjaja seks untuk terinfeksi HIV.

Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004), menunjukkan sekitar 42% pekerja seks di tujuh kota di Indonesia telah terinfeksi gonorrhoea. Sementara itu,

prevalensi HIV diantara pekerja seks di sorong mencapai 17%. Peningkatan kasus penularan HIV di kalangan berisiko ini menjadi salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan. Sehingga meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit ini melalui pendidikan dan advokasi masyarakat menjadi hal yang utama. Tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran epidemik lebih luas lagi. Karena jika tidak, maka stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan akan tetap menjadi kendala bagi upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Perilaku minum alkohol juga merupakan perilaku antara untuk seseorang tertular HIV. Dalam keadaan mabuk, maka orang akan lupa untuk menggunakan kondom pada kegiatan seks komersial. Di Afrika Selatan, perilaku minum alcohol dan aktifitas seks yang tidak aman bahkan sudah menjadi masalah pada kelompok anak- anak yang masih sangat muda. Visser (1995), melakukan penelitian di sekolah pendidikan dasar di Pretoria, Afrika Selatan, dan respondennya adalah murid kelas 6 dan 7. hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 27% dari anak-anak yang rata-rata usianya 12-14 tahun ini, sudah mengkonsumsi alkohol. Sebesar 14% dari anak-anak ini pernah minum alkohol hingga mabuk dalam 30 hari terakhir. Sebagian besar alas an anak-anak ini minum alkohol adalah untuk melupakan masalah mereka (23%), dan karena mereka minum alkohol untuk bersenang-senang (21%). Selain alkohol, ternyata sekitar 7% dari anak-anak ini juga pernah menghisap ganja, dan sekitar 24% dari pelajar ini sudah aktif secara seksual, padahal sebagian besar anak-anak ini tidak mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS dan cara penularannya.

2. Sikap terhadap Risiko HIV/AIDS

Pengetahuan dan sikap melalui berbagai cara dapat mempengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku seksual. Dalam konteks pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, maka sangat penting untuk mengetahui secara jelas tentang penyakit tersebut dan cara-cara pencegahannya. Informasi tentang pengetahuan seks yang diperoleh dari suatu kelompok dapat menentukan perilaku seksual dan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengubah perilaku seksual kelompok tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Mariyah (1992) terhadap perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk mencari pekerja seks diantaranya yaitu karena pengaruh teman dan mengendornya norma-norma yang diyakini. Selain itu, keyakinan yang kuat dapat mencegah terjadinya perilaku seksual berisiko (menggunakan jasa pekerja seks dan berganti-ganti pasangan). Penelitian yang dilakukan oleh Godin dkk. (2005) dan Stulhofer dkk. (2007) juga menyatakan bahwa sikap dan norma sosial dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap HIV-AIDS (penggunaan kondom).

Di sisi lain, hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 menemukan banyak kelompok yang berisiko sadar bahwa perilaku seksual mereka rentan terhadap penularan HIV. Namun pada mereka yang merasa berisiko tertular HIV ini persentase perilaku seksual yang tidak aman justru lebih besar, yaitu tidak pakai kondom ketika berhubungan seks komersil, dibanding mereka yang merasa tidak berisiko. Dari responden yang pernah berhubungan seks komersil tanpa menggunakan kondom,

69% supir/kernet truk dan 65% pelaut/ABK merasa mereka berisiko tertular HIV (Puslitkes UI, 2003).

3. Tindakan atau Praktik

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a) praktik terpimpin (guided response), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan; b) praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis; dan c) adopsi (adaption) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Sebuah penelitian yang dilakukan Sasongko (2000) di Jakarta tentang efek perlindungan kondom dalam pencegahan infeksi HIV/AIDS telah dilakukan dengan mengikuti 245 pasangan heteroseksual dimana salah satu dantara pasangan tersebut mengidap HIV. Studi tersebut memperlihatkan bahwa kondom digunakan secara konsisten dalam setiap hubungan seks dan tidak ditemukan adanya penularan HIV kepada pasangannya. Sedangkan pada 121 pasangan heteroseksual lainnya yang tidak

menggunakan kondom secara konsisten mempunyai daya perlindungan efektif terhadap terjadinya penularan HIV.

2.7. Landasan Teori

Teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock mengatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004):

Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.

Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel, surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

1. Pengetahuan 2. Sikap Upaya Pencegahan HIV/AIDS Sosiodemografi: 1. Umur 2. Pendidikan 3. Lama bekerja

Dokumen terkait