• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencemaran perairan merupakan salah satu isu lingkungan yang menjadi permasalahan utama pada beberapa negara berkembang. Pencemaran dapat timbul sebagai akibat kegiatan manusia (antropogenik) ataupun dapat terjadi secara alamiah. Adanya kegiatan manusia yang tidak terkendali telah memicu terjadinya pencemaran lingkungan yang tidak terkendali pula. Aktivitas antropogenik secara dramatik mengubah regim dari input bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke dalam ekosistem sungai melalui perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer & Battin, 2007). Adanya pencemaran organik dan kontaminasi logam berat ke ekosistem sungai telah diketahui dapat memberikan dampak negatif bagi kestabilan komunitas makroinvertebrata di perairan. Pengaruh bahan polutan tersebut mungkin mengurangi keanekaragaman spesies, kepadatan, dan hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Timm et al., 2001; Chakrabarty & Das, 2006).

Monitoring biologi merupakan merupakan sebuah alat monitoring yang sangat efiektif untuk menduga kualitas ekologi suatu lingkungan perairan. Menggunakan monitoring secara kimia juga merupakan alat monitoring yang efektif akan tetapi membutuhkan biaya yang mahal dan biasanya hanya memberikan informasi yang terbatas mengenai keadaan suatu lingkungan perairan secara detail. Parameter biologi juga dapat memberikan informasi mengenai keadaan sebelumnya dari kondisi suatu lingkungan perairan. Metode perhitungan biologi ini juga menawarkan keuntungan jika diaplikasikan pada lingkungan lotic neotropikal. Metode ini menawarkan penggabungan metode survey fisika kimia karena merupakan efek akhir yang ditimbulkan oleh kedua faktor tersebut. Keuntungan lain menggunakan bentik makroinvertebrata adalah proses identifikasinya saat ini dinilai lebih baik jika dibandingkan dengan organisme bentik lainnya seperti alga ataupun mesofauna.

Ephemeroptera merupakan organisme yang menempati habitat air mengalir khususnya pada dasar batuan. Pada habitat seperti ini kelimpahan Ephemeroptera sangat besar yang merupakan bagian yang sangat penting dari

produksi hewan, dimana perannya sebagai pengumpul (Colectors), pengerik (scrapers), Grazer dan sebagai pemakan detritus dan alga serta pemakan makrofita dan beberapa berperan sebagai pengurai (Epele et al., 2011). Organisme ini juga merupakan bagian dari bahan makanan seperti ikan, hewan amphibi dan burung. Hal ini menunjukan bahwa organisme ini juga merupakan salah satu faktor penting penyusun jaring-jaring makanan di perairan. Ephemeroptera dapat digunakan dalam studi pendugaan ekologi dalam hal sebagai indikator terjadinya tekanan pada lingkungan perairan. Selanjutnya organisme ini juga dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan iklim. Menggunakan serangga makroinvertebrata khususnya larva Ephemeroptera telah banyak digunakan dalam penentuan status pencemaran suatu perairan khususnya perairan mengalir yang selama ini di Indonesia masih belum banyak dikenal dalam penentuan status kualitas suatu perairan.

Sungai Ciliwung merupakan sungai lintas provinsi yang secara administratif berada dalam wilayah provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sungai ini bersumber dari telaga warna di kaki gunung Pangrango daerah puncak kabupaten Bogor, yang mengalir melalui kota Bogor, kota Depok, dan bermuara di Teluk Jakarta. Luas daerah aliran sungai (DAS) 425 Km2. Sungai ini merupakan sungai yang sangat vital untuk memenuhi kebutuhan air baku masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun sungai beserta anak-anak sungai ini mengalir melalui daerah pedesaan, perkotaan, industri dan persawahan, sehingga kualitas air sungai ini terutama diwilayah DKI Jakarta sudah tercemar sangat berat. Sungai Ciliwung termasuk dalam salah satu sungai besar di daerah Jawa Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum untuk daerah Jakarta (Kido et al. 2009). Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat tahun 2006 menunjukan kualitas sungai Ciliwung di bagian hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang relatif tinggi (DO dari 0,2 mg/l - 8 mg/l, TOM dari 0,02 mg/l - 0,1 mg/l, TSS dari 0,01 - 0,6 mg/l). Penelitian Kido et al. (2009) menunjukkan sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23 - 0,30 ppb), bisphenol A (0,46 - 0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2 - 191,4 µg/l) yang cukup tinggi. Sumber pencemar yang berpotensi

menurunkan kualitas air sungai Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al., 2009). Adanya pencemaran yang terjadi di sungai Ciliwung diduga akan mengganggu keseimbangan ekologi dari larva Ephemeroptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi sungai tersebut secara keseluruhan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengungkap pengaruh aktivitas antropogenik pada sungai Ciliwung terhadap struktur komunitas dari larva Ephemeroptera sebagai dasar penentuan status kualitas lingkungan sungai Ciliwung menjadi fokus dari penelitian ini.

Rumusan Masaalah

Pengelolaan sungai secara terpadu dan berkelanjutan seharusnya menjadi prioritas utama, hal ini dikarenakan pentingnya ekosistem tersebut bagi kesejahteraan manusia. sungai Ciliwung adalah sungai yang memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Tingginya pemanfaatan terhadap sungai Ciliwung mendorong rusaknya ekosistem ini sehingga diperlukan upaya-upaya dalam hal pemantauan terhadap status kualitas perairannya. Selama ini proses pemantauannya hanya didasarkan pada faktor fisik kimia saja, namun belum memperhitungkan faktor biologinya. Oleh sebab itu diperlukan suatu upaya untuk menggabungkan ketiga faktor tersebut dalam upaya pemantauan dan perkiraan status kualitas lingkungan suatu perairan. Selain itu umumnya penentuan status kualitas lingkungan dengan menggunakan makroinvertebrata secara umum memerlukan waktu yang cukup lama, ditambah lagi kesulitan dalam identifikasi, sehingga diperlukan metode alternatif dengan menggunakan satu Taxa makroinvertebrata dalam monitoringnya (contohnya nimfa Ephemeroptera) sehingga pelaksanaannya dapat lebih efisien, baik dalam masalah waktu ataupun pembiayaannya.

Larva Ephemeroptera merupakan salah satu komponen penting dari komunitas makroinvertebrata yang memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem perairan. Larva Ephemeroptera juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi perairan guna mencerminkan adanya gangguan ekologi akibat aktivitas antropogenik di sungai Ciliwung. Respon negatif yang diharapkan dari hewan tersebut akibat masukan bahan organik dan bahan-bahan pencemar

lain seperti logam berat di sungai Ciliwung antara lain rendahnya jumlah taksa dan kepadatan dari hewan tersebut yang tergolong sensitif, dan adanya dominansi oleh taksa tertentu seperti famili Baetidae.

Untuk mengkaji permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang peran masukan bahan organik dari kegiatan antropogenik beserta beberapa variabel lingkungan penting lainnya dalam mempengaruhi struktur komunitas dari nimfa Ephemeroptera di perairan. Dari karakteristik dan sensitifitas masing-masing metrik biologi (kekayaan taksa dan komposisi, toleransi terhadap polutan, atribut populasi, nimfa Ephemeroptera pada berbagai tingkatan pencemaran organik maka kondisi perairan sungai Ciliwung.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan struktur komunitas Ephemeroptera sebagai akibat pengaruh aktivitas antropogenik pada setiap stasiun pengamatan dan untuk menduga status kualitas lingkungan perairan sungai Ciliwung berdasarkan respon dari nimfa Ephemeroptera serta membuat biokriteria lokal dalam bentuk indeks biotik Ephemeroptera untuk sungai Ciliwung.

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai penggunaan makroinvertebrata khususnya nimfa Ephemeroptera dalam penentuan kualitas suatu lingkungan perairan.

KERANGKA TEORI Ekosistem Sungai

Sungai sebagai salah satu jenis badan air memiliki karakteristik yang khas diantaranya adalah alirannya yang unidireksional, yaitu hanya satu arah dari hulu ke hilir dan tidak dapat berbalik. Ciri lain adalah laju alirannya yang berfluktuasi, biasanya tergantung musim dan curah hujan. Akibat adanya aliran yang berfluktuasi biasanya bagian dasar dan garis pantainya relatif tidak stabil, pada musim penghujan garis pantai meningkat karena debit air semakin besar. Aliran sungai melewati berbagai macam penggunaan lahan di sepanjang daerah tangkapan airnya (catchment area) sehingga masukan nutrien ke dalam sungai sangat berbeda sesuai tata guna lahan di tepinya. Sungai juga turut menyumbang nutrien bagi daratan di tepi sungai terutama daratan di tepi sungai yang tadinya tergenang pada saat fluktuasi air meningkat di musim hujan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 35 tahun 1991 in Manan (2010) tentang sungai, pengertian sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Ekosistem sungai merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai macam tipe habitat. Klasifikasi atau pembagian wilayah sungai untuk menjelaskan tipe-tipe habitat yang ada dapat dilakukan dari beberapa faktor. Menurut Molles (2005) sungai dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu berdasarkan panjang atau secara horizontal mencakup pembagian berdasarkan topografi dan berdasarkan variasi aliran dapat dibedakan menjadi dua yaitu saluran utama (active channel) dan daerah terrestrial (wetted channel) atau daerah riparian. Saluran utama merupakan daerah yang selalu teraliri oleh air, sedangkan daerah terestrial merupakan daerah yang terairi pada periode tertentu.

Gambar 1. Struktur Sungai

Secara vertikal wilayah sungai dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian permukaan, kolom air dan bagian dasar (bentic zone) pembagian sungai juga dapat dilakukan berdasarkan sistem jaringan aliran sungai (drainage network) atau yang dikenal dengan ordo sungai.

Gambar 2. Pembagian Sungai Berdasarkan Ordo Sungai

Sungai menurut kejadiannya (order) dapat diklasifikasikan menjadi; order satu merupakan sungai yang tidak memiliki anak sungai; order dua merupakan sungai yang terbentuk dari pertemuan antara dua tipe order satu; orde tiga merupakan sungai yang terbentuk dari pertemuan dua tipe sungai order dua (Suwignyo, 2003). Tipologi sungai dan perairan mengalir lainnya memiliki ciri

khas yakni arah aliran yang berdasarkan prinsip gravitasi adalah menyatu arah (unidirectional). Massa air mengalir ke satu arah yang sudah tentu. Atas dasar ciri

ini maka apa yang terjadi didaerah hulu dampaknya akan terbawa ke daerah hilir, tetapi tidak sebaliknya.

Illies (1953) in Hawkes (1975), mengelompokan pembagian sungai menjadi dua zona utama yaitu zona rithron dan zona potamon, yang kemudian dijadikan dasar pembagian sungai di seluruh dunia. Zona rithron dicirikan oleh aliran air yang deras karena pengaruh kemiringan yang tinggi, cepat dan bergolak. Ada selang antara aliran dan genangan, adanya air terjun dan riam jeram. Tempat yang dangkal mempunyai batuan besar, kecil atau kerikil. Tempat yang dalam (pool) mempunyai dasar yang halus dari pasir atau pasir berlumpur dan kandungan oksigen terlarutnya selalu tinggi. Pembagian zona rithron lebih jauh dibagi menjadi tiga bagian yaitu epirithron adalah bagian yang didominasi oleh aliran air yang lebih deras, air terjun dan jeram; hyporithron adalah bagian aliran sungai yang mempunyai kelok-kelokan dan genangan air dasarnya berupa lumpur atau detritus; dan merithron bagian dari cirri-ciri epirithron dan hyporithron. Zona potamon adalah daerah yang dicirikan dengan aliran air yang pelan, berkelok-kelok dan dasar perairannya didominasi oleh lumpur. Pada bagian yang dalam kandungan oksigen terlarut berfluktuasi dan terkadang sangat rendah, penetrasi cahaya terbatas dan merupakan daerah deposit.

Komposisi komunitas dari ekosistem sungai akan mengalami perubahan mulai dari sumber air (aliran air pertama) sampai ke muara/mulut sungai dalam hubungannya dengan perubahan fisik sepanjang gradient sungai. Konsep ini dikenal dengan River Continnum Concept (RCC) (Vannote, 2002). RCC merupakan model yang digunakan secara luas untuk menginterprestasikan pola membujur dari jaring-jaring makanan dalam ekosistem lotik. Konsep ini memperlihatkan perubahan membujur sumber masukan autochtonous dan allochthonous seperti halnya distribusi dari kelompok fungsional makanan makrozoobentos, sebagai contoh RCC memprediksi bahwa pada daerah berhutan proporsi total biomassa makrozoobentos bisa dihubungkan dengan penurunan sekelompok shredders ke arah muara oleh penurunan dalam ketersediaan partikel bahan organik kasar (Greathouse & Pringle, 2006).

Pencemaran Antropogenik

Bahan organik dalam ekosistem perairan dapat dibedakan kedalam beberapa jenis. Metcalf & Eddy (1974) membedakan bahan organik berdasarkan sumbernya menjadi tiga macam, yaitu (1) bahan organik yang berasal dari limbah domestik, terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak, dan surfaktan; (2) bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, fenol dan surfaktan lainnya; (3) bahan organik yang berasal dari limbah pertanian, selain nutrient juga terdapat bahan toksik seperti perstisida dan insektisida.

Bahan organik secara umum mengandung 40-60 % protein, 25-50 % karbohidrat dan 10 % minyak/lemak (Metcalf & Eddy, 1974; APHA, 1989). Menurut Sugiharto (1987), bahan-bahan organik yang terdapat dalam air limbah umumnya terdiri dari senyawa-senyawa antara lain: bahan organik yang mudah terurai seperti protein, karbohidrat, lemak, dan minyak; bahan organik sukar terurai seperti fenol, pestisida, insektisida, dan detergen/surfaktan. Kandungan organik dalam perairan akan mengalami peningkatan, antara lain sebagai akibat limbah rumah tangga, pertanian, industri hujan dan aliran permukaan. Peningkatan kandungan bahan organik sering diikuti oleh meningkatnya unsur hara, bentuk-bentuk koloni fitoplankton melimpah dan karena kegiatan biologis lebih intensif maka hasil dekomposisi berupa detritus dan bakteri juga tersedia (Morgan 1980).

Masukan alami bahan organik pada perairan mengalir sering diperkaya oleh aktivitas manusia. Pengayaan organik pada ekosistem perairan disebabkan oleh urbanisasi dan aktivitas pertanian merupakan bentuk pencemaran sering terjadi dan telah banyak didokumentasikan. Pengkayaan bahan organik pada ekosistem perairan sungai meliputi dua aspek yakni trophism dan saprobitas. Trophism adalah tingkat dan intensitas dari produksi bahan organik sedangkan saprobitas adalah komunitas dan organisme yang medekomposisi bahan organik. Pada kenyataannya, dua aspek tersebut sukar dipisahkan (Brabec et, al., 2004). Dijelaskan pula bahwa efek dari degradasi bahan organik di dalam sungai sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus, substrat dasar, dan morfologi sungai. Proses peningkatan bahan organik dan unsur hara pada batas-batas tertentu akan

meningkatkan produktivitas organisme aquatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme aquatik untuk memanfaatkannya, maka akan timbul permasalahan yang cukup serius. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain degradasi habitat dan hilangnya biodiversitas (Dahl et al., 2004). Penggunaan Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Perairan

Pemantauan kualitas air yang hanya didasarkan pada parameter fisika dan kimia perairan sudah mulai diseimbangkan dengan parameter biologi. Parameter fisika dan kimia diketahui memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan parameter biologi. Selain itu indikator biologi lebih dapat diandalkan karena dapat memperlihatkan efek kumulatif pencemaran dari kondisi yang telah lalu sampai saat dilakukan pengamatan. Beberapa kelompok organisme biasa digunakan sebagai indikator pencemaran dalam pengukuran kualitas lingkungan perairan, di antaranya adalah algae, bakteri, protozoa, makrozoobentos, dan ikan (Wilhm, 1975).

Ekosistem yang stabil dicirikan oleh keanekaragaman komunitas yang tinggi, tidak ada dominansi jenis serta jumlah individu per jenis terbagi dengan merata. Selanjutnya dikatakan pula bahwa komunitas pada lingkungan tercemar dicirikan oleh keanekaragaman yang rendah dan adanya perubahan struktur komunitas dari yang baik menjadi tidak stabil. Khusus untuk bentos, keberadaannya sering digunakan sebagai indikator dalam menentukan adanya tekanan ekologis dalam suatu perairan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah organisme penyusun bentos memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap berbagai jenis bahan pencemar dan memberikan reaksi yang cepat terhadap perubahan yang terjadi; seperti memiliki mobilitas yang rendah sehingga sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya atau mudah ditangkap untuk diidentifikasi.

Pendugaan pencemaran ekosistem perairan yang mengalir dapat digunakan organisme yang bersifat menetap seperti bentos atau perifiton. Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada permukaan sedimen dasar perairan. Bentos yang teramati dapat berupa fitobentos dan zoobentos (Odum, 1971). Makrozoobentos atau zoobentos yang berukuran lebih besar dari 1 mm merupakan salah satu kelompok organisme yang mudah

dideteksi untuk menduga tingkat pencemaran di suatu kawasan ekosistem perairan.

Kepekaan Jenis-Jenis Makrozoobentos

Wilhm (1975) menjelaskan bahwa perubahan-perubahan kualitas air sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos, baik komposisi maupun ukuran populasinya. Di samping itu kemampuan mobilitasnya rendah dan beberapa jenis organisme makrozoobentos yang mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap kondisi kualitas air yang buruk menjadikan makrozoobentos sebagai salah satu indikator biologi yang baik.

Tingkat keanekaragaman bentos pada perairan tertentu merupakan cerminan variasi dari toleransinya terhadap kisaran parameter lingkungan. Adanya kelompok bentos yang hidup menetap (sessile) dan daya adaptasi yang bervariasi terhadap kondisi lingkungan membuat bentos seringkali digunakan sebagai petunjuk bagi penilaian kualitas air. Keberadaan makrozoobentos berkaitan erat dengan kondisi fisika, kimia, dan biologi dari substrat tempat hidupnya yang saling berinteraksi dengan proses atau pun komponen yang ada dalam air terdekatnya. Dengan demikian apabila suatu sungai mendapat masukan limbah, yang dengan dinamikanya terdistribusi ke dalam seluruh badan air, maka komponen-komponen di bagian dasar sungai pun akan menerima akibatnya.

Kepekaan jenis makrozoobentos terhadap limbah organik dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok intoleran atau sensitif, fakultatif atau moderat, dan toleran. Keberadaan kelompok biota tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan suatu aliran sungai. Dengan kata lain kehadiran kelompok toleran dan ketidak hadiran kelompok intoleran dapat digunakan sebagai petunjuk adanya pencemaran dalam perairan (Wilhm 1975). Namun terdapat pula jenis-jenis makrozoobetos yang dapat dijumpai atau tersebar di berbagai kondisi perairan sehingga tidak dapat digunakan sebagai petunjuk adanya pencemaran dalam perairan dan digolongkan sebagai kelompok non indikator dan yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Malacostraea dan beberapa Coleoptera (Mason, 1993).

Organisme toleran dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran perubahan kondisi lingkungan yang lebar dan organisme dan sering dijumpai pada

perairan berkualitas buruk. Pada umumnya kelompok organisme ini tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya tinggi di perairan (sungai) yang telah tercemar bahan organik, termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah cacing tibificida.

Organisme fakultatif atau intermediat adalah organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran perubahan kondisi lingkungan yang tidak terlalu lebar. Kelompok ini dapat bertahan hidup pada perairan yang banyak mengandung bahan organik. Meskipun demikian kelompok ini tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan dan cukup peka terhadap penurunan kualitas perairan. Kelompok yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain, sebagian jenis dari Odonata, Gastropoda, Diptera, dan Crustacea.

Organisme intoleran adalah organisme yang hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran perubahan kondisi lingkungan yang sempit. Organisme ini jarang ditemui di perairan yang kaya akan bahan organik serta sangat peka terhadap penurunan kualitas perairan. Yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain sebagian jenis dari Ephemeroptera, Trichoptera, Coleoptera, and Plecoptera (Wilhm, 1975).

Wilhm (1975) menguraikan bahwa perairan yang tidak tercemar atau bersih memperlihatkan keseimbangan komunitas makrozoobentos. Di dalamnya hidup jenis dari kelompok intoleran diselingi jenis dari kelompok fakultatif dan tidak ada jenis dari kelompok tertentu yang mendominasi. Perairan yang tercemar sedang memperlihatkan adanya pengurangan atau hilangnya jenis dari kelompok intoleran dan bertambahnya jenis dari kelompok fakultatif serta dari kelompok toleran yang mulai mendominasi. Pada perairan tercemar terlihat adanya pembatasan jumlah jenis dalam komunitas makrozoobentos. Kelompok fakultatif dan intoleran mulai hilang digantikan oleh kelompok toleran. Hilangnya semua jenis makrozoobentos kecuali oligochaeta dan organisme yang bisa mengambil oksigen dari udara menandakan perairan tercemar berat.

Faktor fisika dan kimia perairan tidak terpisahkan dari keberadaan makrozoobentos. Keterkaitan yang ada menghasilkan pola distribusi yang beragam sesuai dengan daya adaptasi makrozoobentos. Sebagai contoh, dengan mengabaikan berbagai tingkat gangguan manusia, tipe sedimen dan aliran air

merupakan faktor utama yang signifikan dalam membatasi pola mikrodistribusi dari makrozoobentos (Cummins, 1975). Menurut Pond (2009) faktor fisika, kimia, dan biologi yang dapat mempengaruhi keadaan dan penyebaran makrozoobentos antara lain adalah kecepatan arus, suhu, kekeruhan, substrat dasar, kedalaman, TSS, pH, DO, kandungan padatan tersuspensi (TSS), amonia (NH3-N), makanan, kompetisi hubungan pemangsaan, dan penyakit.

Ekobiologi Ephemeroptera

Ephemeroptera atau lalat sehari merupakan organisme yang merupakan garis keturunan dari kelompok serangga (Insecta) yang diperkirakan muncul pertama kali pada akhir masa carboniferous atau pada saat periode permian 290 juta tahun lalu. Organisme ini diperkirakan mencapai keragaman tertingginya selama masa mesozoic dan merupakan kelompok yang paling kuno yang masih ada dari kelompok serangga. Dulu Ephemeroptera dan Ordonata ditempatkan pada kelompok Palaeoptera dengan pertimbangan merupakan bagian dari kelompok serangga bersayap walaupun belum diketahui secara pasti mengenai hubungan antara keduanya (para peneliti masih berbeda pendapat). Saat ini Ephemeroptera merupakan sub kelompok dari Ordonata + Neoptera. Hal ini berdasarkan organisme ini memiliki bentuk morfologi yang unik begitu juga apabila dilihat secara philogenetik (James et al., 2008).

Klasifikasi Ephemeroptera

Pengetahuan tentang siklus hidup spesies air sangat penting mendasar bagi hampir semua aspek konservasi aliran. Dari sudut pandang yang diterapkan, perubahan dalam deskripsi sejarah kehidupan (misalnya kelangsungan hidup, kematian, tingkat pertumbuhan, ukuran, dan umur) spesies Ephemeroptera semakin banyak digunakan dalam studi penilaian ekologi sebagai indikator tekanan lingkungan dan juga untuk mengevaluasi potensi dampak dari perubahan iklim. Ephemeroptera berasal dari bahasa Yunani ephemeros yang berarti berlangsung sehari dan pteron yang berarti sayap. Ephemeroptera dewasa menunjukkan pola sebaran yang tidak menentu, biasanya tersebar pada daerah bebatuan dan semak-semak, umumnya organisme ini terbang secara berpasangan, bertelur di permukaan badan air lalu kemudian mati biasanya dalam sehari, akan

tetapi organisme ini pada jenis-jenis tertentu juga dapat bertahan hidup sampai beberapa hari. Ephemeroptera merupakan serangga unik yang memiliki dua tahap

Dokumen terkait