• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 Latar Belakang

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mulai meningkat sehingga dibutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Upaya Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam pemerataan kesehatan seperti pelayanan jaminan kesehatan telah semakin optimal. Akan tetapi masih saja ada kalangan yang belum terjangkau terutama masyarakat di pelosok daerah dan masyarakat yang tingkat ekonominya masih rendah. Keterisoliran dan pendapatan yang masih rendah merupakan penyebab dari tidak terpenuhinya pelayanan kesehatan yang memadai. Oleh karena itu, peranan pengetahuan pengobatan dengan memanfaatkan tumbuhan obat sangat penting untuk diketahui.

Indonesia sangat kaya dengan berbagai jenis tumbuhan yaitu terdapat kurang lebih 30 ribu jenis dari 40 ribu jenis tumbuhan yang ada di dunia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Lebih dari 8000 jenis merupakan tumbuhan yang berkhasiat obat dan baru 800-1200 jenis saja yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu (Hidayat, 2006). Hal ini mendorong berkembangnya upaya penelitian dan eksplorasi jenis-jenis tumbuhan obat potensial untuk kepentingan saat ini maupun masa mendatang.

Tumbuhan obat yang beragam jenis dapat terancam keberadaannya akibat adanya beberapa permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang mengancam

2

kelestarian tumbuhan obat Indonesia diantaranya adalah : (1) sebagian besar bahan baku obat berasal dari tumbuhan yang diambil secara langsung dari hutan alam, (2) adanya kerusakan habitat akibat aktivitas manusia atau alami, (3) konversi hutan

(ekploitasi kayu/pohon yang sekaligus merupakan jenis tumbuhan obat), (4) kurangnya perhatian terhadap pengelolaan dan budidayanya, dan (5) hilangnya

budidaya dan pengetahuan tradisional dari penduduk lokal/adat (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001). Dokumentasi konservasi dan budidaya tumbuhan obat menjadi hal yang mendesak yang diperlukan untuk menjamin kelestarian dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Permintaan terhadap simplisia (bahan baku tumbuhan obat) untuk obat-obatan tradisional yang sangat tinggi juga dapat mengancam kelestarian tumbuhan obat. Data tahun 1999 menunjukkan bahwa produksi tumbuhan obat tradisional Indonesia telah mencapai 8.288 ton (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001). Hal ini diperburuk dengan adanya fragmentasi hutan dan perusakan habitat alami sebagai desakan kebutuhan lahan untuk berbagai peruntukan, seperti pertanian, industri, dan perumahan, serta akibat dari berbagai bencana alam yang melanda Indonesia.

Daerah tepian hutan yang terfragmentasi dapat mempengaruhi organisme yang ada didalamnya. Adanya aliran energi, nutrisi, dan jenis serta perubahan-perubahan pada lingkungan biotik dan abiotiknya menyebabkan komposisi jenis, struktur dan proses-proses ekologi dalam suatu ekosistem yang dekat daerah tepian

3

tersebut selalu berubah. Fragmentasi penting mendapat perhatian, karena berpengaruh pada kekayaan jenis, dinamika populasi, dan keanekaragaman hayati ekosistem secara keseluruhan (Gunawan, dkk., 2009).

Indonesia memiliki budaya pengobatan tradisional termasuk penggunaan tumbuhan obat sejak dahulu dan dilestarikan secara turun-temurun. Interaksi masyarakat setempat dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan dikenal dengan istilah Etnobotani. Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun 2001 menjelaskan bahwa 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, dan 31,7% diantaranya menggunakan tumbuhan obat tradisional (Santhyami dan Sulistyawati, 2007). Terdapat sekitar 400 etnis di Indonesia yang memiliki hubungan erat dengan hutan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Kecenderungan masyarakat dunia untuk back to nature menyebabkan kebutuhan akan obat bahan alam dirasa akan terus meningkat. WHO menjelaskan bahwa hampir 60% populasi dunia menggunakan tumbuhan obat dan di beberapa negara secara luas telah memasukkannya ke dalam sistem kesehatan masyarakat (WHO, 2014). Oleh karena itu, pengadaan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku obat tradisional dari alam merupakan tantangan di masa depan. Untuk mengantisipasi hal ini dan mencegah kelangkaan bahan baku, maka harus dikembangkan dan

4

dikelola potensi tumbuhan obat masing-masing wilayah dengan azas kelestarian jenis tumbuhan obat tersebut.

Usaha penyebarluasan pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan obat merupakan hal yang perlu dilakukan. Salah satu pekerjaan yang harus dilakukan sebelum penyebarluasan pemanfaatan tumbuhan obat adalah dengan cara pengenalan kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan guna mendekatkan masyarakat kepada

pemanfaatan tumbuhan obat, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk

mengikutsertakan masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati.

Kawasan hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan hutan terfragmentasi Kebun Raya Cibodas (KRC) merupakan salah satu kawasan yang terbasah di pulau Jawa. Diasumsikan bahwa kawasan ini sangat kaya dengan beranekaragam jenis tumbuhan karena kelembaban lingkungan mikro hutan tropis dan tanah yang subur mampu untuk menjaga agar vegetasi tetap hijau dan bertumbuh (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014). Tumbuhan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dibedakan menjadi tiga zona berdasarkan perbedaan tumbuhan yang menyusunnya, yaitu zona Sub Montana (1.000-1.500 m dpl), zona Montana (1.500-2.400 m dpl) dan zona Sub Alpin (2.400-3.019 m dpl). Zona Sub Montana merupakan ekosistem hutan dengan keragaman jenis yang tinggi (Van Stennis, 1972). Oleh karena itu, beberapa titik sampling dari zona Sub Montana dan Montana dapat dipergunakan untuk melihat keragaman tumbuhan obat dalam penelitian ini.

5

Tumbuhan obat yang beragam jenisnya kurang memiliki arti signifikan untuk mendukung pemanfaatan yang lestari, jika data potensi dan penyebaran setiap jenis masih sangat terbatas. Oleh karenanya, upaya konservasi tumbuhan obat secara efektif perlu dilakukan untuk tetap menjaga keanekaragaman dan kelestariannya. Informasi mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC belum banyak tersedia termasuk tentang data tumbuhan obat apa saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal kawasan tersebut. Penelitian sebelumnya terhadap masyarakat di sekitar kawasan TNGGP menemukan sebanyak 23 jenis penyakit dengan 72 resep yang menggunakan 80 jenis tumbuhan obat (Rosita, dkk., 2007), sementara itu dari penelitian tentang tumbuhan bernilai ekonomi diketahui bahwa kulit kayu Cinnamomum sp. dipergunakan untuk ramuan perawatan paska persalinan dan kulit kayu Beilschmiedia gemmiflora untuk obat gatal-gatal (Rahayu, 2010).

Pada gilirannya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah demi terwujudnya pengetahuan tentang tumbuhan obat yang sudah terintegrasi serta dapat menjadi tambahan data ilmiah untuk mendukung kelestarian kawasan konservasi global mengingat TNGGP dan KRC menjadi bagian penting dari Cagar Biosfer Cibodas yang telah ditetapkan UNESCO sejak tahun 1977.

6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :

1) Bagaimanakah keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC ?

2) Tumbuhan obat apa saja yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC ?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Terdapat keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang tinggi di hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

2) Masyarakat lokal banyak memanfaatkan berbagai jenis dari tumbuhan obat yang ada di sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Mengetahui tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan obat di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC.

2) Mengetahui berbagai jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan TNGGP dan hutan terfragmentasi KRC.

7

1.5 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan baru mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang ada di hutan TNGGP dan di hutan terfragmentasi KRC, serta pemanfaatannya oleh masyarakat lokal. Informasi penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pihak pengelola kawasan konservasi dan masyarakat sebagai acuan dalam menyusun kebijakan terkait upaya perlindungan dan pelestarian potensi tumbuhan obat dan pemanfaatannya sebagai bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang perlu dijaga.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Obat

Tumbuhan obat merupakan obat jadi atau ramuan bahan alam yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan galenik atau campuran bahan tersebut yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan RI, 2007). Jurusan Konservasi Sumber Daya Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB (1994) mendefinisikan tumbuhan obat atau fitofarmaka yaitu sebagai obat tradisional yang bahan bakunya adalah simplisia yang telah mengalami standarisasi dan telah dilakukan penelitian mengenai sediaan galeniknya (Adi, 2003). Bagian-bagian dari tumbuhan obat memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern atau tradisional. Tumbuhan obat dapat diartikan sebagai jenis tumbuhan yang sebagian, seluruh bagian dan atau eksudat tumbuhan digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan.

Tumbuhan berkhasiat obat digolongkan menjadi tiga kelompok (Putri, 2008), yaitu :

1) Tumbuhan obat tradisional, merupakan jenis tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

9

2) Tumbuhan obat modern, merupakan jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan secara medis.

3) Tumbuhan obat potensial, merupakan jenis tumbuhan yang diduga

mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara farmakologis sebagai bahan obat.

2.2 Keanekaragaman Tumbuhan Obat

Luas hutan tropika Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 143 juta ha. Kawasan yang sangat luas ini merupakan tempat tumbuh hampir 80% dari tumbuhan obat yang ada di dunia, dimana terdapat sekitar 28.000 jenis tumbuhan dan kurang lebih 1.000 jenis di antaranya telah digunakan sebagai tumbuhan obat (Rini, 2009).

2.2.1 Berdasarkan familinya

Berdasarkan kelompok familinya jenis-jenis tumbuhan obat yang ada di Indonesia dikelompokkan kedalam 203 famili. Jumlah jenis tumbuhan obat yang paling banyak termasuk dalam famili Fabaceae, yakni sebanyak 110 jenis. Secara umum terdapat 22 famili yang memiliki jumlah jenis tumbuhan obat lebih dari 20, sedangkan 181 famili lainnya memiliki jumlah jenis tumbuhan obat yang kurang dari 20 (Tabel 2.1).

10

2.2.2 Berdasarkan formasi hutannya

Berdasarkan formasi hutannya, penyebaran jenis tumbuhan obat tertinggi berada di hutan hujan tropika dataran rendah sebanyak sekitar 772 jenis (45,82%) dari jumlah total jenis tumbuhan obat. Penyebaran terendah jenis-jenis tumbuhan obat terdapat di hutan rawa sebanyak sekitar 8 jenis (0,47%) (Tabel 2.2).

Tabel 2.1. Jumlah jenis tumbuhan obat di Indonesia

No Nama famili Jumlah jenis

1 Fabaceae 110 2 Euphorbiaceae 94 3 Lauraceae 77 4 Rubiacea 72 5 Poaceae 55 6 Zingiberacea 49 7 Moraceae 46 8 Myrtaceae 45 9 Annonaceae 43 10 Asteraceae 40 11 Apocynaceae 39 12 Cucurbitaceae 34 13 Piperaceae 30 14 Menispermaceae 30 15 Melastomataceae 26 16 Arecaceae 25 17 Verbenaceae 23 18 Rutaceae 23 19 Acanthaceae 22 20 Sterculiaceae 21 21 Myristicaceae 21 22 Rhizophoraceae 20

23 Famili lainnya (181 famili) < 20

24 Tidak ada data 66

11

2.2.3 Berdasarkan habitusnya

Jenis-jenis tumbuhan obat jika dilihat dari segi habitusnya dapat dikelompokan kedalam 7 macam, yaitu habitus bambu, herba, liana, pemanjat, perdu, pohon, dan semak. Dari semua habitus tersebut, habitus pohon memiliki jumlah jenis dan persentase yang tertinggi dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 717 jenis (40,58%) (Tabel 2.3).

Tabel 2.2. Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan formasi hutannya di Indonesia No Formasi hutan Tumbuhan obat Jumlah jenis Persentase (%) 1 Hutan hujan tropika dataran rendah (< 1000 m dpl) 772 45,82

2 Hutan hujan tropika pegunungan 356 21,13

3 Hutan musim 291 17,27

4 Hutan savanna 146 8,66

5 Hutan pantai 65 3,86

6 Hutan mangrove 47 2,79

7 Hutan rawa 8 0,47

8 Tidak ada data 511 -

Jumlah 1845 100.00

Sumber : P2KKH Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Tabel 2.3. Jumlah dan persentase jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya di Indonesia

No Habitus Tumbuhan obat

Jumlah jenis Persentase (%)

1 Pohon 717 40,58 2 Herba 486 27,50 3 Semak 173 9,79 4 Pemanjat 138 7,81 5 Liana 126 7,13 6 Perdu 120 6,79 7 Bambu 7 0,40

8 Tidak ada data 78 -

Jumlah 1845 100.00

Sumber : P2KKH Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Terdapat 55 jenis tumbuhan obat yang mulai langka di Indonesia dengan status kelangkaan yang bervariasi (Rini, 2009), yaitu :

12

1. Terkikis (indeterminate), seperti Jinten (Cuminum cyminum), Temu Giring (Curcuma heyneana), Jati Belanda (Guazuma ulmifolia), Bidara Laut (Strychnos ligustriana), Jaha (Terminalia bellirica), dan Bangle (Zingiber cassumunar).

2. Jarang (rare), seperti Pulai (Alstonia scholaris), Pulasari (Alyxia reindwardtii), Kayu Rapat (Parameria laevigata), dan Kedawung (Parkia rogburhii).

3. Rawan (vulnerable) dan Genting (endangered), seperti Pasak Bumi (Eurycoma longifolia).

2.3 Etnobotani

Etnobotani merupakan kajian interaksi antara manusia dengan tumbuhan (Purnawan, 2006). Studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam proses pengenalan tumbuhan yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat. Istilah etnobotani digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam mencatat atau merekam kearifan lokal yang dimiliki selama ini, untuk masa mendatang (Purnawan, 2006).

Indonesia sebagai negara beriklim tropis, mempunyai tumbuhan obat yang sangat beragam, sehingga tradisi pengenalan, penggunaan, dan pemanfaatan tumbuhan obat sudah ada dari nenek moyang yang dipercaya dapat menyembuhkan

13

berbagai jenis penyakit, baik penyakit dalam maupun penyakit luar. Umumnya masyarakat memanfaatkan bahan-bahan asal tumbuhan obat masih dalam keadaan segar, maupun yang sudah dikeringkan sehingga dapat disimpan lama yang disebut dengan simplisia. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Kelebihan pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan secara tradisional tersebut disamping tidak menimbulkan efek samping, ramuan tumbuh-tumbuhan tertentu mudah didapat di sekitar pekarangan rumah, dan mudah proses pembuatannya. Proses pengolahan obat tradisional pada umumnya sangat sederhana, diantaranya ada yang diseduh dengan air, dibuat bubuk kemudian dilarutkan dalam air, ada pula yang diambil sarinya. Cara pengobatan pada umumnya dilakukan per oral (diminum).

Tumbuhan obat di Indonesia terdiri dari beragam jenis yang kadang kala sulit untuk dibedakan satu dengan yang lain. Komponen aktif yang terdapat pada tumbuhan obat yang menentukan tercapai atau tidaknya efek terapi yang diinginkan. Obat tradisional terdiri dari berbagai jenis tumbuhan dan bagian-bagiannya. Bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun dan berupa bahan yang telah dikeringkan disebut simplisia (bagian tumbuhan yang dipergunakan). Pengetahuan tentang kegunaan masing-masing simplisia sangat penting, sebab dengan diketahui kegunaan masing-masing simplisia diharapkan tidak

14

terjadi tumpang tindih pemanfaatan tumbuhan obat serta dapat mencarikan alternatif pengganti yang tepat apabila simplisia yang dibutuhkan ternyata tidak dapat diperoleh.

2.4 Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) 2.4.1 Sejarah

Kawasan TNGGP diumumkan pada tahun 1980, ketika pemerintah mengadakan program pendirian taman nasional pertama di Indonesia bersama dengan empat taman nasional yang lain. TNGGP merupakan taman nasional kedua terkecil di Indonesia yang mempunyai potensi keragaman hayati tinggi di dunia sehingga menjadi tempat yang sangat penting untuk konservasi flora dan fauna didunia. Pada tahun 1977 UNESCO menetapkan TNGGP sebagai daerah inti dari salah satu Cagar Biosfer Dunia dengan nama Cagar Biosfer Cibodas.

Sejarah penelitian dan konservasi wilayah ini dimulai dengan didirikannya sebuah kebun kecil dekat istana Gubernur Jendral Belanda di Cipanas pada tahun 1830. Perkebunan ini kemudian diperluas dan dikenal sebagai salah satu tempat kunjungan utama para ahli botani dunia yaitu Kebun Raya Cibodas saat ini. Wilayah Gunung Gede Pangrango berperan sebagai pusat penelitian dunia selama dua abad dan telah mempunyai reputasi di dunia. Sir Thomas Raffles mengatur pengembangan wilayah tenggara pegunungan ini pada tahun 1811.

15

2.4.2 Tinjauan umum TNGGP

Secara geografis, kawasan TNGGP terletak antara 106050’- 1060‘56’ BT dan 6032’-6034’LS. Secara administrasi taman nasional ini terletak pada tiga wilayah Kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur. TNGGP memiliki potensi keragaman hayati tinggi di dunia sehingga menjadi tempat yang sangat penting untuk konservasi tumbuhan dan hewan, kegiatan penelitian, pendidikan, dan rekreasi (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014).

Jenis ekosistem di kawasan hutan TNGGP adalah ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dengan tiga sub ekosistem, yaitu hutan Montana, Sub Montana dan Sub Alpin. Selain itu juga terdapat sub ekosistem lainnya seperti padang rumput pegunungan, danau, rawa pegunungan, air terjun, air panas, kawah, hutan tanaman (damar) dan hutan sekunder. Kekayaan tumbuhan di kawasan hutan TNGGP dibedakan menjadi tiga zona berdasarkan perbedaan tumbuhan yang menyusunnya, yaitu zona Sub Montana (1.000-1.500 m dpl), zona Montana (1.500-2.400 m dpl) dan zona Sub Alpin (2.400-3.019 m dpl) (Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, 2014).

Zona Sub Montana adalah ekosistem hutan dengan keragaman jenis yang tinggi, ditandai dengan adanya tajuk pohon besar dan tinggi, misalnya pohon Rasamala dan Buni. Sedangkan pada ekosistem Montana ditandai dengan sedikitnya variasi flora. Batang-batang pohon umumnya ditumbuhi dengan lumut. Zona sub Alpin merupakan hutan yang jenisnya rendah dengan pohon-pohon kerdil, misalnya pohon Cantigi Gunung (Vaccinum varingiaeolium) dengan batang yang ditumbuhi

16

lumut janggut putih. Kekhasan hutan ini adalah terdapatnya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangrangensis dan bunga abadi Eidelweis (Anaphalis javanica) (Van Stennis, 1972).

Kawasan hutan TNGGP yang memiliki luas area sekitar 21.975 ha merupakan lahan terbasah di pulau jawa. Kelembaban lingkungan mikro hutan tropis dan tanah yang tinggi merupakan habitat yang disukai oleh berbagai jenis flora, karena keadaan lingkungan seperti itu dapat menjaga vegetasi tetap hijau dan bertumbuh. Keragaman hayati yang tinggi di kawasan ini menjadikannya sebagai salah satu kawasan konservasi di Indonesia.

Dalam rangka untuk menjamin pemanfaatan dan pelestarian keanekaragaman tumbuh-tumbuhannya, di kaki Gunung Gede Pangrango dibuatlah sebuah kawasan konservasi ex-situ. Kawasan ini memiliki peran sebagai penyangga kawasan taman nasional dan dalam pengelolaan tumbuhan asli dari kawasan hutan TNGGP maupun jenis-jenis tumbuhan introduksi dari luar yang dikelola dengan baik didalam suatu Kebun Raya. Kebun Raya merupakan suatu tempat untuk mengumpulkan dan memelihara tumbuh-tumbuhan, yang memiliki fungsi penting sebagai tempat pendidikan, estetika, ilmu pengetahuan dan rekreasi (Adi, 2003).

2.5 Kawasan Kebun Raya Cibodas (KRC) 2.5.1 Sejarah

Kawasan KRC didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni zaman pemerintahan Raja Willem III. Pada tanggal 11 April 1852, Johannes Ellias

17

Taijasmann yang merupakan seorang kurator Kebun Raya Bogor pada waktu itu mendirikan Kebun Raya Cibodas dengan nama Bertguin te Tjibodas (Kebun Pegunungan Cibodas). Pendirian Kebun Raya Cibodas dimaksudkan sebagai tempat aklimatisasi jenis-jenis tumbuhan asal luar negeri yang memiliki nilai penting dan ekonomi yang tinggi, salah satunya adalah Pohon Kina (Chinchona calisaya).

Kebun Raya Cibodas awalnya merupakan pengembangan dari Kebun Raya Bogor, dengan nama Cabang Balai Kebun Raya Cibodas. Mulai tahun 2003 nama Kebun Raya Cibodas menjadi lebih mandiri sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas, dalam kedeputian Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Kebun Raya Cibodas, 2014). 2.5.2 Tinjauan umum KRC

Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara ex-situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata dan jasa lingkungan (Perpres RI Nomor 93 Tahun 2011).

Secara geografis KRC berada pada lereng Gunung Gede Pangrango dengan ketinggian 1300-1425 mdpl. Luas areal efektifnya sekitar 80 ha dan sisanya sekitar 6 ha masih areal hutan. Keadaan topografinya bervariasi landai, berbukit-bukit, bergelombang, dan bagian yang curam. Kawasannya memiliki hawa sejuk dengan panorama yang indah dengan persentase kawasan yang miring sekitar 60%.

18

KRC memiliki curah hujan sebesar 3.300 mm/tahun. Suhu udara berkisar antara 180 hingga 240 C dengan curah hujan per tahun 3380 mm. Curah hujan tertinggi dicapai pada bulan Januari (2288,5 mm) dan terendah pada bulan Agustus yaitu 744 mm. Kelembaban rata-rata di KRC berkisar antara 80-90%.

2.5.2 Hutan terfragmentasi KRC

Kurang lebih 10% luasan KRC atau sekitar 8.43 hektar merupakan kawasan berhutan, termasuk didalamnya hutan yang terfragmentasi dan hutan yang terhubung dengan kawasan hutan TNGGP yang mengelilingi kawasan kebun raya. Sisa hutan tersebut terbagi menjadi empat blok hutan, yaitu hutan Wornojiwo (3,934 ha), hutan Kompos (2,555 ha), hutan Jalan Akar (1,086 ha) dan hutan Lumut (0,855 ha).

Petak-petak hutan di KRC berpotensi untuk dikembangkan sebagai laboratorium lapangan dan keperluan pendidikan lingkungan. Akan tetapi, ukurannya yang kecil dan tingginya derajat fragmentasi, hutan sisa KRC sangat rentan terhadap gangguan secara biotik maupun abiotik (Mutaqien, dkk., 2011). Konsekuensi dari fragmentasi dan efek tepi termasuk meningkatnya kerentanan terhadap invasi oleh tumbuh-tumbuhan dan hewan asing (Ecroyd dan Brockerhoff, 2005).

Hutan alam di Pulau Jawa pada umumnya merupakan kantong-kantong habitat untuk perlindungan keanekaragaman hayati. Akan tetapi, Seiring meningkatnya angka pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk menyediakan pemukiman, pertanian, pembangunan sarana jalan dan infrastruktur lainnya menyebabkan pengikisan kantong-kantong habitat tidak dapat dihindari. Hingga pada akhirnya fungsi utama hutan sebagai pelindung keanekaragaman hayati

19

akan berkurang karena habitatnya terpecah atau mengalami fragmentasi (Gunawan, 2009).

Fragmentasi didefinisikan sebagai pemecahan habitat organisme menjadi fragment-fragment (petak) habitat lebih kecil karena pembangunan jalan, pertanian, urbanisasi atau pembangunan lain. Kerusakan habitat alami diberbagai belahan dunia saat sekarang ini berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hutan hujan tropika basah yang merupakan habitat dari setengah jenis tumbuhan dunia , berada dalam kondisi yang sangat berbahaya, pengurangannya diperkirakan 16,8 juta ha/tahun. Salah satu penyebabnya adalah exploitasi hutan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan tumbuhan obat yang berada pada habitat alaminya dalam keadaan berbahaya pada erosi genetik dan terancam kepunahan (Pusat Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati BAPEDAL dan Fakultas Kehutanan IPB, 2001).

Fragmentasi umumnya terjadi melalui hilangnya habitat, sebaliknya hilangnya habitat juga dapat dipandang sebagai akibat adanya fragmentasi. Fragmentasi bekerja dalam empat cara, yaitu: (1) habitat hilang tanpa fragmentasi, (2) pengaruh kombinasi hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil, (3) pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil tanpa kehilangan habitat, dan (4) hilangnya habitat dan pemecahan habitat menjadi petak lebih kecil serta penurunan kualitas habitat. Mekanisme dan proses fragmentasi menghasilkan tiga tipe pengaruh, yaitu pengaruh terhadap ukuran petak (patch), pengaruh tepi (edge effect), dan pengaruh isolasi (Fahrig, 2003).

20

Dampak adanya fragmentasi yang paling utama adalah dapat menyebabkan

Dokumen terkait