• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam perkembangan bangsa Indonesia pada masa orde baru berbagai kebijakan seperti sentralisasi diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan sentralisasi yang dilakukan pemerintah pada masa orde baru kenyataannya hanya mampu mensejahterakan beberapa daerah atau beberapa golongan saja, serta menyebabkan ketimpangan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Kebijakan sentralisasi yang bersifat top down, semua perencanaan dan keputusan ada pada pemerintahan pusat, sehingga penerapan kebijakan sentralisasi akan sulit diterapkan di Indonesia dengan kawasan yang luas, terpisah oleh kepulauan serta berbeda kepentingan, dan yang pasti kondisi disetiap daerah berbeda. Sebagian daerah akan terabaikan dan selanjutnya akan tertinggal. Gerakan reformasi sejak tahun 1997 memunculkan tuntutan untuk mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satunya berupa perubahan kebijakan sentralisasi ke desentralisasi (Hamid, 2005).

Penerapan otonomi daerah/desentralisasi yang luas diharapkan mampu mengatasi permasalahan pada masa orde baru. Pengertian desentralisasi adalah pelimpahan wewenang

dari pusat kepada daerah. Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization), Desentralisasi Administrasi (Administrattive Decentralizatio), Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization), dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization) (Sidik, 2002).

Beberapa alasan mengapa desentralisasi perlu diterapkan menurut Joseph Riwu Kaho (1991) yang dikutip Yudoyono (2003) dan didukung dengan pendapat Cheema dan Rondinelli yang dikutip Romli (2007), yaitu :

1. Desentralisasi untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2. Desentralisasi sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri untuk mempergunakan hak-hak demokrasi.

3. Desentralisasi untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.

4. Desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan suatu daerah (seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya) serta,

Beberapa keuntungan atau manfaat dari kebijakan desentralisasi menurut Rondinelli, Roy Bahl, Cheme dan Sabir yang dikutip oleh Yudoyono (2003) yaitu efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas pemerintah, memungkinkan melakukan inovasi, serta meningkatkan motivasi moral, komitmen dan produktivitas. Bagi negara-negara berkembang, jalan desentralisasi ditempuh untuk melepaskan diri dari perangkap pengelolaan pemerintahan yang tidak efektif dan tidak efisien, ketidakstabilan ekonomi makro, dan tidak memadainya pertumbuhan ekonomi (Hamid, 2005).

Kebijakan desentralisasi oleh pemerintah pusat memiliki tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dalam pengelolaan rumah tangganya (Adi dan Harianto, 2007). Dengan adanya kebijakan desentralisasi, daerah mendapat kesempatan untuk mengelola rumah tangganya sendiri untuk mencapai kemandirian daerah. Dengan wewenang yang dimiliki, pemerintah daerah diharapkan akan mampu mengembangkan seluruh potensi ekonomi yang ada di setiap daerah karena pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui kondisi serta apa yang dibutuhkan daerah. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam ekonomi secara lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat (Sumarsono dan Utomo, 2009). Selanjutnya dapat memacu aktivitas perekonomian di daerah.

Dari alasan dan manfaat pelaksanaan desentralisasi seperti yang dikemukakan para ahli di atas. Pemerintah bukan hanya mengembangkan potensi ekonomi yang ada serta efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas pemerintah. Tetapi pemerintah daerah juga diharapkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun perekonomian daerah yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas perekonomian nasional dan keadilan

ekonomi tiap daerah terpenuhi seperti yang dikemukakan Nelson Kafsir yang dikutip Romli (2007) dan di dukung oleh Bird dan Vaillancourt (2000).

Desentralisasi juga berarti pelepasan tanggung jawab yang berada di lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah (Bird dan Vaillancourt, 2000). Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang lebih untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut inisiatif sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Hal ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan finansial daerah dalam melaksanakan desentralisasi. Terlebih lagi, pelaksanaan desentralisasi menuntut pertumbuhan ekonomi. Daerah diupayakan untuk menggali sumber daya yang ada di daerah untuk dapat melaksanakan desentralisasi.

Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan desentralisasi, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003). Dari pelaksanan desentralisasi selama ini, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah dan pada umumnya adalah ketidakcukupan sumber daya keuangan. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mempunyai finansial yang cukup dan lebih leluasa dalam mengelola keuangannya. Dalam pemberian wewenang itu sendiri harus meliputi kewenangan dalam mengelola keuangan (desentralisasi fiskal). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih, 2003 dalam Adi, 2006).

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi (Sidik, 2002). Desentralisasi fiskal secara resmi berlaku mulai 1 januari 2001 berdasarkan UU RI No. 25 tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU RI No. 33 tahun 2004. Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan wewenang kepada daerah dalam mengelola sumber-sumber keuangan sendiri, sehingga daerah mempunyai kesempatan yang lebih dalam mengatur rumah tangganya. Bohte dan Meier (2000) yang dikutip oleh Adi (2005) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi.

Keputusan menerapkan Desentralisasi fiskal menuntut adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna (Sumarsono dan Utomo, 2009).

Pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial yang merespon perbedaan-perbedaan regional dan lokal mungkin akan lebih efektif dalam mempertinggi pembangunan ekonomi daripada kebijakan-kebijakan sentralisasi yang bisa jadi mengabaikan perbedaan-perbedaan antar daerah tersebut. Hal ini dapat dibenarkan sebab

pemerintah Kabupaten/Kota mengetahui daerahnya lebih baik daripada yang diketahui oleh pemerintah pusat (Sumarsono dan Utomo, 2009).

Seperti yang dikemukakan diatas, pengalokasian lebih diutamakan kepada belanja pembangunan seperti perbaikan infrastruktur, pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan. Pelayanan publik yang lebih bagus akan mampu menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan infrastruktur dan pelayanan publik yang baik maka efisiensi, efektifitas dan produktifitas ekonomi akan tercapai sehingga investor juga akan mengalir ke daerah sehingga pertumbuhan ekonomi meningkat yang bisa dilihat dari meningkatnya aktivitas ekonomi daerah.

Menurut aliran Neo Klasik tingkat pertumbuhan ekonomi terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi modal, penawaran tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Modal dan jasa akan berpindah apabila balas jasanya berbeda-beda. Modal akan bergerak dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, hal ini untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang merupakan pendorong untuk pembangunan di daerah itu. Harrod-Domar menekankan pentingnya peranan akumulasi modal dalam proses pertumbuhan ekonomi (Adisasmita, 2005).

Beberapa penelitian untuk mengetahui hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi sudah pernah dilakukan sebelumnya, hasilnya menunjukkan hubungan yang positif, namun ada juga yang negatif. Dalam penelitian yang dilakukan Amin Pujiati (2008) di Karasidenan Semarang antara tahun 2002-2006 menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Joko

Waluyo (2007) melakukan penelitian antardaerah di Indonesia tahun 2000-2005 yang menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi di daerah pusat bisnis dan daerah yang kaya sumber daya alam daripada daerah bukan pusat bisnis dan miskin sumber daya alam. Hadi Sasana (2005) melakukan penelitian di Kabupaten/Kota Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta yang menyimpulkan bahwa PAD, DBH, dan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi serta DAU berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dalam penelitian Zhang dan Zhou(1998) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi pada umumnya di ukur dengan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1

Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2008 (Persen)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 Kab. Cilacap 7,72 5,11 2,64 6,07 Kab. Banyumas 3,21 4,48 5,30 5,41 Kab. Banjarnegara 3,95 4,35 5,01 4,98 Kab. Purbalingga 4,18 5,06 6,19 5,30 Kab. Kebumen 3,20 4,08 4,52 5,61 Kab. Purworejo 4,85 5,23 6,08 5,62 Kab. Wonosobo 3,19 3,23 3,58 3,69 Kab, Magelang 4,62 4,91 5,21 4,99 Kab. Boyolali 4,08 4,19 4,08 4,04 Kab. Klaten 4,59 2,30 3,31 3,93 Kab. Sukoharjo 4,11 4,53 5,11 4,84 Kab. Wonogiri 4,31 4,07 5,07 4,27 Kab. Karanganyar 5,49 5,08 5,74 5,75 Kab. Sragen 5,16 5,18 5,73 5,69 Kab. Grobogan 4,74 4,00 4,37 5,33 Kab. Blora 4,32 4,15 3,77 5,80 Kab. Rembang 3,56 5,53 3,81 4,67 Kab. Pati 3,94 4,45 5,19 4,94 Kab. Kudus 4,43 2,46 3,23 3,71 Kab. Jepara 4,23 4,19 4,74 4,49 Kab. Demak 3,86 4,02 4,15 4,11 Kab. Semarang 3,11 3,81 4,72 4,26 Kab. Temanggung 3,99 3,31 4,03 3,54 Kab. Kendal 2,63 3,67 4,28 3,92 Kab. Batang 2,80 2,51 3,49 3,67 Kab. Pekalongan 3,98 4,21 4,59 4,78 Kab. Pemalang 4,05 3,72 4,47 4,99 Kab. Tegal 4,72 5,19 5,51 5,32 Kab. Brebes 4,80 4,71 4,79 4,81 Kota. Magelang 4,33 2,44 5,17 5,05 Kota. Surakarta 5,15 5,43 5,82 5,69 Kota. Salatiga 4,15 4,17 5,39 4,98 Kota. Semarang 5,14 5,71 5,98 5,59 Kota. Pekalongan 3,82 3,06 3,80 3,73 Kota. Tegal 4,87 5,15 5,21 5,15

Dari tabel 1.1 menunjukkan pertumbuhan PDRB di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah mengalami fluktuasi selama pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 yaitu Cilacap, Boyolali, Karanganyar, Rembang, Demak, Batang, Brebes, Kota Semarang, Purworejo, Klaten, Sragen, Pati, Kabupaten Semarang, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Banjarnegara, Sukoharjo, Grobogan, Kudus, Temanggung, Pemalang, Surakarta, Kota Tegal, Purbalingga, Magelang, Wonogiri, Blora, Jepara, Kendal, Tegal, Kota Salatiga, hal ini bukan sesuatu yang diharapkan dari keputusan pelaksanaan desentralisasi fiskal. Hal ini juga bertentangan dengan beberapa pendapat penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Penelitian Amin Pujiati (2008), Joko Waluyo (2007), Hadi Sasana (2005) yang berpendapat bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap PDRB.

Dari data yang diperoleh menunjukkan Pertumbuhan PDRB daerah mengalami peningkatan tetapi tidak konsisten seperti yang dialami Kabupaten Seragen misalnya, pertumbuhan PDRB tahun 2005-2007 mengalami peningkatan yaitu dari 5,16% tahun 2005 menjadi 5,18% pada tahun 2006 dan menjadi 5,73% pada tahun 2007, mengalami penurunan pada tahun 2008 menjadi 5,69%. Namun ada juga daerah yang mengalami pertumbuhan PDRB yang konsisten meskipun hanya beberapa Kabupaten saja yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Pekalongan. Pertumbuhan PDRB tertinggi pada Kabupaten Cilacap tahun 2005 yaitu 7,72%, namun daerah ini tidak mengalami peningkatan pertumbuhan PDRB setelah itu.

Penelitian yang dilakukan Zhang dan Zhou (1998) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk hal ini dari data

menunjukkan yang dialami Kabupaten Blora. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Blora dari tahun 2005-2007 mengalami penurunan dari 4,32% tahun 2005 menjadi 4,15% pada tahun 2006 dan menjadi 3,77% pada tahun 2007. Namun hal ini tidak berlanjut sampai tahun 2008 yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang drastis menjadi 5,80%. Pertumbuhan ekonomi paling rendah di alami oleh Kabupaten Klaten tahun 2006 yaitu 2,30%. Untuk memastikan apakah desentralisasi fiskal berpengaruh positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi perlu penelitian yang lebih lanjut pada bab selanjutnya.

Ada banyak variabel yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, salah satunya adalah kebijakan desentralisasi fiskal. Untuk lebih mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga ada banyak variabel yang bisa menjelaskannya. Namun dalam penelitian ini hanya menggunakan komponen-komponen desentralisasi fiskal.

Menurut Menteri Keuangan No. 224 / PMK.07 tahun 2008 komponen-komponen desentralisasi fiskal terdiri dari : pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH) dan pendapatan daerah lainnya yang sah. Komponen-komponen tersebut juga merupakan sumber penerimaan daerah yang digunakan untuk pendanaan pemerintah daerah menurut UU No. 33 tahun 2004 dalam pelaksanaan desentralisasi.

Beberapa faktor yang diprediksi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain adalah komponen-komponen desentralisasi fiskal itu sendiri dan juga merupakan variabel yang digunakan Amin Pujiati (2008), Hadi Sasana (2005), Joko Waluyo (2007) dalam penelitiannya, yaitu : pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH).

Komponen desentralisasi fiskal yang pertama yaitu Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang juga merupakan modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah. PAD merupakan usaha daerah guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari pemerintah pusat (Widjaja, 1992).

Keberhasilan desentralisasi fiskal jelas mensyaratkan keberhasilan daerah dalam mengelola potensi keuangan daerahnya. Hal ini menunjukkan PAD sebagai parameter utama keberhasilan tersebut (Juwaini, 2007). PAD bisa dijadikan indikator keberhasilan desentralisasi fiskal karena PAD merupakan penerimaan daerah yang asli berasal dari daerah itu sendiri, dan PAD menununjukkan adanya kemandirian dari daerah.

Menurut Nurcholis (2005), PAD merupakan sumber keuangan daerah yang utama. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD-nya, sehingga daerah menjadi benar-benar mandiri (Waluyo, 2007). Seperti yang dikemukakan Adi dan Harianto (2007) bahwa dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber PAD.

Tabel 1.2

Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun2005-2008 (persen)

Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 Kab. Cilacap 17,21 18,71 4,12 25,12 Kab. Banyumas 30,15 32,15 14,49 11,18 Kab. Purbalingga 15,23 17,03 10,59 20,95 Kab. Banjarnegara 25,06 28,75 2,25 3,67 Kab. Kebumen 14,21 91,81 -36,75 0,13 Kab. Purworejo 17,64 19,34 24,59 7,46 Kab. Wonosobo 21,43 31,21 19,56 4,24 Kab, Magelang 16,34 18,52 12,43 11,66 Kab. Boyolali 31,01 86,70 13,75 -5,53 Kab. Klaten 25,61 32,30 12,34 16,99 Kab. Sukoharjo 19,28 44,84 -3,54 -1,30 Kab. Wonogiri 20,10 25,02 11,05 7,55 Kab. Karanganyar 25,31 54,27 23,53 13,33 Kab. Sragen 18,36 20,70 25,26 -17,11 Kab. Grobogan 10,31 9,33 23,03 28,45 Kab. Blora 21,66 47,52 13,60 17,62 Kab. Rembang 17,02 40,18 5,63 21,01 Kab. Pati 9,78 15,83 19,29 -27,18 Kab. Kudus 14,52 28,22 7,68 2,28 Kab. Jepara 13,45 6,60 0,00 30,15 Kab. Demak 9,36 69,62 2,92 25,58 Kab. Semarang 10,42 17,90 6,36 17,05 Kab. Temanggung 21,05 29,98 11,85 8,28 Kab. Kendal 12,56 65,09 19,60 -5,36 Kab. Batang 4,71 7,96 23,10 -3,16 Kab. Pekalongan 3,62 5,93 37,46 18,41 Kab. Pemalang 9,45 59,25 -6,09 19,54 Kab. Tegal 10,14 12,16 17,66 9,79 Kab. Brebes 13,31 31,85 36,16 10,02 Kota. Magelang 12,89 -10,14 39,14 13,22 Kota. Surakarta 21,02 25,62 11,95 16,99 Kota. Salatiga 20,46 16,96 11,37 -5,23 Kota. Semarang 20,57 18,47 5,97 12,46 Kota. Pekalongan 14,12 15,67 16,45 16,94 Kota. Tegal 9,59 24,79 -2,30 11,74

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan PAD yang diperoleh pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008 mengalami fluktuasi. Hal ini menunjukkan belum optimalnya pemerintah daerah Kabupaten/Kota dalam menggali potensi ekonomi yang dimiliki daerah.

Semakin tinggi PAD yang diperoleh suatu daerah maka akan semakin tinggi pertumbuhan PDRB di daerah tersebut. Brata (2004) yang dikutip oleh Adi dan Harianto (2007) menyatakan bahwa terdapat dua komponen penerimaan daerah yang berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB daerah yaitu PAD serta bagian sumbangan dan bantuan. Dari data yang ada menunjukkan hal tersebut, dimana pada tahun 2005-2008 realisasi penerimaan PAD Kabupaten Pekalongan terus meningkat seperti yang ditunjukkan tabel 1.2, begitu juga dengan pertumbuhan PDRBnya yang ditunjukkan tabel 1.1 mengalami peningkatan dari tahun 2005 sampai tahun 2008.

Semakin tinggi PAD yang diperoleh daerah maka semakin tinggi pertumbuhan PDRB daerah, namun apabila eksploitasi PAD dilakukan secara berlebihan justru akan semakin membebani masyarakat, menjadi disinsentif bagi daerah dan mengancam perekonomian secara makro (Mardiasmo, 2002). Penerimaan PAD pada saat pelaksanaan desentralisasi fiskal di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008 mengalami peningkatan, namun peningkatan pertumbuhan PDRB seperti yang diharapkan dari keputusan penerapan desentralisasi fiskal belum terpenuhi. Hal ini bisa dilihat dari data pertumbuhan PDRB tabel 1.1 yang menunjukkan pertumbuhan PDRB beberapa daerah masih mengalami fluktuasi ini bisa disebabkan eksploitasi PAD yang berlebihan.

Komponen desentralisasi fiskal yang kedua yaitu Dana Alokasi Umum. Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal. DAU merupakan salah satu transfer dana perimbangan dari pemerintah pusat (Hamid, 2005).

Transfer merupakan konsekuensi dari tidak meratanya keuangan dan ekonomi daerah. Selain itu tujuan transfer adalah mengurangi kesenjangan keuangan horizontal yaitu antar daerah, dan mengurangi kesenjangan vertikal antara Pusat dan Daerah. Mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar daerah, dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomian di daerah (Abdullah dan Halim, 2006). Oleh karena itu penerapan otonomi daerah/desentralisasi yang telah digariskan dalam Undang-undang No. 33 tahun 2004, mensyaratkan adanya suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan adanya dana perimbangan berupa transfer dana DAU, daerah diprediksi akan mampu membiayai pengeluaran kebutuhan daerah dan meningkatkan produktifitas sektor ekonomi yang lebih efektif dan efisien sehingga pertumbuhan PDRB di daerah meningkat seperti yang dikemukakan Elmi (2000).

Tabel 1.3

Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2008 (persen) Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 Kab. Cilacap 13,20 68,32 12,37 4,04 Kab. Banyumas 16,30 49,43 8,32 7,34 Kab. Purbalingga 19,12 45,76 27,16 -7,68 Kab. Banjarnegara 23,11 52,53 7,11 7,99 Kab. Kebumen 12,97 47,93 9,07 5,30 Kab. Purworejo 14,32 53,59 9,19 9,34 Kab. Wonosobo 12,34 47,44 8,33 9,75 Kab, Magelang 13,02 52,84 9,06 7,20 Kab. Boyolali 13,97 57,21 7,38 8,13 Kab. Klaten 12,94 56,96 9,24 7,27 Kab. Sukoharjo 12,57 54,64 9,31 8,31 Kab. Wonogiri 12,63 55,53 6,39 7,55 Kab. Karanganyar 11,08 48,16 8,95 10,24 Kab. Sragen 11,49 52,34 10,01 7,34 Kab. Grobogan 11,26 48,94 9,93 9,10 Kab. Blora 10,57 43,76 9,19 6,81 Kab. Rembang 11,76 59,26 5,57 10,10 Kab. Pati 10,83 51,10 9,85 7,77 Kab. Kudus 12,56 57,61 17,48 9,15 Kab. Jepara 9,34 45,58 14,40 9,63 Kab. Demak 8,99 45,44 7,30 10,26 Kab. Semarang 9,42 47,81 10,55 8,,15 Kab. Temanggung 12,31 53,37 8,75 8,21 Kab. Kendal 10,15 42,71 10,86 8,19 Kab. Batang 12,65 49,64 8,76 10,73 Kab. Pekalongan 12,01 48,96 8,95 13,17 Kab. Pemalang 11,87 48,47 7,97 5,82 Kab. Tegal 11,23 48,04 7,81 10,18 Kab. Brebes 12,05 51,30 7,94 8,88 Kota. Magelang 13,20 72,02 9,19 8,74 Kota. Surakarta 11,57 53,29 12,03 12,39 Kota. Salatiga 10,21 49,40 14,66 6,01 Kota. Semarang 20,10 54,72 14,19 8,20 Kota. Pekalongan 16,78 58,42 12,52 11,93 Kota. Tegal 8,72 6,02 16,56 7,21

Tabel 1.3 menunjukkan bahwa saat pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2005-2008 penerimaan daerah yang bersumber dari dana perimbangan yang berupa Dana Alokasi Umum mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun pertumbuhan PDRB justru mengalami fluktuasi. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya DAU yang tinggi, ketergantungan daerah terhadap DAU menjadi sangat tinggi dan kemandirian daerah menurun sehingga pertumbuhan PDRB yang diharapkan meningkat justru mengalami fluktuasi seperti yang di tunjukkan tabel 1.1.

Transfer DAU yang tinggi menyebabkan masih tinggi ketergantungan sebagian besar pemerintah daerah pada dana dari pusat. Dalam penelitian Susilo dan Adi (2007) yang menyatakan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin tinggi. Ketergantungan keuangan ini antara lain dapat dilihat pada anggaran pemerintah daerah yang komponen sumbangan dan bantuan dari pusat sangat tinggi, melampaui pendapatan asli daerahnya (Hamid, 2005), bisa dilihat dari hasil yang ditunjukkan tabel 1.2.

Transfer DAU juga menyebabkan ketidakadilan yang dirasakan sebagian daerah (Hamid, 2005). Transfer DAU yang dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan keuangan setiap daerah. Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan yang yang relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar, dan sebaliknya (Adi dan Harianto, 2007). Ada daerah yang merasa diperlakukan tidak adil karena penerimaan DAU-nya lebih rendah daripada daerah tetangganya, yang menurut perkiraan pemerintah daerah tersebut, dengan membandingkan variable-variabel perhitungan yang ada, daerahnyalah yang lebih besar.

Sebagian daerah juga merasa sumber daya alamnya dieksploitasi untuk pemerataan padahal daerahnya sendiri masih tertinggal. Upaya mengalokasikan DAU agar semua pihak puas memang sulit dipenuhi (Hamid, 2005).

Komponen desentralisasi fiskal yang ketiga yaitu Dana Bagi Hasil. Dana Bagi Hasil adalah bagian daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam. Dana Bagi Hasil merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil (Nurcholis, 2005).

Dalam pasal 11 UU No. 33 tahun 2004 Dana Bagi Hasil dibagi menjadi dua yaitu dana bagi hasil pajak (DBHP) dan dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam (DBHSDA). Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari : Kehutanan; Pertambangan umum; Perikanan; Pertambangan minyak bumi; Pertambangan gas bumi; dan Pertambangan panas bumi.

Tabel 1.4

Pertumbuhan Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah

Tahun 2005-2008 (persen) Kabupaten/Kota 2005 2006 2007 2008 Kab. Cilacap 14,31 36,32 11,01 1,85 Kab. Banyumas 17,23 18,52 20,84 14,07 Kab. Purbalingga 12,65 14,67 -17,99 43,73 Kab. Banjarnegara 23,41 51,39 25,18 8,52 Kab. Kebumen 15,67 26,36 -1,63 22,83 Kab. Purworejo 14,89 29,81 16,28 19,11 Kab. Wonosobo 16,55 19,97 24,08 7,14 Kab, Magelang 10,84 19,63 24,28 15,42 Kab. Boyolali 15,62 17,16 19,59 7,74 Kab. Klaten 7,63 4,57 16,84 2,14 Kab. Sukoharjo 14,01 13,85 2,16 -6,99 Kab. Wonogiri 14,70 71,87 12,70 17,44 Kab. Karanganyar 8,75 3,90 31,62 7,56 Kab. Sragen 23,06 21,32 22,82 5,14 Kab. Grobogan 32,43 40,51 40,35 -3,94 Kab. Blora 22,52 33,81 3,62 34,09 Kab. Rembang 16,23 19,71 31,30 40,40 Kab. Pati 24,31 26,90 16,27 8,36 Kab. Kudus 24,67 31,31 31,66 2,68 Kab. Jepara 23,14 41,14 10,36 6,53 Kab. Demak 12,24 17,66 29,04 2,21 Kab. Semarang 15,42 18,60 10,24 19,20 Kab. Temanggung 11,62 14,03 27,34 4,80 Kab. Kendal 15,23 16,25 16,95 11,95 Kab. Batang 13,11 15,25 22,83 -14,32 Kab. Pekalongan 21,09 27,02 20,54 -10,61 Kab. Pemalang 19,87 26,16 23,34 10,78 Kab. Tegal 23,14 45,59 0,29 19,31 Kab. Brebes 22,10 37,62 12,69 -14,03 Kota. Magelang 7,61 5,67 30,12 -1,14 Kota. Surakarta 10,23 2,67 13,92 30,73 Kota. Salatiga 28,10 -4,85 25,92 13,48 Kota. Semarang 10,21 -16,90 -8,66 -21,58 Kota. Pekalongan 5,23 8,33 19,79 -3,77 Kota. Tegal 9,20 5,30 12,78 0,62

Dari tabel 1.4 menunjukkan Dana Bagi Hasil yang diterima setiap daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa tengah tahun 2005-2008 berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme bagi hasil berdasarkan kapasitas Sumber Daya Alam dan/atau pusat bisnis yang dimiliki daerah. Daerah yang kaya Sumber Daya Alam akan memperoleh bagi hasil SDA yang relatif lebih besar dan daerah yang menjadi pusat bisnis akan memperoleh bagi hasil pajak yang relatif lebih besar (Waluyo, 2007). Pengoptimalan perolehan Dana Bagi Hasil yang dianggap sebagai modal bagi kepentingan pembangunan daerah akan mempercepat pertumbuhan PDRB (Pujiati, 2008).

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka judul dalam penelitian ini yaitu

“Analisis Pengaruh Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Terhadap PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2008”.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini mengambil obyek penelitian di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2005-2008. Dari data yang ada menunjukkan PDRB di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah pada periode 2005–2008 mengalami fluktuasi, hal ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dari keputusan penerapan desentralisasi fiskal. Dengan adanya

Dokumen terkait