• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perairan laut mengandung berbagai sumberdaya hayati yang menjadi penyusun struktur biota lingkungan perairan. Beberapa diantaranya adalah biota yang hidupnya menempel pada substrat, baik yang terendam maupun terdedah di permukaan laut. Secara alami kehadirannya adalah peristiwa yang wajar, dimana biota-biota penempel tersebut umumnya berasal dari kelompok bakteri, tumbuhan dan hewan. Penempelan biota tidak hanya terjadi pada substrat alami, dapat juga terjadi pada berbagai sarana kepentingan manusia seperti pada kapal dan bangunan pantai. Penempelan tersebut menimbulkan pengotoran biologis yang disebut dengan biofouling (Peterson et al. 1983).

Teritip adalah salah satu jenis biota yang hidupnya menempel secara permanen pada dinding tiang penyangga dermaga, sedangkan jenis lainnya memiliki kemampuan berpindah tempat. Secara alami teritip banyak dijumpai di laut. Sudah sejak lama teritip merupakan masalah yang sangat serius, kemampuannya dan tempat hidupnya yang menempel pada substrat ternyata memiliki sifat yang dapat merusak dan memperpendek umur suatu bangunan (Nontji 2001).

Penempelan atau biofouling teritip ini terjadi di Pesisir Timur Pulau

Sumatera yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka. Padatnya akvitivitas laut di Pulau Sumatera Bagian Timur didukung oleh keberadaan pelabuhan atau dermaga yang dapat dijumpai di sepanjang Pesisir Timur Pulau Sumatera salah satunya di pelabuhan Kota Dumai, Provinsi Riau. Dalam pengelolaan dan pemanfaatannya, pelabuhan-pelabuhan tersebut tidak terlepas dari permasalahan- permasalahan, salah satunya adalah keberadaan organisme yang hidup menempel pada tiang pelabuhan seperti teritip.

Dari hasil observasi pra-penelitian, secara visual pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Timur Pulau Sumatera mengalami biofouling dengan kepadatan teritip

yang lebih tinggi dibandingkan pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Barat Pulau Sumatera. Penempelan teritip tidak merata pada sisi kiri dan kanan tiang pelabuhan. Selain itu, Distribusi kepadatan teritip tersebut juga tidak merata baik secara horizontal maupun vertikal pada tiang-tiang pelabuhan. Menurut Mudzni (2010), Rata-rata kepadatan teritip (Balanus spp) pada tiang Pelabuhan

Pendaratan Ikan (PPI) Purnama Kota Dumai secara vertikal ke bawah perairan semakin meningkat. Sedangkan secara horizontal, kepadatan teritip (Balanus spp)

lebih tinggi pada bagian tiang pelabuhan yang terlindung dari perairan laut lepas dibandingkan pada bagian tiang pelabuhan yang menghadap ke perairan laut lepas (Fauzi 2010).

Namun observasi pra-penelitian dan penelitian yang telah dilakukan tersebut terbatas pada kepadatan teritip dari jenis Balanus spp. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian terkait penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan teritip pada tiang-tiang pelabuhan. Diperkirakan perbedaan kondisi lingkungan perairan air laut merupakan faktor utama terjadinya ketidakmerataan tersebut.

Hal ini apabila diteliti lebih lanjut secara ruang (spasial), dapat diketahui penyebab terjadinya ketidakmerataan distribusi kepadatan teritip pada tiang-tiang pelabuhan dan bermanfaat bagi penanganan masalah biofouling yang terjadi pada

pelabuhan khususnya yang terdapat di kota pesisir timur Pulau Sumatera seperti Kota Dumai. Sehingga pada bagian tiang pelabuhan atau kapal yang ditempeli oleh teritip dalam jumlah tinggi dapat diberi penanganan yang lebih intensif seperti pemberian bahan yang dapat menghambat (antifouling) penempelan dan

pertumbuhan teritip.

Perumusan Masalah

Tingginya aktivitas maritim di pesisir timur Pulau Sumatera sebagai bagian dari perairan laut Selat Malaka, menuntut keberadaan pelabuhan laut. Pelabuhan laut menjadi penghubung antara aktivitas darat dan aktivitas perairan. Namun pada tiang-tiang pelabuhan di daerah yang terdapat di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera terdapat organisme-organisme yang menempel dan bersifat merusak. Teritip merupakan salah satu spesies hewan yang umum dijumpai di tiang pelabuhan-pelabuhan di Kota Dumai yang sejak dulu sudah meresahkan, hal ini disebabkan dari waktu ke waktu pertumbuhan teritip terus meningkat dan dikhawatirkan akan merusak tiang-tiang pada pelabuhan ini.

Penempelan teritip tersebut tidak merata pada tiang-tiang pelabuhan. Diperkirakan hal ini dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan perairan yang berasal dari parameter biofisika kimiawi air laut. Ketidakmerataan tersebut dapat menyebabkan pengeroposan pada bagian tiang-tiang pelabuhan yang memiliki kepadatan teritip yang tinggi. Sehingga dapat mengancam usia penggunaan tiang pelabuhan tersebut.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip intertidal pada jenis dan warna media penempelan yang berbeda. Selain itu, juga untuk mengetahui sebaran kepadatan teritip intertidal secara vertikal dan horizontal di perairan pelabuhan Kota Dumai.

Dengan mengetahui hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk penanganan masalah biofouling yang terjadi pada bangunan di pesisir pantai

dan kapal-kapallaut khususnya di perairan laut Kota Dumai. Asumsi

Dalam penelitian ini terdapat beberapa asumsi, yaitu:

1. Biofouling teritip merupakan penyebab utama terjadinya pengeroposan tiang

dermaga.

2. Letak geografis dari setiap pelabuhan dianggap memberikan pengaruh yang sama terhadap kepadatan teritip.

Kerangka Pemikiran

Teritip sejak dahulu telah dikenal sebagai organisme penempel. Salah satu media penempelannya adalah tiang pelabuhan dan lambung kapal. Penempelan teritip ini, umumnya bersifat merusak dan mengancam usia tiang pelabuhan seperti terjadinya pengeroposan pada bagian tiang pelabuhan. Pengeroposan ini disebabkan oleh karena adanya penempelan teritip yang terpaku pada bagian- bagian tertentu pada tiang pelabuhan. Sehingga pada tiang pelabuhan tersebut dapat dijumpai lobang-lobang atau celah-celah. Secara visual, tiang pelabuhan tersebut semakin menipis ataupun “ompong”. Hal ini banyak terjadi pada pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Pantai Timur Pulau Sumatera.

Gambar 1.1 Pendekatan Penelitian dalam Bagan Alir

Pengelolaan pelabuhan di Pantai Timur Pulau Sumatera khususnya Kota Dumai

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan adalah biofouling dan ketidakmerataan

sebararan kepadatan teritip

Pengamatan sebaran spasial kepadatan teritip pada tiang pelabuhan:

-Pelabuhan Pelindo I

-Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama -Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh

Kondisi lingkungan (biofisika dan kimia)

- pH - Kecepatan arus - Salinitas - Kekeruhan - Suhu - Kelimpahanplankton

- Nitrat dan Posfat Keterkaitan Karakteristik Lingkungan dan Sebaran Spasial Kepadatan Teritip Intertidal pada 3 Jenis Media - Principal Component Analysis (PCA)

- Corespondence Analysis (CA)

- Multivariate Analysis of Variance (MANOVA)

Sebaran kepadatan teritip (Amphibalanus spp) pada tiang pelabuhan

Teratasi permasalahan

Biofouling dan ketidakmerataan sebaran kepadatan teritip dapat mengakibatkan pengeroposan dan

II. METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan September sampai dengan Bulan November 2013. Lokasi penelitian merupakan tiga pelabuhan yang berada di Kota Dumai yaitu Pelabuhan Pelindo 1, Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama dan Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh. Untuk identifikasi plankton dan pengukuran parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Ekologi dan Manajemen Lingkungan Perairan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perikanan Universitas Riau. Sedangkan untuk identifikasi teritip dilakukan di Laboratorium Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta lokasi Penelitian di Kota Dumai, Provinsi Riau Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah contoh teritip, contoh air, contoh plankton, lugol dan alkohol. Untuk alat yang dipergunakan sebagai media penempelan teritip adalah 3 jenis media/plat (besi, kayu dan fiber) dengan ukuran 20 x 20 cm2, mikroskop dan cawan petri. Sedangkan alat yang dipergunakan untuk mengambil contoh kualitas air adalah floater drauge, hand-

refractometer, thermometer, kertas lakmus, botol contoh, plankton net, dan

spectrophotometer. Adapun peralatan lain yang mendukung dan digunakan pada

penelitian ini adalah meteran, Self Contained Underwater Breathing Apparatus

(SCUBA), kamera digital, serta perahu.

Prosedur Penelitian Penentuan Titik Pengamatan

Metode penarikan contoh yang digunakan untuk melihat kepadatan teritip adalah metoda penarikan contoh acak stratifikasi (stratified random sampling

method) yang mengacu pada Tanjung (2010). Pengamatan dilakukan pada tiang

(pondasi) pelabuhan yang dibagi atas 2 stasiun. Stasiun 1 terletak pada tiang di bagian pelabuhan yang tertutup (terlindung) dari perairan terbuka dan Stasiun 2 terletak pada tiang di bagian pelabuhan yang menghadap perairan terbuka.

Pada setiap stasiun terdapat 6 substasiun atau tiang pengamatan. Substasiun dibagi menjadi 3 berdasarkan jenis media penempelan yang dipasang pada tiang substasiun tersebut. Dua substasiun pertama dipasang media penempelan dengan bahan kayu, 2 substasiun selanjutnya dipasang media penempelan dengan bahan besi dan 2 substasiun terakhir dipasang media penempelan dengan bahan fiber. Penentuan stasiun, substasiun serta pembagian substasiun berdasarkan bahan media penempelan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penentuan Serta Pembagian Stasiun dan Substasiun Berdasarkan Bahan Media Penempelan

Gambar 2.3 Penentuan Pemasangan Media Penempelan atau Titik Pengamatan pada Substasiun

Pada setiap substasiun selanjutnya dipasang 12 titik pengamatan yang selanjutnya dibagi ke dalam 3 kelompok berdasarkan warna media penempelan. Empat titik pengamatan pertama adalah media penempelan berwarna merah. Empat titik pengamatan selanjutnya adalah media penempelan berwarna putih. Sedangkan 4 titik pengamatan terakhir adalah media penempelan yang tidak diberi warna.

Secara vertikal pada substasiun atau tiang pengamatan, setiap warna media penempelan dibagi kembali menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berada pada bagian tiang yang dipengaruhi pasang surut air laut. Sedangkan kelompok kedua berada pada bagian tiang yang selalu terendam air laut. Penentuan pemasangan media penempelan atau titik pengamatan pada substasiun dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Pengamatan Kepadatan Teritip

Untuk menghitung kepadatan teritip yang menempel diperlukan media (plat) penempelan teritip yang dipasang atau diikat pada tiang (pondasi) pelabuhan yang telah ditentukan sebagai tiang pengamatan. Penghitungan kepadatan teritip dengan cara melihat dan menghitung kepadatan yang terfokus pada individu teritip yang berada dalam media (plat) penempelan teritip.

Pengambilan data dilakukan pada Bulan September sampai Bulan November 2013. Media penempelan teritip terlebih dahulu dipasang atau diikat

pada tiang pelabuhan. Media tersebut diangkat atau dilepaskan dari tiang (pondasi) pelabuhan setelah 60 hari.

Beberapa contoh teritip yang menempel dilepaskan dari media penempelan dan dimasukkan ke dalam botol contoh untuk diawetkan. Pada botol contoh telah diberi larutan alkohol 90%. Pengawetan dilakukan agar bentuk cangkang dan tubuh teritip dalam kondisi baik pada saat identifikasi berlangsung. Selain itu, penghitungan dilakukan pada saat permukaan laut berada pada rata-rata pasang surut terendah di hari pengambilan data.

Pengambilan dan Pengawetan Contoh Plankton

Pengambilan contoh plankton yang ada di permukaan menggunakan plankton net No.25 dengan cara penyaringan menggunakan water sampler

sebanyak 100 l air. Contoh air yang telah disaring kemudian ditampung atau dimasukkan ke dalam botol contoh bervolume 30 ml. Pada botol contoh, sebelumnya telah diberi larutan formalin 40% sampai konsentrasinya menjadi 4% dan diberi lugol sebanyak 2-3 tetes.

Parameter Kondisi Lingkungan Perairan

Pada penelitian ini, data parameter fisika, kimia dan biologi yang diamati adalah kecepatan arus, salinitas, kekeruhan, suhu, pH, nitrat, posfat dan kelimpahan plankton. Pengambilan data kondisi lingkungan perairan tersebut dilakukan pada hari Rabu tanggal 16 Oktober 2013 pukul 13.00 WIB. Pada saat pengambilan data, permukaan laut lokasi penelitian berada dalam kondisi peralihan surut menuju pasang. Data tersebut berguna untuk mendapatkan gambaran pengaruh kondisi lingkungan terhadap ketidakmerataan distribusi kepadatan teritip pada tiang pelabuhan.

Analisis Data Analisis Kepadatan Teritip

Data penghitungan kepadatan teritip yang diperoleh, mula-mula disajikan dalam bentuk tabel. Untuk menghitung rata-rata kepadatan teritip digunakan metode penghitungan yang mengacu pada English et al. (1994).

= � ... (1) Dimana:

Di : Kepadatan jenis (ind/m2) ni : Jumlah individu jenis i

Dalam identifikasi jenis teritip digunakan buku Darwin (1851a; 1851b; 1854a; 1854b) dan Newman et al. (1976). Identifikasi dilakukan di Laboratorium

Biologi Laut Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor. Identifikasi dan Perhitungan Kelimpahan Fitoplankton

Pengamatan plankton dilakukan mulai botol contoh dihomogenkan secara merata, diambil 1 tetes diletakkan di object glass dan ditutup dengan cover glass.

Contoh yang ada diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x sebanyak 25 lapang pandang, sedangkan untuk identifikasi plankton diamati pada perbesaran 400x. Setiap contoh diulang sebanyak dua kali. Plankton diidentifikasi menggunakan buku dari Davis (1955), Thompson (1959), Sachlan (1982), dan Yamaji (1976). Untuk menghitung kelimpahan fitoplankton, terlebih dahulu dihitung volume air laut yang tersaring dengan mengikuti rumus dari APHA (1992), yaitu:

� = �� d ...(2) Dimana:

V : Volume air yang tersaring ∏ : 3,141592654

r : Radius plankton net (15 cm) d : Panjang Lintasan (20 m)

Kelimpahan plankton secara kuantitatif dinyatakan dalam jumlah sel per liter yang ditentukan menggunakan rumus:

� = � � � � ... (3) Dimana:

N : Jumlah sel per liter n : Jumlah sel yang diamati Vr : Volume air tersaring (30 ml) Vo : Volume air yang diamati (0.05 ml) Vs : Volume air yang disaring (100 l)

Keterkaitan Kondisi Lingkungan Dan Sebaran Spasial Kepadatan Teritip Kondisi perairan pesisir Kota Dumai sebagai habitat teritip Amphibalanus

spp. berdasarkan variasi parameter biofisika kimiawi lingkungan pada setiap stasiun, dianalisa dengan menggunakan analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada analisis komponen utama (Principle Component Analysis, PCA).

Parameter fisik kimia lingkungan yang terdiri atas salinitas, pH, kekeruhan, suhu, kecepatan arus, kelimpahan plankton, nitrat (NO3-N) dan posfat (PO4-P) ditempatkan sebagai variable statistik aktif, sedangkan stasiun penelitian sebagai individu statistik. Menurut Legendre dan Legendre (1998) dan Bengen (2000), langkah pertama, nilai awal dikonversikan ke dalam indeks sintetik dengan pemusatan dari pereduksian data. Persamaan statistiknya dinyatakan dalam:

= � − � ... (4) Dimana:

Cij = Indeks sintetik Xij = Nilai parameter awal Xi = Nilai rataan dari parameter Sj = Standar deviasi

dari persamaan di atas dibuatkan suatu matriks korelasi dari komponen yang bersangkutan (Ludwig and Reynolds 1988 dalam Bengen 2000).

Bsxn = Axsn . Atnxs Dimana:

Bsxn = Matriks korelasi Axsn = Indeks matrik sintesis Atnxs = Matriks transformasi Axsn

Pada prinsipnya Analisis Komponen Utama menggunakan jarak Euclidean.

Semakin kecil jarak Euclidean antar stasiun pengamatan, maka semakin mirip

karakteristik antara stasiun tersebut. Jarak Euclidean yang digunakan mengacu padaLegendre dan Legendre (1998) dan Bengen (2000).

( ,) = √∑ = � − � ... (5) Dimana:

d(i,i’) = jarak antara pusat data dengan titik data

i & i’ = indeks untuk baris, dari baris ke-i sampai dengan ke-i’ j = indeks untuk kolom

Analisa sebaran kepadatan teritip secara spasial dilakukan dengan menggunakan analisis faktorial koresponden/ corespondence analysis, CA

(Bengen 2000). Analisis ini merupakan salah satu bentuk analisis statistik multivariabel yang didasarkan pada matrik data I baris (stasiun penelitian) dan j

kolom (kepadatan tetitip pada media penempelan). Matrik data yang digunakan merupakan tabel kontingensi stasiun pengamatan dengan modalitas kepadatan teritip pada media penempelan. Tabel kontingensi i dan j mempunyai peranan

yang simetris, yakni membandingkan unsur-unsur i (untuk tiap j) sama dengan

membandingkan hukum probabilitas bersyarat yang diestimasi dari nij/ni (untuk

masing-masing nij/nj), dengan ni = jumlah subjek i yang memiliki semua karakter j, dan nj = jumlah jawaban karakter j. Pengukuran kemiripan antar dua unsur I1

dan I2 dari I dilakukan melalui pengukuran jarak Chi-Square dengan persamaan: � �, � = ∑ ( � � − �) 2 � � = ... (6) Dimana:

d2 (i,i’) = Jarak Euclidean

Xj = Jumlah dari kolom j untuk keseluruhan baris Xij,Xi’j = Jumlah dari baris i untuk kolom j

P = Banyaknya baris atau kolom (mulai dari 1 sampai p)

Pengolahan data Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis) dan Analisis Faktorial Koresponden (Correspondence Analysis) digunakan perangkat lunak program Statistika 6.

Sebaran Kepadatan Teritip Secara Vertikal pada 3 Jenis Media

Analisis Ragam Respon Ganda atau Multivariate Analysis of Variance

(MANOVA) digunakan untuk mengeksplor hubungan diantara variabel independen yang bersifat kategorikal (perlakuan atau lokasi) dari dua atau lebih variabel independen metrik. Analisis MANOVA menguji hipotesis nol (Ho) yang menyatakan tidak ada perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y)

dalam kelompok yang berbeda. Hipotesis alternatifnya (Ha) menyatakan, ada perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y) dalam kelompok yang

berbeda. Persamaan Manova adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2011):

Xij = μ + di + eij ... (7) Tabel 2.1 Persamaan Manova

Sumber Variasi Jumlah Kuadrat Df

Perlakuan (between group) Galat/residual (within group) B W G - 1 Sni - g B + W Sni - 1 W = (n1 – 1) S1 + (n2 – 1) S2 + ….. + (ng – 1) Sg = ∑� X − X X − X = ... (8) Keterangan:

W = Jumlah kuadrat residual seluruh kelompok B = Jumlah kuadrat antar kelompok

S1 = Ragam X1 S2 = Ragam X2

Sg = Ragam gabungan

Xi = Rerata/mean Xi Xj = Rerata/mean Xj

X = Rerata/mean dari total Xi, Xj

Untuk melihat pengaruh variabel independen atau disebut juga sebagai perlakuan (kepadatan teritip pada media yang berbeda-beda jenis dan warnanya) terhadap perbedaan variabel dependen yang disebut juga sebagai respon (tingkat

kedalaman dan stasiun pengamatan) digunakan nilai Wilk’s Lambda, yang tingkat signifikansinya dibandingkan dengan tingkat signifikansi yang telah ditetapkan yaitu a 0,05 (5 %). Kriteria yang diberikan adalah jika nilai signifikansi Wilk’s Lambda > 0.05 maka hipotesis Ho diterima, yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh dari semua perlakuan yang diterapkan terhadap respon yang diamati. Selanjutnya, untuk melihat perlakuan-perlakuan yang berpengaruh nyata terhadap perbedaan respon digunakan analisis varian (uji F), dengan membandingkan nilai signifikansi uji F terhadap nilai signifikansi yang ditetapkan yaitu a 0,05 (5 %). Hipotesis H0 adalah variable independen (kepadatan teritip pada media yang berbeda-beda jenis dan warnanya) secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan variabel dependen (tingkat kedalaman dan stasiun pengamatan). Namun apabila H0 ditolak, dilakukan Uji Lanjut Duncan. Kriteria penolakan H0 jika nilai signifikansi Fhitung < a 0,05. Untuk menganalisa data dengan Analisis Manova digunakan perangkat lunak program SAS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Teritip Amphibalanus spp.

Teritip yang menempel pada setiap media penempelan selama pengamatan berlangsung, secara keseluruhan merupakan teritip dari genera Amphibalanus spp.

Identifikasi terhadap teritip Amphibalanus spp. dilakukan hingga tahap genera

saja. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk melakukan identifikasi lanjut hingga tahap spesies bagi teritip dari genera Amphibalanus spp. yang masih dalam tahap

juvenile. Menurut Henry dan McLaughlin (1975), kekeliruan dalam

mengidentifikasi teritip dari genus Amphibalanus yang masih dalam fase juvenile

sangat sering terjadi. Hal ini dikarenakan masih banyak kesamaan morfologi teritip jenis ini ketika dalam tahap juvenile. Beberapa spesies yang sangat potensial mengalami kekeliruan dalam identifikasinya adalah Amphibalanus

improvisius, Amphibalanus reticulatus, Amphibalanus subalbidus dan

Amphibalanus venustus.

Dominasi teritip jenis Amphibalanus spp. ini cukup beralasan. Menurut

Boesono (2008), teritip dari genus Amphibalanus memiliki senyawa arthropodine

yang berguna untuk menarik atau mengundang teritip dari jenis yang sama untuk menempel bahkan menumpuk pada substrat yang sama. Selain itu, dari keseluruhan famili Balanidae, larva Amphibalanus spp. memiliki laju

pertumbuhan yang paling cepat, mudah untuk dibudidayakan serta dapat diduga penempelannya pada kondisi statis khususnya jenis A. amphitrite, sehingga Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip yang paling sering dijumpai dan

digunakan pada penelitian ekologi organisme intertidal dan studi antifouling (Anil et al. 2012). Pada media penempelan ditemukan juga biota-biota lain yang

menempel seperti alga cokelat (Phaeophyta), spons (Porifera) dan Ooyster

(Moluska). Namun keberadaan biota-biota selain teritip tersebut tidak menjadi pokok pembahasan utama pada penelitian ini.

Gambar 3.1 Morfologi Cangkang Teritip Amphibalanus spp. a = Keseluruhan

Cangkang, b = Scuta (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal), c = Terga (Kiri = Eksternal, Kanan = Internal)

Amphibalanus spp. merupakan jenis teritip baran (acorn barnacle) yang

dicirikan dengan cangkang yang dibangun dan langsung menempel pada substrat. Secara garis besar, habitat Amphibalanus spp. adalah perairan intertidal di daerah

beriklim tropis (Darwin 1854; Jones et al. 2000). Namun pada beberapa kasus,

teritip ini ditemukan di perairan laut lepas. Teritip tersebut menempel pada benda- benda terapung seperti sampah-sampah plastik dan patahan batang (Hansen 1990). Adapun klasifikasi dari Amphibalanus spp. menurut Darwin (1854); Newman dan

Abbot (1980) dan Pitombo (2004) adalah sebagai berikut: Superordo : Thoracica Ordo : Sessilia Subordo : Balanomorpha Superfamili : Balainodea Famili : Balanidae Genera : Amphibalanus spp.

Cangkang teritip Amphibalanus spp. umumnya berbentuk kerucut atau

cenderung silinder dan memiliki 6 bagian cangkang (plates) yang mengelilingi

dan melindungi tubuhnya (Gambar 3.1). Pada bagian puncak terdapat lubang yang melingkar dan sedikit bergerigi. Umumnya perbandingan tinggi cangkang

Amphibalanus spp. dengan lebar keseluruhan cangkang adalah 1:2. Pada

punggung cangkang terdapat garis lebar permanen yang membujur dan menyempit pada puncak cangkang yang disebut radii (Pitombo 2004). Beberapa

jenis Amphibalanus spp. seperti A. reticulatus dan A. amphitrite terdapat

perbedaan warna yang nyata antara cangkang yang memiliki warna lebih cerah dibandingkan radii. Berbeda halnya dengan A. improvisius, warna cangkang

serupa dengan warna radii (Zullo 1979). Bagian operculum, pada bagian

permukaan scutum terdapat adductor yang mencuat keluar dan sangat mencolok.

Panjang diameter dasar keseluruhan cangkang (basal margin) pada genera

Amphibalanus sangat beragam. Untuk diameter maksimal basal margin jenis A. reticulatus dan A. Improvisius adalah 18 mm, sedangkan jenis A. amphitrite

Kepadatan Teritip Amphibalanus spp.

Kepadatan Amphibalanus spp. pada setiap lokasi penelitian sangat beragam,

baik pada media penempelan atau pun pada pemberian warna media penempelan yang berbeda. Selain itu, keragaman kepadatan Amphibalanus spp. juga terjadi

pada pemasangan media penempelan secara vertikal (perbedaan tingkat pasang surut) dan horizontal (perbedaan stasiun penelitian). Secara keseluruhan, rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi terdapat pada media penempelan dengan

jenis kayu yang tidak diberi pewarna atau warna asli. Secara horizontal, rata-rata kepadatan tertinggi terdapat pada stasiun 1 pelabuhan Pelindo I dan stasiun 1 PPI Purnama. Sedangkan secara vertikal, rata-rata kepadatan tertinggi terjadi pada tingkat kedalaman 3 (tinggi rata-rata surut harian) dan tingkat kedalaman 2 (tinggi rata-rata pasang harian). Hasil penghitungan rata-rata kepadatan Amphibalanus

spp. pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.

Sedangkan untuk mengetahui grafik hasil penghitungan kepadatan Amphibalanus

spp. pada media kayu, media fiber dan media besi dapat dilihat pada Gambar 3.2;

3.3 dan 3.4.

Rata-rata kepadatan Amphibalanus spp. tertinggi pada media kayu terdapat

pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 506,25 ind/m2. Kepadatan tertinggi tersebut terdapat pada media kayu yang tidak diberi pewarna (Gambar 3.2a). Sedangkan rata-rata kepadatan terendah terdapat pada stasiun 2 pelabuhan Pelindo I yaitu 78,125 ind/m2. Kepadatan terendah tersebut terdapat pada media kayu dengan warna putih (Gambar 3.2a).

Gambar 3.2 Kepadatan Teritip Amphibalanus spp. pada Media Kayu, (a.) di

Pelabuhan Pelindo 1, (b.) di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Purnama, (c.) di Pelabuhan Angkatan Laut Bangsal Aceh.

Kepadatan teritip Amphibalanus spp. pada beberapa media kayu

dipengaruhi oleh adanya kompetisi perebutan ruang dengan biota lain. Biota yang

Dokumen terkait