• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencemaran air (baku) yang disebabkan oleh aktivitas rumah tangga, industri dan pertanian terus mengalami peningkatan. Mishra et al. (2012) menyebutkan bahwa padatan merupakan kontaminan utama pada air. Air baku yang telah mengalami penurunan kualitas tersebut harus diolah untuk dapat digunakan kembali. Pemerintah telah mengelompokkan jenis air yang dapat digunakan melalui PP RI No.82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Koagulasi dan flokulasi adalah proses pemisahan padatan-cairan dengan menambahkan bahan koagulan atau flokulan. Kinerja koagulan umumnya sangat dipengaruhi oleh pH dan digunakan dalam konsentrasi cukup tinggi, sedangkan kinerja flokulan cenderung resisten terhadap pengaruh pH dan digunakan dalam konsentrasi rendah (Pal et al. 2012). Flokulan umumnya merupakan polimer dan larutannya disebut dengan polielektrolit. Flokulan sintetis seperti polyacrylamide (PAM) memiliki karakteristik nonbiodegradable, digunakan dalam konsentrasi rendah, long shelf life dan membentuk flok yang rapuh (fragile), sedangkan polimer alami seperti polisakarida memiliki karakteristik biodegradable, digunakan dalam konsentrasi tinggi, shorter shelf life, membentuk flok dengan high shear stability (Yang et al. 2012; Mishra et al. 2012).

Hibridisasi polimer alami dan sintetis sangat diminati karena aplikasinya yang sangat luas (Sen et al. 2009). Salah satu polimer alami yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah pati sagu (Metroxylon sago Rottb.). Jong dan Widjono (2007) mencatat bahwa kebutuhan pati bagi industri di dunia saat ini adalah sekitar 50 juta ton per tahun dengan laju pertumbuhan 7,7% per tahun dan lebih dari 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia. Kopolimerisasi cangkok (grafting copolymerization) merupakan salah satu teknik untuk menggabungkan polimer sintetis dengan polimer alami.

Metode kopolimerisasi cangkok yang umum digunakan menurut Sen et al. (2009) adalah conventional redox grafting method, microwave irradiation, -ray irradiation

dan electron beam. Diantara beberapa teknik kopolimerisasi tersebut, iradiasi gelombang mikro (microwave) merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk menghasilkan kopolimer cangkok berkualitas tinggi. Kelebihan iradiasi gelombang mikro adalah waktu reaksi yang singkat, reaksinya tidak memerlukan kondisi inert, mudah dioperasikan, dan highly reproducible.

Dalam penelitian ini, pati sagu digunakan sebagai backbone (kerangka dasar) sedangkan untuk cangkoknya digunakan monomer akrilamida, sedangkan teknik kopolimerisasi yang digunakan adalah microwave initiated synthesis (radikal bebas diinisiasi tanpa menggunakan inisiator kimia seperti ceric ammonium nitrate (CAN)). Teli dan Waghmare (2009) menyebutkan bahwa akrilamida merupakan jenis monomer yang banyak digunakan pada proses kopolimerisasi. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kondisi proses sintesis (waktu reaksi dan jumlah akrilamida) flokulan dari pati sagu dan akrilamida yang terbaik dan mendapatkan informasi kinerja flokulan yang dihasilkan untuk penurunan kadar padatan tersuspensi dalam air baku.

2

Perumusan Masalah

Bahan koagulan/flokulan dari bahan sintetis memiliki kelemahan yang antara lain adalah tidak tahan terhadap gaya geser, tidak terbarukan, dan kurang ramah bagi lingkungan. Di sisi lain, Indonesia memiliki sumber daya polisakarida (pati) yang banyak dan belum termanfaatkan secara maksimal termasuk pati sagu. Penggabungan bahan sintetis dengan bahan alami melalui reaksi kopolimerisasi diharapkan dapat memperbaiki kelemahan koagulan/flokulan dari bahan sintetis.

Pati merupakan polimer hidrofilik yang tersusun atas ribuan gugus anhidroglukosa yang memiliki sisi reaktif di tiap unit hidroglukosanya. Gugus hidroksil pada selulosa ini dapat dimanfaatkan untuk memodifikasi pati yang salah satu caranya adalah dengan kopolimerisasi cangkok. Modifikasi kimia ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan sifat hidrofilik, ketahanan panas dan ketahanan terhadap serangan mikroba serta membuat struktur material baru lebih kuat dan stabil. Dalam penelitian dilakukan reaksi kopolimerisasi cangkok antara pati sagu (alami) dengan akrilamida (sintetis) yang diaplikasikan sebagai bahan koagulan/flokulan.

Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan yang ingin dicapai dari dilaksanakannya penelitian ini. Tujuan tersebut adalah mendapatkan kondisi proses sintesis (jumlah akrilamida dan waktu reaksi) flokulan dari pati sagu dan akrilamida yang terbaik menggunakan teknik initiated microwave synthesis dan mendapatkan informasi kinerja flokulan yang dihasilkan untuk penurunan kadar padatan tersuspensi dalam air baku.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian penelitian ini adalah (1) analisis pati sagu sebagai

backbone kopolimer cangkok CMS-g-PAM, (2) analisis data monomer akrilamida yang digunakan, (3) modifikasi pati sagu menjadi Carboxy Methyl Starch (CMS), (4) kopolimerisasi CMS dan akrilamida menggunakan iradiasi gelombang mikro (microwave), (5) analisis sifat fisiko kimia CMS-g-PAM yang dihasilkan, dan (6) uji kinerja flokulan yang dihasilkan untuk penurunan kadar padatan tersuspensi dalam air baku.

Hipotesis Penelitian

Semakin tinggi konsentrasi akrilamid dan semakin lama waktu proses sintesis kopolimer cangkok CMS-g-PAM diduga akan menyebabkan peningkatan pada perolehan produk setelah reaksi kopolimerisasi, nisbah dan efisiensi pencangkokan.

Luaran Penelitian

Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) informasi kondisi Proses Sintesis Flokulan dari Pati Sagu dan Akrilamida yang terbaik menggunakan teknik initiated microwave synthesis, (2) prototipe flokulan

CMS-3 g-PAM yang dihasilkan dari pati sagu dan akrilamida menggunakan teknik

initiated microwave synthesis, dan (3) kinerja flokulan CMS-g-PAM untuk penurunan kadar padatan tersuspensi dalam air baku.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) meningkatkan nilai tambah (added value) sagu, (2) pemanfaatan teknik initiated microwave synthesis

untuk menghasilkan kopolimer cangkok CMS-g-PAM dari pati sagu (3) penurunan kadar padatan tersuspensi dalam air baku dengan menggunakan kopolimer CMS-g-PAM yang dihasilkan.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Sagu

Pati sagu dapat diperoleh dari tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottboell). Tanaman sagu seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1 diklasifikasikan ke dalam genus Metroxylon dan termasuk ke dalam famili Palmae. Tanaman sagu banyak tumbuh di daerah tropis yang panas dan lembap seperti di Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Filipina, Vietnam dan Thailand,) dan wilayah Oseania seperti Kepulauan Mikronesia, Papua Nugini, dan Kepulauan Oseania. Menurut data yang dihimpun oleh Jong dan Widjono 2007 bahwa kebutuhan pati bagi industri dunia saat ini sekitar 50 juta ton per tahun dengan laju pertumbuhan 7,7% per tahun. Lebih dari 50% potensi sagu dunia ada di Indonesia, dan sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua, termasuk Papua Barat. Negara lain penghasil sagu setelah Indonesia adalah Malaysia (20%) dan Papua Nugini (20%).

Gambar 1 Tanaman sagu dan batang sagu (Sumber: Hasan 2011)

Tanaman sagu memiliki produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan pati (karbohidrat). Produktivitas sagu per satuan luas per satuan waktu tersebut diketahui lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman lain seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Sagu adalah tanaman tahunan dengan masa panen pertama setelah 8 tahun (Sumaryono, 2007). Kemampuan tanaman sagu untuk mengakumulasikan tepung pati pada batangnya dapat mencapai 200 sampai 220 kg/pohon (Jong, 1995).

Tabel 1 Perbandingan produktivitas beberapa tanaman penghasil pati

Komoditas Produktivitas pati (ton/ha/th)

Sagu 25 Padi 6 Jagung 5,5 Gandum 5 Kentang 2,5 Ubi kayu 1,5 Sumber: Ishizaki (1996)

6

Secara umum, pati sagu di Indonesia masih digunakan dalam bentuk bahan pangan. Di Indonesia bagian timur sagu dikonsumsi sebagai makanan pokok. Pati sagu juga digunakan sebagai campuran produk mie, soun, roti, bakso dan dalam pembuatan kue-kue tepung sagu, misalnya akusa, bagea. Karena kandungan karbohidratnya yang tinggi pati sagu juga dikembangkan untuk menghasilkan sirup glukosa dan bahan bakar etanol.

Pati yang merupakan salah satu biopolimer penting juga banyak digunakan di berbagai industri seperti tekstil, kertas, farmasi, makanan dan kosmetik. Diagram pemanfaatan sagu dalam bentuk pohon industri diperlihatkan pada Gambar 2. Melihat potensi sumber daya sagu dan keterbatasan pemanfaatan sagu, maka penelitian pemanfaatan pati sagu sebagai bahan koagulan/flokulan dilakukan.

Gambar 2 Pohon industri sagu (Susi dan Ruriani 2009) Sagu daun Batang sagu atap dinding Tumang/tempat sagu kerajinan Kulit batang Pati sagu Partikel board lantai Obat tradisional Bahan bakar kertas makanan bioetanol siklodekstrin Sirup glukosa bioplastik biofuel farmasi Bahan kimia lem plywood Tekstil roti mie Salad dressing Asam sitrat Asam laktat

7 Karakteristik Pati Sagu

Pati merupakan makromolekul (polimer) yang tersusun atas homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati tersusun atas dua komponen yang dapat dipisahkan dengan air panas. Komponen yang larut dalam air panas disebut dengan amilosa dan komponen yang tidak larut dalam air panas disebut dengan amilopektin. Pati sagu memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati lain seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Hal tersebut memungkinkan untuk menjalankan reaksi kopolimerisasi pada rentang suhu yang lebih lebar. Secara umum pati sagu berbentuk butiran dengan diameter butiran berkisar antara 20 mm hingga 60 mm.

Setiap bahan berbasis pati memiliki sifat fisiko kimia yang berbeda. Menurut Purwaningsih (2012), perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan varietas tanaman penghasil pati, lokasi penanaman (cuaca dan tanah), perlakuan atau perawatan tanaman. Perbedaan sifat fisiko kimia pati tersebut menentukan proses reaksi yang akan digunakan dan jumlah bahan yang akan direaksikan. Pada Tabel 2 diperlihatkan perbandingan sifat pati sagu dengan beberapa komoditas lain seperti jagung, kentang, beras, ubi kayu dan terigu.

Tabel 2 Perbandingan sifat pati sagu dengan beberapa pati lain

Karakteristik Sagu Jagung Kentang Beras Ubikayu Terigu

Bentuk butiran Oval

Bulat,

poligonal Oval Poligonal Oval Bulat

Ukuran butiran (mm) 20-60 15 15-100 3-8 5-35

2-10/ 20-35

Suhu gelatinisasi (oC) 72-74 62 56 66 68 65

Kadar amilosa (%) 24,4 26 24 17 17 25

Kadar amilopektin (%) 75,6 74 76 83 83 75

Daya mengembang (%) 97 24 >1.000 19 71 21

Viskositas (RVU) @ 86 oC 87-167 - - - - -

Firmness gel (gw/cm2) 150-250 - - - - -

Bobot molekul (g-mol-1) - Amilosa - Amilopektin a) 1,41-2,23×106 a) 6,70-9,23×106 b) 5,6919×105 b) 81,2783 ×105 b) 4,2688×105 b) 61,6797 × 105

Sumber: Cecil et al. (1982), a) Othman, et al. (2010) b) Boediono (2012)

Catatan: Tamarin Kernel Powder memiliki bobot molekul 2,5-6,5x105 g mol-1 (chemtotal.com, 2013)

Amilosa adalah molekul rantai lurus/linier yang terdiri dari α-glukopiranosil (Gambar 3) yang tersambung dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik sedangkan amilopektin adalah rantai kompleks yang mempunyai rantai lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glikosidik dan rantai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glikosidik (Winarno 1997; Guo-xiu et al. 2005). Struktur kimia amilosa diperlihatkan pada Gambar 4 dan struktur amilopektin diperlihatkan pada Gambar 5. Pada umumnya pati terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (Pomeranz 1991). Studi struktur ultra menunjukkan pati mempunyai dua morfologi utama, yaitu bentuk kristalin yang disusun oleh amilopektin dan bentuk amorf yang disusun oleh amilosa (Beiitz dan Grosch 1987).

8

Gambar 3 Struktur molekul α-glukopiranosil (Sumber: FST 2009)

Gambar 4 Struktur molekul amilosa (Sumber: FST 2009)

Gambar 5 Struktur kimia amilopektin (Sumber: FST 2009)

Di dalam Syamsir (2012) disebutkan bahwa amilosa membentuk struktur heliks sementara rantai cabang amilopektin membentuk struktur rantai heliks

9 ganda dan membentuk klaster. Sekitar 80-90% dari suatu klaster amilopektin dibentuk oleh rantai amilopektin tipe A yaitu rantai pendek yang tidak membentuk cabang dengan derajat polimerisasi 6 – 15. Pengamatan granula pati denga nmikroskop memperlihatkan adanya persilangan birefringence sebagai perpotongan dua pita. Hal tersebut mengindikasikan pengaturan amilosa-amilopektik secara radial membentuk struktur semi kristalin. Kristalinitas pati disebabkan oleh amilopektin heliks ganda bukan amilosa. Pada Gambar 6 diperlihatkan susunan amilosa dan amilopektin pada granula pati.

Gambar 6 Susunan amilosa dan amilopektin pada struktur granula pati (Sumber:www.braukaiser.com)

Berdasarkan struktur dan sifat fisik di atas, maka dapat dilakukan modifikasi pati untuk memperbaiki sifat fisiknya. Umumnya ikatan α-1,4- dan α -1,6-glikosida juga gugus hidroksil pada karbon kedua dan ketiga mempunyai peluang untuk dimodifikasi secara kimiawi, sehingga menghasilkan senyawa dengan sifat yang baru. Sebagai makromolekul, pati sagu memiliki bobot molekul yang besar. Hasil pencirian bobot molekul yang dilakukan oleh Othman, et al.

(2010) menunjukkan bahwa pati sagu memiliki bobot molekul 29,1 ± 2,1 × 106 g mol-1. Penetapan bobot molekul tersebut dilakukan dengan metode Gel Permeation Chromatography Multi-Angle Laser Light Scattering. Modifikasi pati juga merubah bobot molekul pati tersebut.

Menurut Xing Guo-xiu et al. (2005), pati sagu dapat digunakan sebagai flokulan. Namun demikian efisiensi flokulasi pati sagu tersebut masih rendah. Penelitian ini dilakukan untuk memodifikasi pati sehingga kinerjanya sebagai flokulan dapat ditingkatkan. Pati sagu digunakan sebagai tulang punggung dalam proses kopolimerisasi dengan akrilamid karena strukturnya yang beraturan dan

10

panjang. Selain itu, pati sagu dapat diperoleh dengan mudah dan sifatnya yang terbarukan dan dapat terurai secara alami (biodegradable).

Akrilamida

Akrilamida (C3H5NO) adalah jenis monomer hidrofilik yang banyak digunakan di industri plastik. Rumus struktur akrilamida diperlihatkan pada Gambar 7. Akrilamida berbentuk kristal putih dan tidak berbau. Pada suhu ruang, akrilamida larut dalam eter, air, alkohol, kloroform dan aseton. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak berpolimerisasi secara spontan (Harahap 2006). Tanpa pemanasan, akrilamida dapat terurai menjadi amonia sedangkan dengan pemanasan, akrilamida akan terurai menjadi karbon dioksida, karbon monoksida, dan oksida nitrogen.

Gambar 7 Struktur molekul akrilamida (Sumber: www.wikipedia.com) Reaksi polimerisasi akrilamida akan menghasilkan poliakrilamida. Polimer poliakrilamida banyak digunakan sebagai pengental pada industri plastik, kertas dan proses pengolahan air limbah (wastewater treatment). Pada proses pengolahan air limbah, poliakrilamida difungsikan sebagai senyawa pembentuk flok (flokulan).

Kopolimerisasi dan Mekanismenya

Kopolimerisasi adalah proses polimerisasi simultan antara dua jenis monomer atau lebih. Proses kopolimerisasi digunakan untuk memperbaiki sifat suatu jenis polimer tertentu. Sen et al. (2009) menyebutkan bahwa kopolimerisasi antara polimer alami dan sintetis semakin berkembang karena aplikasinya yang sangat luas.

Menurut Gupta (2010), ada lima jenis kopolimer yaitu; statistical copolymer, alternating copolymer, block copolymer, graft copolymer dan

stereoblock copolymer. Statistical copolymer merupakan gabungan dari monomer yang tersusun dalam urutan statistik, misalnya -(ABBAAAABAABBBA)-.

Alternating copolymer adalah kopolimer yang terbentuk dari monomer yang tersusun secara teratur dalam jumlah yang seimbang, misalnya -(ABABABA)-.

Block copolymer (kopolimer blok) adalah kopolimer yang tersusun dari satu jenis rantai monomer yang panjang yang tergabung dengan jenis rantai monomer panjang lainnya. Ilustrasi block copolymer diperlihatkan pada Gambar 8.

11

Gambar 8. Ilustrasi berbagai bentuk kopolimer blok (Sumber: Gupta 2010)

Graft copolymer (Kopolimer cangkok) merupakan kopolimer yang tidak berbentuk linier. Polimer jenis ini tersusun atas sebuah monomer rantai panjang sebagai backbone (kerangka dasar) dan monomer lainnya yang tercangkok pada kerangka dasar tersebut. Ilustrasi kopolimer cangkok diperlihatkan pada Gambar 9. Stereoblock copolymer memiliki bentuk yang khusus dan tersusun atas monomer yang berbeda karakteristiknya seperti diperlihatkan pada Gambar 10.

Gambar 9. Ilustrasi kopolimer cangkok (Sumber: Gupta 2010)

Gambar 10. Ilustrasi stereoblock copolymer (Sumber: Gupta 2010)

Pada kopolimer blok dan kopolimer cangkok, sifat unggul yang terdapat pada setiap polimer jika digabungkan akan menghasilkan senyawa baru yang memiliki perpaduan sifat dari sifat komponen penyusunnya (Mostafa 1995; Gupta 2010). Desmukh et al. (1991) menyebutkan bahwa pencangkokan dapat meningkatkan stabilitas geser suatu senyawa.

12

Metode kopolimerisasi yang umum digunakan menurut Sen et al. (2009) adalah conventional redox grafting method (metoda pencangkokan secara konvensional redoks), microwave irradiation (iradiasi gelombang mikro), ray irradiation (iradiasi sinar gamma) dan electron beam (pancaran electron). Proses pencangkokan secara konvensional dilakukan dengan menggunakan bahan inisiator polimerisasi. Bahan inisiator yang umum digunakan yaitu garam persulfat (K+, Na+, NH4+) dan hidrogen peroksida (Moad dan Solomon 2006). Jenis monomer yang banyak digunakan pada proses kopolimerisasi pencangkokan adalah asam akrilat dan akrilamida (Teli & Waghmare 2009). Diantara beberapa metode kopolimerisasi tersebut, iradiasi gelombang mikro merupakan metoda yang paling menjanjikan untuk menghasilkan kopolimer cangkok berkualitas tinggi. Hal tersebut dikarenakan radikal bebas dihasilkan senyawa yang menyerap energi foton gelombang mikro yang dihasilkan oleh oven microwave sehingga menghasilkan persentase pencangkokan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metode secara konvensional dengan inisiator (Sen et al. 2009).

Mekanisme polimerisasi dengan radikal bebas menurut Nicholson (1991) meliputi tahap inisiasi, propagasi dan terminasi/disproporsionasi. Mekanisme tersebut dijelaskan sebagai berikut:

 Inisiasi, adalah tahap pembentukkan fragmen yang bersifat radikal bebas. Tahap inisiasi dapat digambarkan sebagai berikut:

 Propagasi, adalah penumbuhan rantai cabang pada framen radikal bebas yang terbentuk pada tahap inisiasi. Tahap propagasi dapat digambarkan sebagai berikut:

 Terminasi adalah penghentian proses propagasi. Terminasi dibedakan menjadi dua, yaitu kombinasi dan disproporsionasi. Tahap terminasi dapat digambarkan sebagai berikut:

Kombinasi

13 Kopolimerisasi pada pati atau polisakarida secara umum akan mengubah struktur kimia pati tersebut pada gugus hidroksil pada posisi C-2, C-3, dan C-6 dan unit D-glukopiranosil (ikatan α-(1,4)-D-glikosidik dan α-(1,6)-D-glikosidik) melalui reaksi kimia esterifikasi, eterifikasi, dan oksidasi di dalam molekul (FST 2009). Secara lebih detail, reaksi modifikasi pati yang mungkin dilakukan untuk mengubah sifat fungsional pati adalah: (i) reaksi substitusi dengan mengoksidasi gugus hidroksil sehingga diperoleh ester atau eter dari pati; (ii) penambahan rantai cabang (cross-link) dengan senyawa yang mempunyai gugus fungsional seperti formaldehida, pirofosfat atau epiklorhidrin, dan lain-lain; (iii) kopolimerisasi cangkok dengan suatu monomer. Selain itu, kopolimerisasi cangkok antara monomer sintetis dengan monomoer alami, memiliki keuntungan yaitu terbentuknya ikatan kovalen saat reaksi berlangsung (FST 2009).

Kopolimerisasi Cangkok dengan Gelombang Mikro (Microwave) Gelombang mikro digolongkan ke dalam gelombang elektromagnetik. Dibandingkan dengan gelombang radio, gelombang mikro memiliki panjang gelombang lebih pendek dan frekuensi yang lebih tinggi. Hal tersebut akan menyebabkan efektifitas penyebaran yang lebih baik. Gelombang mikro dapat menembus bahan organik seperti air, lemak dan gula sehingga atom penyusunnya bergetar dan menghasilkan panas. Proses terbentuknya panas tersebut berbeda dengan panas secara konduksi yaitu panas terbentuk secara lebih merata dan cepat seperti yang diilustrasikan pada Gambar 11. Namun demikian, gelombang mikro tidak dapat menembus logam, gelas, keramik dan sebagian bahan plastik. Bahan logam yang menyelimuti permukaan bagian dalam oven microwave membuat panas yang terbentuk tidak dapat keluar sehingga bahan yang berada di dalamnya akan cepat matang. Menurut Sen et al. (2009), oven microwave mampu membentuk panas yang homogen secara spontan. Jika hal tersebut diterapkan ke dalam reaksi kopolimerisasi maka produk yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang lebih seragam.

Gambar 11. Perbandingan pindah panas secara konveksi dan melalui gelombang mikro (Sumber: www.ewi.ca)

14

Gelombang mikro atau microwave adalah sebuah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 1 milimeter sampai 1 meter dan berfrekuensi antara 300 megahertz sampai 300 gigahertz. Oven microwave

adalah sebuah peralatan dapur yang digunakan untuk memasak atau memanaskan makanan. Oven Microwave oven adalah adalah sebuah peralatan dapur yang menggunakan radiasi gelombang mikro untuk memasak atau memanaskan makanan. Ada dua konsep fisika yang menjadi dasar dalam pemanfaatan gelombang mikro untuk memanaskan benda. Dua konsep tersebut adalah (a) radiasi gelombang dan (b) pemanasan dielektrik (Pamere 2012).

Pada konsep radiasi gelombang, oven microwave menggunakan gelombang radio berfrekuensi 2,5GHz untuk memanaskan makanan. Gelombang tersebut merambat secara radiasi. Penjelasan konsep pemanasan dielektrik adalah dengan adanya fenomena dimana gelombang radio memanaskan material dielektrik.

Penggunaan gelombang mikro dalam reaksi kopolimerisasi merupakan salah satu terobosan baru di bidang ilmu kimia. Reaksi kopolimerisasi dengan

microwave dapat dilakukan dengan menggunakan inisiator radikal bebas (bahan kimia) yang dikenal dengan sebutan (microwave assisted technique) maupun tanpa inisiator radikal bebas (microwave initiated technique). Kopolimerisasi cangkok dengan microwave memiliki beberapa kelebihan yaitu reliable (dapat diandalkan), highly reproducible dan mudah dioperasikan (Sen et al. 2012). Kopolimerisasi cangkok dengan microwave tidak memerlukan kondisi inert seperti halnya kopolimerisasi cangkok menggunakan inisiator kimia.

Keberhasilan kopolimerisasi cangkok dengan microwave dipengaruhi beberapa faktor yang antara lain adalah konsentrasi monomer, lama reaksi dan daya microwave. Lama reaksi dan daya microwave dapat diatur secara elektronik. Secara umum reaksi kopolimerisasi dengan menggunakan microwave lebih mudah untuk dilakukan.

Reaksi Karboksimetilasi Pati Sagu

Produk turunan pati memainkan peranan penting dalam pertumbuhan industri biopolimer karena sifatnya yang non toksik, harga yang lebih murah, terbarukan dan sifatnya yang relatif kompatibel dengan bahan lain. Penggunaan produk turunan pati sangat luas yang meliputi pangan, pertanian, farmasi, biomedis, tekstil dan manajemen lingkungan (Shagar et al. 2012).

Pati murni (native starch) memiliki kelemahan saat direaksikan (diolah) dengan bahan lain. Beberapa keterbatasan pati selama pengolahan tersebut diantaranya adalah kelarutan yang rendah, sifat mekanis yang kurang, tidak stabil pada suhu tinggi, dan tidak stabil karena perubahan pH dan geseran (shear). Keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan melakukan modifikasi strukturnya.

Diantara beberapa produk turunan pati, CMS merupakan produk turunan pati yang sangat penting. CMS diperoleh dengan mereaksikan pati dengan natrium kloroasetat dalam suasana basa. Perubahan sifat pati terjadi secara signifikan karena proses eterifikasi pada gugus hidroksil (OH). Dengan berubahnya gugus hidroksil tersebut akan menghalangi terjadinya asosiasi diantara molekul pati. Selain itu, kelarutan pati juga meningkat (Shagar et al. 2012).

15 Reaksi antara natrium kloroasetat dan pati sagu dalam suasana basa digambarkan dalam persamaan pada Gambar 12. Bahan tersebut diprediksi akan mensubstitusi gugus hidroksil pada C-6 rantai piranosil yang merupakan gugus hidroksil primer pada rantai piranosil (Purwaningsih 2012).

Gambar 12 Mekanisme reaksi karboksimetilasi pati sagu natrium kloroasetat yang menghasilkan CMS

Mekanisme Reaksi Kopolimerisasi Cangkok CMS-g-PAM

CMS-g-PAM dibuat melalui reaksi kopolimerisasi antara CMS dengan monomer akrilamida dengan menggunakan iradiasi gelombang mikro. Ikatan yang terbentuk hasil kopolimerisasi cangkok antara CMS dan monomer akrilamida adalah ikatan kovalen (FST 2009).

Mekanisme kopolimerisasi cangkok menggunakan microwave sedikit berbeda dengan metode konvensional terutama pada proses pembentukan radikal bebas. Saat sejumlah kecil molekul polar (air) di-iradiasi dengan gelombang mikro maka molekul tersebut akan mengalami rotasi dan menghasilkan panas seperti yang diperlihatkan pada Gambar 13. Molekul air sendiri tidak akan mengalami pembentukan radikal bebas.

Gambar 13 Mekanisme pembentukan panas molekul air karena pengaruh gelombang mikro (sumber: scientificamerican.com )

Jika molekul yang berukuran lebih besar (makromolekul) di-iradiasi dengan gelombang mikro maka rotasi keseluruhan molekul sangat sulit bahkan tidak mungkin terjadi. Dalam kondisi tersebut, gelombang mikro akan diserap oleh gugus polarnya (misalnya –OH yang terikat pada CMS) dan gugus tersebut mengalami rotasi lokal. Rotasi lokal tersebut akan melemahkan ikatan sehingga membentuk radikal bebas.

Energi gelombang mikro yang diserap oleh molekul air secara cepat dipindahkan ke molekul akrilamida. Pemindahan energi tersebut membangkitkan panas dielektrik dan melemahkan ikatan rangkap pada akrilamida dan memicu terbentuknya radikal bebas. Gelombang mikro juga diketahui akan menurunkan energi aktivasi suatu reaksi. Terbentuknya radikal bebas pada kerangka dasar (gugus polar -OH pada CMS) dan pada monomer akrilamida akan berkombinasi

16

satu sama lain melalui tahapan inisiasi, propagasi dan terminasi (Sen et al. 2009) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 14.

Gambar 14 Mekanisme reaksi pembentukan CMS-g-PAM dengan iradiasi

Dokumen terkait