• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERCY BIENTRI YUNINDANOVA. Tingkat emisi CH 4 dan N 2 O serta produktivitas tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada tiga

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Metana CH4 dan dinitrogen oksida (N2O) adalah gas penting di atmosfer yang mempengaruhi kekuatan radiasi dan sifat kimia atmosfer (WMO 1995). Konsentrasi CH4 dan N2O telah meningkat dengan sangat tinggi sejak jaman pra-indusri (IPCC 2001). Pertukaran CH4 dan N2O pada ekosistem tanah dan atmosfir memiliki peran yang penting dalam kondisi global gas tersebut.

Konsentrasi metana atmosfir telah mengalami peningkatan 2.5 kali sejak jaman pra-industri (IPCC 2001). Meskipun selama dua dekade terakhir peningkatan konsentrasi atmosfir tahunan mengalami penurunan yaitu 1 % hingga 0.5 % (Dlugokncky et al. 2003). Konsentrasi metana mengalami peningkatan dikarenankan pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan budidaya pertanian yang intensif, seperti budidaya padi dan pemeliharaan hewan (Keppler et al. 2006).

Tanah pertanian dan kondisi alam adalah sumber terpenting bagi emisi N2O yaitu sebesar 6.0 dan 4.2 Tg N2O-N/tahun (IPCC 2001). Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O) juga merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang berlebih. Seperti yang dilaporkan oleh Wayhuni dan Wihardjaka (2007) bahwa sekitar 94% emisi gas dinitro-oksida (N2O) berasal dari bidang pertanian.

Jarak pagar merupakan salah satu tanaman pengahasil bahan bakar nabati (BBN) yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif. Produktivitas optimum dan stabil akan tercapai sejak tanaman berumur 5 tahun, yakni mencapai 0,4-12 ton biji per hektar per tahun. Kandungan minyak dari biji jarak pagar rata-rata 1.500 liter per ha per tahun. Rendemen minyak (trigliserida) dari inti biji sekitar 55 % atau 33 % dari berat total biji. Minyak jarak pagar termasuk tipe minyak tak dapat dikonsumsi ( non edible oil ) (Prihandana et al.

2007a).

Jarak pagar sebagai tanaman yang berpotensi dalam penyerapan emisi karbon telah dianalisis dan diprediksikan oleh June et al. (2008) dalam Syahbuddin (2008) yang menunjukkan potensi serap karbon pada jarak pagar pada umur 7 tahun dapat mencapai 158 – 191 ton CO2/ha/th. Kandungan stok

 

karbon tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman monokultur tebu, kopi, dan kakau pada luasan yang sama. Faktor emisi CO2 dari biodiesel juga lebih rendah dibandingkan solar yaitu 70.800 kg/TJ, sedangkan solar mencapai 74.100 kg/TJ.

Pengembangan budidaya berwawasan lingkungan sangat diperlukan dalam rangka mendukung potensi jarak dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Budidaya berwawasan lingkungan termasuk didalamnya pengaturan dalam pemupukan. Pengembangan budidaya jarak pagar yang tepat dan efisien diharapkan dapat meningkatkan potensi serap karbon dan mereduksi emisi GRK. Pengembangan budidaya tanaman untuk mereduksi pupuk dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan tanaman sela maupun penggunaan bahan organik.

Acuan rekomendasi pemupukan tanaman jarak seperti yang dikemukakan oleh Hambali et a.l (2006) yang menyatakan bahwa pada tahun pertama pupuk yang diberikan berupa adalah urea, SP-36, dan KCl 40 g/pohon, diberikan dua kali masing-masing setengah takaran. Begitu juga dengan Mahmud et al. (2006) yang mengemukakan jika tanah tidak subur, tanaman dipupuk dengan pupuk kandang sebanyak 2 kg/lubang. Kebutuhan pupuk pada tahun kedua dan seterusnya adalah 2,5 sampai 5 t pupuk kandang/ha (1-2 kg/tanaman) ditambah 50 kg urea, 150 kg SP-36 dan 30 kg KCl/ha.

Hasil penelitian mengenai penggunaan bahan organik telah dilakukan oleh Hasibuan et al. (2007) diperoleh bahwa penggunaan bahan organik berpengaruh nyata bagi pertumbuhan tanaman jarak pagar terutama pada fase generatif. Penggunaan bahan organik dapat meningkatkan persentase berbunga tanaman jarak pagar dibanding tanaman kontrol yang tidak menggunakan bahan organik pada umur 8 minggu setelah tanam. Peranan bahan organik yang berasal dari serasah gulma hasil pembersihan lahan dapat menggantikan pupuk kandang sapi yang digunakan sehingga usahatani akan lebih efisien.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperoleh hubungan antara penggunaan pupuk dengan taraf emisi pada beberapa lahan budidaya tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Abdalla (2010) pada tanaman barley menyatakan bahwa pengurangan pemupukan nitrogen hingga 50 % dibandingkan dosis

 

normal, mampu menurunkan tingkat emisi N2O hingga 57 % dengan tanpa penurunan signifikan terhadap hasil dan kualitas panen.

Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan pengaruh atau akibat, baik berupa panas yang ditimbulkan maupun berupa akibat mekanik (Abdullah 1979 dalam Moechalil 1983). Klasifikasi energi pertanian menurut Stout (1990) digolongkan menjadi energi komersial dan energi nonkomersial. Energi komersial meliputi bahan bakar, alat dan mesin pertanian, pupuk, pestisida, pompa air, irigasi dan lain-lain yang dibutuhkan untuk peningkatan produksi pertanian. Energi nonkomersial meliputi energi surya, air, angin dan sebagainya yang dapat diperoleh secara bebas.

Efisiensi energi merupakan perbandingan antara produksi energi ekuivalen dari hasil dengan penggunaan energi. Menurut Wiroatmojo (1979) dalam Utomo (1991) menjelaskan bahwa dengan mempelajari efisiensi energi pertanian dapat diketahui besarnya sumbangan input energi untuk setiap peubah yang diujikan terhadap output hasil dalam bentuk energi.

Acuan rekomendasi pemupukan pada tanaman jarak pagar telah diketahui. Namun, sejauh mana perannya dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca belum diketahui. Pengaturan pemupukan yang baik meliputi jenis, dosis dan cara aplikasi diharapkan dapat mereduksi emisi gas rumah kaca. Penggunaan pupuk yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas jarak pagar serta dapat mengurangi emisi GRK dan meningkatkan potensi daya serap karbon tanaman jarak pagar. Penggunaan pupuk yang tepat juga diharapkan mampu meningkatkan efisiensi energi pada budidaya tanaman jarak pagar.

 

Perumusan Masalah

Bahan bakar fosil merupakan sumber polutan di udara dan berdampak terhadap pemanasan global. Di Indonesia penggunaan bahan bakar fosil sangat voluminous dan intensif seperti pada bidang penerangan, transportasi dan industri. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan bahan bakar nabati yang bersifat ramah lingkungan. Jarak pagar merupakan salah satu tanaman penghasil bioenergi yang dapat mengurangi dampak pemanasan global karena tidak mengandung polutan yang berbahaya bagi lingkungan dan makhluk hidup. Hal ini dapat diketahui dari rendahnya nilai faktor emisi pada minyak jarak pagar dibandingkan bahan bakar solar yang bersumber dari fosil. Namun, dalam budidaya pertanian tidak terlepas dari pemupukan. Padahal aplikasi pupuk terutama nitrogen menimbulkan emisi dinitro oksida. Salah satu upaya dalam pengurangan pupuk anorganik dapat menggunakan bungkil sebagai sumber pupuk alami. Oleh karena itu, kajian utama dalam penelitian ini adalah besarnya potensi emisi dan potensi daya serap karbon pada tanaman jarak pagar dari aplikasi pemupukan N dari sumber yang berbeda.

Tujuan

Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh sumber pupuk nitrogen terbaik dalam pertumbuhan dan

produktivitas tanaman jarak pagar.

2. Mendapatkan informasi mengenai kandungan emisi metan dan dinitro-oksida dan daya serap karbon yang dihasilkan oleh tanaman jarak pagar.

3. Memperoleh budidaya jarak dengan efisiensi energi terbaik

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan yaitu :

1. Penggunaan pupuk setengah dosis dapat mengurangi emisi GRK hingga 10 % 2. Penggunaan pupuk slow release dapat mengurangi emisi GRK hingga 10 % 3. Penggunaan cara aplikasi pupuk secara benam mampu mengurangi emisi

GRK hingga 20 %

 

   

Gambar 1 Alur penelitian

   

TINJAUAN PUSTAKA

Jarak Pagar Sebagai Bahan Bakar Nabati

Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) termasuk famili Euphorbiaceae,

merupakan tanaman tahunan yang toleran kekeringan. Tanaman ini berasal dari Amerika Latin dan menyebar di daerah tropika baik pada iklim kering dan setengah-kering. Bijinya beracun dan mengandung sekitar 35% minyak. Jarak pagar merupakan tanaman multifungsi, karena disamping merupakan tanaman obat (bijinya untuk obat sembelit, getahnya untuk obat luka, daunnya sebagai anti malaria); dapat menghasilkan bahan bakar alternatif (Henning 1998). Nilai ekonomis tanaman jarak pagar sebagai sumber energi alternatif sangat tergantung oleh besarnya biaya tenaga kerja serta harga dari minyak solar dan minyak tanah yang biasanya masih disubsidi.

Tanaman jarak pagar relatif mudah tumbuh pada berbagai lingkungan. Jarak pagar tumbuh baik pada kisaran curah hujan 900-1200 mm/tahun, tinggi tempat 0-400 m dpl, dengan bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) 4-5 bulan. Tanaman jarak ini membutuhkan syarat temperatur 20º-30ºC sepanjang

hidupnya (Allorerung et al. 2006; Prihandana et al. 2007b).

Kelebihan dari jarak pagar adalah kemudahan dalam budidayanya, tidak membutuhkan perawatan yang intensif. Kelebihan lain dari jarak pagar di antaranya adalah tidak manja air, bisa hidup di lahan marginal dan kritis yang miskin hara, umurnya bisa lebih dari 50 tahun, tidak memerlukan banyak pupuk, dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu udara. Tanaman jarak masih

dapat tumbuh pada kisaran curah hujan 480-2.380 mm per tahun (Prihandana et

al. 2007b).

Produktivitas optimum dan stabil akan tercapai sejak tanaman berumur 5 tahun, yakni mencapai 0,4-12 ton biji per hektar per tahun. Kandungan minyak dari biji jarak pagar rata-rata 1.500 liter per ha per tahun. Rendemen minyak (trigliserida) dari inti biji sekitar 55 % atau 33 % dari berat total biji. Minyak jarak

pagar termasuk tipe minyak tak dapat dikonsumsi ( non edible oil ) (Prihandana et

 

Daun Jarak Pagar

Daun jarak pagar bertipe tunggal dan terletak pada buku batang yang dihubungkan oleh tangkai daun, sehingga susunan atau tata letak daun (filotaksis)

jarak pagar disebut tersebar (foliar sparsa) (Tjitrosoepomo 1987). Susunan daun

tersebut mengikuti rumus daun (divergensi) 5/13 searah putaran jarum jam,

kecuali ekotipe Lombok Timur sebagian populasi tanaman memiliki filotaksis 4/13. Orientasi daun terhadap batang tempat daun duduk bervariasi dari tegak hingga horizontal. Orientasi tegak bilamana daun masih muda dan kemudian menjadi horizontal setelah dewasa (Santoso 2009).

Bentuk daun jarak pagar pada dasarnya bulat (Tjitrosoepomo 1987). Namun pada tepi daun terdapat lekuk yang tidak terlalu dalam sehingga seolah membentuk jari. Oleh karena itu, maka bentuk daun jarak pagar seluruh ekotipe yang diteliti menjadi dan agak membulat. Jumlah lekukan tersebut berkisar 5-7. Tepi daun agak bergelombang. Gelombang pada tepi daun akan nampak nyata jika daun menghadapi terik sinar matahari (Santoso 2009).

Bunga Jarak Pagar

Umur tanaman mulai berbunga berbeda diantara ekotipe, yaitu tercepat menghasilkan bunga pada ekotipe Lombok Barat (105 hst) dan paling lambat pada

ekotipe Lombok Timur (163 hst). Mulai bunga terbentuk di ujung cabang (flos

terminalis) dengan warna bunga diantara ekotipe tidak berbeda yaitu kuning kehijauan (Santoso 2009).

Tanaman jarak pagar berbunga banyak atau disebut planta multiflora dan

berkumpul membentuk suatu rangkaian bunga atau disebut bunga majemuk atau inflorescentia (Tjitrosoepomo 1987). Bunga jarak pagar merupakan bunga berkelamin tunggal (unisexualis) berumah satu (monoecious). Jumlah bunga total (bunga betina dan bunga jantan) ada perbedaan diantara ekotipe (Santoso 2009).

Kapsul dan biji jarak pagar

Buah jarak pagar sering disebut kapsul atau istilah biologinya buah

   

bagian mudah pecah sehingga biji yang ada di dalamnya mudah terlepas dari bilik atau ruang (Tjitrosoepomo 1987). Karakter fisik kapsul seperti diameter, panjang, dan bentuk kapsul serta berat kapsul saat masak tidak ada perbedaan antar ekotipe. Diameter kapsul rata-rata berkisar 2.8-2.9 cm, panjang berkisar 2.9-3.1 cm sehingga kapsul sebagian besar ekotipe berbentuk bulat, kecuali ekotipe Lombok Timur berbentuk lonjong. Bobot kapsul saat masak kuning rata-rata berkisar 10.2-11.4 g (Santoso 2009).

Biji jarak pagar berwarna hitam, namun seiring semakin kering kan tampak garis-garis putih yang sebenarnya merupakan retakan-retakan kecil dan dangkal pada lapisan kulit luar biji. Tidak ada perbedaan diantara ekotipe pada warna biji, jumlah biji per kapsul, panjang dan tebal biji, bobot kering biji per kapsul dan bobot kering individu. Jumlah biji per kapsul tiga dengan panjang berkisar 1.7-1.8 cm dan tebal berkisar 0.6-0.8 cm, bobot kering biji berkisar 0.7-0.8 g, dan bobot kering biji per kapsul berkisar 2.3-2.4 g (Santoso 2009).

Bobot biji kering per ha pada tahun pertama berkisar 351.67 – 674.72 kg. Sedangkan pada tahun kedua mencapai 875.53 – 1 215,22 kg/ha (Santoso 2009). Kadar minyak jarak pagar berbeda antar ekotipe, namun pengaruh waktu panen tidak berbeda nyata. Rata-rata kandungan minyak biji jarak pagar pada tahun pertama adalah 40.3 – 42.8 %. Sedangkan pada tahun kedua memiliki nilai 40.6 – 42.9 %. Hasil minyak pada tahun pertama mencapai 144.98 – 288.78 kg/ha. Sedangkan pada tahun kedua mencapai 358.31- 520.64 kg/ha (Santoso 2009).

Pemupukan pada Jarak Pagar

Pemupukan merupakan suatu kegiatan dalam rangka penambahan hara bagi tanaman dimana tanah tidak mampu lagi memenuhinya. Acuan rekomendasi pemupukan tanaman jarak pada tahun pertama adalah urea, SP-36, dan KCl 40

g/pohon, diberikan dua kali masing-masing setengah takaran (Hambali et al.

2006). Jika tanah tidak subur, tanaman dipupuk dengan pupuk kandang sebanyak 2 kg/lubang. Kebutuhan pupuk pada tahun kedua dan seterusnya adalah 2,5

 

sampai 5 t pupuk kandang/ha (1-2 kg/tanaman) ditambah 50 kg urea, 150 kg

SP-36 dan 30 kg KCl/ha ( Mahmud et al. 2006).

Pemberian pupuk organik untuk budidaya jarak pagar memiliki peran yang

besar (Hasibuan et al. 2007). Untuk mendapatkan tanaman jarak pagar yang

maksimal, tanah hendaknya memiliki drainase dan aerase yang baik dengan kesuburan cukup. Bila tanah kurang subur, produksi maksimal bisa dicapai dengan penambahan pupuk organik ditambah dengan pupuk non organik sesuai dengan kesuburan tanah. Selain itu, penggunaan bahan organik dapat mengurangi pengaruh kekeringan terutama pada musim kemarau (Rivaie 2006). Pemberian bahan organik bermanfaat untuk mensubsitusi pupuk kimia dalam penyediaan hara tanaman, pupuk organik bermanfaat untuk perbaikan sifat fisik tanah seperti penurunan BD tanah, peningkatan ruang pori total, drainase cepat dan

permeabilitas tanah (Putuwigena et al. 1979).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Hasibuan et al. (2007) diperoleh

bahwa penggunaan bahan organik berpengaruh nyata bagi pertumbuhan tanaman jarak pagar terutama pada fase generatif. Penggunaan bahan organik dapat meningkatkan persentase berbunga tanaman jarak pagar dibanding tanaman kontrol yang tidak menggunakan bahan organik pada umur 8 minggu setelah tanam. Peranan bahan organik yang berasal dari serasah gulma hasil pembersihan lahan dapat menggantikan pupuk kandang sapi yang digunakan sehingga usahatani akan lebih efisien.

Methana (CH4)

Kadar methana (CH4) global saat ini telah mencapai konsentrasi 1780 ppbv, lebih tinggi dua kali dibandingkan kadarnya pada masa sebelum industri sebesar 800 ppbv. Laju peningkatan kandungan CH4 relatif lambat dari sekitar 15 ppbv per tahun pada tahun 1980-an hingga mendekati nol pada 1999 (Dlugokenky 2001). Semenjak 1990, rataan tahunan peningkatan CH4 di atmosfer bervariasi antara kurang dari nol hingga 15 ppbv (Rudolph 1994).

Tanah adalah salah satu faktor kunci yang berperan penting dalam produksi dan emisi CH4. Tanah memiliki kapasitas baik sebagai produsen maupun penyerap CH4. Jenis mikroorganisme tanah khusus, methanogen bertanggung

   

jawab dalam produksi methana. Sedangkan jenis yang lain yaitu methanotrop berperan dalam mengkonsumsi CH4. Saat ini diperkirakan emisi CH4 dari tanah di

seluruh dunia berkisar antara150 hingga 250 Tg CH4 tahun-1 (IPCC 2001).

Sebanyak 1/3 dan ¼ ( kira-kira 65 Tg CH4 tahun-1) diemisikan dari lahan basah

pada lintang tinggi (Walter et al. 2001). Diperkirakan konsumsi CH4 oleh mikroba

tanah berkisar antara 10 hingga 30 Tg CH4 tahun-1, lebih rendah dari emisi yang

diperkirakan ( IPCC 2001).

Emisi CH4 dari lahan pertanian tropis menyumbangkan porsi yang signifikan terhadap emisi global tahunan CH4. Lahan sawah, pembakaran

biomassa, dan fermentasi dipandang sebagai kontributor utama ( Mosier et al.

2004). Sektor pertanian merupakan penyumbang emisi gas metan (CH4) terbesar yang dihasilkan dari lahan padi, peternakan, pembakaran residu pertanian dan padang sabana (Irmansyah 2004). Kontribusi seekor sapi dewasa dalam mengemisikan metan yaitu sebesar 80 – 110 kg/th (Thalib 2008).

Dinitrogen Oksida (N2O)

Saat ini, konsentrasi N2O diatmosfer berkisar pada 317 ppbv, yang meningkat dari 200 ppbv pada tahun 2001. Kebanyakan dari peningkatan ini terjadi selama 50 tahun terakhir dengan pola peningkatan yang linier sebesar 0.7 ppbv per tahun (CMDL 2001). Peningkatan antara 0.2-0.3 % pada konsentasi atmosfer akan berkontribusi sebesar 5 % terhadap pemanasan akibat gas rumah kaca ( Cicerone and Oremland 1988).

Sumber utama N2O adalah mikroba denitrifikasi tanah yang memproduksi N2 dan N2O dalam jumlah yang sangat besar (Tiedje 1988; Robertson 1999). Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi faksi mol N2O, diantaranya kelembaban tanah, konsentrasi nitrat dan nitrit, pH, aerasi, temperatur,

ketersediaan karbon, aktivitas relatif NO2- dan N2O reduktase (Colourn and

Dowdell 1984; Sahrawat and Keeney 1986; Aulakh et al. 1992).

Lahan pertanian dianggap sebagai sumber utama gas N2O atmosfer (IPCC 1996). Dinitro-oksida atau nitrous oksida (N2O) merupakan emisi gas yang dihasilkan dari lahan pertanian khususnya saat aplikasi pupuk nitrogen yang

 

berlebih. Seperti yang dilaporkan oleh Wahyuni dan Wihardjaka (2007) bahwa sekitar 94% emisi gas dinitro-oksida (N2O) berasal dari bidang pertanian.

Kemampuan Tanaman dalam Menyerap CO2

Tanaman menyerap CO2 melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis tersebut sangat mempengaruhi produktivitas dan biomassa tanaman yang dihasilkan. Secara umum fotosintesis dipengaruhi oleh karakteristik daun (umur

daun dan morfologi daun), besarnya kebutuhan hasil asimilasi oleh sink, dan

faktor lingkungan seperti kesuburan tanah, kandungan CO2 atmosfer, kelembaban, suhu dan cahaya.

Sebagai sumber utama karbohidrat, potensi daun sebagai “source” yang diukur melalui laju fotosintesis pada tanaman jarak pagar, maksimum dicapai

pada umur daun 6 minggu yaitu sebesar 8.99 μmol CO2/m2/s (Raden 2009),

sedangkan laju fotosintesis pada kedelai sebesar 20.67 – 25.36 μmol CO2/m2/s

(Muhuria 2007). Laju fotosintesis pada tanaman jarak pagar meningkat sampai daun mengalami perkembangan penuh dan kemudian menurun secara perlahan seiring dengan meningkatnya umur daun (Raden 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan Lakitan (1993) bahwa stadia perkembangan daun (umur daun) mempengaruhi fotosintesis.

Biomassa

Biomassa adalah jumlah total dari materi organik tanaman yang hidup di atas tanah yang diekspresikan sebagai berat kering tanaman per unit areal (Brown

1993). Biomassa dapat diukur dari biomassa di atas permukaan tanah (above

ground) dan di bawah permukaan tanah (below ground). Biomassa disusun terutama oleh senyawa karbohidrat yang terdiri dari elemen karbon, hidrogen dan oksigen yang dihasilkan pada proses foosintesis tanaman (White and Plaskett 1981). Biomassa yang dapat dinyatakan dengan berat kering tanaman budidaya terjadi akibat penimbunan hasil asimilasi bersih CO2 sepanjang musim pertumbuhannya. Walaupun konsentrasi CO2 di atmosfer kecil (0.03 %), tetapi

   

85-92 % berat kering tanaman berasal dari pengambilan CO2 dalam fotosintesis

(Gardner et al. 1991).

Bimassa biasanya dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam ukuran

gram atau kalori, dengan unit satuan biomassa adalah gram/m2 atau kg/ha atau

ton/ha (Chapman 1976; Brown 1997). Sedangkan laju produksi biomassa adalah laju akumulasi biomassa dalam kurun waktu tertentu, sehingga unit satuannya dinyatakan per satuan waktu, misal kg/ha/tahun.

Potensi Serapan Karbon

Tanaman jarak pagar, berpotensi sebagai penyerap karbon. Jarak pagar sebagai tanaman yang berpotensi dalam penyerapan emisi karbon telah dianalisis

dan diprediksikan oleh June et al. (2008) dalam Syahbuddin (2008) yang

menunjukkan potensi serap karbon pada jarak pagar pada umur 7 tahun dapat mencapai 158 – 191 ton CO2/ha/th. Kandungan stok karbon tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertanaman monokultur tebu, kopi, dan kakao pada luasan yang sama.

Input Energi dalam Pertanian

Pengertian Umum Energi

Energi didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan pengaruh atau akibat, baik berupa panas yang ditimbulkan maupun berupa akibat mekanik (Abdullah 1979 dalam Moechalil 1983). Energi dalam bidang pertanian dikenal dalam beberapa sumber dan aktivitasnya. Cox dan Akins (1979) menggolongkan energi pertanian ke dalam dua macam bentuk yaitu energi ekologi dan energi kultural. Energi ekologi meliputi radiasi matahari untuk proses fotosintesisi, suhu lingkungan, sirkulasi atmosfer dan presipitasi. Energi kultural dapat dibedakan atas dua macam yaitu masukan energi biologi dan energi industri. Energi biologi meliputi tenaga kerja manusia dan hewan serta bahan organik seperti pupuk kandang dan benih. Energi industri meliputi semua masukan yang dihasilkan dari proses teknologi modern seperti pupuk, pestisida, alat dan mesin-mesin pertanian. Energi yang berasal dari tenaga kerja manusia, hewan, atau bahan bakar disebut

 

juga energi langsung. Pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian disebut juga energi tidak langsung.

Stout (1990) membedakan energi yang biasa digunakan dalam bidang pertanian dalam dua bagian yaitu energi komersial dan energi non komersial. Energi komersial meliputi bahan bakar, alat dan mesin pertanian, pupuk, pestisida, pompa air, dan irigasi yang dibutuhkan untuk peningkatan produksi pertanian. Energi nonkomersial terdiri atas energi surya, air, angin, dan lainnya yang dapat diperoleh secara bebas.

Energi tenaga kerja manusia

Input energi tenaga manusia adalah banyaknya energi yang dipakai untuk melakukan aktivitas selama proses produksi. Revelle (1978) diacu dalam Moechalil (1983) menentukan energi yang digunakan berdasarkan energi

metabolik, dengan cara mengukur oksigen atau CO2 yang dihembuskan dari

respirasi. Abdullah (1979) mengemukakan bahwa laki-laki sehat berumur 20-29 tahun memerlukan energi dari bahan makanan per hari sebesar 12.50 MJ atau berkisar 10.9-14.2 MJ. Sugito (1993) menggunakan nilai konversi tenaga manusia sebesar 1.453 MJ/jam (laki-laki) dan 1.163 MJ/jam (wanita) untuk menghitung neraca energi produksi tanaman ubi kayu.

Efisiensi energi pertanian

Efisiensi energi dalam kegiatan pertanian diperoleh dari perbandingan antara energi input dengan energi output yang dihasilkan. Kegiatan budidaya kedelai yang dilakukan oleh Moeljanto (1994) membutuhkan masukan energi sebesar 753 359 – 888 474 kcal/ha atau 3 156.574 - 3 722.706 MJ/ha. Energi yang dihasilkan dalam kegiatan budidaya tersebut sebesar 942 240 – 1 436 640 kcal/ha atau 3 947.986 - 6 019.522 MJ/ha, dengan efisiensi energi sebesar 1.15 – 1.80. Budidaya padi konvensional yang dilakukan oleh Anuar (1994) membutuhkan masukan energi sebesar 17 162 407 MJ/ha dengan produksi gabah kering giling sebesar 3.27 ton/ha atau energi setara dengan 40 610 455 MJ/ha. Selain energi dari gabah kering giling, dihasilkan pula energi dari jerami sebesar 62 230 947 MJ/ha.

 

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2010 – April 2011. Lokasi penelitian dilakukan di kebun percobaan jarak pagar milik PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. Pengujian kandungan gas di Laboratorium Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi-IPB dan Laboratorium Gas Chomatography, Departemen Agronomi dan Hortikultura-IPB. Pengujian kandungan nitrat dan amonium tanah serta karbon organik dilakukan di Laboratorium Plant Analysis

Dokumen terkait