Bungkil inti sawit (BIS) dan bungkil kelapa adalah hasil ikutan industri pengolahan inti sawit menjadi minyak inti sawit dan minyak kelapa yang ketersediaannya di Indonesia cukup tinggi. Menurut Dirjen Perkebunan (2010) perkiraaan total luas areal kelapa sawit tahun 2010 sebesar 7.824.623 ha dan luas areal produktif sebesar 4.953.382 ha dengan produksi minyak inti sawit mencapai 14. 629.503 ton. Bersamaan dengan itu, dihasilkan bungkil inti sawit cukup tinggi (diperkirakan 1,1 juta ton per tahun) untuk membantu kesinambungan pakan tambahan bagi ternak. Menurut Devendra (1977), bungkil inti sawit memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit (45-50%), namun bila dibandingkan dengan hasil ikutan kelapa sawit lainnya, bungkil inti sawit termasuk bagian yang paling rendah (4-5%) dari seluruh tandan buah sawit segar. Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering dengan jumlah sebesar 25% dari total daging buah kelapa. Bungkil kelapa masih mengandung protein 16-18%, karbohidrat, mineral dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal (Woodrof, 1979)
Jenis karbohidrat yang banyak dikembangkan pada bungkil kelapa dan bungkil inti sawit adalah karbohidrat yang mengandung komponen gula mannose. Beberapa laporan menyebutkan fungsinya untuk menghambat bakteri merugikan
seperti Salmonella (Oyofo et al., 1989) atau sebagai imunostimulan (Sashidara dan
Devegodwa, 2003). Mannan dikategorikan sebagai polisakarida dan banyak terdapat pada ragi, rumput laut, dan beberapa jenis tanaman (Kennedy dan White, 1988).
Mannan dengan komposisi linier (1-4)-β-D-Manp merupakan komponen utama dari
dinding sel bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (BIS).
Pengelolaan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa yang efisien dan efektif sangat dibutuhkan untuk dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan keseragaman dan kualitas fisik bahan pakan, dengan dasar teori untuk peningkatan nutrisi bahan pakan melalui penurunan kadar serat kasar secara fisik, hal ini bertujuan akhir untuk
2 Pengayakan (sieving) merupakan salah satu metode dalam menangani perubahan fisik bahan menjadi lebih sederhana, mengurangi faktor luar seperti kontaminasi dan mempermudah melakukan proses mekanisme industri dan meningkatkan kehomogenan bahan. Informasi proses dan pengayakan (sieving) dengan ukuran tertentu untuk mendapatkan kualitas produk fisik bungkil inti sawit masih terbatas, hal ini terlihat dari perkembangan proses pengayakan bahan hanya dilakukan untuk pemisahan dengan kontaminasi tanpa menentukan ukuran diameter lubang ayakan yang tepat pada bahan tersebut. Untuk itu perlu dikaji megenai pengaruh pengayakan (sieving) dengan berbagai ukuran terhadap karakteristik fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa untuk meningkatkan penggunaan bungkil tersebut dalam ransum khususnya unggas.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mempelajari dan membandingkan sifat fisik bungkil inti sawit dan bungkil kelapa meliputi berat jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, daya ambang, kelarutan total dan pH bahan dengan produk hasil pengayakan (sieving) berdasarkan jenjang ukuran mash dari tertinggi sampai terendah.
3 TINJAUAN PUSTAKA
Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang mempunyai iklim tropis. Tanaman ini awalnya dikembangkan perusahaan besar dan
kemudian diikuti perusahaan nasional dan rakyat.
Hasil utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Karnel Oil). Adapun hasil ikutannya berupa bungkil inti sawit (Gambar 2), serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung sawit. Hasil sampingan serat perasan buah dan tempurung sawit digunakan sebagai arang bakar. Adapun tandan kosong dan lumpur sawit merupakan sumber selulosa. (Naibaho, 1990). Gambar 1 menjelaskan struktur umum buah kelapa sawit (Aritonang, 1986) dan Gambar 2 menjelaskan bentuk umum bungkil inti sawit. Menurut Devendra (1977), bungkil inti sawit memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit namun bila dibandingkan dengan hasil ikutan kelapa sawit termasuk bagian yang paling rendah 4-5% dari tandan buah segar (Gambar 3).
Gambar 1. Struktur Buah Kelapa Sawit
Sumber: Naibaho (1990)
a
Gambar 2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit
Endokaprium Eksokaprium
Endokaprium Mesokaprium
4 Gambar 3. menjelaskan persentase bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya (Aritonang, 1986) sedangkan gambar 4. menjelaskan komponen pengolahan tandan buah kelapa sawit dan ekstraksi bungkil inti sawit (Aritonang, 1986). Secara umum, proses pengolahan menunjukkan kombinasi proses dengan menggunakan tekanan (press) dan ekstraksi.
Gambar 3. Persentase Bagian-Bagian Kelapa Sawit Berikut Hasil Ikutannya Sumber: Aritonang (1986)
Bungkil inti sawit di Indonesia sudah ditetapkan standar kualitasnya, yakni tertera pada SNI 01-0001-1987. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit
Kandungan Nutrisi Peneliti
1 2 3 4 A. Analisis Proksimat a b Energi Metabolis, Kkal/kg 1480* - - - 1480 Bahan Kering, % 91 86 86 88,57 90,3 Protein Kasar, % 14 12,9 15,4 16,86 16,1 Lemak Kasar, % 8 9,4 4,6 6,82 0,8 Serat Kasar, % 23 16,9 9,6 15,12 15,7 Abu, % 6 5,6 9,6 6,58 4 Beta-N, % 49 41,2 52,8 54,62 63,5
Sumber: * Mustaffa et al. (1991) 1 Yeong dan Mukherjee. (1983), 2 Hartadi et al.
(1980) (Ekstraksi: a mekanik dan b kimia), 3 Keong (2004), 4 Hew dan Jalaludin (1996)
Minyak Inti Sawit (45-46%) Tandan Buah Segar
Tandan Kosong (55-58%) Serat Kelapa Sawit (12%) Minyak Sawit (18-20%) Inti Sawit (4-5%) Tempurung (8%) Lumpur Minyak Sawit Kering (2%) Bungkil Inti Sawit (45-46%)
6 Penggunaan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan
Pemanfaatan hasil sampingan pengolahan kelapa sawit berupa bungkil inti sawit telah dilakukan di Malaysia (Zahari & Alimon, 2005), Indonesia dan Afrika (Sinurat, 2003). Bahan pakan tersebut diberikan langsung baik dalam bentuk campuran bahan mengandung karbohidrat tinggi, mineral dan vitamin maupun dalam bentuk terpisah.
Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengujian nilai nutrisi bungkil inti sawit telah banyak dilakukan pada berbagai jenis ternak dan memberikan efek yang cukup baik terhadap tampilan produksinya. Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan bungkil inti sawit adalah untuk subsitusi bungkil kelapa dalam ransum ternak ruminansia, karena bungkil inti sawit mengandung protein dan energi yang tinggi serta imbalan mineral yang serasi bagi ternak ruminansia (Aritonang, 1986). Hasil penelitian Carvalho (2006) menunjukkan bahwa penggunaan bungkil inti sawit (solvent ekstract) yang tinggi dalam pakan sapi perah tidak mempengaruhi konsumsi dan produksi susu. Penggunaan bungkil inti sawit pada sapi potong dan sapi perah dilaporkan dapat menekan biaya pakan (Ummunna
et al., 1980 & Carvalho. 2006).
Bungkil Kelapa
Gambar 5 menunjukkan komposisi penyusun buah kelapa. Bungkil kelapa (Gambar 6) adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering (testa dan meat).
Gambar 5. Komposisi Penyusun Buah Kelapa
S Sumber: Woodrof (1979) Eksokaprium Mesokaprium Endokaprium Kulit Daging Air
7 Gambar 6. Bentuk Umum Bungkil Kelapa
Mutu bungkil kelapa digolongkan dua jenis (Tabel 2). Kopra merupakan buah kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai sumber minyak, pengeringan kelapa tersebut biasanya dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan pengeringan buatan (Woodrof, 1979). Menurut Child (1964), bungkil kelapa masih mengandung protein, karbohidrat, mineral dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal. Kandungan protein yang cukup tinggi menyebabkan bungkil kelapa cukup baik apabila digunakan sebagai makanan ternak. Proses pembuatan bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa Sumber: Tarwiyah (2001)
Daging Buah
Pengeringan dengan Sinar Matahari
Penghancuran
Pemanasan pada Suhu 115°C
Pengepresan
Minyak Bungkil
8 Bungkil kelapa mengandung minyak yang tinggi maka mudah terjadi ketengikan, sehingga diusahakan tidak terlalu lama dalam proses penyimpanan. Persyaratan mutu bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan toleransi aflatoksin. Jenis bungkil kelapa dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kadar protein kasar. Bungkil kelapa jenis A memiliki kadar protein kasar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa jenis B. Persyaratan mutu bungkil kelapa menurut SNI 01-2904-1992 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan Mutu Bungkil Kelapa
Komposisi Jenis
A B
Air (% maksimum) 12 12
Protein Kasar (% minimum) 18 16
Serat Kasar (% maksimum) 14 16
Abu (% maksimum) 7 9
Lemak (% maksimum) 12 15
Asam Lemak Bebas (%
terdapat dalam Lemak) 7 9
Ca (%) 0,05-0,30 0,05-0,30 P(%) 0,40-0,75 0,40-0,75 Aflatoksin (ppb maksimum) 100 100 Sumber: SNI (1992) Penyaringan (Sieving)
Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan secara mekanik berdasarkan perbedaan ukuran partikel pada bahan tertentu (Khalil, 1999). Pengayakan (screening) dipakai dalam skala industri, sedangkan pengayakan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium. Menurut Khalil (1999), produk dari proses pengayakan/penyaringan ada dua meliputi ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize) dan ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan (undersize).
Dalam proses industri, pengayakan (sieving) biasanya digunakan untuk mendapatkan material yang berukuran tertentu dan seragam (Khalil, 1999). Pada proses pengayakan, material dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan pengayak dan pengayakan lebih cenderung dilakukan dalam keadaan kering.
9 Dalam penerapannya, penggunaan ayakan secara umum diarahkan untuk mengukur kadar keseragaman bahan dan mendapatkan ukuran partikel bahan. Nomor mesh 4 (4,76 mm) sampai nomor mesh 16 (1 mm) mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi kasar sedangkan nomor mesh 30 (0,548 mm) sampai nomor mesh 50 (0,28 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi medium dan nomor mesh 100 (0,149 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi halus.
Perubahan Fisik Bahan
Bahan atau komoditi yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pangan ataupun pakan merupakan produk pertanian penting diketahui sifat-sifat pada tiap komoditi tersebut yang berguna dalam penyediaan dan perancangan mesin, pengolahan komoditi, pengawetan produk, dan pengembangan suatu produk pangan atau pakan yang baru. Pengetahuan sifat fisik dan kimia bahan saling mempengaruhi kondisi bahan. Sifat fisik komoditi meliputi semua kondisi yang dapat diamati panca indra maupun yang hanya dapat diukur dengan menggunakan mesin (kehalusan bahan, keseragaman bahan, densitas).
Dalam penerapannya, Toharmat et al. (2006) menyebutkan bahwa sifat bahan
banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan, semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatannya atau bahan bahan tersebut semakin amba. Menurut
Retnani et al. (2009), maka nilai kerapatan yang tidak stabil disebabkan oleh
kelembaban yang relatif tinggi, cairan terkondensasi pada permukaan bahan menjadi
basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroba pada pellet.
Sifat Fisik Bahan Kerapatan Tumpukan (Bulk Density)
Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume
ruang yang ditempati dalam satuan kg/m3 (Khalil, 1999). Pengukuran kerapatan
tumpukan (Bulk Density) dilakukan untuk menentukan volume ruang pada suatu bahan dengan berat jenis tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur dan elevator (Kolatac, 1996). Kerapatan tumpukan memiliki pengaruh terhadap daya campur dan ketelitian pengukuran secara otomatis seperti halnya dengan berat jenis. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya ambang dan stabilitas
10 pencampuran pakan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan kriteria dalam penilaian kerapatan tumpukan menurut Kolatac (1996) dan nilai kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan.
Tabel 3. Kriteria Penilaian Kerapatan Tumpukan
Kerapatan Tumpukan Kriteria
< 450 kg/m3 Waktu alir lebih lama dan butuh ketelitian lebih
dalam proses penimbangan, volumetris, dan gravimetris
> 500 kg/m3 Sulit dalam proses pencampuran serta mudah
terpisah
> 1000 kg/m3 Waktu alir lebih cepat
Sumber: Kolatac (1996)
Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan
Bahan Pakan Kerapatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung 691,3
Sorghum 684,0
Bungkil Inti Sawit 503,2
Bungkil Kedelai 320,0
Tepung Ikan 435,3
Sumber: Khalil (1999)
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)
Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempati setelah melalui proses pemadatan. Perbedaan cara pemadatan akan berpengaruh terhadap nilai kerapatan pemadatan tumpukan, antara kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan terletak kapasitas silo dan container (Gauthama, 1998). Menurut Khalil (1999), kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kadar air suatu bahan. Selain kadar air dan ukuran partikel, besarnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dipengaruhi ketidaktepatan pengukuran (Sayekti, 1999). Besarnya nilai kerapatan pemadatan
11 tumpukan mementukan kapasitas pengisian tempat penyimpanan silo. Tabel 5 menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan.
Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan
Bahan Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung 704,2
Sorghum 707,6
Bungkil Inti Sawit 700,7
Bungkil Kedelai 340,5
Tepung Ikan 562,0
Sumber: Khalil (1999)
Berat Jenis (Spesific Density)
Berat jenis diukur menggunakan prinsip Hukum Archimedes yaitu suatu benda dalam fluida akan mengalami Gaya Archimedes sebesar fluida yang dipindahkan dan arahnya ke atas. Menurut Gauthama (1998) bahwa berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan, daya ambang bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan serta menentukan tingkat ketelitian proses penakaran otomatis yang umum diperlukan dalam pabrik pakan. Tabel 6 menunjukkan nilai berat jenis beberapa bahan pakan.
Tabel 6. Nilai Berat Jenis Beberapa Bahan Pakan
Bahan Berat Jenis (kg/m3)
Jagung 1579,1
Sorghum 1221,4
Bungkil Inti Sawit 1574,3
Bungkil Kedelai 912,2
Tepung Ikan 1289,3
12 Sudut Tumpukan (Angle of Respose)
Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk antara bidang datar dengan ketinggian. Tumpukan akan terbentuk bila bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong serta mengukur kriteria kebebasan bergerak dari partikel pada sudut tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak sudut tumpukan yang terbentuk semakin kecil. Pengukuran sudut tumpukan merupakan metode yang cepat
dan produktif untuk menentukan laju aliran bahan (Geldart et al., 1990).
Menurut Geldart et al. (1990), bahan pakan dengan sudut tumpukan yang
tinggi mengakibatkan perlu proses pengadukan dalam silo agar bahan bisa menyebar sehingga mekanisme kerja dalam industri tidak efisien, akan tetapi bila sudut tumpukan kecil maka turunnya bahan akan menjadi serentak. Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan klasifikasi aliran bahan berdasarkan sudut tumpukan dan sudut tumpukan beberapa bahan pakan.
Tabel 7. Klasifikasi Aliran Bahan Berdasarkan Sudut Tumpukan
Sudut Tumpukan Aliran
25-30° Sangat mudah mengalir
30-38° Mudah mengalir
38-45° Mengalir
45-55° Sulit mengalir
>55° Sangat sulit mengalir
Sumber: Fasina & Sokhansanj (1993)
Tabel 8. Sudut Tumpukan Beberapa Bahan Pakan
Sudut Tumpukan (°)
Jagung 0
Sorghum 15,9
Bungkil Inti Sawit 45,2
Bungkil Kedelai 12,5
Tepung Ikan 39,7
13 Daya Ambang (Floating Rate)
Daya ambang adalah jarak tempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari atas ke bawah pada bidang datar selama jangka waktu tertentu dengan satuan m/s. Semakin pendek jarak jatuh partikel bahan yang dicapai persatuan waktu pada jarak yang telah ditentukan maka daya ambang semakin besar. Daya ambang berperan penting dalam pengangkutan bahan melalui alat penghisap (pneumatic conveyer) agar bahan tidak terpisah berdasarkan ukuran dan berat partikel. Partikel yang mempunyai daya ambang yang tinggi akan mudah terhisap sedangkan bahan dengan daya ambang yang rendah akan jatuh lebih cepat dan cenderung bertumpuk pada bagian bawah (Khalil, 1999).
Kelarutan Total
Kelarutan total adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya (Vogel, 1978). Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, dan konsentasi bahan-bahan
lain dalam larutan. Muchtadi et al. (1993) menyatakan bahwa pelarut adalah
substansi pada fase yang sama (padat, cair, gas) sebagai bagian yang menyusun larutan. Pelarut yang baik adalah air, lebih lanjut dijelaskan bahwa air melarutkan atau mendispersi sebagai zat dengan sifat dwi kutub yang dimilikinya. Nilai kelarutan total untuk beberapa bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kelarutan Total Beberapa Bahan Pakan
Bahan Pakan Kelarutan Total (%BK)
Dedak 8,48 Onggok 9,10 Gaplek 9,32 Bungkil Kelapa 7,72 Jerami Padi 8,79 Sumber: Murni (2003)
Kelarutan bahan dalam air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil (gula dan
alkohol) dan gugus O2 karbonil (aldehida dan keton) yang cenderung membentuk
ikatannya ion dengan air (Voet et al. (1999). Air juga melarutkan berbagai senyawa
organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung
14 Derajad Keasaman (pH)
Derajad keasaman (pH) merupakan suatu gambaran yang dapat memperlihatkan konsentrasi ion Hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Menurut Gaman dan Sherrington (1990), adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein memiliki banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa). Tiap-tiap molekul protein memiliki daya reaksi yang berbeda-beda dengan asam maupun basa, hal ini tergantung pada jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul protein tersebut. Derajad keasaman (pH) dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh pH
pakan, kehancuran pakan dalam lambung akan menghasilkan pH lambung (Ange et
al., 2000). Nilai pH beberapa pakan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai Derajad Keasaman (pH) Beberapa Bahan Pakan
Bahan Pakan Derajad Keasaman (pH)
Jagung Kuning 6,1
Tepung Alfalfa 5,9
Rape Seed 5,3
Bungkil Kedele (Kadar Protein 53%) 6,6
Tepung Tulang 6,3
Tepung Daging 6,0
15 METODE
Lokasi dan Waktu
Proses pengayakan (sieving) dilaksanakan di Laboratorium Industri Pakan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei hingga Juli 2011.
Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan adalah bungkil kelapa dan bungkil inti sawit masing-masing sebanyak 50 kg. Bungkil kelapa berasal dari PT. Mangga Dua Pulo Gadung sedangkan bungkil inti sawit berasal dari PT. Perkebunan Nusantara (PN) IV Lampung. Peralatan yang digunakan terdiri dari timbangan dengan kapasitas 5 kg, model sieve ayakan dengan nomor mesh (4, 8, 16, 30, 50 dan 100), stop watch, gelas ukur 50 ml, corong plastik, kertas manila, alumuniunm foil, seperangkat alat ukur sudut tumpukan, aquadest, oven 105°C, dan pH meter.
Komposisi Zat Makanan Bahan
Tabel 11 menunjukkan secara rinci nilai zat makanan bungkil inti sawit dan bungkil kelapa berdasarkan 100 % bahan kering.
Tabel 11. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa dan Bungkil Inti Sawit
Zat Makanan Jenis Bahan
Bungkil inti sawit Bungkil kelapa
Abu (%) 7,38 8,29
Protein Kasar (%) 16,01 18,95
Lemak Kasar (%) 17,04 11,33
Serat Kasar (%) 51,44 38,89
Beta-N (%) 8,13 22,54
Gross Energy (kkal/kg) 4505 4559
Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2011)
16 Metode
Perlakuan
Perlakuan pengayakan yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari enam jenis berdasarkan nomor mesh, masing-masing mesh meliputi nomor mesh 4, 8, 16, 30, 50 dan 100. Diameter lubang ayakan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Nomor Mesh dan Diameter Lubang Ayakan
Nomor Mesh Diameter Lubang
4 4,760 mm 8 2,380 mm 16 1,000 mm 30 0,548 mm 50 0,289 mm 100 0,149 mm Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design) dengan petak utama (Faktor A) adalah 6 ukuran ayakan (mesh) berbeda dan anak petak (Faktor B) adalah 2 jenis bahan pakan disertai 3 ulangan pada masing-masing pengujian (Steel dan Torrie 1996). Model matematis yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan untuk perlakuan faktor A (mesh) taraf ke-i, faktor B
(jenis bahan) taraf ke-j dan ulangan ke-k.
(µ, αi, βj) = Komponen aditif rataaan, pengaruh utama faktor A dan faktor B
(αβijk) = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B
(βj) = Pengaruh faktor B (jenis bahan)
(αβij) = Interaksi faktor A dan B
17
(δ
ik)
= Komponen acak dari petak utama yang menyebar normal (0,σδ2)
eijk = Error perlakuan/pengaruh acak yang menyebar normal (0,σ2
)
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan diuji menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (Least Significance Difference).
Peubah yang Diamati
Kerapatan Tumpukan (Bulk Density)
Kerapatan tumpukan diukur dengan cara mencurahkan bahan kedalam gelas ukur 50 ml dengan menggunakan corong dan sendok teh sampai volume 25 ml. Gelas ukur yang berisi bahan selanjutnya ditimbang. Perhitungan kerapatan tumpukan adalah dengan cara membagi berat bahan dengan volume ruang yang ditempati, dirumuskan:
Volume ruang yang ditempati (ml)
(g) pakan bahan Bobot KT =
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density)
Pengukuran Kerapatan Pemadatan Tumpukan (KPT) hampir sama dengan pengukuran Kerapatan Tumpukan (KT), tetapi volume bahan dibaca setelah dilakukan pemadatan secara vertical selama 15 menit, dirumuskan:
Volume ruang setelah dimampatkan (ml)
(g) pakan bahan Bobot KPT =
Berat Jenis (Spesific Grafity)
Berat Jenis diukur dengan cara memasukan masing-masing bahan kedalam galas ukur 50 ml dengan menggunakan sendok teh secara perlahan dengan volume 15 ml. Gelas ukur yang sudah berisi bahan ditimbang. Aquades sebanyak 50 ml dimasukan kedalam gelas ukur, untuk menghilangkan udara antar partikel maka dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk. Sisa bahan yang menempel pada pengaduk dimasukkan dengan menyemprotkan aquadest dan ditambahkan kedalam volume awal. Pembacaan volume akhir dilakukan setelah konstan. Perubahan volume
18 Aquadest merupakan volume bahan sesungguhnya. Besarnya Berat Jenis (BJ) dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Perubahan volume aquades(ml)
(g) pakan bahan Bobot BJ =
Sudut Tumpukan (Angle of Respose)
Pengukuran dilakukan dengan cara menjatuhkan bahan pada ketinggian 15 cm melalui corong pada bidang datar . Kertas manila berwarna putih digunakan sebagai alas bidang datar. Ketinggian tumpukan bahan harus selalu berada di bawah corong. Untuk mengurangi pengaruh tekanan dan kecepatan laju aliran bahan, pengukuran bahan dilakukan dengan volume tertentu (100 ml) dan dicurahkan perlahan-lahan pada dinding corong dengan bantuan sendok pada posisi corong tetap sehingga jatuhnya bahan selalu dalam kondisi konstan. Sudut Tumpukan (ST) bahan ditentukan dengan mengukur diameter dasar (d) dan tinggi (t) tumpukan, besarnya Sudut Tumpukan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
d t d t tg 2 5 . 0 = =
α
Daya Ambang (Floating Rate)
Daya Ambang (DA) diukur dengan cara diukur dengan cara menjatuhkan 10 gram partikel bahan pada ketinggian 3 meter dari dasar lantai, kemudian diukur lamanya waktu (detik) yang dibutuhkan sampai mencapai lantai dengan menggunakan stopwatch. Lantai tempat jatuhnya bahan diberi alas dengan alumunium foil untuk memudahkan pengamatan saat bahan jatuh. Pengaruh udara diperkecil yaitu dengan cara menutup setiap lubang yang memungkinkan angin masuk (ventilasi, jendela, pintu). Daya ambang dihitung dengan cara membagi jarak jatuh (meter) dengan lamanya
19 waktu yang dibutuhkan (detik). Daya Ambang dapat dihitung menggunakan dengan rumus: Waktu (s) (m) jatuh Jarak DA =
Kelarutan Total (Total Solubility)
Diukur dengan cara membagi massa bahan terlarut dengan massa bahan pada kondisi awal dikali 100%, pelarut yang digunakan adalah aquadest. Kelarutan Total
dapat dihitung menggunakan metode Stefanon et al. (1996) dengan rumus:
%
100
(x)
y)
-(x
Total
Kelarutan = x
Keterangan: x = Bahan dalam kondisi awal
y = Bahan tidak larut. pH bahan
pH bahan diukur dengan cara melarutkan sampel kedalam aquades dengan
perbandingan 1:5 selama 15 menit selanjutnya diukur pHnya (Apriyantono et al.,
2000).
Prosedur Tahap Persiapan Bahan
Sebelum dilakukan proses perlakuan bahan, bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masing-masing terlebih dahulu dihomogenkan selanjutnya diambil bahan secara representatif (SNI, 1989). Pengambilan sampel masing-masing bahan (bungkil inti sawit dan bungkil kelapa) dilakukan secara acak sebanyak 5 kg. Bahan selanjutnya dimasukkan ke dalam plastik untuk diproses sesuai perlakuan pengayakan.
20 Tahapan Pengayakan (Sieving)
Setelah tahapan persiapan bahan dilaksanakan, selanjutnya bungkil inti sawit dan bungkil kelapa masing-masing dilakukan pengayakan (sieving) berjenjang sesuai ukuran ayakan dari ukuran terbesar (mesh 4) sampai terkecil (mesh 100) dengan ulangan sebanyak tiga kali dengan waktu pegayakan selama 20 menit dengan pola